Dering ponsel membuyarkan konsentrasi Kiria yang tengah mengamati perubahan warna di tabung reaksi. Meskipun malas, dia tetap mengeluarkan ponsel dari saku jas laboratorium. Tulisan "Presdir Arya" di layar membuatnya seketika menghela napas berat.
"Ck! Sejak si galak ini yang menjadi presdir, aku sudah seperti budak," keluhnya. Sudah setahun berlalu sejak presiden direktur di perusahaan farmasi tempatnya bekerja mengalami pergantian. Sebelumnya, PT. Farma Medikal dipimpin oleh Abimana Shaka Wijaya. Namun, dengan alasan kesehatan, lelaki bersahaja yang selalu memperlakukan Kiria seperti anak emas itu telah digantikan putranya, Arya Caraka Wijaya. Meskipun baru menginjak kepala tiga, Arya sangat berdedikasi. Perusahaan berkembang dengan pesat. Sayangnya, tekanan kerja yang diciptakannya juga besar, terutama pada divisi pengembangan formula obat yang dipimpin oleh Kiria. Untunglah, Kiria memang berbakat dan berhasil menelurkan banyak formula yang membanggakan. "Entah apa lagi maunya si galak ini!" Kiria mendengkus kasar dan masih enggan menerima panggilan. Namun, rupanya sang atasan juga tak menyerah. Dering ponsel hanya berhenti beberapa saat untuk kemudian menjerit-jerit lagi. Kiria hampir saja melempar ponsel sialan itu ke waterbath. Namun, Arlita, asistennya segera mencegah. "Sabar, Ketua, sabar. Meskipun orangnya nyebelin, bonus dari beliau, kan, juga banyak," hibur Arlita. Gadis bertubuh mungil menepuk pelan pundak Kiria, lalu menuangkan cairan bening di gelas beker ke labu ukur. Aroma dari gelas beker seketika membuat Kiria mendelik. "Hei, hati-hati, Lita! Kamu, kan, lagi pegang asam sulfat!" Arlita menyengir lebar. "Maaf, Ketua, maaf." Kiria menggeleng pelan. "Ya, sudahlah. Aku minta tolong sekalian amati perubahan warna di tabung no 51, ya, Lit. Kujawab dulu panggilan Pak Bos." Setelah mendapat anggukan dari Arlita, Kiria segera keluar dari ruangan. Dia mengatur napas sejenak terlebih dahulu sebelum menerima panggilan. Amarah yang tengah bergejolak ditahan sekuat mungkin agar suara yang terdengar tidak terkesan penuh emosi. "Halo, selamat malam, Pak Arya. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Terdengar suara serak dan berat. "Cepat ke klub Dream Night, ruang VVIP 1, bawakan aku penawar afrodisiaka terbaik!" Tuuut Ponsel diputus begitu saja. Kiria mendengkus kasar. Beginilah kebiasaan si pimpinan baru. Meskipun sering memberikan bonus, Arya juga suka memberikan pekerjaan di luar nalar. Klub malam? Dalam mimpi pun, Kiria tak ingin datang ke tempat seperti itu. Terlebih, si bos meminta penawar afrodisiaka. Berarti, Arya memang tengah dijebak orang dengan obat perangs*ng. Bukankah berbahaya bagi seorang wanita mendatanginya? "Bukankah Bapak bisa minta utus orang untuk mengambil obat dariku? Kenapa harus menganggu penelitian penting? Sialan! Sialan! Dasar bos diktator!" Kiria tak berhenti menggerutu bahkan saat masuk kembali ke laboratorium dan menyiapkan penawar afrodisiaka. Arlita yang tengah mencatat perubahan warna tabung reaksi mendekat dengan wajah kepo. Kiria mendelik tajam pertanda tak ingin ditanya-tanya. Namun, Arlita sudah terlanjur melihat obat yang dimasukkan ke box khusus. "Pak Arya dijebak lagi? Kasian banget, ya ...." "Lebih kasian aku yang disuruh-suruh menjadi kurirnya, Lita." "Menurutku, itu tanda Pak Arya sangat percaya pada Ketua." Kiria mengibaskan tangan. Dia segera bergegas meninggalkan laboratorium. Namun, baru saja menuju halaman depan perusahaan dan hendak memesan taksi, porsche hitam dengan nomor seri khusus telah berhenti di depanya. Seorang pria dengan setelan serba hitam keluar. "Silakan naik, Bu Kiria. Sesuai perintah Pak Arya, kami akan mengantar Anda," tuturnya sembari membukakan pintu. Dengan perasaan gelisah, Kiria memasuki mobil. Tak lama kemudian, dia terus menyumpah dalam hati. Pengawal Arya menyetir dengan kecepatan di luar nalar. *** Kiria merasa merinding saat memasuki klub malam. Terlebih, beberapa pria menatap liar pada tubuh berisinya. Musik menghentak dan aroma parfum, keringat, juga alkohol yang bercampur membuat kepalanya terasa sakit. "Aroma laboratoriumku lebih baik daripada ini. Gara-gara bos galak," gerutu Kiria dengan suara sangat pelan. Dia tentu tak mau para pengawal kekar itu mendengarnya. Tak ingin pingsan di sana, Kiria mempercepat langkah menuju ruangan VVIP bersama para pengawal. Kiria hanya berharap segera menyelesaikan tugas dan kembali ke laboratorium. Sialnya, terjadi keributan kecil di tengah arena tari klub. Beberapa pengunjung saling dorong. "Dasar sialan!" "Berengs*k, siapa yang berani memukulku!" "Anj*ng!" "Mony*t!" Bruk! Seorang pria kekar menubruk punggung Kiria. Gadis itu seketika terjerembab, lalu terguling-guling membuat beberapa orang juga ikut jatuh. Sepasang kaki penuh timbunan lemak terangkat. Kiria berguling lagi ke arah jam 12 tepat sebelum wajahnya tertimpa kaki tersebut. Setelah berjibaku menghindari aneka bentuk kaki, Kiria berhasil selamat. Dia bisa berdiri dan pergi ke tempat aman. Namun, kelegaannya tak berlangsung lama. "Sh*t! Ke mana para pengawal itu?" Kiria mendengkus. Karena tak ingin berlama-lama, dia terpaksa bertanya ruangan yang dimaksud Arya kepada salah seorang pekerja di sana. Tatapan mata pemuda pekerja itu sedikit aneh. Kiria benar-benar ingin meledak. Dia bisa menebak pikiran liar orang lain tentang wanita yang mendatangi ruangan VVIP. "Mbaknya naik ke lantai dua. Lurus saja ruang VVIP 1 ada di paling ujung." "Terima kasih, Pak." Kiria segera pergi ke lantai dua. Dia terus berjalan cepat sambil mengenggam tali tas. Namun, suara familiar dari salah satu ruangan yang sedikit terbuka membuat langkahnya seketika terhenti. "Cium! Cium! Cium!" "Tapi, ini seperti tidak benar. Mana mungkin aku dan Kak Al ...." Kiria menajamkan pendengaran. Dia tak mungkin salah. Dengan hati berdebar, Kiria membuka pintu dengan kasar. "Aldino? Nia? Apa yang kalian lakukan?" seru Kiria saat melihat kekasihnya, Aldino hendak mencium Kanania, adik kesayangnya. ***Suhu ruangan terasa turun. Senyap menyergap. Sorokan-sorokan penuh antusias raib, menyisakan suara musik di lantai satu yang samar terdengar dari celah pintu. Sementara itu, dua sosok yang tadi hampir berciuman seketika terpaku.Waktu seolah terhenti beberapa saat sebelum Aldino dan Kanania saling melepas pelukan. Kanania lebih dulu bangkit dan menghambur ke arah Kiria. Matanya yang sayu berkaca-kaca. Biasanya, sang kakak akan sangat mudah luluh dengan sikap dramatisnya."Kak, ini tidak seperti yang Kakak pikirkan ... aku dan Kak Al hanya ....," isak Kanania sembari mengenggam erat tangan Kiria. Suaranya begitu sendu, juga beberapa kali terbatuk, sedikit menggoyahkan hati Kiria.Kiria cepat mengepalkan jemari. Perbuatan adik dan kekasihnya benar-benar sudah keterlaluan. Tampang memelas tak boleh membuatnya lemah kali ini."Tidak seperti yang kupikirkan apa? Kalian hanya sedang bermain cium-ciuman begitu?"Air mata Kanania meluncur membasahi pipi, membuat Kiria berpaling sejenak. Dia s
Lima pria mengelilingi Kiria. Namun, gadis itu tampak tak gentar. Si plontos maju dengan gesit. Tinjuannya melesat cepat. Kiria hanya bergeser ke kiri beberapa langkah sembari menyeret Kanania bersamanya. Tinju si plontos malah mengenai wajah teman sendiri."Sial*n!""Kekuatan tanpa teknik yang baik hanya omong kosong," ejek Kiria."Awas kamu!"Si plontos kembali menyerbu. Kini, keempat temannya juga ikut serta. Kiria tak mau kalah, bergerak gesit menghindar sembari melakukan serangan telak pada titik vital. Sebenarnya, dia bisa mengalahkan lawan dengan lebih mudah. Namun, Kanania sebagai beban menghambat gerakannya.Akhirnya, Kiria memutuskan untuk mengamankan Kanania di sofa paling ujung. Dia kembali berjibaku dengan pertarungan. Dua pria sudah tergeletak tak berdaya. Tiga lainnya memang memiliki sedikit ilmu bela diri sehingga lebih menyusahkan.Brak!Pintu dibuka kasar dari luar. Pertarungan terhenti saat sepuluh pria bersetelan hitam masuk. Tanpa berkata-kata, mereka menghajar ha
Saat wajah Arya dan Kiria hanya berjarak beberapa senti, Arya kembali berbisik lembut, "Aku sangat merindukanmu, Ri-"Belum habis ucapan Arya, Kiria menggunakan sedikit celah untuk membalikkan posisi. Arya malah terkekeh dan menatapnya dengan sorot mata nakal. Kiria merinding dibuatnya. Kemudian, dia dengan paksa membuka mulut sang atasan dan meminumkan air mineral berisi obat penawar."Ughh ... Sial!" umpat Arya sembari memegangi kepalanya.Kiria menggunakan kesempatan itu untuk mendorong Arya. Setelah lolos dari pelukan sang atasan, dia langsung berdiri di dekat pintu. Namun, gadis itu malah mendengar obrolan para pengawal."Baru pertama kali Pak Arya tidak menolak wanita.""Benar juga, biasanya, meskipun diberi obat, tetap bisa mengusir para wanita yang mendekat.""Bukannya tadi juga begitu? Partner bisnis bawakan wanita, tapi diusir semua.""Apa Pak Arya menyukai Bu Kiria-"Deheman dan pelototan Kiria menghentikan obrolan para pengawal. Gadis itu sempat-sempatnya menceramahi merek
"Nia belum pulang, Nek?" ulang Kiria.Mira mendecih."Kalau sudah pulang, untuk apa aku menunggu di depan pintu? Dari tadi kutelepon, tidak menyambung."Kiria mendesah berat. Kepalanya mendadak terasa berdenyut. Pikiran buruk menghantui benaknya, terlebih mengingat kejadian di ruangan klub malam."Si Aldino sial*n ini, apa lagi maunya? Seharusnya, aku tidak bodoh memercayakan Nia!" desis Kiria tajam.Sayangnya, gerutuannya terdengar Mira. Sang nenek seketika memukul mulutnya dengan remot TV. Kiria menatap protes, tetapi Mira malah mengangkat tangan. Satu tamparan hampir saja mendarat di pipi Kiria. Beruntung, dia berhasil menghindar."Mulutmu itu seperti tidak sekolah saja! Jaga omonganmu! Bagaimana kalau Nak Aldino sampai tahu pacarnya sekasar ini? Kapan lagi keluarga ini punya kesempatan punya mantu sekaya Nak Al. Kenapa bukan Nia yang manis saja yang pacaran dengan Nak Al? Pasti lebih serasi."Kiria tak mengacuhkan omelan sang nenek. Dia lebih memilih menghubungi nomor Aldino. Lela
Pintu telah terbuka sempurna, menampilkan pertunjukkan memalukan di sofa.Tangisan histeris Riana seketika memenuhi udara. Agung merangsek masuk, menyeret Aldino dan menghajarnya. Mira bergegas mengejar, mencegah Agung bertindak lebih jauh."Agung, jangan kau pukul calon cucu menantuku!""Bu! Dia sudah melecehkan putriku!""Belum tentu, bisa saja mereka suka sama suka!"Agung dan Mira terus berdebat. Riana hanya bisa terduduk di lantai sambil terisak-isak. Kiria menghela napas berat. Dia menutup pintu dan menguncinya sebelum aib keluarga mereka menjadi konsumsi para penghuni apartemen lain.Kiria mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan melemparkannya kepada Kanania. Selanjutnya, dia mendekati Riana dan memeluk erat sang ibu. Sementara itu, Kanania yang mendapat lemparan pakaian pun tersadar. Gadis itu menangis histeris."Ayah, jangan pukul Kak Al! Ini bukan salah Kak Al!" jeritnya dengan air mata bercucuran.Tinju Agung menghantam tembok. Dia mengalihkan pandangan pada putri bu
"Ehem!""Kucing Pak RT kecebur got!" Kiria mendengkus. "Siapa, sih? Ganggu konsentrasi aja!" gerutunya sembari menoleh ke kanan.Kiria seketika menelan ludah. Sosok tinggi menjulang dengan wajah galak nan tampan itu menatapnya tajam. Kiria sempat melirik Arlita yang memandangnya iba."Ma-maaf, Pak. Saya tadi terlalu fokus melakukan docking, jadi kaget. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"Arya melirik layar komputer di hadapan Kiria. Keningnya sedikit berkedut. Pemuda itu kini berfokus pada rancangan senyawa di layar. Setiap gugus fungsi tak luput dari mata elangnya.Kiria seketika mengumpat dalam hati, "Sial! Sial! Kenapa bisa lupa mengganti layar? Waduh, bisa-bisa gawat kalau ketahuan merancang racun diam-diam! Tapi, tenang dulu, Pak Arya, kan orang bisnis, mana ngerti masalah ini."Kiria memang tengah melakukan docking, suatu teknologi merancang senyawa secara digital sebelum benar-benar disintesis. Dengan adanya docking, peneliti bisa menambahkan berbagai gugus fungsi pada senyawa dan
Kiria terus berlari meninggalkan laboratorium dan memasuki gedung V, di mana ruangan Arya berada. Begitu berada di dalam gedung V, gadis itu mengganti larinya dengan jalan cepat. Dia tentu tak ingin menabrak orang dan membuat masalah baru."Selamat pagi, Bu Kiria," sapa dua gadis cantik dari bagian pemasaran. Kiria hanya membalas dengan anggukan kecil. Dia kembali mempercepat langkah. Telinganya sempat mendengar obrolan sinis gadis-gadis tersebut yang menganggapnya sombong. Namun, Kiria tak punya waktu untuk baku hantam dan bergegas menuju lift."Sial!" umpat Kiria begitu melihat tulisan rusak di salah satu pintu lift.Sementara itu, antrian orang yang hendak menggunakan lift satunya sudah mengular. Kiria mengusap wajah. Dia tak punya pilihan selain menggunakan tangga menuju ruangan Arya."Pak Arya, kenapa ruangan Bapak harus di lantai 7? Lantai 7! Lantai 7!" keluh Kiria sepanjang perjalanan berlari di tangga.Ketika tenaga hampir habis, Kiria berhenti sejenak untuk menyeka keringat
"Maaf, Pak! seru Kiria sebelum menyundul dagu Arya.Tangan boleh terperangkap dalam genggaman sang atasan, tapi kepalanya masih bisa digunakan. Arya mengerang sambil memegangi dagu yang sedikit memar. Kiria mengusap kepala sambil berlari menuju pintu. Namun, berkali-kali dia menarik gagang pintu, kaca persegi itu tak jua mau bergerak."Mati aku! Pintunya terkunci." Kiria berbalik dan melihat Arya berjalan semakin dekat. "Sial! Terpaksa mengambil resiko. Semoga efek penawarnya juga berkebalikan."Kiria mengatur napas sebelum berlari ke arah Arya. Dia menggunakan sedikit teknik bela diri utnuk mengunci gerakan. Saat Arya terjatuh, kiria meminumkan paksa obat penawar. Arya mengerang beberapa saat sebelum tak sadarkan diri.Tiga puluh menit berlalu begitu saja. Arya terbaring lemah di sofa. Sementara Kiria memilih kursi di depan meja presiden direktur. Dia tentu tak ingin mengambil resiko."Ughh ... kepalaku," desis Arya lemah.Kiria bangkit dari kursi dan menghampiri. "Akhirnya, Bapak s
Tiara langung berlutut di lantai dan mengenggam tangan Kiria. "Kakak, kenapa? Kakak ...."Sementara itu, Kanania menggigiti ujung kuku. Dia hanya sedikit cemburu melihat kakaknya ditempeli Tiara. Kanania memberikan puding mangga itu agar kakaknya mengalami gatal-gatal saja. Tak pernah terpikirkan olehnya, Kiria akan mengalami gejala alergi parah."Minggir!" seru Arya seraya menjauhkan Tiara.Tiara hendak protes tetapi langsung terdiam saat ditatap tajam. Kemudian, Arya mengatur posisi Kiria agar lebih nyaman sebelum membongkar isi tas gadis itu. Sialnya, Arya tak bisa menemukan auto-injector epinefrin yang biasa dibawa Kiria. Dia pun segera menghubungi pengawal agar membawakan kotak P3K di mobilnya."Ria! Ria! Bertahanlah!"Namun, konidisi Kiria memburuk. Dadanya tampak naik turun. Kesulitan bernapas yang dialami gadis itu tampak semakin parah. Arya tak punya banyak pilihan, mengangkat sedikit tengkuk kiria, lalu mendekatkan bibirnya."Hei, apa yang kau lakukan pada Kakak! Dasar mesu
Kiria melihat meja dengan gelas bersusun di depan mata. Dia sempat-sempatnya menaruh piring di meja, lalu mencoba melakukan gerakan memutar. Namun, sepasang tangan kokoh mendadak melingkar di pinggangnya. Tak ayal, wajahnya terbenam di dada bidang."Ria, kamu baik-baik saja?" seru Arya panik.Suaranya terdengar begitu lembut sampai-sampai membuat Kiria refleks mendongak. Dua pasang mata bertemu. Di antara hangatnya napas yang menampar wajah, waktu seolah terhenti, menciptakan dimensi tersendiri."Gadis dari keluarga mana itu?""Aduh, aku iri sekali! Apa aku harus terpeleset juga biar ada momen romantis dengan tuan muda Keluarga Wijaya?""Jangan bodoh! Si Joy pernah nyoba, tapi malah malu karena jatuh sendiri."Bisik-bisik para gadis menyentak kesadaran Kiria. Dia cepat-cepat melepaskan pelukan Arya. Sang atasan mendecakkan lidah dan menatap para gadis penggosip dengan tatapan membunuh."Terima kasih, Pak Arya," tutur Kiria canggung."Ya, lain kali hati-hati. Banyak serigala di pesta s
"Berhenti!"Suara khas berwibawa menghentikan gerakan para petugas keamanan. Mereka dengan kompak berbalik, lalu membungkuk pada sosok yang tadi berbicara. Cantika merasa gusar segera menoleh bermaksud mengomel, tetapi seketika menelan ludah.Leo Rahardja sang pemilik acara tengah mendekat. Lelaki paruh baya itu terus berjalan, hingga berhenti di hadapan Kiria. Dia menepuk pelan bahu Kiria sembari menatap dengan sorot mata khawatir."Nak Kiria tidak apa-apa? Maaf kelancangan orang-orang saya," ucapnya penuh penyesalan. Dia mengalihkan pandangan pada para petugas keamanan. "Beraninya kalian hendak mengusir tamu kehormatan saya!""Maafkan kami, Pak. Nona Keluarga Mahendra mengatakan nona ini penyusup."Ketua tim keamanan cepat membela diri, membuat wajah Cantika memucat. Leo menatap sinis Cantika. Dia tentu tahu bagaimana sepak terjang gadis itu mencoba mendekati para putranya. Leo tak sudi memiliki menantu manja dan arogan sepertinya."Ya sudahlah. Lain kali pastikan dulu identitas tam
Langit bahkan belum sepenuhnya terang, ponsel Kiria sudah berdentang. Pesan singkat dari Sandi mengabarkan kedatangannya. Kiria menghela napas berat. Dia memasukkan ponsel ke tas, lalu bergegas keluar kamar."Lho, berangkat lebih pagi, Nak? Ibu belum selesai masak lho," tegur Riana saat Kiria melewati dapur.Kiria menghampiri sang ibu. Dia mencium punggung tangan wanita dengan sorot mata lembut itu. Kiria mencomot dua potong tempe goreng di meja."Ada urusan pekerjaan, Bu. Ini saja sudah ditelpon," sahutnya seraya mengunyah tempe."Bawa bekal dulu, ya."Kiria menggeleng. "Enggak akan sempat, Bu. Nanti aku beli aja." Dia mencium pipi kanan ibunya. "Aku pergi dulu."Riana mengangguk. Kiria pun bergegas keluar rumah. Dia harus berjalan 200 meter lagi. Kiria meminta agar Sandy parkir agak jauh karena tak ingin menimbulkan rasa iri adiknya lagi. Meskipun Kanania biasanya masih tidur, tapi dia tetap tidak mau mengambil resiko."Kenapa Pak Arya juga ikut?" celetuk Kiria tanpa sadar saat memb
Saat pintu benar-benar terbuka lebar, pemandangan dalam ruangan membuat mereka semua terpaku. Bagaimana tidak? Arya berbaring di sofa dengan Kiria tengah bersandar di dadanya dengan raut wajah kesakitan,"Astaghfirullah! Ketua!" jerit Yanto histeris dengan mata berkaca-kaca. Suara melengking pemuda itu seketika menyadarkan yang lain. Sekretaris Lusi meradang, hendak menyerbu masuk. Namun, Sekretaris Rehan menahannya dengan sigap. Sementara itu, Arlita seolah kehilangan tenaga dan terduduk lemas. "Walaupun ini dosa, tapi sebagai bawahan Bapak, saya akan membantu perjuangan cinta Pak Arya," tekad Sekretaris Rehan dalam hati dengan takzim.Dia memegang gagang pintu, bersiap menutupnya. Namun, sepatu kets terlempar dari dalam ruangan, mendarat mulus di dadanya. Kiria yang telah melempar sepatu, tampak melotot. "Jangan ditutup, Pak Rehan, tolong kami dulu!"Sekretaris Rehan malah melongo. Akibatnya, pegangan pada Sekretaris Lusi terlepas. Gadis itu pun berlari sekuat tenaga. Dia meraih
Arya refleks berdiri dengan napas menderu. Sekretaris Rehan membujuknya duduk kembali dengan susah payah. Sekretaris Lusi tersenyum licik, bersiap menambahkan sekam dalam api. Namun ...."Aduh, Ketua! Akhirnya, Yanto bisa ketemu ketua lagi, deh! Kangen banget tau!" seru si Yanto sambil memukul pelan bahu Kiria. "Waktu ketua enggak masuk, kita, tuh, kayak anak ayam kehilangan induk," keluhnya, lalu mengipasi wajah dengan kipas berenda yang entah datang darimana.Sekretaris Rehan seketika tak bisa menahan tawa. Arya tak jadi gusar, kembali duduk seraya diam-diam menghela napas lega. Sementara Sekretaris Lusi sudah merobek-robek tisu.Tawa Rehan mengalihkan perhatian Yanto. Dia berbalik dan langsung menutup mulut. Tak lama kemudian, jemari lentiknya mencubit Arlita dengan semena-semena."Yanti, sakit tau!"Yanto seketika merengut. "Yanti! Yanti! Nama aku Yanto, Lita. Ish! Emangnya aku cewek? Aku ini cowok tulen tau!" Dia mendadak menepuk kening. "Eh kelupaan! Aku tadi mau nanya, kenapa P
"Sa-saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya kira Bapak itu Yanto." Kiria seketika mundur, lalu membungkukkan badan dan meminta maaf berkali-kali. Sekretaris Lusi diam-diam mencibir, tetapi cepat mengubah raut wajahnya menjadi prihatin saat Sekretaris Rehan menoleh. Sementara Arlita sibuk mendoakan keselamatan ketua timnya dalam hati. Mereka semua tak menyadari sorot mata penuh dendam Arya. Tangan kokohnya terkepal kuat. Dia menghentikan Kiria yang tengah meminta maaf. "Jadi, kalau Yanto, Bu Kiria bisa mengendus-endusnya?" sindir Arya tajam. Namun, Kiria malah terbengong-bengong. Di laboratorium itu, mereka memang sering bercanda, saling mengejek bau masing-masing. Jadi, berlagak mengendus, lalu mengomentari bau itu biasa saja, yang tentunya menjadi tidak sopan saat dilakukan pada seorang presiden direktur. "Jadi, tidak apa-apa kalau mengendus Yanto?" ulang Arya dengan suara lebih dingin. Kiria seketika merinding meskipun masih tak mengerti di mana letak kesalahannya. Sekretaris L
Kiria terpaku untuk beberapa saat. Kalimat protes diungkapkannya dengan berapi-api hanya dalam hati. Setelah puas memaki atasan dalam hati, barulah dia menyungingkan senyuman bisnis. "Baik, Pak. Kami akan mengerjakannya dengan sebaik-baiknya." "Bagus, Bu Kiria memang karyawan teladan. Tidak seperti seseorang." Arya tiba-tiba mengalihkan pandangan pada Arlita. Gadis bertubuh mungil itu seketika gemetaran dan bersembunyi di belakang Kiria. Tak ayal, tatapan Arya kini tertumbuk pada sepasang mata indah Kiria. Lama keduanya beradu pandang, seolah menciptakan dimensi hanya untuk berdua. Sekretaris Lusi mengepalkan tangan, lalu berdeham. "Pak Arya, maaf menginterupsi. Rapat dengan dewan direksi akan diadakan 5 menit lagi, sebaiknya kita segera menuju ruang rapat." Arya melirik arloji di pergelangan tangan. "Bu Kiria, kami pergi dulu. Saya harap bisa mendapat laporan perkembangan terbaru setelah rapat." Kiria mengangguk kecil. "Baik, Pak." "Bu Lusi, Pak Rehan, ayo kita pergi." Arya b
Kiria menarik rambut sendiri, tetapi berhenti setelah dirasa sakit. Setelah itu, dia mulai mondar-mandir sambil menggigiti ujung kuku. Bayangan wajah kesal Arya melintas di benaknya. Kiria mendadak merasa sesak napas."Kiria, Kiria, kenapa kau tidak berhenti menimbulkan masalah?" keluhnya sambil memukul kepala sendiri, tetapi dia cepat menggeleng. "Tidak! Aku harus mencoba memperbaikinya!"Setelah mengumpulkan keberanian, Kiria memutuskan untuk menghubungi Arya kembali. Beberapa kali melakukan panggilan, tak ada jawaban. Kiria hampir saja menyerah, hingga suara khas kaku yang menyebalkan terdengar di panggilan ketujuh."Halo.""Ha-halo, Pak Arya. Maaf menganggu waktunya."Kiria mengatur napas sejenak, menenangkan jantungnya yang berdebar kencang seperti dikejar setan."Begini, Pak. Tadi malam saya ...."Kiria terdiam lagi. Dia memutar otak mencari kalimat paling tepat. Tak lama terdengar helaan napas berat, membuat suhu sekitar terasa turun beberapa derajat."Mati aku! Mati aku!""Apa