Compartilhar

Bagian 2

Autor: Puziyuuri
last update Última atualização: 2025-04-15 07:33:07

Suhu ruangan terasa turun. Senyap menyergap. Sorokan-sorokan penuh antusias raib, menyisakan suara musik di lantai satu yang samar terdengar dari celah pintu. Sementara itu, dua sosok yang tadi hampir berciuman seketika terpaku.

Waktu seolah terhenti beberapa saat sebelum Aldino dan Kanania saling melepas pelukan. Kanania lebih dulu bangkit dan menghambur ke arah Kiria. Matanya yang sayu berkaca-kaca. Biasanya, sang kakak akan sangat mudah luluh dengan sikap dramatisnya.

"Kak, ini tidak seperti yang Kakak pikirkan ... aku dan Kak Al hanya ....," isak Kanania sembari mengenggam erat tangan Kiria. Suaranya begitu sendu, juga beberapa kali terbatuk, sedikit menggoyahkan hati Kiria.

Kiria cepat mengepalkan jemari. Perbuatan adik dan kekasihnya benar-benar sudah keterlaluan. Tampang memelas tak boleh membuatnya lemah kali ini.

"Tidak seperti yang kupikirkan apa? Kalian hanya sedang bermain cium-ciuman begitu?"

Air mata Kanania meluncur membasahi pipi, membuat Kiria berpaling sejenak. Dia susah payah menahan rasa iba saat sang adik menggeleng lemah. Raut wajah teraniaya itu tampak seperti pasien kritis yang akan mati esok hari.

"Kami ... ah bukan teman-teman Kak Al memaksa memainkan game dare and truth. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan. Jadi, harus melakukan tantangan," jelas Kanania dengan terbata.

Game Dare and Truth? Siapa yang akan percaya jika mengingat tatapan dalam Kanania dan Aldino saat hendak berciuman tadi? Sayangnya, kasih sayang kepada adik semata wayang mengaburkan logika Kiria. Suara batuk-batuk dan wajah pucat Kanania semakin menekan akal, membuat hati lemah mendominasi.

Kiria juga teringat semasa kuliah. Dia pun pernah dipaksa mengikuti permainan sialan itu. Namun, teman kuliahnya tak seliar teman-teman Aldino. Dulu, Kiria hanya dihukum bernyanyi saat tak bisa menjawab pertanyaan. Hukuman itu pun cuma sebentar karena teman-temannya mengalami sakit telinga mendengar suara sumbang jauh dari nada yang benar.

"Kakak ... aku benar-benar adik yang jahat uhuk ... uhuk ... menyusahkan. Apa lebih baik aku mati saja ...."

"Kiria! Kamu jangan keterlaluan! Kami benar-benar dipaksa! Apa kau ingin adikmu benar-benar mati hah?!" sergah Aldino.

Plak!

Kiria refleks menampar Aldino membuat pemuda itu tercengang. Selama ini, Kiria memang tampak penurut dan tak banyak protes. Bahkan, ketika Aldino berkali-kali mengingkari janji kencan, Kiria selalu memaafkan. Aldino tak tahu, Kiria bukan memaafkan, malah senang karena merasa menghabiskan waktu dengan kencan hanya menganggu penelitiannya di laboratorium.

"Kamu lebih dewasa, Al! Harusnya bisa melindungi adikku! Katanya mau pergi menemani Nia berobat, kenapa malah datang ke tempat seperti ini, hah?"

Sebelumnya, Kanania merengek minta diantar periksa di klinik langganan karena merasa tak enak badan. Kiria kebingungan karena ada pekerjaan mendesak. Sementara orang tua mereka ke luar kota. Kiria sudah siap mendapat amarah bosnya karena menunda proyek. Namun, Aldino tiba-tiba menawarkan diri bagaikan penyelamat.

"Jawab, Al! Kenapa adikku bukan berobat di klinik malah di sini?"

Aldino meradang.

"Kamu sendiri kenapa bisa ada di sini? Bukannya katamu ada proyek penting?"

"Aku diminta datang oleh atasan!"

Kiria menyumpah dalam hati. Sibuk berdebat di ruangan itu, dia terlupa dengan Arya. Entah seperti apa nanti dia harus menghadapi amarah sang atasan. Sementara itu, Aldino sudah benar-benar tersulut emosi. Kata atasan dan klub malam tentu menimbulkan persepsi lain di pikirannya.

Aldino tertawa sinis. "Begitu rupanya, menuduhku berselingkuh nyatanya menjual diri pada atasan."

Plak!

Satu tamparan mendarat lagi di pipi Aldino, menyisakan bekas kemerahan.

"Kau pikir aku sekotor itu hah?"

"Lalu apa? Kau hanya ingin main kuda-kudaan dengan bosmu!"

"Aku hanya mengantarkan barang, bodoh!"

Kiria dan Aldino terus beradu mulut. Bukannya melerai, teman-teman Aldino malah menyemangati. Namun, tak disadari siapa pun Kanania menatap tajam.  Tangannya terkepal kuat.

"Cih! Kak Al kenapa seperti cemburu? Tidak boleh begini! Kak Al harus menjadi milikku!" jeritnya dalam hati.

Kanania dengan cepat memeluk lengan Kiria. "Kakak berhenti! Kumohon .... Ini semua memang salahku. Tadi aku merasa bosan setelah ke klinik. Kak Al hanya ingin menghiburku dan membawa ke sini," cerocosnya, lagi-lagi dengan mata berkaca-kaca.

Kiria menghela napas berat.

"Tapi tempat ini bukan hiburan yang baik! Lihatlah apa yang terjadi?"

"Maaf, Kak ...."

Kiria mendengkus kasar.

"Ya sudah! Kamu ikut pulang saja denganku!" tegasnya sembari menarik tangan Kanania.

Sayangnya, dua teman Aldino sudah berdiri menghadang di depan pintu.

"Oh tidak bisa pergi begitu saja, nona-nona."

Kiria mendelik tajam.

"Mau apa kalian?"

"Tentu saja permainan yang tadi harus diselesaikan. Nia belum menyelesaikan tantangannya. Berciuman dengan salah satu laki-laki di ruangan ini atau minum segelas wine."

"Kalau dia tidak mau?"

"Ya tidak boleh keluar dari sini."

Kiria kembali mendelik tajam. Auranya membuat teman-teman Aldino sedikit gentar. Namun, mereka kembali berpura-pura sangar. Toh, secara logika mana mungkin dua gadis bisa menghadapi lima pemuda. Terlebih, salah satu gadis tampak rapuh dan penyakitan macam Kanania.

Teman Aldino yang berkepala plontos tiba-tiba menyeringai saat menatap tubuh berisi Kiria, lalu menyeletuk, "Atau si kakak bisa menggantikan hukuman adiknya. Bagaimana, Kakak? Pilih mana, ciuman atau minum segelas wine?"

Pemuda berambut dicat abu-abu menyahut, "Jelas pilih ciumanlah, pacarnya ada di sini."

Aldino tertawa sinis. "Mana mau dia? Dia anti ciuman sebelum menikah."

"What's? Belum ciuman, Bro? Ya elah, satu-satunya yang menarik dari dia, kan, body-nya yang semok. Udah item, cupu, kalo bukan pakai body, kegocek apa sampai lo mau sama dia, Bro?" ejek si plontos.

Kiria menggemeletukkan gigi. Jemarinya terkepal kuat. Dia sudah kenyang dengan ejekan orang-orang yang selalu membandingkannya dengan Kanania. Sang adik memang berkulit kuning langsat dan berpenampilan modis meskipun sakit-sakitan. Beberapa bahkan menghina Kiria sebagai anak pungut karena orang tua mereka juga berkulit kuning langsat.

Sebenarnya, Kiria sudah kebal, juga tak ambil pusing. Namun, body shaming ditambah pelecehan tak bisa dimaafkan. Kiria menyingsingkan lengan kemejanya. 

"Tidak akan ada yang akan menuruti permintaan gila kalian! Aku menghormati kalian karena teman Aldino. Sekarang, sepertinya tidak perlu lagi!"

Kiria memasang kuda-kuda. Sabuk hitam karate dan juga gelar sebagai juara bertahan olahraga cabang pencak silat tingkat provinsi selama masa SMA membuatnya yakin tak akan susah menghadapi lima pemuda kaya manja di bawah pengaruh alkohol.

"Wah, sok berani! Sepertinya, kami akan bersenang-senang malam ini," ejek si plontos.

"Cih!"

Kanania menjerit-jerit panik. Kiria mendelik, membuat sang adik langsung terdiam. Selanjutnya, dia menatap tajam para pemuda kaya manja itu. Pertarungan siap dimulai.

***

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Dari Racun Jadi Istri Presdir Tampan   Bagian 175

    Alina dan Bram segera menghampiri Kiria. Begitu juga dengan orang tua Arya dan orang tua angkat Kiria. Sementara itu, Arya sudah menggendong Kiria. Dia memberi isyarat pada Sandi untuk mendekat. "Cepat siapkan mobil! Kita harus segera ke rumah sakit!" "Siap, Bos!" Sandi mengangkat tangan. Beberapa pengawal langsung membuka jalur. Para tamu seketika mundur. Tentu tak ada yang berani mencari masalah. Begitu jalur menuju pintu terbentuk, Arya bergegas membawa Kiria keluar. Alina, Bram, Rose, Abimana, Riani, dan Agung mengekor dengan cepat. Kanania, Satya dan Tiara yang sedari tadi asyik mengobrol tersentak, lalu ikut mengejar. Sementata itu, Arya sudah mencapai halaman. Air ketuban yang mulai merembes dan membasahi kemeja membuatnya mempercepat langkah. Hati Arya serasa tersayat. Jika bisa, biarlah dia yang menanggung sakitnya. "Silakan, Bos," ucap Sandi sambil membukakan pintu mobil. Arya membawa Kiria masuk. Setelah pintu ditutup, Sandi segeta duduk di belakang kemudi dan

  • Dari Racun Jadi Istri Presdir Tampan   Bagian 174

    Tangan yang hampir mendarat di pipi Kiria tertahan di udara. Tatapan tajam terarah pada wanita bergaun biru. Gadis bergaun pink di belakangnya seketika menelan ludah, lalu mundur teratur melihat siapa yang menangkap tangan temannya. "Siapa sih? Rese banget!" umpat wanita bergaun biru. Dia mengalihkan pandangan ke kanan dan ke kiri. Rasa dingin seketika terasa mencekik. Bram dengan wajah garang berdiri di sebelah kanan. Sementara itu, di sisi kiri, Arya menatap tajam dengan tangan yang mencengkeram kuat pergelangan tangan lawan. "Berani sekali kamu hendak menyakiti putriku!" bentak Bram. "Sepertinya, tangannya yang lancang ini perlu dipotong dengan rapi, Ayah Mertua," timpal Arya. "Ide bagus, Menantu," sahut Bram dengan seringaian yang meremangkan bulu kuduk. Kali ini, dia akur dengan Arya. Wanita bergaun biru seketika menjadi lemas. Tubuhnya oleng. Arya melepaskan cengkeramannya membuat wanita bergaun biru terempas di lantai.Sementara itu, beberapa tamu di sekitar mereka kompak

  • Dari Racun Jadi Istri Presdir Tampan   Bagian 173

    "Aku tidak rela dia mati ...," Alina menyeringai, "karena hukuman dengan kematian terlalu mudah untuk si berengsek itu." Bram tergelak. Amarah langsung surut. Suasana yang tegang seketika berubah menjadi damai kembali. "Ya ampun, Sayang. Kamu benar-benar cocok denganku." Bram tersenyum lebar. Lengannya melingkar di bahu Alina. Meskipun sudah diturunkan tetap dinaikkannya lagi. Dia mengelus dagu. "Hmm ... baiklah, kalau begitu kutekan saja pengadilan biar perkara cerai cepat selesai!" serunya antusias. Dia tersenyum menggoda, "Setelah itu kita bisa menikah," bisiknya mesra. Alina bergidik. Namun, dia tetap berusaha bersikap sopan pada ayah kandung putrinya itu. Terlebih, Bram memang memiliki kuasa yang tak biasa. Salah-salah Keluarga Respati bisa terkena masalah. "Maaf, Pak Bram. Aku tidak punya rencana akan menikah lagi." Bram memasang wajah sendu. Kanania dan Kiria kompak berpelukan karena aura sedih lelaki itu membuat bulu kuduk berdiri. Arya melihat aksi keduanya langsung

  • Dari Racun Jadi Istri Presdir Tampan   Bagian 172

    Arya dengan sigap menahan tubuh Kiria. Kepala sang istri yang lemas terkulai di bahunya. Lengan kokoh Arya melingkar pelan di pinggang Kiria, lalu menggendongnya. Dia melangkah cepat menuju pintu. "Kau mau bawa ke mana putriku?" sergah Bram seraya menarik lengan baju Arya. "Tentu saja, ke rumah sakit. Lepaskan saya, Pak Bram! Ria harus segera diperiksa dokter.""Tidak perlu."Arya, Kanania, dan Alina kompak melotot. Bram tak peduli. Dia menekan salah satu tombol di remote kontrol yang ada di meja. Terdengar suara berderak. Mereka pun kompak mengalihkan pandangan. Dinding yang tadinya dihiasi lukisan mahal bergerak ke arah berlawan. Ruangan serba putih dengan aroma antiseptik terpampang di depan sana. Seorang pria tampan berjas putih menghampiri Bram dan bertanya dengan santun, "Apakah Pak Bram merasa tidak enak badan hari ini?""Bukan aku, tapi putriku."Bram memberi isyarat pada Arya agar membawa Kiria memasuki ruangan. Arya menurut, lalu meletakkan istrinya di ranjang pemeriksaa

  • Dari Racun Jadi Istri Presdir Tampan   Bagian 171

    "Kamu siapa?!" seru Bram setelah terpaku cukup lama. Riani masih melongo. Bahkan, air matanya tidak lagi mengalir saking kagetnya. Riani tahu tentang Bram dari Kanania. Putri bungsunya itu memang sangat mengidolakan sang raja akting. Melihat Bram yang begitu dielu-elukan kaum hawa menjadi pelaku penculikan, Riani tentu langsung syok. Dia mencoba mereka-reka kembali kegiatan seminggu bahkan sebulan belakangan. Mungkinkah seorang rakyat biasa sepertinya bisa bersinggungan dengan publik figur sebesar Bram? "Atau Nia pernah menyinggungnya?" gumam Riani dalam hati. "Tidak! Tidak mungkin! Nia, kan, penggemar berat pasti berhati-hati. Bahkan kata Nia, Bram tidak marah saat Kiria tidak sengaja jatuh ke pelukannya."Riani mengelus-elus dagu sendiri. Dia sesekali mengangguk-angguk. Riani tak menyadari wajah Bram yang sudah dipenuhi amarah. "Kamu siapa?! Kenapa bisa ada di sini!" seru Bram. Riani seketika terlonjak. Hampir saja, dia terguling dari kasur. Untunglah, tangannya sempat berpegan

  • Dari Racun Jadi Istri Presdir Tampan   Bagian 170

    "Nia, tenang dulu. Jelaskan pelan-pelan," bujuk Agung. Kanania masih terisak untuk beberapa saat, lalu melanjutkan ceritanya, "Aku baru pulang sama Ibu dari belanja. Tiba-tiba ada banyak mobil di halaman. Banyak preman keluar dari sana langsung membawa Ibu," cerocos Kanania. "Iya, Nia. Ayah mengerti. Kami akan segera pulang."Kanania tak menjawab, hanya terdengar isakannya. Agung pun berniat pulang. Kiria, Arya, dan Alina ikut serta. Saat mereka tiba, rumah Agung sudah dalam keadaan berantakan. Kanania terduduk di teras dengan wajah berurai air mata. Begitu melihat ayahnya, dia seperti mendapat kekuatan, memeluk sang ayah dan menangis histeris. "Yah! Kita harus cepat lapor polisi! Jangan sampai Ibu kenapa-kenapa!" seru Kanania panik. "Iya, Nia. Ayo kita ke kantor polisi!" Agung sudah menarik tangan Kanania menuju mobilnya. "Tunggu, Yah!" sergah Arya. Langkah Agung dan Kanania terhenti. Mereka menatap Arya dengan alis berkerut. Arya menghela napas. "Penculik ini tiba-tiba berak

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status