"Nggak bisa dihubungi, nggak aktif," ucap Rey."Aku juga udah sering nyoba, emang nggak aktif," timpal Lila putus asa.Rey duduk kembali dengan pandangan kosong menatap layar ponselnya. Matanya menelusuri setiap digit nomor yang telah ia simpan, namun yang muncul hanya satu pesan singkat, “Nomor yang Anda tuju tidak aktif.” Hatinya berdebar tak menentu. Ia baru saja mencoba menghubungi Ferdy lagi, sepupunya Lila yang pernah ketahuan menerornya.Lila ke arah dapur, ia menuangkan teh ke cangkir, lalu masuk ke ruang tamu kembali dengan membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Rey dan meletakkan cangkir itu di meja kecil. “Masih coba menghubungi Ferdy, ya?” tanyanya dengan suara lembut.Rey mengangguk pelan, lalu menatap mata Lila. “Iya, tapi nomornya masih nggak aktif. Aku nggak tahu harus gimana.”Lila menatap Rey dengan penuh perhatian. “Kamu merasa ada sesuatu yang disembunyikan Ferdy lagi, ya?”“Ya,” jawab Rey tegas. “Ferdy ini problematik.”------Rey memutuskan untuk pergi
“Kenapa kamu datang sekarang?” tanya Lila dengan suara bergetar.Raka menatap mereka dalam-dalam. “Karena ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang akan mengubah hidup kalian.”Ketegangan memenuhi ruangan itu. Rey menggenggam tangan Lila erat-erat, siap menghadapi apa pun yang akan datang.Namun tiba-tiba perawat lain datang dengan beberapa petugas keamanan. “Pak Raka, kami harus minta Anda ikut ke ruang lain untuk diperiksa lebih lanjut.”Raka tersenyum samar, “Kalau begitu, sampai ketemu lagi, Lila, Rey.”Dengan langkah tenang, ia mengikuti petugas keluar ruangan, meninggalkan Lila dan Rey dalam kebingungan dan kecemasan.Hari itu, mereka tahu bahwa masa lalu yang sudah lama mereka kubur belum benar-benar pergi. Tapi kali ini, mereka berjanji untuk menghadapi semuanya bersama, apapun yang terjadi.-------Nama itu, Raka, menggema di benaknya. Dulu, saat SMA, nama itu bukan sesuatu yang mencolok. Biasa saja. Raka bukan tipe populer, bukan pula anak bermasalah. Dia ada, tapi nyaris
Suster dan petugas yang melihat kondisi April langsung bergegas menghampirinya. Mereka meminta Lila untuk tidak melanjutkan pertanyaannya dan membiarkan April istirahat.Akhirnya Lila dan Rey pulang dengan tangan kosong. Sebab, kondisi kejiwaan April semakin parah.-------Sejak itu, malam ketika Lila dan Rey memutuskan untuk terakhir kalinya menyebut nama April dan Ferdy. Sejak saat itu pula, tidak ada lagi suara aneh di malam hari. Tidak ada lagi bayangan hitam di sudut mata, tidak ada lagi teror yang menyerang keluarga Lila dan Rey. Semua itu lenyap, seperti kabut pagi yang tersapu sinar matahari.Lila duduk di beranda rumahnya, menyesap teh hangat sambil memandangi halaman yang mulai ditumbuhi rerumputan segar. Rey datang membawa dua pot kecil tanaman lavender yang baru dibelinya dari pasar pagi.“Buat di jendela kamar ya, biar makin harum,” kata Rey sambil tersenyum.Lila mengangguk. Senyumnya masih hati-hati, tapi sudah jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Mereka tahu, mer
"Nanti aku ingat ya, sekarang kita istirahat dulu," ucap Lila yang sudah mencoba mengingat-ingat namun belum menemukan apa yang sebenarnya menjadi ambisi Ferdy untuk membalas dendam.Rey pun mengangguk tanda bersedia. Keduanya mencoba melupakan apa yang terjadi hari ini dan kemarin. Yang terpenting, Ferdy bilang teror dihentikan untuk sementara waktu.-------Lila duduk di sofa ruang tamu, tangannya menggenggam secangkir teh hangat. Di depannya, Rey, suaminya, menatap penuh perhatian. Pagi itu, di bawah lampu yang sudah padam, Lila merasa waktu tepat untuk membuka cerita yang baru diingatnya semalam."Rey," kata Lila dengan suara lembut, "Aku ingin cerita sesuatu tentang keluargaku, tentang ayahku, Ferdy."Rey mengangguk, memberi isyarat agar Lila melanjutkan. Wajahnya serius, seolah tahu cerita ini penting."Kamu sudah ingat ya?" tanya Rey.Lila gantian mengangguk."Dulu, waktu ayahku meninggal, aku baru sadar sesuatu yang aku lupakan selama ini," Lila mulai bercerita. "Orang tuanya
"Saya bicara sesungguhnya, bahkan saya ini adalah orang bayaran April yang disuruh membunuh kedua orang tuanya Ferdy," terangnya.Rey dan Lila saling beradu pandang, mereka mencerna ucapan pria itu."Terus kenapa kamu meneror saya?" tanya Lila."Disuruh April," jawabnya."Nggak mungkin, April pernah ke sini untuk kerjasama dengan kami, dia malah ingin membantu menemukan siapa yang meneror kami," jawab Lila.Hening, mereka menghentikan sebentar dan memilih menjauh dari pria itu.Hujan turun deras malam itu. Kilatan petir sesekali menerangi langit kota. Rey berdiri menatap pria yang terikat di hadapannya. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam yang kini basah dan kotor, wajahnya penuh lebam, namun tatapannya tetap tajam, penuh kebencian."Siapa yang menyuruhmu meneror kami?" tanya Rey untuk kesekian kalinya, suaranya tenang namun dingin.Pria itu mengerang, tapi tidak menjawab. Dari balik bayangan, Lila menatap dengan wajah cemas. Teror yang mereka alami selama beberapa minggu terakhir b
"Kamu pergi aja! Aku malas!" April mendorong tubuh Lila. Namun, wanita yang tengah hamil itu tetap bersikeras mendekati April.April duduk di tepi tempat tidur, menatap ke luar jendela rumah sakit. Hujan deras membasahi kota, membuat lampu-lampu jalanan berpendar samar. Suara gemericik air seakan menambah sunyi yang sudah lama bersarang di hatinya. April menghela napas dalam. Ini saat yang paling tepat untuk membuka semua yang selama ini ia pendam. Tapi, ia masih takut dengan nama Ferdy.Air mata mulai menggenang di mata April. "Sebenarnya, selama ini aku hidup dalam ketakutan. Aku takut banget sama Ferdy."Mendengar nama itu, Lila terdiam. Tapi Lila penasaran dengan keterangan April. Meski kondisinya saat ini tengah mengalami gangguan jiwa, tapi Lila yakin bahwa April menyimpan sesuatu yang besar."Apa benar, kamu yang telah membunuh kedua orang tuanya Ferdy?" Lila memulai buka pertanyaan yang bersarang di kepalanya.April menoleh sambil menarik napas, mencoba menenangkan diri. Ia h