Kiria terus berlari meninggalkan laboratorium dan memasuki gedung V, di mana ruangan Arya berada. Begitu berada di dalam gedung V, gadis itu mengganti larinya dengan jalan cepat. Dia tentu tak ingin menabrak orang dan membuat masalah baru.
"Selamat pagi, Bu Kiria," sapa dua gadis cantik dari bagian pemasaran.
Kiria hanya membalas dengan anggukan kecil. Dia kembali mempercepat langkah. Telinganya sempat mendengar obrolan sinis gadis-gadis tersebut yang menganggapnya sombong. Namun, Kiria tak punya waktu untuk baku hantam dan bergegas menuju lift.
"Sial!" umpat Kiria begitu melihat tulisan rusak di salah satu pintu lift.
Sementara itu, antrian orang yang hendak menggunakan lift satunya sudah mengular. Kiria mengusap wajah. Dia tak punya pilihan selain menggunakan tangga menuju ruangan Arya.
"Pak Arya, kenapa ruangan Bapak harus di lantai 7? Lantai 7! Lantai 7!" keluh Kiria sepanjang perjalanan berlari di tangga.
Ketika tenaga hampir habis, Kiria berhenti sejenak untuk menyeka keringat di dahi. Dia menatap putus asa puluhan anak tangga yang masih tersisa. Kiria mendadak ingin menyerah, tetapi bayangan akan menjadi korban penyiksaan Keluarga Wijaya mencambuk semangatnya lagi.
Setelah perjuangan keras dan kaki yang terasa akan lepas, Kiria berhasil sampai ke lantai. Dia mengatur napas sejenak sebelum melangkah cepat menuju ruangan presiden direktur. Beberapa staf menatapnya aneh karena penampilan mengenaskan, rambut dan jas acak-acakan, juga muka kucel penuh keringat.
"Sekretaris Lusi, apakah Pak Arya ada di ruangan?" tanya Kiria begitu memasuki ruangan.
Ruangan presiden direktur di perusahaannya memang memiliki dua bagian. Arya menempati bagian dalam. Sementara bagian depan ditempati sekretaris. Ada dua sekretaris yang dipekerjakan Arya. Salah satunya gadis cantik bertubuh bak gitar Spanyol itu.
Sekretaris Lusi diam-diam mengepalkan tangan. Namun, wajahnya tetap terlihat ramah. Bukan sekali dua kali memang Arya mendadak memanggil Kiria. Hal itu tentu menimbulkan rasa persaingan bagi Sekretaris Lusi yang sudah lama menaruh hati pada atasannya.
"Iya, Bu Kiria. Pak Arya memang di dalam, tetapi sepertinya beliau kurang sehat. Beliau berpesan untuk tidak membiarkan siapa pun masuk. Bahkan, saya sendiri pun tidak diperbolehkan masuk," cerocos Sekretaris Lusi.
Ada sedikit kekesalan dalam nada suaranya. Sebelumnya, dia memang sudah mencoba tebar pesona saat melihat Arya bertingkah aneh. Sekretaris Lusi bertingkah begitu lembut dan perhatian hendak merawat atasan sakit. Sayangnya, dia diusir dengan kasar.
Sekretaris Lusi pun mencibir dalam hati, "Aku saja yang kepercayaan Pak Arya diusir apalagi kamu yang cuma orang lab, mana keliatan kucel dan baunya aneh lagi."
Sementara itu, Kiria menelan ludah berkali-kali. Dia sama sekali tak menyadari tatapan sinis Sekretaris Lusi. Otaknya justru sibuk menerka hukuman mati apa yang mungkin akan diberikan Keluarga Wijaya.
"Tidak! Aku tidak boleh menyerah! Siapa tahu masih bisa diselamatkan!"seru Kiria tiba-tiba.
Suara tegasnya membuat Lusi terlonjak dan hampir menabrak kursi. Sekretaris cantik itu melotot, tetapi dengan cepat kembali berpura-pura anggun. Dia bersiap mengusir Kiria. Namun, sang apoteker malah berlari kencang menuju ruangan presiden direktur dan membuka pintu dengan cepat.
"Bu Kiria tidak boleh sembarangan masuk! Pak Arya tak ingin diganggu!" seru Sekretaris Lusi gusar.
Kiria tak mengacuhkannya, malah menutup pintu dengan setengah dibanting. Sekretaris Lusi yang biasanya selalu menampilkan diri sebagai sosok anggun dan lemah lembut tanpa sadar mengumpat.
"Dasar sund*l tidak tahu tata krama!"
Setelah mengumpat, Lusi langsung celingak-celinguk. Dia mengembuskan napas lega usai memastikan tak ada siapa pun yang mendengar umpatannya. Jika sampai tersebar, image sebagai sekretaris anggun, elegan, dan berkelas akan hancur berkpeing-keping.
Sementara itu, Kiria yang telah berada dalam ruangan Arya mengatur napas berkali-kali. "Mau dibilang tak sopan pun masa bodoh, ini masalah hidup dan mati," gumamnya seraya mendekati meja kerja Arya.
Arya sendiri tampak bersandar di kursi kebesarannya dengan mata terpejam. Awalnya, Kiria masih bisa berpikiran positif sang atasan hanya kelelahan. Namun, setelah berada lebih dekat, firasat buruk seketika menghampirinya,
Kondisi Arya kini amat dikenali Kiria. Jas tergeletak di lantai. Kancing kemeja terbuka sebagian dengan dasi dilonggarkan. Napas yang menderu dengan aneh juga terdengar jelas. Efek afrodisiaka langsung terlintas di benak Kiria.
Kiria refleks mengelus dagu dan bergumam, "Aneh, kenapa efek racunnya malah berkebalikan?"
"Arghhh!"
Teriakan kesakitan Arya membuyarkan lamunan Kiria. Dia cepat menggeleng. Penyebab efek racun yang berbeda bisa dicari nanti. Keselamatan Arya jauh lebih utama.
"Sabar, ya, Pak. Saya balik ke lab dulu ambil penawar lain."
Kiria berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, Arya yang tadinya tampak terkulai lemas mendadak berdiri, lalu berlari dengan gesit. Pemuda itu sudah berada di depan pintu lebih dulu.
"Kamu mau ke mana? Meninggalkanku lagi?" gumam Arya sendu.
Tangannya terangkat, lalu mengusap lembut pipi Kiria. Mata elang kini tampak berkaca-kaca. kerinduan mendalam terpancar dari sana. Tanpa sadar sebulir air mata menuruni pipi Kiria.
"Tidak! Tidak! Aku tidak boleh ikut terbawa suasana!" seru Kiria sembari menggeleng beberapa kali.
Dia segera menurunkan tangan Arya dan mencari celah. Sialnya, tubuh atletis sang atasan benar-benar menghalangi pintu. Belum sempat Kiria memikirkan cara lain, Arya tiba-tiba mendekatkan wajah. Kiria refleks melangkah mundur.
"Pak, tolonglah jangan begini. Nanti Bapak nyesel lho, masa udah nolak supermodel malah dapet laboran kucel bau asam sulfat."
Arya tertawa kecil. Mata elang tinggal segaris tipis. Kiria sempat-sempatnya melongo. Namun, Dia cepat menggeleng tak ingin tergoda pesona sang atasan,
"Kamu yang paling cantik sedunia bagiku," bisik Arya lembut.
"Aduh, Pak, jangan bikin geer dong. Nanti pas sadar, Bapak muntah sendiri lagi ingat ucapan Bapak," gerutu Kiria.
Dia kembali mencoba mencari celah. Berhasil! Kiria berlari ke arah pintu. Namun, Arya dengan cepat menarik tangannya dan membuatnya terdesak di dinding.
Kini, Kiria benar-benar terperangkap. Wajah Arya semakin tak jarak. Napas yang berat dan panas terasa menampar pipi. Saat bibir mereka hanya berjarak beberapa senti, Arya memejamkan mata.
***
"Maaf, Pak! seru Kiria sebelum menyundul dagu Arya.Tangan boleh terperangkap dalam genggaman sang atasan, tapi kepalanya masih bisa digunakan. Arya mengerang sambil memegangi dagu yang sedikit memar. Kiria mengusap kepala sambil berlari menuju pintu. Namun, berkali-kali dia menarik gagang pintu, kaca persegi itu tak jua mau bergerak."Mati aku! Pintunya terkunci." Kiria berbalik dan melihat Arya berjalan semakin dekat. "Sial! Terpaksa mengambil resiko. Semoga efek penawarnya juga berkebalikan."Kiria mengatur napas sebelum berlari ke arah Arya. Dia menggunakan sedikit teknik bela diri utnuk mengunci gerakan. Saat Arya terjatuh, kiria meminumkan paksa obat penawar. Arya mengerang beberapa saat sebelum tak sadarkan diri.Tiga puluh menit berlalu begitu saja. Arya terbaring lemah di sofa. Sementara Kiria memilih kursi di depan meja presiden direktur. Dia tentu tak ingin mengambil resiko."Ughh ... kepalaku," desis Arya lemah.Kiria bangkit dari kursi dan menghampiri. "Akhirnya, Bapak s
Kiria benar-benar tercengang. Dia hanya bisa mengepalkan tangan dan kehilangan kata-kata. Suaranya seolah tersangkut di tenggorokan. Adik lugu berubah menjadi rubah betina licik tentu menjadi tamparan keras baginya."Nia ... kenapa begini ...," lirih Kiria. Namun, dia tiba-tiba terdiam, lalu tergelak. "Aha! Kakak tau! Kamu cuma mau prank, 'kan? Hayo ngaku!" cecarnya.Kanania tersenyum sinis. Sorot matanya yang dingin menghentikan tawa Kiria seketika. Kiria merasakan aura dendam yang begitu kuat. Namun, dia tak mengerti kenapa perasaan seperti itu bisa ada pada adiknya."Nia ... kamu hanya bercanda, 'kan? Pasti hanya bercanda, 'kan?""Bercanda? Tidak, Kak. Aku serius.""Tapi, kenapa, Nia? Kenapa?"Kanania mendekat bibirnya ke telinga sang kakak dan berbisik, "Tentu saja karena aku benci kakakku yang selalu menjadi si nomor satu. Jadi, Kakak tidak boleh lebih baik dariku. Sebentar lagi, aku akan menjadi nyonya muda di Keluarga Mahendra sementara Kakak tetap menjadi perawan tua kaku ya
Kiria menarik rambut sendiri, tetapi berhenti setelah dirasa sakit. Setelah itu, dia mulai mondar-mandir sambil menggigiti ujung kuku. Bayangan wajah kesal Arya melintas di benaknya. Kiria mendadak merasa sesak napas."Kiria, Kiria, kenapa kau tidak berhenti menimbulkan masalah?" keluhnya sambil memukul kepala sendiri, tetapi dia cepat menggeleng. "Tidak! Aku harus mencoba memperbaikinya!"Setelah mengumpulkan keberanian, Kiria memutuskan untuk menghubungi Arya kembali. Beberapa kali melakukan panggilan, tak ada jawaban. Kiria hampir saja menyerah, hingga suara khas kaku yang menyebalkan terdengar di panggilan ketujuh."Halo.""Ha-halo, Pak Arya. Maaf menganggu waktunya."Kiria mengatur napas sejenak, menenangkan jantungnya yang berdebar kencang seperti dikejar setan."Begini, Pak. Tadi malam saya ...."Kiria terdiam lagi. Dia memutar otak mencari kalimat paling tepat. Tak lama terdengar helaan napas berat, membuat suhu sekitar terasa turun beberapa derajat."Mati aku! Mati aku!""Apa
Kiria terpaku untuk beberapa saat. Kalimat protes diungkapkannya dengan berapi-api hanya dalam hati. Setelah puas memaki atasan dalam hati, barulah dia menyungingkan senyuman bisnis. "Baik, Pak. Kami akan mengerjakannya dengan sebaik-baiknya." "Bagus, Bu Kiria memang karyawan teladan. Tidak seperti seseorang." Arya tiba-tiba mengalihkan pandangan pada Arlita. Gadis bertubuh mungil itu seketika gemetaran dan bersembunyi di belakang Kiria. Tak ayal, tatapan Arya kini tertumbuk pada sepasang mata indah Kiria. Lama keduanya beradu pandang, seolah menciptakan dimensi hanya untuk berdua. Sekretaris Lusi mengepalkan tangan, lalu berdeham. "Pak Arya, maaf menginterupsi. Rapat dengan dewan direksi akan diadakan 5 menit lagi, sebaiknya kita segera menuju ruang rapat." Arya melirik arloji di pergelangan tangan. "Bu Kiria, kami pergi dulu. Saya harap bisa mendapat laporan perkembangan terbaru setelah rapat." Kiria mengangguk kecil. "Baik, Pak." "Bu Lusi, Pak Rehan, ayo kita pergi." Arya b
"Sa-saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya kira Bapak itu Yanto." Kiria seketika mundur, lalu membungkukkan badan dan meminta maaf berkali-kali. Sekretaris Lusi diam-diam mencibir, tetapi cepat mengubah raut wajahnya menjadi prihatin saat Sekretaris Rehan menoleh. Sementara Arlita sibuk mendoakan keselamatan ketua timnya dalam hati. Mereka semua tak menyadari sorot mata penuh dendam Arya. Tangan kokohnya terkepal kuat. Dia menghentikan Kiria yang tengah meminta maaf. "Jadi, kalau Yanto, Bu Kiria bisa mengendus-endusnya?" sindir Arya tajam. Namun, Kiria malah terbengong-bengong. Di laboratorium itu, mereka memang sering bercanda, saling mengejek bau masing-masing. Jadi, berlagak mengendus, lalu mengomentari bau itu biasa saja, yang tentunya menjadi tidak sopan saat dilakukan pada seorang presiden direktur. "Jadi, tidak apa-apa kalau mengendus Yanto?" ulang Arya dengan suara lebih dingin. Kiria seketika merinding meskipun masih tak mengerti di mana letak kesalahannya. Sekretaris L
Arya refleks berdiri dengan napas menderu. Sekretaris Rehan membujuknya duduk kembali dengan susah payah. Sekretaris Lusi tersenyum licik, bersiap menambahkan sekam dalam api. Namun ...."Aduh, Ketua! Akhirnya, Yanto bisa ketemu ketua lagi, deh! Kangen banget tau!" seru si Yanto sambil memukul pelan bahu Kiria. "Waktu ketua enggak masuk, kita, tuh, kayak anak ayam kehilangan induk," keluhnya, lalu mengipasi wajah dengan kipas berenda yang entah datang darimana.Sekretaris Rehan seketika tak bisa menahan tawa. Arya tak jadi gusar, kembali duduk seraya diam-diam menghela napas lega. Sementara Sekretaris Lusi sudah merobek-robek tisu.Tawa Rehan mengalihkan perhatian Yanto. Dia berbalik dan langsung menutup mulut. Tak lama kemudian, jemari lentiknya mencubit Arlita dengan semena-semena."Yanti, sakit tau!"Yanto seketika merengut. "Yanti! Yanti! Nama aku Yanto, Lita. Ish! Emangnya aku cewek? Aku ini cowok tulen tau!" Dia mendadak menepuk kening. "Eh kelupaan! Aku tadi mau nanya, kenapa P
Saat pintu benar-benar terbuka lebar, pemandangan dalam ruangan membuat mereka semua terpaku. Bagaimana tidak? Arya berbaring di sofa dengan Kiria tengah bersandar di dadanya dengan raut wajah kesakitan,"Astaghfirullah! Ketua!" jerit Yanto histeris dengan mata berkaca-kaca. Suara melengking pemuda itu seketika menyadarkan yang lain. Sekretaris Lusi meradang, hendak menyerbu masuk. Namun, Sekretaris Rehan menahannya dengan sigap. Sementara itu, Arlita seolah kehilangan tenaga dan terduduk lemas. "Walaupun ini dosa, tapi sebagai bawahan Bapak, saya akan membantu perjuangan cinta Pak Arya," tekad Sekretaris Rehan dalam hati dengan takzim.Dia memegang gagang pintu, bersiap menutupnya. Namun, sepatu kets terlempar dari dalam ruangan, mendarat mulus di dadanya. Kiria yang telah melempar sepatu, tampak melotot. "Jangan ditutup, Pak Rehan, tolong kami dulu!"Sekretaris Rehan malah melongo. Akibatnya, pegangan pada Sekretaris Lusi terlepas. Gadis itu pun berlari sekuat tenaga. Dia meraih
Langit bahkan belum sepenuhnya terang, ponsel Kiria sudah berdentang. Pesan singkat dari Sandi mengabarkan kedatangannya. Kiria menghela napas berat. Dia memasukkan ponsel ke tas, lalu bergegas keluar kamar."Lho, berangkat lebih pagi, Nak? Ibu belum selesai masak lho," tegur Riana saat Kiria melewati dapur.Kiria menghampiri sang ibu. Dia mencium punggung tangan wanita dengan sorot mata lembut itu. Kiria mencomot dua potong tempe goreng di meja."Ada urusan pekerjaan, Bu. Ini saja sudah ditelpon," sahutnya seraya mengunyah tempe."Bawa bekal dulu, ya."Kiria menggeleng. "Enggak akan sempat, Bu. Nanti aku beli aja." Dia mencium pipi kanan ibunya. "Aku pergi dulu."Riana mengangguk. Kiria pun bergegas keluar rumah. Dia harus berjalan 200 meter lagi. Kiria meminta agar Sandy parkir agak jauh karena tak ingin menimbulkan rasa iri adiknya lagi. Meskipun Kanania biasanya masih tidur, tapi dia tetap tidak mau mengambil resiko."Kenapa Pak Arya juga ikut?" celetuk Kiria tanpa sadar saat memb
Tiara langung berlutut di lantai dan mengenggam tangan Kiria. "Kakak, kenapa? Kakak ...."Sementara itu, Kanania menggigiti ujung kuku. Dia hanya sedikit cemburu melihat kakaknya ditempeli Tiara. Kanania memberikan puding mangga itu agar kakaknya mengalami gatal-gatal saja. Tak pernah terpikirkan olehnya, Kiria akan mengalami gejala alergi parah."Minggir!" seru Arya seraya menjauhkan Tiara.Tiara hendak protes tetapi langsung terdiam saat ditatap tajam. Kemudian, Arya mengatur posisi Kiria agar lebih nyaman sebelum membongkar isi tas gadis itu. Sialnya, Arya tak bisa menemukan auto-injector epinefrin yang biasa dibawa Kiria. Dia pun segera menghubungi pengawal agar membawakan kotak P3K di mobilnya."Ria! Ria! Bertahanlah!"Namun, konidisi Kiria memburuk. Dadanya tampak naik turun. Kesulitan bernapas yang dialami gadis itu tampak semakin parah. Arya tak punya banyak pilihan, mengangkat sedikit tengkuk kiria, lalu mendekatkan bibirnya."Hei, apa yang kau lakukan pada Kakak! Dasar mesu
Kiria melihat meja dengan gelas bersusun di depan mata. Dia sempat-sempatnya menaruh piring di meja, lalu mencoba melakukan gerakan memutar. Namun, sepasang tangan kokoh mendadak melingkar di pinggangnya. Tak ayal, wajahnya terbenam di dada bidang."Ria, kamu baik-baik saja?" seru Arya panik.Suaranya terdengar begitu lembut sampai-sampai membuat Kiria refleks mendongak. Dua pasang mata bertemu. Di antara hangatnya napas yang menampar wajah, waktu seolah terhenti, menciptakan dimensi tersendiri."Gadis dari keluarga mana itu?""Aduh, aku iri sekali! Apa aku harus terpeleset juga biar ada momen romantis dengan tuan muda Keluarga Wijaya?""Jangan bodoh! Si Joy pernah nyoba, tapi malah malu karena jatuh sendiri."Bisik-bisik para gadis menyentak kesadaran Kiria. Dia cepat-cepat melepaskan pelukan Arya. Sang atasan mendecakkan lidah dan menatap para gadis penggosip dengan tatapan membunuh."Terima kasih, Pak Arya," tutur Kiria canggung."Ya, lain kali hati-hati. Banyak serigala di pesta s
"Berhenti!"Suara khas berwibawa menghentikan gerakan para petugas keamanan. Mereka dengan kompak berbalik, lalu membungkuk pada sosok yang tadi berbicara. Cantika merasa gusar segera menoleh bermaksud mengomel, tetapi seketika menelan ludah.Leo Rahardja sang pemilik acara tengah mendekat. Lelaki paruh baya itu terus berjalan, hingga berhenti di hadapan Kiria. Dia menepuk pelan bahu Kiria sembari menatap dengan sorot mata khawatir."Nak Kiria tidak apa-apa? Maaf kelancangan orang-orang saya," ucapnya penuh penyesalan. Dia mengalihkan pandangan pada para petugas keamanan. "Beraninya kalian hendak mengusir tamu kehormatan saya!""Maafkan kami, Pak. Nona Keluarga Mahendra mengatakan nona ini penyusup."Ketua tim keamanan cepat membela diri, membuat wajah Cantika memucat. Leo menatap sinis Cantika. Dia tentu tahu bagaimana sepak terjang gadis itu mencoba mendekati para putranya. Leo tak sudi memiliki menantu manja dan arogan sepertinya."Ya sudahlah. Lain kali pastikan dulu identitas tam
Langit bahkan belum sepenuhnya terang, ponsel Kiria sudah berdentang. Pesan singkat dari Sandi mengabarkan kedatangannya. Kiria menghela napas berat. Dia memasukkan ponsel ke tas, lalu bergegas keluar kamar."Lho, berangkat lebih pagi, Nak? Ibu belum selesai masak lho," tegur Riana saat Kiria melewati dapur.Kiria menghampiri sang ibu. Dia mencium punggung tangan wanita dengan sorot mata lembut itu. Kiria mencomot dua potong tempe goreng di meja."Ada urusan pekerjaan, Bu. Ini saja sudah ditelpon," sahutnya seraya mengunyah tempe."Bawa bekal dulu, ya."Kiria menggeleng. "Enggak akan sempat, Bu. Nanti aku beli aja." Dia mencium pipi kanan ibunya. "Aku pergi dulu."Riana mengangguk. Kiria pun bergegas keluar rumah. Dia harus berjalan 200 meter lagi. Kiria meminta agar Sandy parkir agak jauh karena tak ingin menimbulkan rasa iri adiknya lagi. Meskipun Kanania biasanya masih tidur, tapi dia tetap tidak mau mengambil resiko."Kenapa Pak Arya juga ikut?" celetuk Kiria tanpa sadar saat memb
Saat pintu benar-benar terbuka lebar, pemandangan dalam ruangan membuat mereka semua terpaku. Bagaimana tidak? Arya berbaring di sofa dengan Kiria tengah bersandar di dadanya dengan raut wajah kesakitan,"Astaghfirullah! Ketua!" jerit Yanto histeris dengan mata berkaca-kaca. Suara melengking pemuda itu seketika menyadarkan yang lain. Sekretaris Lusi meradang, hendak menyerbu masuk. Namun, Sekretaris Rehan menahannya dengan sigap. Sementara itu, Arlita seolah kehilangan tenaga dan terduduk lemas. "Walaupun ini dosa, tapi sebagai bawahan Bapak, saya akan membantu perjuangan cinta Pak Arya," tekad Sekretaris Rehan dalam hati dengan takzim.Dia memegang gagang pintu, bersiap menutupnya. Namun, sepatu kets terlempar dari dalam ruangan, mendarat mulus di dadanya. Kiria yang telah melempar sepatu, tampak melotot. "Jangan ditutup, Pak Rehan, tolong kami dulu!"Sekretaris Rehan malah melongo. Akibatnya, pegangan pada Sekretaris Lusi terlepas. Gadis itu pun berlari sekuat tenaga. Dia meraih
Arya refleks berdiri dengan napas menderu. Sekretaris Rehan membujuknya duduk kembali dengan susah payah. Sekretaris Lusi tersenyum licik, bersiap menambahkan sekam dalam api. Namun ...."Aduh, Ketua! Akhirnya, Yanto bisa ketemu ketua lagi, deh! Kangen banget tau!" seru si Yanto sambil memukul pelan bahu Kiria. "Waktu ketua enggak masuk, kita, tuh, kayak anak ayam kehilangan induk," keluhnya, lalu mengipasi wajah dengan kipas berenda yang entah datang darimana.Sekretaris Rehan seketika tak bisa menahan tawa. Arya tak jadi gusar, kembali duduk seraya diam-diam menghela napas lega. Sementara Sekretaris Lusi sudah merobek-robek tisu.Tawa Rehan mengalihkan perhatian Yanto. Dia berbalik dan langsung menutup mulut. Tak lama kemudian, jemari lentiknya mencubit Arlita dengan semena-semena."Yanti, sakit tau!"Yanto seketika merengut. "Yanti! Yanti! Nama aku Yanto, Lita. Ish! Emangnya aku cewek? Aku ini cowok tulen tau!" Dia mendadak menepuk kening. "Eh kelupaan! Aku tadi mau nanya, kenapa P
"Sa-saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya kira Bapak itu Yanto." Kiria seketika mundur, lalu membungkukkan badan dan meminta maaf berkali-kali. Sekretaris Lusi diam-diam mencibir, tetapi cepat mengubah raut wajahnya menjadi prihatin saat Sekretaris Rehan menoleh. Sementara Arlita sibuk mendoakan keselamatan ketua timnya dalam hati. Mereka semua tak menyadari sorot mata penuh dendam Arya. Tangan kokohnya terkepal kuat. Dia menghentikan Kiria yang tengah meminta maaf. "Jadi, kalau Yanto, Bu Kiria bisa mengendus-endusnya?" sindir Arya tajam. Namun, Kiria malah terbengong-bengong. Di laboratorium itu, mereka memang sering bercanda, saling mengejek bau masing-masing. Jadi, berlagak mengendus, lalu mengomentari bau itu biasa saja, yang tentunya menjadi tidak sopan saat dilakukan pada seorang presiden direktur. "Jadi, tidak apa-apa kalau mengendus Yanto?" ulang Arya dengan suara lebih dingin. Kiria seketika merinding meskipun masih tak mengerti di mana letak kesalahannya. Sekretaris L
Kiria terpaku untuk beberapa saat. Kalimat protes diungkapkannya dengan berapi-api hanya dalam hati. Setelah puas memaki atasan dalam hati, barulah dia menyungingkan senyuman bisnis. "Baik, Pak. Kami akan mengerjakannya dengan sebaik-baiknya." "Bagus, Bu Kiria memang karyawan teladan. Tidak seperti seseorang." Arya tiba-tiba mengalihkan pandangan pada Arlita. Gadis bertubuh mungil itu seketika gemetaran dan bersembunyi di belakang Kiria. Tak ayal, tatapan Arya kini tertumbuk pada sepasang mata indah Kiria. Lama keduanya beradu pandang, seolah menciptakan dimensi hanya untuk berdua. Sekretaris Lusi mengepalkan tangan, lalu berdeham. "Pak Arya, maaf menginterupsi. Rapat dengan dewan direksi akan diadakan 5 menit lagi, sebaiknya kita segera menuju ruang rapat." Arya melirik arloji di pergelangan tangan. "Bu Kiria, kami pergi dulu. Saya harap bisa mendapat laporan perkembangan terbaru setelah rapat." Kiria mengangguk kecil. "Baik, Pak." "Bu Lusi, Pak Rehan, ayo kita pergi." Arya b
Kiria menarik rambut sendiri, tetapi berhenti setelah dirasa sakit. Setelah itu, dia mulai mondar-mandir sambil menggigiti ujung kuku. Bayangan wajah kesal Arya melintas di benaknya. Kiria mendadak merasa sesak napas."Kiria, Kiria, kenapa kau tidak berhenti menimbulkan masalah?" keluhnya sambil memukul kepala sendiri, tetapi dia cepat menggeleng. "Tidak! Aku harus mencoba memperbaikinya!"Setelah mengumpulkan keberanian, Kiria memutuskan untuk menghubungi Arya kembali. Beberapa kali melakukan panggilan, tak ada jawaban. Kiria hampir saja menyerah, hingga suara khas kaku yang menyebalkan terdengar di panggilan ketujuh."Halo.""Ha-halo, Pak Arya. Maaf menganggu waktunya."Kiria mengatur napas sejenak, menenangkan jantungnya yang berdebar kencang seperti dikejar setan."Begini, Pak. Tadi malam saya ...."Kiria terdiam lagi. Dia memutar otak mencari kalimat paling tepat. Tak lama terdengar helaan napas berat, membuat suhu sekitar terasa turun beberapa derajat."Mati aku! Mati aku!""Apa