Dering ponsel membuyarkan konsentrasi Kiria yang tengah mengamati perubahan warna di tabung reaksi. Meskipun malas, dia tetap mengeluarkan ponsel dari saku jas laboratorium. Tulisan "Presdir Arya" di layar membuatnya seketika menghela napas berat.
"Ck! Sejak si galak ini yang menjadi presdir, aku sudah seperti budak," keluhnya. Sudah setahun berlalu sejak presiden direktur di perusahaan farmasi tempatnya bekerja mengalami pergantian. Sebelumnya, PT. Farma Medikal dipimpin oleh Abimana Shaka Wijaya. Namun, dengan alasan kesehatan, lelaki bersahaja yang selalu memperlakukan Kiria seperti anak emas itu telah digantikan putranya, Arya Caraka Wijaya. Meskipun baru menginjak kepala tiga, Arya sangat berdedikasi. Perusahaan berkembang dengan pesat. Sayangnya, tekanan kerja yang diciptakannya juga besar, terutama pada divisi pengembangan formula obat yang dipimpin oleh Kiria. Untunglah, Kiria memang berbakat dan berhasil menelurkan banyak formula yang membanggakan. "Entah apa lagi maunya si galak ini!" Kiria mendengkus kasar dan masih enggan menerima panggilan. Namun, rupanya sang atasan juga tak menyerah. Dering ponsel hanya berhenti beberapa saat untuk kemudian menjerit-jerit lagi. Kiria hampir saja melempar ponsel sialan itu ke waterbath. Namun, Arlita, asistennya segera mencegah. "Sabar, Ketua, sabar. Meskipun orangnya nyebelin, bonus dari beliau, kan, juga banyak," hibur Arlita. Gadis bertubuh mungil menepuk pelan pundak Kiria, lalu menuangkan cairan bening di gelas beker ke labu ukur. Aroma dari gelas beker seketika membuat Kiria mendelik. "Hei, hati-hati, Lita! Kamu, kan, lagi pegang asam sulfat!" Arlita menyengir lebar. "Maaf, Ketua, maaf." Kiria menggeleng pelan. "Ya, sudahlah. Aku minta tolong sekalian amati perubahan warna di tabung no 51, ya, Lit. Kujawab dulu panggilan Pak Bos." Setelah mendapat anggukan dari Arlita, Kiria segera keluar dari ruangan. Dia mengatur napas sejenak terlebih dahulu sebelum menerima panggilan. Amarah yang tengah bergejolak ditahan sekuat mungkin agar suara yang terdengar tidak terkesan penuh emosi. "Halo, selamat malam, Pak Arya. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Terdengar suara serak dan berat. "Cepat ke klub Dream Night, ruang VVIP 1, bawakan aku penawar afrodisiaka terbaik!" Tuuut Ponsel diputus begitu saja. Kiria mendengkus kasar. Beginilah kebiasaan si pimpinan baru. Meskipun sering memberikan bonus, Arya juga suka memberikan pekerjaan di luar nalar. Klub malam? Dalam mimpi pun, Kiria tak ingin datang ke tempat seperti itu. Terlebih, si bos meminta penawar afrodisiaka. Berarti, Arya memang tengah dijebak orang dengan obat perangs*ng. Bukankah berbahaya bagi seorang wanita mendatanginya? "Bukankah Bapak bisa minta utus orang untuk mengambil obat dariku? Kenapa harus menganggu penelitian penting? Sialan! Sialan! Dasar bos diktator!" Kiria tak berhenti menggerutu bahkan saat masuk kembali ke laboratorium dan menyiapkan penawar afrodisiaka. Arlita yang tengah mencatat perubahan warna tabung reaksi mendekat dengan wajah kepo. Kiria mendelik tajam pertanda tak ingin ditanya-tanya. Namun, Arlita sudah terlanjur melihat obat yang dimasukkan ke box khusus. "Pak Arya dijebak lagi? Kasian banget, ya ...." "Lebih kasian aku yang disuruh-suruh menjadi kurirnya, Lita." "Menurutku, itu tanda Pak Arya sangat percaya pada Ketua." Kiria mengibaskan tangan. Dia segera bergegas meninggalkan laboratorium. Namun, baru saja menuju halaman depan perusahaan dan hendak memesan taksi, porsche hitam dengan nomor seri khusus telah berhenti di depanya. Seorang pria dengan setelan serba hitam keluar. "Silakan naik, Bu Kiria. Sesuai perintah Pak Arya, kami akan mengantar Anda," tuturnya sembari membukakan pintu. Dengan perasaan gelisah, Kiria memasuki mobil. Tak lama kemudian, dia terus menyumpah dalam hati. Pengawal Arya menyetir dengan kecepatan di luar nalar. *** Kiria merasa merinding saat memasuki klub malam. Terlebih, beberapa pria menatap liar pada tubuh berisinya. Musik menghentak dan aroma parfum, keringat, juga alkohol yang bercampur membuat kepalanya terasa sakit. "Aroma laboratoriumku lebih baik daripada ini. Gara-gara bos galak," gerutu Kiria dengan suara sangat pelan. Dia tentu tak mau para pengawal kekar itu mendengarnya. Tak ingin pingsan di sana, Kiria mempercepat langkah menuju ruangan VVIP bersama para pengawal. Kiria hanya berharap segera menyelesaikan tugas dan kembali ke laboratorium. Sialnya, terjadi keributan kecil di tengah arena tari klub. Beberapa pengunjung saling dorong. "Dasar sialan!" "Berengs*k, siapa yang berani memukulku!" "Anj*ng!" "Mony*t!" Bruk! Seorang pria kekar menubruk punggung Kiria. Gadis itu seketika terjerembab, lalu terguling-guling membuat beberapa orang juga ikut jatuh. Sepasang kaki penuh timbunan lemak terangkat. Kiria berguling lagi ke arah jam 12 tepat sebelum wajahnya tertimpa kaki tersebut. Setelah berjibaku menghindari aneka bentuk kaki, Kiria berhasil selamat. Dia bisa berdiri dan pergi ke tempat aman. Namun, kelegaannya tak berlangsung lama. "Sh*t! Ke mana para pengawal itu?" Kiria mendengkus. Karena tak ingin berlama-lama, dia terpaksa bertanya ruangan yang dimaksud Arya kepada salah seorang pekerja di sana. Tatapan mata pemuda pekerja itu sedikit aneh. Kiria benar-benar ingin meledak. Dia bisa menebak pikiran liar orang lain tentang wanita yang mendatangi ruangan VVIP. "Mbaknya naik ke lantai dua. Lurus saja ruang VVIP 1 ada di paling ujung." "Terima kasih, Pak." Kiria segera pergi ke lantai dua. Dia terus berjalan cepat sambil mengenggam tali tas. Namun, suara familiar dari salah satu ruangan yang sedikit terbuka membuat langkahnya seketika terhenti. "Cium! Cium! Cium!" "Tapi, ini seperti tidak benar. Mana mungkin aku dan Kak Al ...." Kiria menajamkan pendengaran. Dia tak mungkin salah. Dengan hati berdebar, Kiria membuka pintu dengan kasar. "Aldino? Nia? Apa yang kalian lakukan?" seru Kiria saat melihat kekasihnya, Aldino hendak mencium Kanania, adik kesayangnya. ***Kiria tersenyum puas. Usahanya tiga hari menginap di laboratorium tak sia-sia. Pekerjaan untuk beberapa ke depan sudah terselesaikan dengan baik. Suara kondensor untuk penyulingan minyak atsiri bahkan terdengar merdu di telinga. Sebelumnya, Kiria memang kesulitan mendapatkan minyak atsiri berkualitas tinggi. Entah bagaimana Perusahaan Keluarga Rahardja memonopoli sumber-sumber bahan baku terpercaya. "Mantap juga idemu, Yan. Kupikir akan menyebabkan biaya produksi membengkak jika memproduksi sendiri. Ternyata, dengan modifikasi yang kamu sarankan, hasilnya luar biasa," puji Kiria. Yanto menggaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ala boyband Korea yang tampak tersipu memang memesona. Sungguh disayangkan, pinggulnya bergoyang cantik merusak suasana, membuat Arlita susah payah menahan tawa, hampir saja menumpahkan garam asetat di tangannya. "Ehem, Lita," tegur Kiria. "Iya, Ketua, iya."Amira yang baru saja melakukan pengujian kadar menghampiri mereka. Wajahnya tampak sangat serius. Dia
Arya mendelik. Mata elangnya seketika menatap tajam pelaku penamparan. Amarahnya semakin tersulut saat melihat Kanania berdiri di sana. Sementara itu, Kanania mengepalkan tangannya yang terasa nyeri. Menampar pipi Arya ternyata cukup sakit. Namun, dia belum puas melampiaskan emosi, kembali mengangkat tangan. "Kamu! Beraninya kamu menyakiti kakakku! Mentang-mentang kami tidak ada hah!" Prernikahan Satya dan Viola memang diadakan secara tiba-tiba. Keluarga Kiria yang kebetulan harus pergi ke Malaysia untuk menemani nenek berobat tak bisa berhadir. Namun, saat insiden di pernikahan menjadi viral, mereka langsung kembali. "Awas kamu, Arya!"Tamparan berikutnya hampir mendarat lagi di pipi Arya. Beruntung, dia menangkap tangan Kanania dengan cepat. Kanania melotot dan menggemelutukkan gigi. "Lepas! Sial*n lepas! Arya, lepas!""Sepertinya, kamu menjadi tidak sopan, adik ipar.""Cih! Aku tidak sudi punya kakak ipar sepertimu!""Jangan lupa, Nia. Kakakmu sangat mencintaiku."Kanania mas
Kiria yang tengah menuntaskan panggilan alam mengerutkan kening. Teriakan panik Arya di luar kamar mandi terdengar samar-samar. Dia mencoba menajamkan pendengaran."Ria, kamu sudah janji tidak akan meninggalkanku. Kenapa malah menghilang begitu saja?"Kiria menepuk kening. Dia berdeham beberapa kali, bermaksud memberi tanda keberadaannya. Meskipun bukan sosok religius, Kiria ingat salah satu adab saat di WC adalah tidak berbicara.Namun, suara dehamannya tidak didengar Arya. Sang suami masih saja bermonolog di luar sana. Kiria mendengkus."Aku tidak hilang, Arya! Aku di WC!" seru Kiria kesal.Dia menghela napas lega saat keluhan Arya tak terdengar lagi. Namun, Kiria salah besar. Baru saja hendak fokus kembali buang air, pintu kamar mandi dibuka mendadak.Kiria ternganga. Arya merangsek masuk dengan wajah panik. Melihat Kiria yang tengah duduk di kloset, dia langsung memeluknya erat."Kukira kamu menghilang! Syukurlah, kamu tidak pergi ....""Aryaaa!!!" geram Kiria. "Keluar! Keluar san
Dua remaja tengah duduk di bangku kayu. Semilir angin yang berembus mempermainkan rambut keduanya. Remaja perempuan tiba-tiba mengeluarkan Kantong kain dari tas selempangnya."Tadaaa! Hadiah untuk Raka! Ini kubuat sendiri lho!" seru si gadis.Remaja laki-laki menerima kantong kain dan mengeluarkan isinya. Gelang manik-manik yang jauh dari kata estetik membuatnya menahan tawa. Gadis pujaan hatinya ini memang memiliki kecerdasan akademik yang tinggi, tetapi tidak berbakat dalam bidang seni."Raka! Ketawa aja! Ketawa aja sana!"Remaja laki-laki membenarkan letak kacamata tebalnya. "Malah unik kok. Lain dari yang lain, limiterd edition.""Cepat pakai!"Remaja laki-laki terkekeh. Dia melambat-lambatkan, seolah kesusahan memakai gelang. Tak sabaran, remaja perempuan merebut gelang dan memakaikannya dengan cepat, lalu menyeringai nakal."Kau tau, Raka? Gelang itu sudah kuberi mantra. Kamu memakainya maka kamu tidak akan bisa jatuh cinta pada orang lain. Kamu hanya akan mencintaiku selamanya,
Kiria dengan gesit berhasil menghindar. Namun, Arya juga refleks mencoba menghadang, menangkap tangan Viola. Tak ayal, gunting menusuk telapak tangannya. Aroma anyir menguar bersamaan dengan tetesan darah mengotori lantai marmer.Viola terbelalak. Dia seketika melepaskan gunting. Beruntung, Arya sempat menggeser kakinya sebelum tertusuk gunting yang jatuh."Kak Arya! Maaf! Aku tidak bermaksud menusukmu!" jerit Viola.Dia hendak meraih tangan Arya. Namun, lelaki itu menepisnya. Emosi Viola pun tersulut kembali."Ini semua salahmu!" serunya sambil menyerbu ke arah Kiria.Kiria menghela napas berat. Dia dengan cepat menangkap lengan Viola, memelintirnya. Satu pukulan di tengkuk membuat gadis dengan gangguan mental itu tak sadarkan diri."Berikan pengobatan untuk Nona Viola, lalu serahkan sisanya pada hukum, biarkan hukum bekerja," perintah Kiria saat para pengawal Arya mendekat.Para pengawal kebingungan. Mereka menatap Arya secara bersamaan. Arya menghela napas berat dan mengangguk pela
Viola begitu antusias sampai-sampai membuat petugas medis yang menanganinya sedikit takut. Namun, baru satu goresan kecil terukir di surat perceraian, Arya merebut berkas itu dan melemparnya ke lantai. Kiria tertegun. Tangannya bahkan masih menggenggam erat pulpen."Arya apa yang kau lakukan? Biarkan dia pergi dari keluarga kita!" bentak Baskoro."Membiarkan Kiria pergi dari keluarga kita dan memasukkan ular itu?" ketus Arya sambil menunjuk Viola. "Jangan mimpi, Opa!"Viola tercengang. Dia menatap Arya lekat, mencoba mencari di mana letak kesalahannya. Rencana yang disusun sudah sangat sempurna meskipun sedikit terkendala karena Kiria selamat dari kecelakaan.Namun, bukankah Viola tetap mampu menyingkirkannya dengan elegan? Arya bahkan sudah setuju menikah dengannya? Apa yang salah? "Arya, apa maksudmu menyebut Viola ular? Viola sudah tumbuh besar bersamamu dan Satya bertahun-tahun," sergah Rose.Arya menghela napas. Dia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. "Satya, keluarlah!