Share

Bab 3

“Aku tidak akan menikah dengan Zahra, Ma!” Zyan langsung melayangkan protes pada Rania. Tidak terima dengan keputusan sepihak wanita yang sudah melahirkannya itu.

“Papa tidak pernah mendidik kamu jadi pria yang tidak bertanggung jawab, Zyan! Kalau berani berbuat, kamu harus bertanggung jawab!” Prabu yang sejak awal diam, akhirnya berbicara.

Zyan sontak memandang Prabu dengan tatapan protes. “Pa, aku tidak melakukan apa pun. Untuk apa aku bertanggung jawab? Aku mengatakan soal pacar dan tidur itu hanya untuk melindungi Zahra dari Aswin,” jelasnya untuk membela diri. Dia berharap sang papa lebih bijak dari mamanya.

“Tidak ada salahnya kamu menikah, Zy. Papa setuju dengan Mama, sudah saatnya kamu berhenti bermain-main. Lagian apa yang kamu dapat dengan sering berganti-ganti pacar? Bangga karena sudah meniduri banyak wanita?” Prabu menatap tajam putra sulungnya itu.

Zyan mengusap wajah lalu menyugar rambutnya. Dia merasa gusar. Niat baiknya untuk membantu Zahra malah menjadi bumerang untuknya. Zyan pikir dengan menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada papa dan mamanya akan beres, tapi malah jadi semakin pelik.

“Aku tidak seberengsek itu, Pa. Meskipun aku sering gonta-ganti pacar, tapi tak pernah sekali pun aku tidur dengan mereka.” Zyan menyangkal keras tuduhan papanya. Dia balas membalas tatapan tajam pria paruh baya itu.

“Terus sampai kapan kamu akan bermain-main dengan mereka, Zy? Ingat! Kamu punya adik perempuan. Kamu mau adikmu dipermainkan pria seperti kamu mempermainkan pacar-pacarmu itu?” Nada suara Prabu mulai naik. Tanda kalau kesabarannya mulai terkikis.

“Aku tidak pernah mempermainkan mereka, Pa! Kalau tidak cocok untuk apa dipaksakan bersama,” sanggah Zyan.

Prabu menggelengkan kepala. Tidak sependapat dengan yang dikatakan putra sulungnya itu.

“Kamu sudah dewasa. Sekarang waktunya membangun masa depanmu dengan menikah.” Suara pria paruh baya itu kembali normal dan kekeuh pada pendiriannya.

Prabu kemudian beralih pada sekretaris putranya yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala. “Zahra, tolong bilang pada orang tuamu, nanti malam kami akan ke rumah untuk melamar kamu,” tandasnya.

Zahra terkejut saat namanya dipanggil. Gadis itu seketika mendongak dan memandang Prabu dengan tatapan yang tak bisa diartikan. “Apa, Pak? Melamar saya?”

“Ra, jangan dianggap serius. Kita kembali ke kantor sekarang. Urusan kita sudah selesai di sini,” tukas Zyan yang langsung berdiri setelah mengatakannya.

“Zyandru Darmawangsa, mana sopan santunmu?!” sentak Rania marah. Hal itu ditandai dengan memanggil nama lengkap sang putra sulung. “Satu langkah saja kamu beranjak dari sana, mama pastikan akan langsung mencoretmu dari kartu keluarga dan daftar ahli waris.” Wanita yang tetap cantik dan anggun saat marah itu akhirnya mengeluarkan senjata andalannya.

“Ini tidak adil, Ma!” protes Zyan yang tak terima akan dicoret sebagai ahli waris.

“Duduk atau mama telepon pengacara keluarga sekarang!” perintah Rania pada putra sulungnya. Tegas dan tidak mau dibantah.

Zyan kembali duduk. Dia tidak mau dicoret dari daftar ahli waris begitu saja. Selama ini dia sudah bekerja keras mengurus beberapa perusahaan keluarga. Jelas Zyan tak mau kerja kerasnya sia-sia. Dia sudah berjuang, masa mau didepak begitu saja. Tidak adil ‘kan?

Rania mulai terlihat tenang setelah Zyan duduk. Setelah beberapa saat mengatur napas, dia kembali berbicara.

“Zy, sebenarnya kami berniat baik. Kamu saja yang tidak mau membuka hati. Coba lihat Zahra baik-baik. Selain cantik, dia pekerja keras, jujur, baik hati, sopan dan Insya Allah akhlaknya bagus. Kamu pernah belajar agama ‘kan? Memilih istri yang utama itu adalah yang bagus agama dan akhlaknya. Nah, Zahra masuk dalam kriteria itu,” paparnya.

“Mama dan Papa tidak ingin kamu terus terjerumus dalam dosa, Zy. Karena itu menikah adalah jalan agar kamu tidak berzina lagi dengan wanita-wanita tidak jelas yang pakaiannya kurang bahan itu!” tandas Rania.

“Ma, jangan memandang orang hanya dari penampilannya saja! Mereka yang penampilannya terbuka belum tentu akhlaknya tidak bagus,” sanggah Zyan.

“Maksudmu seperti pacarmu yang artis itu?” tanya Rania dengan sinis.

Zyan mengangguk. “Namanya—” Belum selesai bicara, Rania sudah menyelanya.

“Mama tidak peduli, Zy. Dengar ya! Sampai kapan pun mama tidak akan merestui kamu menikah dengan wanita seperti pacarmu itu. Mereka hanya mengincar harta dan kekuasaan keluarga kita. Kamu harusnya menyadari hal itu. Mama hanya ingin kamu menikah dengan wanita seperti Zahra. Titik!” Rania mengakhiri ucapannya dengan tegas.

Zyan dan Zahra hanya diam. Keduanya tidak tahu harus mengatakan apa. Membantah Rania juga percuma karena dia akan tetap keukeuh pada keputusannya. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing hingga suasana di ruang tamu rumah yang megah dan mewah itu pun menjadi hening.

“Zy, sekarang kamu antar Zahra pulang. Bilang pada orang tuanya kalau keluarga kita akan datang melamar Zahra malam ini. Kalian tidak usah ke kantor lagi, biar Faisal dan asisten papa yang meng-handle pekerjaan,” perintah Prabu memecah keheningan di ruangan tersebut.

“Apa tidak terlalu mendadak lamarannya malam ini, Pa? Bagaimana kalau weekend saja?” Zyan coba bernegosiasi dengan papanya, agar ia punya waktu untuk memikirkan jalan keluar.

“Menikah itu hal yang baik, jadi harus disegerakan, Zy. Tidak baik menunda-nunda.”

Jawaban Prabu membuat bahu Zyan meluruh. Tidak ada yang bisa dilakukannya kalau papa dan mamanya sudah sepakat akan sesuatu.

***

Zyan terus diam dalam perjalanan mengantar Zahra pulang. Otaknya sedang berpikir mencari solusi untuk masalah yang sedang dihadapinya. Kadang niat baik itu tak selalu berakhir dengan baik. Lihat saja, niat baiknya melindungi Zahra malah dimanfaatkan oleh kedua orang tuanya dan dijadikan alasan agar dia menikahi sekretarisnya.

Pria tampan itu tak memungkiri kalau Zahra memang seperti yang Rania sebutkan tadi sebagai calon istri yang ideal. Sayangnya, dia tidak mencintai sekretarisnya itu.

Saat ini Zyan sedang menjalin kasih dengan Mila, seorang artis yang wajahnya kerap wara-wiri di televisi dan media sosial.

Hubungannya dengan Mila sudah berjalan selama beberapa bulan karena gadis itu tidak pernah menuntut apa pun darinya. Selama ini hubungan Zyan dengan mantan-mantannya paling lama hanya satu bulan karena dia tidak tahan selalu dituntut untuk menemani pacarnya ke mana saja.

Hei, Zyan itu bekerja. Bukan pengangguran yang bisa sewaktu-waktu pergi sesuka hati. Dia punya tanggung jawab besar di perusahaan dan tidak bisa meninggalkannya begitu saja.

“Ra, kamu dengar ‘kan kita tidak bisa menentang keinginan Papa dan Mama?” Zyan akhirnya memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti mereka.

“Iya, Pak,” jawab Zahra. Gadis itu lalu menoleh pada bosnya.

“Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka. Kita harus menikah, Ra,” lontar Zyan.

Zahra menggeleng tegas. "Saya tidak mau, Pak." 

Zyan terkejut, sama sekali tidak menduga jawaban dari sekretarisnya. Setelah apa yang dia lakukan untuk menolongnya tadi, Zahra berani menolaknya seperti ini? 

"Apa??" tanya Zyan sengit. Rahangnya mengeras, menahan gejolak amarah.

Zahra menelan ludah. "Maaf ... tapi saya tidak mau menikah dengan Bapak."

Zyan menyergah napas kasar. "Kita hanya menikah untuk sementara. Tidak selamanya," katanya, berusaha menelan kekesalannya bulat-bulat. "Karena itu, kita buat perjanjian."

"Perjanjian?" Zahra menatap bosnya bingung. 

"Ya," sahut pria itu sekenanya. "Perjanjian kontrak menikah."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
semoga bucin cepat bucin
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
udah kepalang basah ini mama papa zyan bahkan udah kasih ultimatum sama zyan untuk segera nikahi zahra. eh penasaran emang kenapa mamanya si zayn gak suka sama pacarnya zyan ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status