“Aku tidak akan menikah dengan Zahra, Ma!” Zyan langsung melayangkan protes pada Rania. Tidak terima dengan keputusan sepihak wanita yang sudah melahirkannya itu.
“Papa tidak pernah mendidik kamu jadi pria yang tidak bertanggung jawab, Zyan! Kalau berani berbuat, kamu harus bertanggung jawab!” Prabu yang sejak awal diam, akhirnya berbicara.
Zyan sontak memandang Prabu dengan tatapan protes. “Pa, aku tidak melakukan apa pun. Untuk apa aku bertanggung jawab? Aku mengatakan soal pacar dan tidur itu hanya untuk melindungi Zahra dari Aswin,” jelasnya untuk membela diri. Dia berharap sang papa lebih bijak dari mamanya.
“Tidak ada salahnya kamu menikah, Zy. Papa setuju dengan Mama, sudah saatnya kamu berhenti bermain-main. Lagian apa yang kamu dapat dengan sering berganti-ganti pacar? Bangga karena sudah meniduri banyak wanita?” Prabu menatap tajam putra sulungnya itu.
Zyan mengusap wajah lalu menyugar rambutnya. Dia merasa gusar. Niat baiknya untuk membantu Zahra malah menjadi bumerang untuknya. Zyan pikir dengan menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada papa dan mamanya akan beres, tapi malah jadi semakin pelik.
“Aku tidak seberengsek itu, Pa. Meskipun aku sering gonta-ganti pacar, tapi tak pernah sekali pun aku tidur dengan mereka.” Zyan menyangkal keras tuduhan papanya. Dia balas membalas tatapan tajam pria paruh baya itu.
“Terus sampai kapan kamu akan bermain-main dengan mereka, Zy? Ingat! Kamu punya adik perempuan. Kamu mau adikmu dipermainkan pria seperti kamu mempermainkan pacar-pacarmu itu?” Nada suara Prabu mulai naik. Tanda kalau kesabarannya mulai terkikis.
“Aku tidak pernah mempermainkan mereka, Pa! Kalau tidak cocok untuk apa dipaksakan bersama,” sanggah Zyan.
Prabu menggelengkan kepala. Tidak sependapat dengan yang dikatakan putra sulungnya itu.
“Kamu sudah dewasa. Sekarang waktunya membangun masa depanmu dengan menikah.” Suara pria paruh baya itu kembali normal dan kekeuh pada pendiriannya.
Prabu kemudian beralih pada sekretaris putranya yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala. “Zahra, tolong bilang pada orang tuamu, nanti malam kami akan ke rumah untuk melamar kamu,” tandasnya.
Zahra terkejut saat namanya dipanggil. Gadis itu seketika mendongak dan memandang Prabu dengan tatapan yang tak bisa diartikan. “Apa, Pak? Melamar saya?”
“Ra, jangan dianggap serius. Kita kembali ke kantor sekarang. Urusan kita sudah selesai di sini,” tukas Zyan yang langsung berdiri setelah mengatakannya.
“Zyandru Darmawangsa, mana sopan santunmu?!” sentak Rania marah. Hal itu ditandai dengan memanggil nama lengkap sang putra sulung. “Satu langkah saja kamu beranjak dari sana, mama pastikan akan langsung mencoretmu dari kartu keluarga dan daftar ahli waris.” Wanita yang tetap cantik dan anggun saat marah itu akhirnya mengeluarkan senjata andalannya.
“Ini tidak adil, Ma!” protes Zyan yang tak terima akan dicoret sebagai ahli waris.
“Duduk atau mama telepon pengacara keluarga sekarang!” perintah Rania pada putra sulungnya. Tegas dan tidak mau dibantah.
Zyan kembali duduk. Dia tidak mau dicoret dari daftar ahli waris begitu saja. Selama ini dia sudah bekerja keras mengurus beberapa perusahaan keluarga. Jelas Zyan tak mau kerja kerasnya sia-sia. Dia sudah berjuang, masa mau didepak begitu saja. Tidak adil ‘kan?
Rania mulai terlihat tenang setelah Zyan duduk. Setelah beberapa saat mengatur napas, dia kembali berbicara.
“Zy, sebenarnya kami berniat baik. Kamu saja yang tidak mau membuka hati. Coba lihat Zahra baik-baik. Selain cantik, dia pekerja keras, jujur, baik hati, sopan dan Insya Allah akhlaknya bagus. Kamu pernah belajar agama ‘kan? Memilih istri yang utama itu adalah yang bagus agama dan akhlaknya. Nah, Zahra masuk dalam kriteria itu,” paparnya.
“Mama dan Papa tidak ingin kamu terus terjerumus dalam dosa, Zy. Karena itu menikah adalah jalan agar kamu tidak berzina lagi dengan wanita-wanita tidak jelas yang pakaiannya kurang bahan itu!” tandas Rania.
“Ma, jangan memandang orang hanya dari penampilannya saja! Mereka yang penampilannya terbuka belum tentu akhlaknya tidak bagus,” sanggah Zyan.
“Maksudmu seperti pacarmu yang artis itu?” tanya Rania dengan sinis.
Zyan mengangguk. “Namanya—” Belum selesai bicara, Rania sudah menyelanya.
“Mama tidak peduli, Zy. Dengar ya! Sampai kapan pun mama tidak akan merestui kamu menikah dengan wanita seperti pacarmu itu. Mereka hanya mengincar harta dan kekuasaan keluarga kita. Kamu harusnya menyadari hal itu. Mama hanya ingin kamu menikah dengan wanita seperti Zahra. Titik!” Rania mengakhiri ucapannya dengan tegas.
Zyan dan Zahra hanya diam. Keduanya tidak tahu harus mengatakan apa. Membantah Rania juga percuma karena dia akan tetap keukeuh pada keputusannya. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing hingga suasana di ruang tamu rumah yang megah dan mewah itu pun menjadi hening.
“Zy, sekarang kamu antar Zahra pulang. Bilang pada orang tuanya kalau keluarga kita akan datang melamar Zahra malam ini. Kalian tidak usah ke kantor lagi, biar Faisal dan asisten papa yang meng-handle pekerjaan,” perintah Prabu memecah keheningan di ruangan tersebut.
“Apa tidak terlalu mendadak lamarannya malam ini, Pa? Bagaimana kalau weekend saja?” Zyan coba bernegosiasi dengan papanya, agar ia punya waktu untuk memikirkan jalan keluar.
“Menikah itu hal yang baik, jadi harus disegerakan, Zy. Tidak baik menunda-nunda.”
Jawaban Prabu membuat bahu Zyan meluruh. Tidak ada yang bisa dilakukannya kalau papa dan mamanya sudah sepakat akan sesuatu.
***
Zyan terus diam dalam perjalanan mengantar Zahra pulang. Otaknya sedang berpikir mencari solusi untuk masalah yang sedang dihadapinya. Kadang niat baik itu tak selalu berakhir dengan baik. Lihat saja, niat baiknya melindungi Zahra malah dimanfaatkan oleh kedua orang tuanya dan dijadikan alasan agar dia menikahi sekretarisnya.
Pria tampan itu tak memungkiri kalau Zahra memang seperti yang Rania sebutkan tadi sebagai calon istri yang ideal. Sayangnya, dia tidak mencintai sekretarisnya itu.
Saat ini Zyan sedang menjalin kasih dengan Mila, seorang artis yang wajahnya kerap wara-wiri di televisi dan media sosial.
Hubungannya dengan Mila sudah berjalan selama beberapa bulan karena gadis itu tidak pernah menuntut apa pun darinya. Selama ini hubungan Zyan dengan mantan-mantannya paling lama hanya satu bulan karena dia tidak tahan selalu dituntut untuk menemani pacarnya ke mana saja.
Hei, Zyan itu bekerja. Bukan pengangguran yang bisa sewaktu-waktu pergi sesuka hati. Dia punya tanggung jawab besar di perusahaan dan tidak bisa meninggalkannya begitu saja.
“Ra, kamu dengar ‘kan kita tidak bisa menentang keinginan Papa dan Mama?” Zyan akhirnya memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti mereka.
“Iya, Pak,” jawab Zahra. Gadis itu lalu menoleh pada bosnya.
“Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka. Kita harus menikah, Ra,” lontar Zyan.
Zahra menggeleng tegas. "Saya tidak mau, Pak."
Zyan terkejut, sama sekali tidak menduga jawaban dari sekretarisnya. Setelah apa yang dia lakukan untuk menolongnya tadi, Zahra berani menolaknya seperti ini?
"Apa??" tanya Zyan sengit. Rahangnya mengeras, menahan gejolak amarah.
Zahra menelan ludah. "Maaf ... tapi saya tidak mau menikah dengan Bapak."
Zyan menyergah napas kasar. "Kita hanya menikah untuk sementara. Tidak selamanya," katanya, berusaha menelan kekesalannya bulat-bulat. "Karena itu, kita buat perjanjian."
"Perjanjian?" Zahra menatap bosnya bingung.
"Ya," sahut pria itu sekenanya. "Perjanjian kontrak menikah."
Zahra diam, tak langsung menanggapi pertanyaan Zyan. Gadis itu juga mengalihkan pandangan ke depan. Dia tak habis pikir dengan apa yang dilontarkan oleh bosnya itu. Pernikahan kontrak? Seperti di novel-novel yang sering dia baca saja.“Kenapa diam? Kamu tidak setuju?” Zyan menaikkan sebelah alisnya seraya menoleh pada sekretarisnya.“Menikah itu ikatan yang suci, Pak. Perjanjian dengan Allah, tidak hanya dengan manusia. Kita tidak boleh mempermainkannya,” sergah Zahra. Menolak dengan tegas ide gila CEO di tempatnya bekerja itu.Rahang Zyan mengetat, tidak sependapat dengan jawaban sang sekretaris. “Terus maumu apa? Kita benar-benar menikah?” timpalnya dengan kesal.“Sama seperti jawaban saya tadi. Saya tidak mau menikah dengan Bapak,” tegas Zahra. Meskipun berhutang budi pada Zyan, dia tetap tidak mau mengorbankan masa depannya demi ambisi sang bos.Pria berusia 32 tahun itu mengembuskan napas kasar. Bagaimanapun dia harus menikah dengan Zahra agar tidak kehilangan warisan. Karena itu
Binsar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia memindai Zyan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pria yang lebih muda darinya itu mempunyai paras tampan. Pakaian dan aksesori yang melekat di tubuh tegap Zyan, semuanya tampak berkelas dan mahal. Membuat pria bertubuh tambun itu jadi kurang percaya diri karena kekayaan pria yang mengaku sebagai calon suami Zahra itu pasti jauh di atasnya. “Hei, Anak Muda. Jangan mengaku-aku. Lagian kamu tidak akan bisa menikahi gadis itu karena dia sudah setuju jadi penebus utang ayahnya,” ucapnya dengan pongah. Binsar juga tidak mau menyambut uluran tangan Zyan. Meskipun dalam hal apa pun kalah dari Zyan, dia tidak mau mengakuinya. Rentenir itu tetap mempertahankan wibawanya. Zyan pun menarik tangannya lalu tersenyum sinis. “Anda sedang berkhayal? Zahra tidak pernah setuju menikah dengan Anda.” “Dia tadi akan mengatakannya, tapi kamu tiba-tiba datang dan memotong ucapannya,” sergah Binsar yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Pria bertu
Zahra langsung mengiakan tanpa berpikir lagi. Dia mengajak Zyan keluar agar pembicaraan mereka tidak didengar ayah dan ibunya. Keduanya pergi setelah berpamitan pada Maryam, ibu Zahra.“Sebelum membahas soal perjanjian, saya ingin tahu kenapa Pak Zyan tiba-tiba kembali ke rumah saya?” tanya Zahra saat mobil mewah yang mereka naiki sudah melaju di jalanan.“Untuk bertemu orang tuamu,” sahut Zyan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Jawaban dari bosnya itu membuat Zahra mengernyit. “Untuk apa?”“Memberi tahu kalau nanti malam Papa dan Mama akan melamar kamu.” Wajah Zyan sangat datar untuk seseorang yang ingin berniat melamar wanita.“Walaupun saya tidak setuju menikah, Pak Zyan tetap akan melamar?” Zahra memandang wajah pria yang duduk di belakang kemudi itu.“Itu urusanmu sama Papa dan Mama. Aku hanya menyampaikan pesan mereka saja,” jawab Zyan tanpa beban. Pria itu la
Zahra menelan ludah mendengar pertanyaan Zyan. Gadis itu jadi semakin gugup karena bosnya malah berdiri menghadap ke arahnya hingga semakin tampak jelas otot-otot yang terbentuk di bagian atas tubuh pria itu. “Bukan begitu, Pak. Saya hanya merasa kurang nyaman karena tidak terbiasa,” ucapnya dengan terbata-bata.“Kalau begitu mulai dibiasakan,” tukas Zyan tanpa mengindahkan permintaan sang sekretaris yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya.Karena Zyan tetap akan memakai pakaiannya di dalam kamar, Zahra memutuskan masuk ke kamar mandi. Lebih baik mengalah daripada dia jadi canggung sendiri. Gadis itu sebenarnya ingin mandi sekalian. Namun karena belum membawa baju ganti, dia memutuskan duduk di atas toilet sambil menunggu Zyan selesai berpakaian.“Zahra,” panggil Zyan sambil mengetuk pintu kamar mandi.“Ya, Pak,” sahut Zahra tanpa membuka pintu. Dia takut bosnya belum selesai berpakaian.“Aku
“Bunny, kamu melamun?” Suara Mila berhasil membuat Zyan kembali ke alam nyata. Dia tersenyum tipis pada kekasihnya itu.“Aku sedang berpikir apa yang akan aku lakukan kalau kamu tidak di sini,” kilah Zyan untuk menutupi apa yang sebenarnya tadi dia pikirkan. Sementara ini, Zyan memutuskan menutupi pernikahannya dengan Zahra dari Mila. Toh, pernikahan mereka hanya sementara dan tak banyak yang tahu. Jadi, Mila pun tak akan tahu selama tak ada yang memberi tahu.“Daripada memikirkan soal itu lebih baik kita melakukan hal yang menyenangkan, Bunny. I miss your touch.” Mila memandang Zyan dengan tatapan menggoda. Dia menangkup wajah sang kekasih dengan kedua tangan lalu menautkan bibir mereka. Ciuman yang semula pelan itu jadi semakin intens dan membuat kedua tangan mereka bergerak, menyentuh apa pun yang ingin disentuh.***Zahra baru saja berpakaian saat bel kamar hotel berbunyi. Dia beranjak menuju pintu dan meli
Zyan mondar-mandir di balkon apartemen Mila dengan gawai di samping telinga. Setelah membaca pesan dari Zahra kalau kedua keluarga mendatangi kamar hotel mereka, dia merasa gelisah sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karenanya pria berwajah rupawan itu menghubungi sekretaris yang juga istrinya. Namun sayangnya, setelah beberapa kali melakukan panggilan, tak ada satu pun yang dijawab oleh Zahra."Apa dia sedang di kamar mandi? Kenapa teleponku tidak diangkat?" gumam Zyan dengan kening mengerut.CEO muda itu kemudian menghubungi asistennya. Berbeda dengan Zahra, panggilan pada Faisal itu langsung dijawab."Apa Papa atau Mama telepon kamu?" tanya Zyan tanpa basa-basi begitu sang asisten menjawab panggilannya."Tidak, Pak. Apa ada masalah?" sahut Faisal dari seberang telepon.Zyan menghela napas lega setelah mendengar jawaban asistennya. "Tidak ada. Ingat, Fai! Kalau Papa dan Mama tanya soal aku, kamu jawab seperti yang aku katakan tadi," pesannya."Baik, Pak. Apa ada
Zyan langsung masuk ke kamar begitu tiba di hotel tempatnya melangsungkan akad nikah dengan Zahra. Dia sengaja membawa keycard kamar waktu pergi tadi agar bisa masuk sendiri tanpa harus menunggu dibukakan pintu oleh wanita yang sudah dihalalkannya itu. Karena itu Zyan melarang Zahra keluar dari kamar.Betapa terkejutnya Zyan saat mendapati sekretaris yang juga istrinya sedang tertidur pulas di atas ranjang hotel. Dia tadi cemas memikirkan apa yang terjadi saat keluarga mereka datang, sampai mengebut agar cepat sampai di hotel, malah Zahra enak-enakan tidur.Pria berparas tampan itu sebenarnya ingin mengamuk dan membangunkan istrinya, tapi entah kenapa jadi tidak tega. Rasa bersalah karena menyeret Zahra dalam pernikahan kontrak mereka membuatnya urung melakukannya. Mama dan Papanya sama sekali tidak menghubunginya, bukankah itu artinya baik-baik saja? Kenapa dia jadi secemas tadi padahal juga sudah menjelaskan lewat pesan?CEO itu mendekat pada Zahra. B
Zahra terkejut karena wajah Zyan begitu dekat dengannya. Bahkan embusan napas saat pria itu berbicara, bisa dirasakannya. Tubuhnya seketika meremang apalagi melihat senyuman Zyan yang seolah mengejeknya.“Mak—sud Bapak apa?” tanyanya dengan gugup dan jantung berdebar.Melihat sekretarisnya jadi gugup, Zyan menjauhkan diri. Dia menikmati perubahan ekspresi gadis berhijab itu. Membuatnya gemas dan jadi ingin terus menggoda Zahra.“Masa kamu tidak tahu kegiatan yang biasa dilakukan penganti baru, Ra?” pancingnya.Zahra menelan ludah. Dia mulai waspada. Apa Zyan ingin menyentuhnya seperti suami pada umumnya? Bukankah dalam kontrak, mereka sudah sepakat tidak akan melakukan hubungan suami istri setelah menikah? Tidak mungkin ‘kan Zyan yang terkenal tegas dan disiplin itu mengingkari perjanjian mereka?Pria itu tersenyum miring. “Kenapa diam? Apa kamu sedang membayangkan kita melakukan kegiatan itu?” Zyan s