“Apa tadi kamu bilang?” tanya Emily menatap tak percaya.
“Menikahlah dengan saya.” Alaric menjawab dengan santai. Emily mengerutkan alis. Dia tidak takut dengan tawaran pria itu, hanya saja merasa aneh dengan tawaran pria tampan itu yang mengajaknya menikah padahal baru saja kenal. “Kenapa aku harus menikah denganmu, sedangkan aku bisa cari yang lebih kaya dan tampan darimu. Lagi pula kita baru kenal, apa alasanmu mengajakku menikah?” tanya Emily mencecar dengan tatapan penuh curiga. Emily menatap Alaric yang terlihat menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan, lantas mendengar pria itu menjawab. “Saya kaya, beberapa perusahaan yang saya jalankan popularitasnya sudah tembus sampai ke luar negeri. Soal tampan, kamu sudah jelas bisa menilai.” Emily hampir tersedak ludah mendengar ucapan Alaric. Ingin mengingkari, tetapi kenyataannya pria itu memang sangat tampan, membuat kedua pipinya terasa panas saat menatap pria itu. “Meski begitu, aku juga tak mau sembarangan menyetujui tawaranmu,” elak Emily mengalihkan tatapan dari Alaric. Takut ketahuan jika mengagumi ketampanan pria itu. “Sebenarnya saya menawarkan pernikahan karena saya sama sepertimu, diselingkuhi. Bedanya kamu baru diselingkuhi kekasih, sedangkan saya diselingkuhi tunangan.” Emily kembali menatap Alaric, mendadak merasa simpati pada pria itu, apalagi Alaric terlihat sedih meski tersenyum saat menatapnya. “Tidak usah membohongiku. Kamu pikir aku mudah percaya dengan orang?” Emily mengelak, mengalihkan tatapan dari pria itu karena semakin menatap Alaric, dirinya semakin larut dalam kekaguman wajah pria itu. Emily menoleh pada jendela, hingga tiba-tiba sebuah foto di ponsel tampak di hadapannya. “Dia tunangan saya, seorang model ternama. Sayangnya dia berselingkuh dengan sepupu saya.” Emily memperhatikan foto wanita cantik nan anggun di layar ponsel itu, hingga Alaric menggeser layar sampai memampangkan foto wanita itu terlihat bermesraan bersama pria. “Itu buktinya. Saya mengumpulkan bukti untuk membalas perbuatan mereka. Sama sepertimu yang disakiti dengan cara diselingkuhi, saya pun sama.” Emily menoleh pada Alaric, melihat tatapan kekecewaan dari pria itu. “Kamu ingin balas dendam, atau membiarkan saja mereka bahagia di atas penderitaanmu?” Emily terdiam mendengar pertanyaan pria itu. “Saya bisa membantumu jika ingin balas dendam. Jika kamu keberatan, kita bisa membuat pernikahan ini berada dalam kontrak. Kita membuat kontrak yang menguntungkan satu sama lain untuk balas dendam?” Emily menatap Alaric yang tampak serius. Sepertinya tawaran pria itu tak ada salahnya dilakukan, lagi pula dengan kontrak pria itu takkan macam-macam kepadanya. “Baiklah, aku mau menikah denganmu jika memang tujuan kita sama. Tetapi aku tidak mau rugi, jangan sampai kamu mengambil keuntungan sepihak dariku,” ucap Emily pada akhirnya. Emily merasa kasihan pada Alaric yang diselingkuhi, padahal nasib dirinya juga lebih mengenaskan dari pria itu. “Setuju,” balas Alaric tanpa berpikir. “Kapan saya bisa menemui orang tuamu untuk melamar?” Emily dirawat dua hari di rumah sakit. Dua hari itu pula Alaric menjaganya seolah pria itu adalah kekasihnya. “Kamu yakin mau keluar dari rumah sakit hari ini?” tanya Alaric. “Hm … kalau kelamaan di sini, bisa-bisa papiku benar-benar mencariku karena aku tidak masuk kerja,” jawab Emily sok kuat meski tubuhnya masih sakit. “Kamu mau langsung pulang, jadi saya bisa langsung menyampaikan niat menikahimu,” ucap Alaric. Emily sebenarnya merasa aneh karena Alaric seperti ingin buru-buru menikah, tetapi karena alasan pria itu cukup kuat membuatnya mengabaikan saja. “Kontraknya mana? Aku tidak mau kita sudah menikah tapi belum ada hitam di atas putih. Jangan sampai kamu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan!” Emily berusaha waspada. Meski pria ini sepertinya adalah pria baik-baik dan tampan, tetapi Emily tetap tidak boleh memberikan kesempatan pada pria itu. Emily mengingat, pria tampan bagai iblis berwajah malaikat yang bisa menjeratnya. Dia tidak mau terjerat dan jatuh cinta sembarangan lagi. Sudah cukup Farrel sebagai contoh saja. Emily melihat Alaric mengeluarkan sesuatu dari saku, lantas menyodorkan ke arahnya. “Baca dulu, ini draft mentahnya. Jika ada yang mau kamu tambahkan atau ubah, silakan.” Emily mengambil kertas itu, lantas membaca isi yang tertuang di dalam kertas itu. ‘Jatah lima puluh juta sebulan, dikira apaan aku pakai diberi uang bulanan? Dia pikir aku miskin,’ gumam Emily dalam hati. Akan tetapi, 50 juta sebulan juga lumayan buat tambah-tambah tabungannya. Emily kembali menelisik daftar syarat pernikahan mereka, hingga dia menatap Alaric. “Tambahin, tidak ada kontak fisik!” Emily bicara dengan penekanan. “Bagaimana dengan sandiwara kita? Bagaimana bisa kita dibilang pasangan jika tak melakukan kontak fisik mungkin berpegangan saat di hadapan orang?” Emily terdiam mendengar pertanyaan Alaric, apa yang dikatakan pria itu ada benarnya. Dia pun melirik Alaric yang menunggu responnya. “Baiklah, boleh kontak fisik, tapi dengan catatan hanya berpegangan tangan saat ada orang lain, selebihnya tidak boleh meminta lebih!” Emily memberi syarat. Alaric mengangguk mengiakan syarat yang diberikan Emily. “Oke, itu saja. Selebihnya aku terima, hanya enam bulan, kan?” Emily memastikan jatah kontrak pernikahan mereka. Alaric mengangguk tanpa banyak bicara. “Jadi, sekarang langsung ke rumah orang tuamu?” tanya pria itu. “Hm … tapi siapkan mentalmu,” balas Emily lantas tersenyum mencurigakan.Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan