LOGINKiria terus berlari meninggalkan laboratorium dan memasuki gedung V, di mana ruangan Arya berada. Begitu berada di dalam gedung V, gadis itu mengganti larinya dengan jalan cepat. Dia tentu tak ingin menabrak orang dan membuat masalah baru.
"Selamat pagi, Bu Kiria," sapa dua gadis cantik dari bagian pemasaran.
Kiria hanya membalas dengan anggukan kecil. Dia kembali mempercepat langkah. Telinganya sempat mendengar obrolan sinis gadis-gadis tersebut yang menganggapnya sombong. Namun, Kiria tak punya waktu untuk baku hantam dan bergegas menuju lift.
"Sial!" umpat Kiria begitu melihat tulisan rusak di salah satu pintu lift.
Sementara itu, antrian orang yang hendak menggunakan lift satunya sudah mengular. Kiria mengusap wajah. Dia tak punya pilihan selain menggunakan tangga menuju ruangan Arya.
"Pak Arya, kenapa ruangan Bapak harus di lantai 7? Lantai 7! Lantai 7!" keluh Kiria sepanjang perjalanan berlari di tangga.
Ketika tenaga hampir habis, Kiria berhenti sejenak untuk menyeka keringat di dahi. Dia menatap putus asa puluhan anak tangga yang masih tersisa. Kiria mendadak ingin menyerah, tetapi bayangan akan menjadi korban penyiksaan Keluarga Wijaya mencambuk semangatnya lagi.
Setelah perjuangan keras dan kaki yang terasa akan lepas, Kiria berhasil sampai ke lantai. Dia mengatur napas sejenak sebelum melangkah cepat menuju ruangan presiden direktur. Beberapa staf menatapnya aneh karena penampilan mengenaskan, rambut dan jas acak-acakan, juga muka kucel penuh keringat.
"Sekretaris Lusi, apakah Pak Arya ada di ruangan?" tanya Kiria begitu memasuki ruangan.
Ruangan presiden direktur di perusahaannya memang memiliki dua bagian. Arya menempati bagian dalam. Sementara bagian depan ditempati sekretaris. Ada dua sekretaris yang dipekerjakan Arya. Salah satunya gadis cantik bertubuh bak gitar Spanyol itu.
Sekretaris Lusi diam-diam mengepalkan tangan. Namun, wajahnya tetap terlihat ramah. Bukan sekali dua kali memang Arya mendadak memanggil Kiria. Hal itu tentu menimbulkan rasa persaingan bagi Sekretaris Lusi yang sudah lama menaruh hati pada atasannya.
"Iya, Bu Kiria. Pak Arya memang di dalam, tetapi sepertinya beliau kurang sehat. Beliau berpesan untuk tidak membiarkan siapa pun masuk. Bahkan, saya sendiri pun tidak diperbolehkan masuk," cerocos Sekretaris Lusi.
Ada sedikit kekesalan dalam nada suaranya. Sebelumnya, dia memang sudah mencoba tebar pesona saat melihat Arya bertingkah aneh. Sekretaris Lusi bertingkah begitu lembut dan perhatian hendak merawat atasan sakit. Sayangnya, dia diusir dengan kasar.
Sekretaris Lusi pun mencibir dalam hati, "Aku saja yang kepercayaan Pak Arya diusir apalagi kamu yang cuma orang lab, mana keliatan kucel dan baunya aneh lagi."
Sementara itu, Kiria menelan ludah berkali-kali. Dia sama sekali tak menyadari tatapan sinis Sekretaris Lusi. Otaknya justru sibuk menerka hukuman mati apa yang mungkin akan diberikan Keluarga Wijaya.
"Tidak! Aku tidak boleh menyerah! Siapa tahu masih bisa diselamatkan!"seru Kiria tiba-tiba.
Suara tegasnya membuat Lusi terlonjak dan hampir menabrak kursi. Sekretaris cantik itu melotot, tetapi dengan cepat kembali berpura-pura anggun. Dia bersiap mengusir Kiria. Namun, sang apoteker malah berlari kencang menuju ruangan presiden direktur dan membuka pintu dengan cepat.
"Bu Kiria tidak boleh sembarangan masuk! Pak Arya tak ingin diganggu!" seru Sekretaris Lusi gusar.
Kiria tak mengacuhkannya, malah menutup pintu dengan setengah dibanting. Sekretaris Lusi yang biasanya selalu menampilkan diri sebagai sosok anggun dan lemah lembut tanpa sadar mengumpat.
"Dasar sund*l tidak tahu tata krama!"
Setelah mengumpat, Lusi langsung celingak-celinguk. Dia mengembuskan napas lega usai memastikan tak ada siapa pun yang mendengar umpatannya. Jika sampai tersebar, image sebagai sekretaris anggun, elegan, dan berkelas akan hancur berkpeing-keping.
Sementara itu, Kiria yang telah berada dalam ruangan Arya mengatur napas berkali-kali. "Mau dibilang tak sopan pun masa bodoh, ini masalah hidup dan mati," gumamnya seraya mendekati meja kerja Arya.
Arya sendiri tampak bersandar di kursi kebesarannya dengan mata terpejam. Awalnya, Kiria masih bisa berpikiran positif sang atasan hanya kelelahan. Namun, setelah berada lebih dekat, firasat buruk seketika menghampirinya,
Kondisi Arya kini amat dikenali Kiria. Jas tergeletak di lantai. Kancing kemeja terbuka sebagian dengan dasi dilonggarkan. Napas yang menderu dengan aneh juga terdengar jelas. Efek afrodisiaka langsung terlintas di benak Kiria.
Kiria refleks mengelus dagu dan bergumam, "Aneh, kenapa efek racunnya malah berkebalikan?"
"Arghhh!"
Teriakan kesakitan Arya membuyarkan lamunan Kiria. Dia cepat menggeleng. Penyebab efek racun yang berbeda bisa dicari nanti. Keselamatan Arya jauh lebih utama.
"Sabar, ya, Pak. Saya balik ke lab dulu ambil penawar lain."
Kiria berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, Arya yang tadinya tampak terkulai lemas mendadak berdiri, lalu berlari dengan gesit. Pemuda itu sudah berada di depan pintu lebih dulu.
"Kamu mau ke mana? Meninggalkanku lagi?" gumam Arya sendu.
Tangannya terangkat, lalu mengusap lembut pipi Kiria. Mata elang kini tampak berkaca-kaca. kerinduan mendalam terpancar dari sana. Tanpa sadar sebulir air mata menuruni pipi Kiria.
"Tidak! Tidak! Aku tidak boleh ikut terbawa suasana!" seru Kiria sembari menggeleng beberapa kali.
Dia segera menurunkan tangan Arya dan mencari celah. Sialnya, tubuh atletis sang atasan benar-benar menghalangi pintu. Belum sempat Kiria memikirkan cara lain, Arya tiba-tiba mendekatkan wajah. Kiria refleks melangkah mundur.
"Pak, tolonglah jangan begini. Nanti Bapak nyesel lho, masa udah nolak supermodel malah dapet laboran kucel bau asam sulfat."
Arya tertawa kecil. Mata elang tinggal segaris tipis. Kiria sempat-sempatnya melongo. Namun, Dia cepat menggeleng tak ingin tergoda pesona sang atasan,
"Kamu yang paling cantik sedunia bagiku," bisik Arya lembut.
"Aduh, Pak, jangan bikin geer dong. Nanti pas sadar, Bapak muntah sendiri lagi ingat ucapan Bapak," gerutu Kiria.
Dia kembali mencoba mencari celah. Berhasil! Kiria berlari ke arah pintu. Namun, Arya dengan cepat menarik tangannya dan membuatnya terdesak di dinding.
Kini, Kiria benar-benar terperangkap. Wajah Arya semakin tak jarak. Napas yang berat dan panas terasa menampar pipi. Saat bibir mereka hanya berjarak beberapa senti, Arya memejamkan mata.
***
Alina dan Bram segera menghampiri Kiria. Begitu juga dengan orang tua Arya dan orang tua angkat Kiria. Sementara itu, Arya sudah menggendong Kiria. Dia memberi isyarat pada Sandi untuk mendekat. "Cepat siapkan mobil! Kita harus segera ke rumah sakit!" "Siap, Bos!" Sandi mengangkat tangan. Beberapa pengawal langsung membuka jalur. Para tamu seketika mundur. Tentu tak ada yang berani mencari masalah. Begitu jalur menuju pintu terbentuk, Arya bergegas membawa Kiria keluar. Alina, Bram, Rose, Abimana, Riani, dan Agung mengekor dengan cepat. Kanania, Satya dan Tiara yang sedari tadi asyik mengobrol tersentak, lalu ikut mengejar. Sementata itu, Arya sudah mencapai halaman. Air ketuban yang mulai merembes dan membasahi kemeja membuatnya mempercepat langkah. Hati Arya serasa tersayat. Jika bisa, biarlah dia yang menanggung sakitnya. "Silakan, Bos," ucap Sandi sambil membukakan pintu mobil. Arya membawa Kiria masuk. Setelah pintu ditutup, Sandi segeta duduk di belakang kemudi dan
Tangan yang hampir mendarat di pipi Kiria tertahan di udara. Tatapan tajam terarah pada wanita bergaun biru. Gadis bergaun pink di belakangnya seketika menelan ludah, lalu mundur teratur melihat siapa yang menangkap tangan temannya. "Siapa sih? Rese banget!" umpat wanita bergaun biru. Dia mengalihkan pandangan ke kanan dan ke kiri. Rasa dingin seketika terasa mencekik. Bram dengan wajah garang berdiri di sebelah kanan. Sementara itu, di sisi kiri, Arya menatap tajam dengan tangan yang mencengkeram kuat pergelangan tangan lawan. "Berani sekali kamu hendak menyakiti putriku!" bentak Bram. "Sepertinya, tangannya yang lancang ini perlu dipotong dengan rapi, Ayah Mertua," timpal Arya. "Ide bagus, Menantu," sahut Bram dengan seringaian yang meremangkan bulu kuduk. Kali ini, dia akur dengan Arya. Wanita bergaun biru seketika menjadi lemas. Tubuhnya oleng. Arya melepaskan cengkeramannya membuat wanita bergaun biru terempas di lantai.Sementara itu, beberapa tamu di sekitar mereka kompak
"Aku tidak rela dia mati ...," Alina menyeringai, "karena hukuman dengan kematian terlalu mudah untuk si berengsek itu." Bram tergelak. Amarah langsung surut. Suasana yang tegang seketika berubah menjadi damai kembali. "Ya ampun, Sayang. Kamu benar-benar cocok denganku." Bram tersenyum lebar. Lengannya melingkar di bahu Alina. Meskipun sudah diturunkan tetap dinaikkannya lagi. Dia mengelus dagu. "Hmm ... baiklah, kalau begitu kutekan saja pengadilan biar perkara cerai cepat selesai!" serunya antusias. Dia tersenyum menggoda, "Setelah itu kita bisa menikah," bisiknya mesra. Alina bergidik. Namun, dia tetap berusaha bersikap sopan pada ayah kandung putrinya itu. Terlebih, Bram memang memiliki kuasa yang tak biasa. Salah-salah Keluarga Respati bisa terkena masalah. "Maaf, Pak Bram. Aku tidak punya rencana akan menikah lagi." Bram memasang wajah sendu. Kanania dan Kiria kompak berpelukan karena aura sedih lelaki itu membuat bulu kuduk berdiri. Arya melihat aksi keduanya langsung
Arya dengan sigap menahan tubuh Kiria. Kepala sang istri yang lemas terkulai di bahunya. Lengan kokoh Arya melingkar pelan di pinggang Kiria, lalu menggendongnya. Dia melangkah cepat menuju pintu. "Kau mau bawa ke mana putriku?" sergah Bram seraya menarik lengan baju Arya. "Tentu saja, ke rumah sakit. Lepaskan saya, Pak Bram! Ria harus segera diperiksa dokter.""Tidak perlu."Arya, Kanania, dan Alina kompak melotot. Bram tak peduli. Dia menekan salah satu tombol di remote kontrol yang ada di meja. Terdengar suara berderak. Mereka pun kompak mengalihkan pandangan. Dinding yang tadinya dihiasi lukisan mahal bergerak ke arah berlawan. Ruangan serba putih dengan aroma antiseptik terpampang di depan sana. Seorang pria tampan berjas putih menghampiri Bram dan bertanya dengan santun, "Apakah Pak Bram merasa tidak enak badan hari ini?""Bukan aku, tapi putriku."Bram memberi isyarat pada Arya agar membawa Kiria memasuki ruangan. Arya menurut, lalu meletakkan istrinya di ranjang pemeriksaa
"Kamu siapa?!" seru Bram setelah terpaku cukup lama. Riani masih melongo. Bahkan, air matanya tidak lagi mengalir saking kagetnya. Riani tahu tentang Bram dari Kanania. Putri bungsunya itu memang sangat mengidolakan sang raja akting. Melihat Bram yang begitu dielu-elukan kaum hawa menjadi pelaku penculikan, Riani tentu langsung syok. Dia mencoba mereka-reka kembali kegiatan seminggu bahkan sebulan belakangan. Mungkinkah seorang rakyat biasa sepertinya bisa bersinggungan dengan publik figur sebesar Bram? "Atau Nia pernah menyinggungnya?" gumam Riani dalam hati. "Tidak! Tidak mungkin! Nia, kan, penggemar berat pasti berhati-hati. Bahkan kata Nia, Bram tidak marah saat Kiria tidak sengaja jatuh ke pelukannya."Riani mengelus-elus dagu sendiri. Dia sesekali mengangguk-angguk. Riani tak menyadari wajah Bram yang sudah dipenuhi amarah. "Kamu siapa?! Kenapa bisa ada di sini!" seru Bram. Riani seketika terlonjak. Hampir saja, dia terguling dari kasur. Untunglah, tangannya sempat berpegan
"Nia, tenang dulu. Jelaskan pelan-pelan," bujuk Agung. Kanania masih terisak untuk beberapa saat, lalu melanjutkan ceritanya, "Aku baru pulang sama Ibu dari belanja. Tiba-tiba ada banyak mobil di halaman. Banyak preman keluar dari sana langsung membawa Ibu," cerocos Kanania. "Iya, Nia. Ayah mengerti. Kami akan segera pulang."Kanania tak menjawab, hanya terdengar isakannya. Agung pun berniat pulang. Kiria, Arya, dan Alina ikut serta. Saat mereka tiba, rumah Agung sudah dalam keadaan berantakan. Kanania terduduk di teras dengan wajah berurai air mata. Begitu melihat ayahnya, dia seperti mendapat kekuatan, memeluk sang ayah dan menangis histeris. "Yah! Kita harus cepat lapor polisi! Jangan sampai Ibu kenapa-kenapa!" seru Kanania panik. "Iya, Nia. Ayo kita ke kantor polisi!" Agung sudah menarik tangan Kanania menuju mobilnya. "Tunggu, Yah!" sergah Arya. Langkah Agung dan Kanania terhenti. Mereka menatap Arya dengan alis berkerut. Arya menghela napas. "Penculik ini tiba-tiba berak







