Suhu ruangan terasa turun. Senyap menyergap. Sorokan-sorokan penuh antusias raib, menyisakan suara musik di lantai satu yang samar terdengar dari celah pintu. Sementara itu, dua sosok yang tadi hampir berciuman seketika terpaku.
Waktu seolah terhenti beberapa saat sebelum Aldino dan Kanania saling melepas pelukan. Kanania lebih dulu bangkit dan menghambur ke arah Kiria. Matanya yang sayu berkaca-kaca. Biasanya, sang kakak akan sangat mudah luluh dengan sikap dramatisnya.
"Kak, ini tidak seperti yang Kakak pikirkan ... aku dan Kak Al hanya ....," isak Kanania sembari mengenggam erat tangan Kiria. Suaranya begitu sendu, juga beberapa kali terbatuk, sedikit menggoyahkan hati Kiria.
Kiria cepat mengepalkan jemari. Perbuatan adik dan kekasihnya benar-benar sudah keterlaluan. Tampang memelas tak boleh membuatnya lemah kali ini.
"Tidak seperti yang kupikirkan apa? Kalian hanya sedang bermain cium-ciuman begitu?"
Air mata Kanania meluncur membasahi pipi, membuat Kiria berpaling sejenak. Dia susah payah menahan rasa iba saat sang adik menggeleng lemah. Raut wajah teraniaya itu tampak seperti pasien kritis yang akan mati esok hari.
"Kami ... ah bukan teman-teman Kak Al memaksa memainkan game dare and truth. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan. Jadi, harus melakukan tantangan," jelas Kanania dengan terbata.
Game Dare and Truth? Siapa yang akan percaya jika mengingat tatapan dalam Kanania dan Aldino saat hendak berciuman tadi? Sayangnya, kasih sayang kepada adik semata wayang mengaburkan logika Kiria. Suara batuk-batuk dan wajah pucat Kanania semakin menekan akal, membuat hati lemah mendominasi.
Kiria juga teringat semasa kuliah. Dia pun pernah dipaksa mengikuti permainan sialan itu. Namun, teman kuliahnya tak seliar teman-teman Aldino. Dulu, Kiria hanya dihukum bernyanyi saat tak bisa menjawab pertanyaan. Hukuman itu pun cuma sebentar karena teman-temannya mengalami sakit telinga mendengar suara sumbang jauh dari nada yang benar.
"Kakak ... aku benar-benar adik yang jahat uhuk ... uhuk ... menyusahkan. Apa lebih baik aku mati saja ...."
"Kiria! Kamu jangan keterlaluan! Kami benar-benar dipaksa! Apa kau ingin adikmu benar-benar mati hah?!" sergah Aldino.
Plak!
Kiria refleks menampar Aldino membuat pemuda itu tercengang. Selama ini, Kiria memang tampak penurut dan tak banyak protes. Bahkan, ketika Aldino berkali-kali mengingkari janji kencan, Kiria selalu memaafkan. Aldino tak tahu, Kiria bukan memaafkan, malah senang karena merasa menghabiskan waktu dengan kencan hanya menganggu penelitiannya di laboratorium.
"Kamu lebih dewasa, Al! Harusnya bisa melindungi adikku! Katanya mau pergi menemani Nia berobat, kenapa malah datang ke tempat seperti ini, hah?"
Sebelumnya, Kanania merengek minta diantar periksa di klinik langganan karena merasa tak enak badan. Kiria kebingungan karena ada pekerjaan mendesak. Sementara orang tua mereka ke luar kota. Kiria sudah siap mendapat amarah bosnya karena menunda proyek. Namun, Aldino tiba-tiba menawarkan diri bagaikan penyelamat.
"Jawab, Al! Kenapa adikku bukan berobat di klinik malah di sini?"
Aldino meradang.
"Kamu sendiri kenapa bisa ada di sini? Bukannya katamu ada proyek penting?"
"Aku diminta datang oleh atasan!"
Kiria menyumpah dalam hati. Sibuk berdebat di ruangan itu, dia terlupa dengan Arya. Entah seperti apa nanti dia harus menghadapi amarah sang atasan. Sementara itu, Aldino sudah benar-benar tersulut emosi. Kata atasan dan klub malam tentu menimbulkan persepsi lain di pikirannya.
Aldino tertawa sinis. "Begitu rupanya, menuduhku berselingkuh nyatanya menjual diri pada atasan."
Plak!
Satu tamparan mendarat lagi di pipi Aldino, menyisakan bekas kemerahan.
"Kau pikir aku sekotor itu hah?"
"Lalu apa? Kau hanya ingin main kuda-kudaan dengan bosmu!"
"Aku hanya mengantarkan barang, bodoh!"
Kiria dan Aldino terus beradu mulut. Bukannya melerai, teman-teman Aldino malah menyemangati. Namun, tak disadari siapa pun Kanania menatap tajam. Tangannya terkepal kuat.
"Cih! Kak Al kenapa seperti cemburu? Tidak boleh begini! Kak Al harus menjadi milikku!" jeritnya dalam hati.
Kanania dengan cepat memeluk lengan Kiria. "Kakak berhenti! Kumohon .... Ini semua memang salahku. Tadi aku merasa bosan setelah ke klinik. Kak Al hanya ingin menghiburku dan membawa ke sini," cerocosnya, lagi-lagi dengan mata berkaca-kaca.
Kiria menghela napas berat.
"Tapi tempat ini bukan hiburan yang baik! Lihatlah apa yang terjadi?"
"Maaf, Kak ...."
Kiria mendengkus kasar.
"Ya sudah! Kamu ikut pulang saja denganku!" tegasnya sembari menarik tangan Kanania.
Sayangnya, dua teman Aldino sudah berdiri menghadang di depan pintu.
"Oh tidak bisa pergi begitu saja, nona-nona."
Kiria mendelik tajam.
"Mau apa kalian?"
"Tentu saja permainan yang tadi harus diselesaikan. Nia belum menyelesaikan tantangannya. Berciuman dengan salah satu laki-laki di ruangan ini atau minum segelas wine."
"Kalau dia tidak mau?"
"Ya tidak boleh keluar dari sini."
Kiria kembali mendelik tajam. Auranya membuat teman-teman Aldino sedikit gentar. Namun, mereka kembali berpura-pura sangar. Toh, secara logika mana mungkin dua gadis bisa menghadapi lima pemuda. Terlebih, salah satu gadis tampak rapuh dan penyakitan macam Kanania.
Teman Aldino yang berkepala plontos tiba-tiba menyeringai saat menatap tubuh berisi Kiria, lalu menyeletuk, "Atau si kakak bisa menggantikan hukuman adiknya. Bagaimana, Kakak? Pilih mana, ciuman atau minum segelas wine?"
Pemuda berambut dicat abu-abu menyahut, "Jelas pilih ciumanlah, pacarnya ada di sini."
Aldino tertawa sinis. "Mana mau dia? Dia anti ciuman sebelum menikah."
"What's? Belum ciuman, Bro? Ya elah, satu-satunya yang menarik dari dia, kan, body-nya yang semok. Udah item, cupu, kalo bukan pakai body, kegocek apa sampai lo mau sama dia, Bro?" ejek si plontos.
Kiria menggemeletukkan gigi. Jemarinya terkepal kuat. Dia sudah kenyang dengan ejekan orang-orang yang selalu membandingkannya dengan Kanania. Sang adik memang berkulit kuning langsat dan berpenampilan modis meskipun sakit-sakitan. Beberapa bahkan menghina Kiria sebagai anak pungut karena orang tua mereka juga berkulit kuning langsat.
Sebenarnya, Kiria sudah kebal, juga tak ambil pusing. Namun, body shaming ditambah pelecehan tak bisa dimaafkan. Kiria menyingsingkan lengan kemejanya.
"Tidak akan ada yang akan menuruti permintaan gila kalian! Aku menghormati kalian karena teman Aldino. Sekarang, sepertinya tidak perlu lagi!"
Kiria memasang kuda-kuda. Sabuk hitam karate dan juga gelar sebagai juara bertahan olahraga cabang pencak silat tingkat provinsi selama masa SMA membuatnya yakin tak akan susah menghadapi lima pemuda kaya manja di bawah pengaruh alkohol.
"Wah, sok berani! Sepertinya, kami akan bersenang-senang malam ini," ejek si plontos.
"Cih!"
Kanania menjerit-jerit panik. Kiria mendelik, membuat sang adik langsung terdiam. Selanjutnya, dia menatap tajam para pemuda kaya manja itu. Pertarungan siap dimulai.
***
Kiria tersenyum puas. Usahanya tiga hari menginap di laboratorium tak sia-sia. Pekerjaan untuk beberapa ke depan sudah terselesaikan dengan baik. Suara kondensor untuk penyulingan minyak atsiri bahkan terdengar merdu di telinga. Sebelumnya, Kiria memang kesulitan mendapatkan minyak atsiri berkualitas tinggi. Entah bagaimana Perusahaan Keluarga Rahardja memonopoli sumber-sumber bahan baku terpercaya. "Mantap juga idemu, Yan. Kupikir akan menyebabkan biaya produksi membengkak jika memproduksi sendiri. Ternyata, dengan modifikasi yang kamu sarankan, hasilnya luar biasa," puji Kiria. Yanto menggaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ala boyband Korea yang tampak tersipu memang memesona. Sungguh disayangkan, pinggulnya bergoyang cantik merusak suasana, membuat Arlita susah payah menahan tawa, hampir saja menumpahkan garam asetat di tangannya. "Ehem, Lita," tegur Kiria. "Iya, Ketua, iya."Amira yang baru saja melakukan pengujian kadar menghampiri mereka. Wajahnya tampak sangat serius. Dia
Arya mendelik. Mata elangnya seketika menatap tajam pelaku penamparan. Amarahnya semakin tersulut saat melihat Kanania berdiri di sana. Sementara itu, Kanania mengepalkan tangannya yang terasa nyeri. Menampar pipi Arya ternyata cukup sakit. Namun, dia belum puas melampiaskan emosi, kembali mengangkat tangan. "Kamu! Beraninya kamu menyakiti kakakku! Mentang-mentang kami tidak ada hah!" Prernikahan Satya dan Viola memang diadakan secara tiba-tiba. Keluarga Kiria yang kebetulan harus pergi ke Malaysia untuk menemani nenek berobat tak bisa berhadir. Namun, saat insiden di pernikahan menjadi viral, mereka langsung kembali. "Awas kamu, Arya!"Tamparan berikutnya hampir mendarat lagi di pipi Arya. Beruntung, dia menangkap tangan Kanania dengan cepat. Kanania melotot dan menggemelutukkan gigi. "Lepas! Sial*n lepas! Arya, lepas!""Sepertinya, kamu menjadi tidak sopan, adik ipar.""Cih! Aku tidak sudi punya kakak ipar sepertimu!""Jangan lupa, Nia. Kakakmu sangat mencintaiku."Kanania mas
Kiria yang tengah menuntaskan panggilan alam mengerutkan kening. Teriakan panik Arya di luar kamar mandi terdengar samar-samar. Dia mencoba menajamkan pendengaran."Ria, kamu sudah janji tidak akan meninggalkanku. Kenapa malah menghilang begitu saja?"Kiria menepuk kening. Dia berdeham beberapa kali, bermaksud memberi tanda keberadaannya. Meskipun bukan sosok religius, Kiria ingat salah satu adab saat di WC adalah tidak berbicara.Namun, suara dehamannya tidak didengar Arya. Sang suami masih saja bermonolog di luar sana. Kiria mendengkus."Aku tidak hilang, Arya! Aku di WC!" seru Kiria kesal.Dia menghela napas lega saat keluhan Arya tak terdengar lagi. Namun, Kiria salah besar. Baru saja hendak fokus kembali buang air, pintu kamar mandi dibuka mendadak.Kiria ternganga. Arya merangsek masuk dengan wajah panik. Melihat Kiria yang tengah duduk di kloset, dia langsung memeluknya erat."Kukira kamu menghilang! Syukurlah, kamu tidak pergi ....""Aryaaa!!!" geram Kiria. "Keluar! Keluar san
Dua remaja tengah duduk di bangku kayu. Semilir angin yang berembus mempermainkan rambut keduanya. Remaja perempuan tiba-tiba mengeluarkan Kantong kain dari tas selempangnya."Tadaaa! Hadiah untuk Raka! Ini kubuat sendiri lho!" seru si gadis.Remaja laki-laki menerima kantong kain dan mengeluarkan isinya. Gelang manik-manik yang jauh dari kata estetik membuatnya menahan tawa. Gadis pujaan hatinya ini memang memiliki kecerdasan akademik yang tinggi, tetapi tidak berbakat dalam bidang seni."Raka! Ketawa aja! Ketawa aja sana!"Remaja laki-laki membenarkan letak kacamata tebalnya. "Malah unik kok. Lain dari yang lain, limiterd edition.""Cepat pakai!"Remaja laki-laki terkekeh. Dia melambat-lambatkan, seolah kesusahan memakai gelang. Tak sabaran, remaja perempuan merebut gelang dan memakaikannya dengan cepat, lalu menyeringai nakal."Kau tau, Raka? Gelang itu sudah kuberi mantra. Kamu memakainya maka kamu tidak akan bisa jatuh cinta pada orang lain. Kamu hanya akan mencintaiku selamanya,
Kiria dengan gesit berhasil menghindar. Namun, Arya juga refleks mencoba menghadang, menangkap tangan Viola. Tak ayal, gunting menusuk telapak tangannya. Aroma anyir menguar bersamaan dengan tetesan darah mengotori lantai marmer.Viola terbelalak. Dia seketika melepaskan gunting. Beruntung, Arya sempat menggeser kakinya sebelum tertusuk gunting yang jatuh."Kak Arya! Maaf! Aku tidak bermaksud menusukmu!" jerit Viola.Dia hendak meraih tangan Arya. Namun, lelaki itu menepisnya. Emosi Viola pun tersulut kembali."Ini semua salahmu!" serunya sambil menyerbu ke arah Kiria.Kiria menghela napas berat. Dia dengan cepat menangkap lengan Viola, memelintirnya. Satu pukulan di tengkuk membuat gadis dengan gangguan mental itu tak sadarkan diri."Berikan pengobatan untuk Nona Viola, lalu serahkan sisanya pada hukum, biarkan hukum bekerja," perintah Kiria saat para pengawal Arya mendekat.Para pengawal kebingungan. Mereka menatap Arya secara bersamaan. Arya menghela napas berat dan mengangguk pela
Viola begitu antusias sampai-sampai membuat petugas medis yang menanganinya sedikit takut. Namun, baru satu goresan kecil terukir di surat perceraian, Arya merebut berkas itu dan melemparnya ke lantai. Kiria tertegun. Tangannya bahkan masih menggenggam erat pulpen."Arya apa yang kau lakukan? Biarkan dia pergi dari keluarga kita!" bentak Baskoro."Membiarkan Kiria pergi dari keluarga kita dan memasukkan ular itu?" ketus Arya sambil menunjuk Viola. "Jangan mimpi, Opa!"Viola tercengang. Dia menatap Arya lekat, mencoba mencari di mana letak kesalahannya. Rencana yang disusun sudah sangat sempurna meskipun sedikit terkendala karena Kiria selamat dari kecelakaan.Namun, bukankah Viola tetap mampu menyingkirkannya dengan elegan? Arya bahkan sudah setuju menikah dengannya? Apa yang salah? "Arya, apa maksudmu menyebut Viola ular? Viola sudah tumbuh besar bersamamu dan Satya bertahun-tahun," sergah Rose.Arya menghela napas. Dia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. "Satya, keluarlah!