Suhu ruangan terasa turun. Senyap menyergap. Sorokan-sorokan penuh antusias raib, menyisakan suara musik di lantai satu yang samar terdengar dari celah pintu. Sementara itu, dua sosok yang tadi hampir berciuman seketika terpaku.
Waktu seolah terhenti beberapa saat sebelum Aldino dan Kanania saling melepas pelukan. Kanania lebih dulu bangkit dan menghambur ke arah Kiria. Matanya yang sayu berkaca-kaca. Biasanya, sang kakak akan sangat mudah luluh dengan sikap dramatisnya.
"Kak, ini tidak seperti yang Kakak pikirkan ... aku dan Kak Al hanya ....," isak Kanania sembari mengenggam erat tangan Kiria. Suaranya begitu sendu, juga beberapa kali terbatuk, sedikit menggoyahkan hati Kiria.
Kiria cepat mengepalkan jemari. Perbuatan adik dan kekasihnya benar-benar sudah keterlaluan. Tampang memelas tak boleh membuatnya lemah kali ini.
"Tidak seperti yang kupikirkan apa? Kalian hanya sedang bermain cium-ciuman begitu?"
Air mata Kanania meluncur membasahi pipi, membuat Kiria berpaling sejenak. Dia susah payah menahan rasa iba saat sang adik menggeleng lemah. Raut wajah teraniaya itu tampak seperti pasien kritis yang akan mati esok hari.
"Kami ... ah bukan teman-teman Kak Al memaksa memainkan game dare and truth. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan. Jadi, harus melakukan tantangan," jelas Kanania dengan terbata.
Game Dare and Truth? Siapa yang akan percaya jika mengingat tatapan dalam Kanania dan Aldino saat hendak berciuman tadi? Sayangnya, kasih sayang kepada adik semata wayang mengaburkan logika Kiria. Suara batuk-batuk dan wajah pucat Kanania semakin menekan akal, membuat hati lemah mendominasi.
Kiria juga teringat semasa kuliah. Dia pun pernah dipaksa mengikuti permainan sialan itu. Namun, teman kuliahnya tak seliar teman-teman Aldino. Dulu, Kiria hanya dihukum bernyanyi saat tak bisa menjawab pertanyaan. Hukuman itu pun cuma sebentar karena teman-temannya mengalami sakit telinga mendengar suara sumbang jauh dari nada yang benar.
"Kakak ... aku benar-benar adik yang jahat uhuk ... uhuk ... menyusahkan. Apa lebih baik aku mati saja ...."
"Kiria! Kamu jangan keterlaluan! Kami benar-benar dipaksa! Apa kau ingin adikmu benar-benar mati hah?!" sergah Aldino.
Plak!
Kiria refleks menampar Aldino membuat pemuda itu tercengang. Selama ini, Kiria memang tampak penurut dan tak banyak protes. Bahkan, ketika Aldino berkali-kali mengingkari janji kencan, Kiria selalu memaafkan. Aldino tak tahu, Kiria bukan memaafkan, malah senang karena merasa menghabiskan waktu dengan kencan hanya menganggu penelitiannya di laboratorium.
"Kamu lebih dewasa, Al! Harusnya bisa melindungi adikku! Katanya mau pergi menemani Nia berobat, kenapa malah datang ke tempat seperti ini, hah?"
Sebelumnya, Kanania merengek minta diantar periksa di klinik langganan karena merasa tak enak badan. Kiria kebingungan karena ada pekerjaan mendesak. Sementara orang tua mereka ke luar kota. Kiria sudah siap mendapat amarah bosnya karena menunda proyek. Namun, Aldino tiba-tiba menawarkan diri bagaikan penyelamat.
"Jawab, Al! Kenapa adikku bukan berobat di klinik malah di sini?"
Aldino meradang.
"Kamu sendiri kenapa bisa ada di sini? Bukannya katamu ada proyek penting?"
"Aku diminta datang oleh atasan!"
Kiria menyumpah dalam hati. Sibuk berdebat di ruangan itu, dia terlupa dengan Arya. Entah seperti apa nanti dia harus menghadapi amarah sang atasan. Sementara itu, Aldino sudah benar-benar tersulut emosi. Kata atasan dan klub malam tentu menimbulkan persepsi lain di pikirannya.
Aldino tertawa sinis. "Begitu rupanya, menuduhku berselingkuh nyatanya menjual diri pada atasan."
Plak!
Satu tamparan mendarat lagi di pipi Aldino, menyisakan bekas kemerahan.
"Kau pikir aku sekotor itu hah?"
"Lalu apa? Kau hanya ingin main kuda-kudaan dengan bosmu!"
"Aku hanya mengantarkan barang, bodoh!"
Kiria dan Aldino terus beradu mulut. Bukannya melerai, teman-teman Aldino malah menyemangati. Namun, tak disadari siapa pun Kanania menatap tajam. Tangannya terkepal kuat.
"Cih! Kak Al kenapa seperti cemburu? Tidak boleh begini! Kak Al harus menjadi milikku!" jeritnya dalam hati.
Kanania dengan cepat memeluk lengan Kiria. "Kakak berhenti! Kumohon .... Ini semua memang salahku. Tadi aku merasa bosan setelah ke klinik. Kak Al hanya ingin menghiburku dan membawa ke sini," cerocosnya, lagi-lagi dengan mata berkaca-kaca.
Kiria menghela napas berat.
"Tapi tempat ini bukan hiburan yang baik! Lihatlah apa yang terjadi?"
"Maaf, Kak ...."
Kiria mendengkus kasar.
"Ya sudah! Kamu ikut pulang saja denganku!" tegasnya sembari menarik tangan Kanania.
Sayangnya, dua teman Aldino sudah berdiri menghadang di depan pintu.
"Oh tidak bisa pergi begitu saja, nona-nona."
Kiria mendelik tajam.
"Mau apa kalian?"
"Tentu saja permainan yang tadi harus diselesaikan. Nia belum menyelesaikan tantangannya. Berciuman dengan salah satu laki-laki di ruangan ini atau minum segelas wine."
"Kalau dia tidak mau?"
"Ya tidak boleh keluar dari sini."
Kiria kembali mendelik tajam. Auranya membuat teman-teman Aldino sedikit gentar. Namun, mereka kembali berpura-pura sangar. Toh, secara logika mana mungkin dua gadis bisa menghadapi lima pemuda. Terlebih, salah satu gadis tampak rapuh dan penyakitan macam Kanania.
Teman Aldino yang berkepala plontos tiba-tiba menyeringai saat menatap tubuh berisi Kiria, lalu menyeletuk, "Atau si kakak bisa menggantikan hukuman adiknya. Bagaimana, Kakak? Pilih mana, ciuman atau minum segelas wine?"
Pemuda berambut dicat abu-abu menyahut, "Jelas pilih ciumanlah, pacarnya ada di sini."
Aldino tertawa sinis. "Mana mau dia? Dia anti ciuman sebelum menikah."
"What's? Belum ciuman, Bro? Ya elah, satu-satunya yang menarik dari dia, kan, body-nya yang semok. Udah item, cupu, kalo bukan pakai body, kegocek apa sampai lo mau sama dia, Bro?" ejek si plontos.
Kiria menggemeletukkan gigi. Jemarinya terkepal kuat. Dia sudah kenyang dengan ejekan orang-orang yang selalu membandingkannya dengan Kanania. Sang adik memang berkulit kuning langsat dan berpenampilan modis meskipun sakit-sakitan. Beberapa bahkan menghina Kiria sebagai anak pungut karena orang tua mereka juga berkulit kuning langsat.
Sebenarnya, Kiria sudah kebal, juga tak ambil pusing. Namun, body shaming ditambah pelecehan tak bisa dimaafkan. Kiria menyingsingkan lengan kemejanya.
"Tidak akan ada yang akan menuruti permintaan gila kalian! Aku menghormati kalian karena teman Aldino. Sekarang, sepertinya tidak perlu lagi!"
Kiria memasang kuda-kuda. Sabuk hitam karate dan juga gelar sebagai juara bertahan olahraga cabang pencak silat tingkat provinsi selama masa SMA membuatnya yakin tak akan susah menghadapi lima pemuda kaya manja di bawah pengaruh alkohol.
"Wah, sok berani! Sepertinya, kami akan bersenang-senang malam ini," ejek si plontos.
"Cih!"
Kanania menjerit-jerit panik. Kiria mendelik, membuat sang adik langsung terdiam. Selanjutnya, dia menatap tajam para pemuda kaya manja itu. Pertarungan siap dimulai.
***
Lima pria mengelilingi Kiria. Namun, gadis itu tampak tak gentar. Si plontos maju dengan gesit. Tinjuannya melesat cepat. Kiria hanya bergeser ke kiri beberapa langkah sembari menyeret Kanania bersamanya. Tinju si plontos malah mengenai wajah teman sendiri."Sial*n!""Kekuatan tanpa teknik yang baik hanya omong kosong," ejek Kiria."Awas kamu!"Si plontos kembali menyerbu. Kini, keempat temannya juga ikut serta. Kiria tak mau kalah, bergerak gesit menghindar sembari melakukan serangan telak pada titik vital. Sebenarnya, dia bisa mengalahkan lawan dengan lebih mudah. Namun, Kanania sebagai beban menghambat gerakannya.Akhirnya, Kiria memutuskan untuk mengamankan Kanania di sofa paling ujung. Dia kembali berjibaku dengan pertarungan. Dua pria sudah tergeletak tak berdaya. Tiga lainnya memang memiliki sedikit ilmu bela diri sehingga lebih menyusahkan.Brak!Pintu dibuka kasar dari luar. Pertarungan terhenti saat sepuluh pria bersetelan hitam masuk. Tanpa berkata-kata, mereka menghajar ha
Saat wajah Arya dan Kiria hanya berjarak beberapa senti, Arya kembali berbisik lembut, "Aku sangat merindukanmu, Ri-"Belum habis ucapan Arya, Kiria menggunakan sedikit celah untuk membalikkan posisi. Arya malah terkekeh dan menatapnya dengan sorot mata nakal. Kiria merinding dibuatnya. Kemudian, dia dengan paksa membuka mulut sang atasan dan meminumkan air mineral berisi obat penawar."Ughh ... Sial!" umpat Arya sembari memegangi kepalanya.Kiria menggunakan kesempatan itu untuk mendorong Arya. Setelah lolos dari pelukan sang atasan, dia langsung berdiri di dekat pintu. Namun, gadis itu malah mendengar obrolan para pengawal."Baru pertama kali Pak Arya tidak menolak wanita.""Benar juga, biasanya, meskipun diberi obat, tetap bisa mengusir para wanita yang mendekat.""Bukannya tadi juga begitu? Partner bisnis bawakan wanita, tapi diusir semua.""Apa Pak Arya menyukai Bu Kiria-"Deheman dan pelototan Kiria menghentikan obrolan para pengawal. Gadis itu sempat-sempatnya menceramahi merek
"Nia belum pulang, Nek?" ulang Kiria.Mira mendecih."Kalau sudah pulang, untuk apa aku menunggu di depan pintu? Dari tadi kutelepon, tidak menyambung."Kiria mendesah berat. Kepalanya mendadak terasa berdenyut. Pikiran buruk menghantui benaknya, terlebih mengingat kejadian di ruangan klub malam."Si Aldino sial*n ini, apa lagi maunya? Seharusnya, aku tidak bodoh memercayakan Nia!" desis Kiria tajam.Sayangnya, gerutuannya terdengar Mira. Sang nenek seketika memukul mulutnya dengan remot TV. Kiria menatap protes, tetapi Mira malah mengangkat tangan. Satu tamparan hampir saja mendarat di pipi Kiria. Beruntung, dia berhasil menghindar."Mulutmu itu seperti tidak sekolah saja! Jaga omonganmu! Bagaimana kalau Nak Aldino sampai tahu pacarnya sekasar ini? Kapan lagi keluarga ini punya kesempatan punya mantu sekaya Nak Al. Kenapa bukan Nia yang manis saja yang pacaran dengan Nak Al? Pasti lebih serasi."Kiria tak mengacuhkan omelan sang nenek. Dia lebih memilih menghubungi nomor Aldino. Lela
Pintu telah terbuka sempurna, menampilkan pertunjukkan memalukan di sofa.Tangisan histeris Riana seketika memenuhi udara. Agung merangsek masuk, menyeret Aldino dan menghajarnya. Mira bergegas mengejar, mencegah Agung bertindak lebih jauh."Agung, jangan kau pukul calon cucu menantuku!""Bu! Dia sudah melecehkan putriku!""Belum tentu, bisa saja mereka suka sama suka!"Agung dan Mira terus berdebat. Riana hanya bisa terduduk di lantai sambil terisak-isak. Kiria menghela napas berat. Dia menutup pintu dan menguncinya sebelum aib keluarga mereka menjadi konsumsi para penghuni apartemen lain.Kiria mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan melemparkannya kepada Kanania. Selanjutnya, dia mendekati Riana dan memeluk erat sang ibu. Sementara itu, Kanania yang mendapat lemparan pakaian pun tersadar. Gadis itu menangis histeris."Ayah, jangan pukul Kak Al! Ini bukan salah Kak Al!" jeritnya dengan air mata bercucuran.Tinju Agung menghantam tembok. Dia mengalihkan pandangan pada putri bu
"Ehem!""Kucing Pak RT kecebur got!" Kiria mendengkus. "Siapa, sih? Ganggu konsentrasi aja!" gerutunya sembari menoleh ke kanan.Kiria seketika menelan ludah. Sosok tinggi menjulang dengan wajah galak nan tampan itu menatapnya tajam. Kiria sempat melirik Arlita yang memandangnya iba."Ma-maaf, Pak. Saya tadi terlalu fokus melakukan docking, jadi kaget. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"Arya melirik layar komputer di hadapan Kiria. Keningnya sedikit berkedut. Pemuda itu kini berfokus pada rancangan senyawa di layar. Setiap gugus fungsi tak luput dari mata elangnya.Kiria seketika mengumpat dalam hati, "Sial! Sial! Kenapa bisa lupa mengganti layar? Waduh, bisa-bisa gawat kalau ketahuan merancang racun diam-diam! Tapi, tenang dulu, Pak Arya, kan orang bisnis, mana ngerti masalah ini."Kiria memang tengah melakukan docking, suatu teknologi merancang senyawa secara digital sebelum benar-benar disintesis. Dengan adanya docking, peneliti bisa menambahkan berbagai gugus fungsi pada senyawa dan
Kiria terus berlari meninggalkan laboratorium dan memasuki gedung V, di mana ruangan Arya berada. Begitu berada di dalam gedung V, gadis itu mengganti larinya dengan jalan cepat. Dia tentu tak ingin menabrak orang dan membuat masalah baru."Selamat pagi, Bu Kiria," sapa dua gadis cantik dari bagian pemasaran. Kiria hanya membalas dengan anggukan kecil. Dia kembali mempercepat langkah. Telinganya sempat mendengar obrolan sinis gadis-gadis tersebut yang menganggapnya sombong. Namun, Kiria tak punya waktu untuk baku hantam dan bergegas menuju lift."Sial!" umpat Kiria begitu melihat tulisan rusak di salah satu pintu lift.Sementara itu, antrian orang yang hendak menggunakan lift satunya sudah mengular. Kiria mengusap wajah. Dia tak punya pilihan selain menggunakan tangga menuju ruangan Arya."Pak Arya, kenapa ruangan Bapak harus di lantai 7? Lantai 7! Lantai 7!" keluh Kiria sepanjang perjalanan berlari di tangga.Ketika tenaga hampir habis, Kiria berhenti sejenak untuk menyeka keringat
"Maaf, Pak! seru Kiria sebelum menyundul dagu Arya.Tangan boleh terperangkap dalam genggaman sang atasan, tapi kepalanya masih bisa digunakan. Arya mengerang sambil memegangi dagu yang sedikit memar. Kiria mengusap kepala sambil berlari menuju pintu. Namun, berkali-kali dia menarik gagang pintu, kaca persegi itu tak jua mau bergerak."Mati aku! Pintunya terkunci." Kiria berbalik dan melihat Arya berjalan semakin dekat. "Sial! Terpaksa mengambil resiko. Semoga efek penawarnya juga berkebalikan."Kiria mengatur napas sebelum berlari ke arah Arya. Dia menggunakan sedikit teknik bela diri utnuk mengunci gerakan. Saat Arya terjatuh, kiria meminumkan paksa obat penawar. Arya mengerang beberapa saat sebelum tak sadarkan diri.Tiga puluh menit berlalu begitu saja. Arya terbaring lemah di sofa. Sementara Kiria memilih kursi di depan meja presiden direktur. Dia tentu tak ingin mengambil resiko."Ughh ... kepalaku," desis Arya lemah.Kiria bangkit dari kursi dan menghampiri. "Akhirnya, Bapak s
Kiria benar-benar tercengang. Dia hanya bisa mengepalkan tangan dan kehilangan kata-kata. Suaranya seolah tersangkut di tenggorokan. Adik lugu berubah menjadi rubah betina licik tentu menjadi tamparan keras baginya."Nia ... kenapa begini ...," lirih Kiria. Namun, dia tiba-tiba terdiam, lalu tergelak. "Aha! Kakak tau! Kamu cuma mau prank, 'kan? Hayo ngaku!" cecarnya.Kanania tersenyum sinis. Sorot matanya yang dingin menghentikan tawa Kiria seketika. Kiria merasakan aura dendam yang begitu kuat. Namun, dia tak mengerti kenapa perasaan seperti itu bisa ada pada adiknya."Nia ... kamu hanya bercanda, 'kan? Pasti hanya bercanda, 'kan?""Bercanda? Tidak, Kak. Aku serius.""Tapi, kenapa, Nia? Kenapa?"Kanania mendekat bibirnya ke telinga sang kakak dan berbisik, "Tentu saja karena aku benci kakakku yang selalu menjadi si nomor satu. Jadi, Kakak tidak boleh lebih baik dariku. Sebentar lagi, aku akan menjadi nyonya muda di Keluarga Mahendra sementara Kakak tetap menjadi perawan tua kaku ya
Tiara langung berlutut di lantai dan mengenggam tangan Kiria. "Kakak, kenapa? Kakak ...."Sementara itu, Kanania menggigiti ujung kuku. Dia hanya sedikit cemburu melihat kakaknya ditempeli Tiara. Kanania memberikan puding mangga itu agar kakaknya mengalami gatal-gatal saja. Tak pernah terpikirkan olehnya, Kiria akan mengalami gejala alergi parah."Minggir!" seru Arya seraya menjauhkan Tiara.Tiara hendak protes tetapi langsung terdiam saat ditatap tajam. Kemudian, Arya mengatur posisi Kiria agar lebih nyaman sebelum membongkar isi tas gadis itu. Sialnya, Arya tak bisa menemukan auto-injector epinefrin yang biasa dibawa Kiria. Dia pun segera menghubungi pengawal agar membawakan kotak P3K di mobilnya."Ria! Ria! Bertahanlah!"Namun, konidisi Kiria memburuk. Dadanya tampak naik turun. Kesulitan bernapas yang dialami gadis itu tampak semakin parah. Arya tak punya banyak pilihan, mengangkat sedikit tengkuk kiria, lalu mendekatkan bibirnya."Hei, apa yang kau lakukan pada Kakak! Dasar mesu
Kiria melihat meja dengan gelas bersusun di depan mata. Dia sempat-sempatnya menaruh piring di meja, lalu mencoba melakukan gerakan memutar. Namun, sepasang tangan kokoh mendadak melingkar di pinggangnya. Tak ayal, wajahnya terbenam di dada bidang."Ria, kamu baik-baik saja?" seru Arya panik.Suaranya terdengar begitu lembut sampai-sampai membuat Kiria refleks mendongak. Dua pasang mata bertemu. Di antara hangatnya napas yang menampar wajah, waktu seolah terhenti, menciptakan dimensi tersendiri."Gadis dari keluarga mana itu?""Aduh, aku iri sekali! Apa aku harus terpeleset juga biar ada momen romantis dengan tuan muda Keluarga Wijaya?""Jangan bodoh! Si Joy pernah nyoba, tapi malah malu karena jatuh sendiri."Bisik-bisik para gadis menyentak kesadaran Kiria. Dia cepat-cepat melepaskan pelukan Arya. Sang atasan mendecakkan lidah dan menatap para gadis penggosip dengan tatapan membunuh."Terima kasih, Pak Arya," tutur Kiria canggung."Ya, lain kali hati-hati. Banyak serigala di pesta s
"Berhenti!"Suara khas berwibawa menghentikan gerakan para petugas keamanan. Mereka dengan kompak berbalik, lalu membungkuk pada sosok yang tadi berbicara. Cantika merasa gusar segera menoleh bermaksud mengomel, tetapi seketika menelan ludah.Leo Rahardja sang pemilik acara tengah mendekat. Lelaki paruh baya itu terus berjalan, hingga berhenti di hadapan Kiria. Dia menepuk pelan bahu Kiria sembari menatap dengan sorot mata khawatir."Nak Kiria tidak apa-apa? Maaf kelancangan orang-orang saya," ucapnya penuh penyesalan. Dia mengalihkan pandangan pada para petugas keamanan. "Beraninya kalian hendak mengusir tamu kehormatan saya!""Maafkan kami, Pak. Nona Keluarga Mahendra mengatakan nona ini penyusup."Ketua tim keamanan cepat membela diri, membuat wajah Cantika memucat. Leo menatap sinis Cantika. Dia tentu tahu bagaimana sepak terjang gadis itu mencoba mendekati para putranya. Leo tak sudi memiliki menantu manja dan arogan sepertinya."Ya sudahlah. Lain kali pastikan dulu identitas tam
Langit bahkan belum sepenuhnya terang, ponsel Kiria sudah berdentang. Pesan singkat dari Sandi mengabarkan kedatangannya. Kiria menghela napas berat. Dia memasukkan ponsel ke tas, lalu bergegas keluar kamar."Lho, berangkat lebih pagi, Nak? Ibu belum selesai masak lho," tegur Riana saat Kiria melewati dapur.Kiria menghampiri sang ibu. Dia mencium punggung tangan wanita dengan sorot mata lembut itu. Kiria mencomot dua potong tempe goreng di meja."Ada urusan pekerjaan, Bu. Ini saja sudah ditelpon," sahutnya seraya mengunyah tempe."Bawa bekal dulu, ya."Kiria menggeleng. "Enggak akan sempat, Bu. Nanti aku beli aja." Dia mencium pipi kanan ibunya. "Aku pergi dulu."Riana mengangguk. Kiria pun bergegas keluar rumah. Dia harus berjalan 200 meter lagi. Kiria meminta agar Sandy parkir agak jauh karena tak ingin menimbulkan rasa iri adiknya lagi. Meskipun Kanania biasanya masih tidur, tapi dia tetap tidak mau mengambil resiko."Kenapa Pak Arya juga ikut?" celetuk Kiria tanpa sadar saat memb
Saat pintu benar-benar terbuka lebar, pemandangan dalam ruangan membuat mereka semua terpaku. Bagaimana tidak? Arya berbaring di sofa dengan Kiria tengah bersandar di dadanya dengan raut wajah kesakitan,"Astaghfirullah! Ketua!" jerit Yanto histeris dengan mata berkaca-kaca. Suara melengking pemuda itu seketika menyadarkan yang lain. Sekretaris Lusi meradang, hendak menyerbu masuk. Namun, Sekretaris Rehan menahannya dengan sigap. Sementara itu, Arlita seolah kehilangan tenaga dan terduduk lemas. "Walaupun ini dosa, tapi sebagai bawahan Bapak, saya akan membantu perjuangan cinta Pak Arya," tekad Sekretaris Rehan dalam hati dengan takzim.Dia memegang gagang pintu, bersiap menutupnya. Namun, sepatu kets terlempar dari dalam ruangan, mendarat mulus di dadanya. Kiria yang telah melempar sepatu, tampak melotot. "Jangan ditutup, Pak Rehan, tolong kami dulu!"Sekretaris Rehan malah melongo. Akibatnya, pegangan pada Sekretaris Lusi terlepas. Gadis itu pun berlari sekuat tenaga. Dia meraih
Arya refleks berdiri dengan napas menderu. Sekretaris Rehan membujuknya duduk kembali dengan susah payah. Sekretaris Lusi tersenyum licik, bersiap menambahkan sekam dalam api. Namun ...."Aduh, Ketua! Akhirnya, Yanto bisa ketemu ketua lagi, deh! Kangen banget tau!" seru si Yanto sambil memukul pelan bahu Kiria. "Waktu ketua enggak masuk, kita, tuh, kayak anak ayam kehilangan induk," keluhnya, lalu mengipasi wajah dengan kipas berenda yang entah datang darimana.Sekretaris Rehan seketika tak bisa menahan tawa. Arya tak jadi gusar, kembali duduk seraya diam-diam menghela napas lega. Sementara Sekretaris Lusi sudah merobek-robek tisu.Tawa Rehan mengalihkan perhatian Yanto. Dia berbalik dan langsung menutup mulut. Tak lama kemudian, jemari lentiknya mencubit Arlita dengan semena-semena."Yanti, sakit tau!"Yanto seketika merengut. "Yanti! Yanti! Nama aku Yanto, Lita. Ish! Emangnya aku cewek? Aku ini cowok tulen tau!" Dia mendadak menepuk kening. "Eh kelupaan! Aku tadi mau nanya, kenapa P
"Sa-saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya kira Bapak itu Yanto." Kiria seketika mundur, lalu membungkukkan badan dan meminta maaf berkali-kali. Sekretaris Lusi diam-diam mencibir, tetapi cepat mengubah raut wajahnya menjadi prihatin saat Sekretaris Rehan menoleh. Sementara Arlita sibuk mendoakan keselamatan ketua timnya dalam hati. Mereka semua tak menyadari sorot mata penuh dendam Arya. Tangan kokohnya terkepal kuat. Dia menghentikan Kiria yang tengah meminta maaf. "Jadi, kalau Yanto, Bu Kiria bisa mengendus-endusnya?" sindir Arya tajam. Namun, Kiria malah terbengong-bengong. Di laboratorium itu, mereka memang sering bercanda, saling mengejek bau masing-masing. Jadi, berlagak mengendus, lalu mengomentari bau itu biasa saja, yang tentunya menjadi tidak sopan saat dilakukan pada seorang presiden direktur. "Jadi, tidak apa-apa kalau mengendus Yanto?" ulang Arya dengan suara lebih dingin. Kiria seketika merinding meskipun masih tak mengerti di mana letak kesalahannya. Sekretaris L
Kiria terpaku untuk beberapa saat. Kalimat protes diungkapkannya dengan berapi-api hanya dalam hati. Setelah puas memaki atasan dalam hati, barulah dia menyungingkan senyuman bisnis. "Baik, Pak. Kami akan mengerjakannya dengan sebaik-baiknya." "Bagus, Bu Kiria memang karyawan teladan. Tidak seperti seseorang." Arya tiba-tiba mengalihkan pandangan pada Arlita. Gadis bertubuh mungil itu seketika gemetaran dan bersembunyi di belakang Kiria. Tak ayal, tatapan Arya kini tertumbuk pada sepasang mata indah Kiria. Lama keduanya beradu pandang, seolah menciptakan dimensi hanya untuk berdua. Sekretaris Lusi mengepalkan tangan, lalu berdeham. "Pak Arya, maaf menginterupsi. Rapat dengan dewan direksi akan diadakan 5 menit lagi, sebaiknya kita segera menuju ruang rapat." Arya melirik arloji di pergelangan tangan. "Bu Kiria, kami pergi dulu. Saya harap bisa mendapat laporan perkembangan terbaru setelah rapat." Kiria mengangguk kecil. "Baik, Pak." "Bu Lusi, Pak Rehan, ayo kita pergi." Arya b
Kiria menarik rambut sendiri, tetapi berhenti setelah dirasa sakit. Setelah itu, dia mulai mondar-mandir sambil menggigiti ujung kuku. Bayangan wajah kesal Arya melintas di benaknya. Kiria mendadak merasa sesak napas."Kiria, Kiria, kenapa kau tidak berhenti menimbulkan masalah?" keluhnya sambil memukul kepala sendiri, tetapi dia cepat menggeleng. "Tidak! Aku harus mencoba memperbaikinya!"Setelah mengumpulkan keberanian, Kiria memutuskan untuk menghubungi Arya kembali. Beberapa kali melakukan panggilan, tak ada jawaban. Kiria hampir saja menyerah, hingga suara khas kaku yang menyebalkan terdengar di panggilan ketujuh."Halo.""Ha-halo, Pak Arya. Maaf menganggu waktunya."Kiria mengatur napas sejenak, menenangkan jantungnya yang berdebar kencang seperti dikejar setan."Begini, Pak. Tadi malam saya ...."Kiria terdiam lagi. Dia memutar otak mencari kalimat paling tepat. Tak lama terdengar helaan napas berat, membuat suhu sekitar terasa turun beberapa derajat."Mati aku! Mati aku!""Apa