"Ehem!"
"Kucing Pak RT kecebur got!" Kiria mendengkus. "Siapa, sih? Ganggu konsentrasi aja!" gerutunya sembari menoleh ke kanan. Kiria seketika menelan ludah. Sosok tinggi menjulang dengan wajah galak nan tampan itu menatapnya tajam. Kiria sempat melirik Arlita yang memandangnya iba. "Ma-maaf, Pak. Saya tadi terlalu fokus melakukan docking, jadi kaget. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Arya melirik layar komputer di hadapan Kiria. Keningnya sedikit berkedut. Pemuda itu kini berfokus pada rancangan senyawa di layar. Setiap gugus fungsi tak luput dari mata elangnya. Kiria seketika mengumpat dalam hati, "Sial! Sial! Kenapa bisa lupa mengganti layar? Waduh, bisa-bisa gawat kalau ketahuan merancang racun diam-diam! Tapi, tenang dulu, Pak Arya, kan orang bisnis, mana ngerti masalah ini." Kiria memang tengah melakukan docking, suatu teknologi merancang senyawa secara digital sebelum benar-benar disintesis. Dengan adanya docking, peneliti bisa menambahkan berbagai gugus fungsi pada senyawa dan mengamati perubahanan efeknya. Senyawa yang mengalami perubahan ke arah lebih baik akan disintesis. Sayangnya, docking yang dilakukan Kiria bukanlah pengembangan obat perusaahan, Namun, dia tengah merancang formula racun untuk si mantan. Jika ketidakprofesionalan ini tercium Arya, karir yang sangat dicintai Kiria bisa saja tinggal mimpi. "Ini obat baru yang Ibu Kiria rancang? "tanya Arya setelah cukup lama hanya diam, membuat Kiria tercekik dalam keheningan. Kiria menelan ludah berkali-kali. Dia memutar otak dengan cepat. Dokumen di meja tertangkap pandangan, sebuah laporan tentang kelainan salah seorang mitra. Lelaki tua tersebut memiliki hasrat biologis melebihi normal, sehingga banyak menderita karenanya. "Iya, Pak. Ini terkait permintaan Pak Leo." Kerutan di kening Arya semakin banyak. Kiria mengenggam ujung jas laboratoriumnya, berharap kebohongan bercampur kebenarannya bisa dipercaya sang atasan. Sementara Arlita yang menyaksikan dari pojok ruangan hanya bisa mendoakan sang ketua. "Kamu yakin?" "Iya, Pak. Obat ini akan mengurangi hasrat biolgis pada penderita hiper, tetapi bisa menyebabkan disfungsi sek*sual pada orang normal. Penggunannya harus berhati-hati," jelas Kiria semantap mungkin. "Tapi, docking-nya belum selesai. Saya mesti menambahkan beberapa gugus fungsi dulu," tambahnya lagi. "Kerja bagus, tapi hati-hati penempatan gugus fenol, perubahan efeknya bisa sangat berkebalikan." Kiria mengerutkan kening. "Kenapa Pak Arya mengerti soal gugus fungsi?" gumamnya dalam hati. Namun, sebelum Kiria bisa bertanya, Arya sudah berujar, "Oh ya, jangan lupa obat saya. Nanti saya ambil seminggu lagi." "Siap, Pak!" Arya pun meninggalkan laboratorium. Kiria mengembuskan napas lega. Dia tak menyadari senyuman tipis di bibir Arya, juga saat pria itu mengirimkan pesan pada salah seorang pengawalnya untuk menyelidiki Kiria. *** "Akhirnya, akhirnya, balas dendamku akan terwujud ha ha ha." Arlita hanya bisa mengelus dada. Sejak pagi, ketuanya sudah bertingkah aneh. Ya, Kiria terus tertawa jahat sambil memandangi botol berisi cairan bening dengan label bertuliskan Proyek AS001. Seminggu telah berlalu sejak Kiria melakukan docking. Kini, formula untuk meracuni Aldino telah selesai disintesis. Kiria hanya perlu melakukan pengujian praklinis pada hewan uji untuk melihat efektivitasnya terlebih dulu. "Ketua baik-baik saja?" tanya Arlita takut-takut setelah tawa Kiria berhenti. "Aku hanya senang karena berhasil merancang obat baru, Lita. Obat ini-" Kiria memegangi perut. "Aduh! Perutku mules kebanyakan makan cabe. Lita aku ke toilet dulu. Nanti, Pak Arya mau ambil obatnya. Ada di lemari penyimpanan, kodenya AM0011." Arlita mengangguk dengan wajah bengong. Kiria tidak tidak terlalu memperhatikan ekspresi tak fokus asistennya. Dia segera meletakkan obat untuk Aldino di lemari penyimpanan sebelum berlari terbirit-birit ke toilet. Belum 2 menit Kiria masuk toilet, Arya benar-benar datang. Arlita menelan ludah saat mendapat tatapan tajam. Dia melirik pintu toilet berharap atasannya segera keluar. Arlita sungguh tak ingin menghadapai bos besar mereka ini. "Mana Bu Kiria?" "Lagi di toilet, Pak." Arya mendecakkan lidah. Arlita menangis dalam hati. Untunglah, dia segera teringat pesan Kiria sebelum ke toilet. Gadis itu pun segera menuju lemari penyimpanan obat. "Bapak mau mengambil obat, 'kan?" Arya mengangguk. "Tadi, Bu Kiria sudah meninggalkan pesan. Sebentar saya ambilkan." Arlita membuka lemari penyimpanan. Tangannya dengan gesit mengambil botol berlabel AS001, lalu menyerahkannya kepada Arya. Dalam hati, gadis itu sibuk berdoa agar sang bos besar segera pergi. Untunglah, Arya memang tak banyak bicara. Dia meninggalkan laboratorium setelah mengucapkan terima kasih. Arlita seketika menghela napas lega dan terduduk di kursi sambil menyeka keringat di dahi. "Selamat, selamat, untung enggak pingsan deh." Sepuluh menit kemudian, Kiria keluar dari toilet, Dia mengerutkan kening melihat Arlita yang tampak seperti habis menghadapi rentenir. Dia pun teringat tentang Arya karena Kiria sendiri pun merasa seperti bertemu malaikat maut saat berhadapan dengan sang atasan. Namun, Kiria menjadi keheranan saat melihat obat milik Arya masih ada dalam lemari penyimpanan. "Lita, Pak Arya belum ke sini mengambil obatnya?" "Sudah, pas tadi Ketua ke toilet." "Tapi, kenapa obatnya masih ada di sini?" Kiria menelan ludah. "Sial!" umpatnya. Kiria memeriksa lagi lemari penyimpanan. Dugaannya terbukti. Formula racun untuk Aldino sudah tak ada di sana. Arlita salah mengambilkan obat. "Ketua? Ada yang salah?" panggil Arlita. Kiria hanya terpaku. Bayangan kematian mengenaskan terpampang di depan mata. Pewaris Keluarga Wijaya yang bahkan belum menikah kehilangan kemampuan reproduksi. Entah siksaan apa yang akan diberikan keluarga paling berkuasa di kota itu padanya nanti. "Ketua? Ketua baik-baik saja?" Kiria menatap Arlita dengan mata berkaca-kaca. "Lita, kalau nanti aku menghilang tiba-tiba, sampaikan pada orang tua dan adikkku, aku sangat mencintai mereka dan menunggu di surga." Arlita melongo. Dia hendak meminta penjelasan. Namun, Kiria sudah tancap gas keluar laboratorium sembari membawa botol dari lemari penyimpanan. ***Kiria tersenyum puas. Usahanya tiga hari menginap di laboratorium tak sia-sia. Pekerjaan untuk beberapa ke depan sudah terselesaikan dengan baik. Suara kondensor untuk penyulingan minyak atsiri bahkan terdengar merdu di telinga. Sebelumnya, Kiria memang kesulitan mendapatkan minyak atsiri berkualitas tinggi. Entah bagaimana Perusahaan Keluarga Rahardja memonopoli sumber-sumber bahan baku terpercaya. "Mantap juga idemu, Yan. Kupikir akan menyebabkan biaya produksi membengkak jika memproduksi sendiri. Ternyata, dengan modifikasi yang kamu sarankan, hasilnya luar biasa," puji Kiria. Yanto menggaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ala boyband Korea yang tampak tersipu memang memesona. Sungguh disayangkan, pinggulnya bergoyang cantik merusak suasana, membuat Arlita susah payah menahan tawa, hampir saja menumpahkan garam asetat di tangannya. "Ehem, Lita," tegur Kiria. "Iya, Ketua, iya."Amira yang baru saja melakukan pengujian kadar menghampiri mereka. Wajahnya tampak sangat serius. Dia
Arya mendelik. Mata elangnya seketika menatap tajam pelaku penamparan. Amarahnya semakin tersulut saat melihat Kanania berdiri di sana. Sementara itu, Kanania mengepalkan tangannya yang terasa nyeri. Menampar pipi Arya ternyata cukup sakit. Namun, dia belum puas melampiaskan emosi, kembali mengangkat tangan. "Kamu! Beraninya kamu menyakiti kakakku! Mentang-mentang kami tidak ada hah!" Prernikahan Satya dan Viola memang diadakan secara tiba-tiba. Keluarga Kiria yang kebetulan harus pergi ke Malaysia untuk menemani nenek berobat tak bisa berhadir. Namun, saat insiden di pernikahan menjadi viral, mereka langsung kembali. "Awas kamu, Arya!"Tamparan berikutnya hampir mendarat lagi di pipi Arya. Beruntung, dia menangkap tangan Kanania dengan cepat. Kanania melotot dan menggemelutukkan gigi. "Lepas! Sial*n lepas! Arya, lepas!""Sepertinya, kamu menjadi tidak sopan, adik ipar.""Cih! Aku tidak sudi punya kakak ipar sepertimu!""Jangan lupa, Nia. Kakakmu sangat mencintaiku."Kanania mas
Kiria yang tengah menuntaskan panggilan alam mengerutkan kening. Teriakan panik Arya di luar kamar mandi terdengar samar-samar. Dia mencoba menajamkan pendengaran."Ria, kamu sudah janji tidak akan meninggalkanku. Kenapa malah menghilang begitu saja?"Kiria menepuk kening. Dia berdeham beberapa kali, bermaksud memberi tanda keberadaannya. Meskipun bukan sosok religius, Kiria ingat salah satu adab saat di WC adalah tidak berbicara.Namun, suara dehamannya tidak didengar Arya. Sang suami masih saja bermonolog di luar sana. Kiria mendengkus."Aku tidak hilang, Arya! Aku di WC!" seru Kiria kesal.Dia menghela napas lega saat keluhan Arya tak terdengar lagi. Namun, Kiria salah besar. Baru saja hendak fokus kembali buang air, pintu kamar mandi dibuka mendadak.Kiria ternganga. Arya merangsek masuk dengan wajah panik. Melihat Kiria yang tengah duduk di kloset, dia langsung memeluknya erat."Kukira kamu menghilang! Syukurlah, kamu tidak pergi ....""Aryaaa!!!" geram Kiria. "Keluar! Keluar san
Dua remaja tengah duduk di bangku kayu. Semilir angin yang berembus mempermainkan rambut keduanya. Remaja perempuan tiba-tiba mengeluarkan Kantong kain dari tas selempangnya."Tadaaa! Hadiah untuk Raka! Ini kubuat sendiri lho!" seru si gadis.Remaja laki-laki menerima kantong kain dan mengeluarkan isinya. Gelang manik-manik yang jauh dari kata estetik membuatnya menahan tawa. Gadis pujaan hatinya ini memang memiliki kecerdasan akademik yang tinggi, tetapi tidak berbakat dalam bidang seni."Raka! Ketawa aja! Ketawa aja sana!"Remaja laki-laki membenarkan letak kacamata tebalnya. "Malah unik kok. Lain dari yang lain, limiterd edition.""Cepat pakai!"Remaja laki-laki terkekeh. Dia melambat-lambatkan, seolah kesusahan memakai gelang. Tak sabaran, remaja perempuan merebut gelang dan memakaikannya dengan cepat, lalu menyeringai nakal."Kau tau, Raka? Gelang itu sudah kuberi mantra. Kamu memakainya maka kamu tidak akan bisa jatuh cinta pada orang lain. Kamu hanya akan mencintaiku selamanya,
Kiria dengan gesit berhasil menghindar. Namun, Arya juga refleks mencoba menghadang, menangkap tangan Viola. Tak ayal, gunting menusuk telapak tangannya. Aroma anyir menguar bersamaan dengan tetesan darah mengotori lantai marmer.Viola terbelalak. Dia seketika melepaskan gunting. Beruntung, Arya sempat menggeser kakinya sebelum tertusuk gunting yang jatuh."Kak Arya! Maaf! Aku tidak bermaksud menusukmu!" jerit Viola.Dia hendak meraih tangan Arya. Namun, lelaki itu menepisnya. Emosi Viola pun tersulut kembali."Ini semua salahmu!" serunya sambil menyerbu ke arah Kiria.Kiria menghela napas berat. Dia dengan cepat menangkap lengan Viola, memelintirnya. Satu pukulan di tengkuk membuat gadis dengan gangguan mental itu tak sadarkan diri."Berikan pengobatan untuk Nona Viola, lalu serahkan sisanya pada hukum, biarkan hukum bekerja," perintah Kiria saat para pengawal Arya mendekat.Para pengawal kebingungan. Mereka menatap Arya secara bersamaan. Arya menghela napas berat dan mengangguk pela
Viola begitu antusias sampai-sampai membuat petugas medis yang menanganinya sedikit takut. Namun, baru satu goresan kecil terukir di surat perceraian, Arya merebut berkas itu dan melemparnya ke lantai. Kiria tertegun. Tangannya bahkan masih menggenggam erat pulpen."Arya apa yang kau lakukan? Biarkan dia pergi dari keluarga kita!" bentak Baskoro."Membiarkan Kiria pergi dari keluarga kita dan memasukkan ular itu?" ketus Arya sambil menunjuk Viola. "Jangan mimpi, Opa!"Viola tercengang. Dia menatap Arya lekat, mencoba mencari di mana letak kesalahannya. Rencana yang disusun sudah sangat sempurna meskipun sedikit terkendala karena Kiria selamat dari kecelakaan.Namun, bukankah Viola tetap mampu menyingkirkannya dengan elegan? Arya bahkan sudah setuju menikah dengannya? Apa yang salah? "Arya, apa maksudmu menyebut Viola ular? Viola sudah tumbuh besar bersamamu dan Satya bertahun-tahun," sergah Rose.Arya menghela napas. Dia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. "Satya, keluarlah!