Lima pria mengelilingi Kiria. Namun, gadis itu tampak tak gentar. Si plontos maju dengan gesit. Tinjuannya melesat cepat. Kiria hanya bergeser ke kiri beberapa langkah sembari menyeret Kanania bersamanya. Tinju si plontos malah mengenai wajah teman sendiri.
"Sial*n!"
"Kekuatan tanpa teknik yang baik hanya omong kosong," ejek Kiria.
"Awas kamu!"
Si plontos kembali menyerbu. Kini, keempat temannya juga ikut serta. Kiria tak mau kalah, bergerak gesit menghindar sembari melakukan serangan telak pada titik vital. Sebenarnya, dia bisa mengalahkan lawan dengan lebih mudah. Namun, Kanania sebagai beban menghambat gerakannya.
Akhirnya, Kiria memutuskan untuk mengamankan Kanania di sofa paling ujung. Dia kembali berjibaku dengan pertarungan. Dua pria sudah tergeletak tak berdaya. Tiga lainnya memang memiliki sedikit ilmu bela diri sehingga lebih menyusahkan.
Brak!
Pintu dibuka kasar dari luar. Pertarungan terhenti saat sepuluh pria bersetelan hitam masuk. Tanpa berkata-kata, mereka menghajar habis-habisan para pengeroyok Kiria.
"Bu Kiria, maaf kami terlambat. Ayo kita cepat ke ruangan Pak Arya!"
Kiria belum sempat berpikir jernih. Para pengawal itu sudah menyeretnya menuju ruangan VVIP 1. Kiria berusaha meronta karena ingin membawa serta adiknya. Namun, pria-pria kekar tak menggubrisnnya. Akhirnya, kiria hanya bisa mengirimkan pesan peringatan pada Aldino agar membawa adiknya pulang dengan benar.
Mereka tiba di depan ruangan VVIP 1. Kiria mengeluarkan box khusus dari tas. Sementara itu, pimpinan pengawal membukakan pintu. Aroma khas seketika tercium. Kiria membelalak dan refleks menutup hidup.
Brak!
Kiria menendang pintu hingga tertutup kembali. Para pengawal menatapnya tajam.
"Pengharum ruangan itu juga mengandung obat perangs*ng! Minta pekerja di sini untuk mensterilkan ruangan dulu. Saya tidak mau masuk kalau masih belum hilang baunya," jelas Kiria.
Jika dia masuk bersama para pengawal tadi, entah hal seburuk apa yang bisa terjadi. Untunglah, sebagai peneliti terbaik PT. Farma Medikal, hidungnya sangat sensitif. Dia bahkan bisa membedakan berbagai reagen dengan mata tertutup.
Akhirnya, para pengawal menyeret manajer klub untuk melakukan pembersihan udara di ruangan. Manajer tampak menelan ludah berkali-kali. Kiria diam-diam mencibir. Jika hanya obat di minuman, partner bisnis nakal yang mencoba menjebak Arya. Namun, ruangan juga tercemar, berarti ada kongkalikong dengan pengelola klub.
"Ru-ru-angannya su-su-dah aman," ucap si manajer terbata.
Pengawal pun membiarkannya pergi. Pintu kembali dibuka. Setelah memastikan ruangan benar-benar aman, barulah Kiria masuk. Sayangnya, mereka sudah sangat terlambat.
Arya tergeletak di sofa dengan napas menderu. Kancing kemeja terbuka semua, membuat beberapa otot perut mengintip keluar. Rambutnya acak-acakan menutupi sebagian wajah tampan. Kiria refleks mengalihkan pandangan. Tampilan kacau dan cahaya remang-remang ruangan menambah kesan seksi sang atasan.
"Sial! Kalau sudah begini, mana bisa disuruh menelan obat! Harusnya aku membawa bentuk sedian cair!" umpat Kiria.
Obat yang dibawa Kiria memang berbentuk tablet. Dia mendecakkan lidah, lalu mengedarkan pandangan. Gadis itu akhirnya mengambil tisu dan menghancurkan tablet menggunakan gelas kaca. Setelah obat menjadi serbuk, Kiria memasukkannya ke botol air mineralnya yang tersisa seperempat.
"Maaf, Pak, pakai air bekas saya. Takutnya, minuman di ruangan ini mungkin juga sudah dikasih obat," gumam Kiria.
Selanjutya, Kiria mendekati Arya. Dia hampir tak bernapas. Suasana terasa mencekam. Salah-salah, Kiria bisa menjadi korban cinta semalam seperti di drama-drama pendek yang sering berseliweran di sosmed. Gadis itu seketika bergidik mengingat kehidupan mengerikan pemeran utama wanita yang dibenci pemeran utama pria.
Saat sudah berada tepat di depan Arya, Kiria bergumam pelan, "Maaf ya, Pak, ini saya akan sedikit memaksa meminumkan obatnya."
Mendengar suara Kiria, Arya yang tadinya hanya tersengal dan tampak tergolek lemah mendadak mendongak. Kira menelan ludah saat mata elang menatap lekat. Dia belum sempat bicara. Arya tiba-tiba mendorongnya hingga terbaring di sofa dan menahan kedua tangannya.
"Aduh, Pak, jangan, Pak!"
Arya menatap dalam, mengusap pipi Kiria dan berbisik, "Kenapa kamu tega sekali padaku? Kenapa kamu begitu kejam?"
Suara serak Arya yang terdengar lembut membuat Kiria melotot. Dia mendadak lupa sedang berada dalam kondisi mengkhawatirkan.
"Enggak salah nih, Pak? Yang tega siapa, yang dituduh siapa? Yang suka ngasih perintah enggak kira-kira itu, kan, Bapak?"
Arya tampak tak acuh dengan keluhan Kiria, malah mendadak mendekatkan wajahnya. Kiria kembali teringat posisi mereka seketika panik. Dia meneriaki para pengawal yang berjaga di depan pintu. Namun, tak ada satu pun yang bergerak.
"Hei, kalian kenapa diam saja! Tolongin saya dong!"
"Maaf, Bu Kiria, kami tak berani sembarangan menyentuh Pak Arya," sahut pimpinan pengawal yang mendekat sebentar, lalu pergi lagi.
Sementara itu, Arya terlihat gusar dan berseru, "Kenapa kamu memanggil pria lain?"
Kiria mendelik.
"Pria lain! Pria lain! Itu pengawal Bapak sendiri! Tolong lepaskan saya!"
Arya menyeringai.
"Aku tidak ingin melepaskanmu! Meski kamu melupakanku, malam ini, aku akan membuatmu menjadi milikku."
Bibir kemerahan itu semakin mendekat. Kiria memucat.
***
["Maaf, aku tidak bisa menemuimu hari ini. Aku mendadak harus ke Paris. Kita buat janji lagi lain kali."] Begitulah pesan dari Bram. Arya memilih tidak membalas. Dia mendengkus lalu memblokir nomor Bram dan menghapus semua pesan yang ada. Drrtt drrttPonsel Kiria kembali bergetar. Tulisan Bos Rese memanggil tertera di layar. Arya seketika mengerutkan kening. Makhluk mana lagi di perusahaan yang berani menganggu istrinya? "Halo," ketus Arya setelah menerima panggilan. "Arya, kenapa malah kamu yang kesal? Harusnya aku yang kesal. Kamu salah bawa hapeku!" omel suara familiar dari seberang sana. Arya seketika tersedak. Dia memang menukar ponsel dengan Kiria agar Bram tak terhubung langsung dengan sang istri. Namun, Arya tentu tak menyangka Kiria masih belum mengubah nama kontaknya dari sebelum menikah. "Iya, maaf, aku tadi salah bawa, tapi kenapa nama kontakku di hapemu Bos Rese?" protes Arya. "Dulu, kan, kamu memang rese, Arya," sahut Kiria tanpa rasa bersalah. "Tapi diubahlah, k
Wajah Arya seketika merah padam. Tangan kirinya mengepal kuat. Sementara tangan kanan mencengkeram ponsel Kiria, hampir saja memecahkan layarnya. Arya mengatur napas sejenak. Amarahnya perlahan mereda. Dia tahu sebesar apa cinta Kiria meskipun sang istri kadang terkesan cuek. Sebuah pengkhianatan terasa mustahil. "Apa mungkin Raka pakai nomor baru?" gumam Arya sambil mengelus dagu. "Tidak, gaya tulisannya berbeda, yang ini terkesan jadul."Arya merenung sejenak. Dia melirik pintu kamar mandi. Kiria masih belum keluar dari sana. Sementara orang tua dan adiknya sudah tak lagi berdebat, hanya mengobrol santai. Arya menatap tajam lagi dua pesan masuk di layar ponsel. Dia mendengkus kasar. Setelah mendinginkan pikiran, Arya memutuskan membalas pesan. ["Maaf, ini dengan siapa?"]Pesan baru kembali masuk. ["Ini Bram."]Arya mengerutkan kening. Dia mencoba mengingat-ingat nama tersebut. Namun, tak ada satu pun kenalan mereka bernama Bram. Arya tersentak saat pesan dari Bram kembali masuk
"Opa, aku tidak menyangka seseorang secerdas Opa percaya dengan tahayul murahan seperti itu," sindir Arya. "Arya! Kamu masih bisa bersikap santai setelah apa yang terjadi pada mamamu? Kamu dibutakan wanita ini!" bentak Baskoro sambil menunjuk-nunjuk wajah Kiria. Arya lagi-lagi menghela napas berat. Dia sengaja berdiri di depan Kiria. Sikap tegasnya menunjukkan pada sang kakek dan dua orang licik itu bahwa melindungi sang istri adalah prioritasnya. Arya bahkan rela melepaskan semuanya termasuk status sebagai penerus Keluarga Wijaya demi Kiria. "Arya! Kamu benar-benar menjadi budak cinta yang tol–""Aku bukan bucin tolol, Opa!" potong Arya. "Kejadian yang menimpa Mama sudah kuselidiki dengan jelas. Kecelakaan itu disengaja. Aku sudah menangkap supir yang mencoba menabrak Mama. Dia mengaku dibayar seseorang."Abimana seketika mengepalkan tangan. Tatapannya begitu tajam, seolah bisa membunuh seseorang. Suasana pun berubah mencekam. Sosok tenang dan bijak sepertinya terbakar amarah tent
Arya menatap tajam Kiria. “Jangan-jangan kamu makan pedas lagi, ya? Sudah tahu ada mag kenapa masih bandel?” omelnya.“Aish! Siapa yang makan pedas? Sudah seminggu ini aku tidak makan pedas,” gerutu Kiria.Arya menatap penuh selidik. Tampaknya, dia masih belum percaya. Kiria memang pernah mencuri-curi kesempatan memakan hidangan pedas dan harus menderita berhari-hari akibat penyakit mag yang kambuh.“Hei, aku bicara jujur.”“Benarkah? Lalu kenapa tiba-tiba mual-mual?”Kiria terdiam sejenak. Dia benar-benar tidak memakan makanan pedas. Pekerjaan di laboraorium juga sudah tidak terlalu ketat dan mengharuskan bergadang. Jadi, Kiria jelas juga bukan masuk angin.“Hmm kenapa ya? Mag kambuh bukan, masuk angin juga bukan.” Kiria tak sengaja melihat kalender di nakas. “Kalau dipikir-pikir, yang terakhir sudah dua bulan lalu. Jangan-jangan aku ....”Kiria seketika bangkit dari kasur. Dia menarik laci nakas dan mengeluarkan kantong plastik hitam. Arya hanya bisa terbengong-bengong saat sang ist
Bram membuka mata perlahan. Dia mengerutkan kening. Sebelumnya, Bram masih berada di apartemen. Namun, pria itu kini berada di padang rumput menghijau. Dia mencoba mengedarkan pandangan, hingga sosok wanita yang dicintainya tertangkap pandangan.Wanita itu tengah duduk di tikar piknik. Aneka makanan terhidang di hadapannya. Saat Bram bertemu pandang, dia tersenyum dan menatap penuh cinta, membuat jantung bertalu. Namun, Bram masih termangu, belum bisa memercayai penglihatannya.“Apakah ini mimpi?” gumam Bram."Papa! Papa! Kenapa diam? Ayo kejar aku, Papa!" Suara riang anak kecil membuyarkan lamunan Bram. Dia mengalihkan pandangan. Gadis kecil berkucir kuda tampak cemberut di antara tangai bunga matahari. Bocah yang berwajah mirip dengan wanita yang dicintainya itu melambaikan tangan dengan tak sabaran."Papa! Papa! Ayo!" desak si gadis kecil.Bram tak lagi peduli jika yang dilihatnya mimpi atau bukan. Dia hanya ingin menikmati ini selama mungkin, keluarga kecilnya yang bahagia. Bram
Bram memijat kening yang berdenyut hebat. Rasa panas terasa membakar tubuh. Berkali-kali Bram mengumpat pada aktris lawan mainnya di film terbaru.Wanita itu sudah lama menaruh hati pada Bram. Sebenarnya, aktris-aktris lain juga memendam rasa. Namun mereka tak cukup nekat memaksa naik ke tempat tidur Bram dengan jebakan obat. “Pak Bram, beristirahatlah dulu di sini. Saya akan mencarikan obat penawar dulu,” tutur asistennya sembari membantu Bram berbaring di tempat tidur kamar hotel dengan hati-hati.Waktu sudah cukup lama berlalu, asistennya tak jua kembali. Bram menggeram, mencengkeram sprei. Rasanya dia akan mati dalam beberapa menit lagi. Ketika terdengar suara pintu dibuka, Bram refleks berdiri. Dia sedikit oleng. Namun, tetap melangkah cepat ke arah pintu.Suara pintu yang ditutup terdengar. Satu sosok melangkah dengan sempoyongan ke arah Bram. Mereka bertabrakan, sehingga sosok itu jatuh ke pelukan Bram.“Tolong, aku haus sekali,” keluh sosok yang ternyata seorang gadis muda d