Share

Bab 4

Zahra diam, tak langsung menanggapi pertanyaan Zyan. Gadis itu juga mengalihkan pandangan ke depan. Dia tak habis pikir dengan apa yang dilontarkan oleh bosnya itu. Pernikahan kontrak? Seperti di novel-novel yang sering dia baca saja.

“Kenapa diam? Kamu tidak setuju?” Zyan menaikkan sebelah alisnya seraya menoleh pada sekretarisnya.

“Menikah itu ikatan yang suci, Pak. Perjanjian dengan Allah, tidak hanya dengan manusia. Kita tidak boleh mempermainkannya,” sergah Zahra. Menolak dengan tegas ide gila CEO di tempatnya bekerja itu.

Rahang Zyan mengetat, tidak sependapat dengan jawaban sang sekretaris. “Terus maumu apa? Kita benar-benar menikah?” timpalnya dengan kesal.

“Sama seperti jawaban saya tadi. Saya tidak mau menikah dengan Bapak,” tegas Zahra. Meskipun berhutang budi pada Zyan, dia tetap tidak mau mengorbankan masa depannya demi ambisi sang bos.

Pria berusia 32 tahun itu mengembuskan napas kasar. Bagaimanapun dia harus menikah dengan Zahra agar tidak kehilangan warisan. Karena itu Zyan harus bisa mengambil hatinya. “Aku akan menaikkan gajimu dua kali lipat dan memberikan apa pun yang kamu mau asal mau nikah kontrak denganku,” bujuknya kemudian.

Zahra tersenyum tipis. “Tawaran Pak Zyan sangat menarik. Tapi maaf, saya sama sekali tidak tertarik.”

“Serius, kamu sama sekali tidak tertarik?” Zyan tidak mau percaya begitu saja. Wanita mana yang tidak tertarik dengan harta?

“Saya serius, Pak.” Gadis berhijab itu kembali menegaskan sikapnya.

Zyan mengeratkan genggamannya pada kemudi. Kalau sampai Zahra tidak mau menikah dengannya, dia akan menggunakan berbagai macam cara untuk membuat sekretarisnya itu setuju. Pekerjaan rumahnya sekarang mencari siasat agar Zahra dengan sukarela mau menjadi istrinya, walau hanya untuk sementara.

Setelah itu, tak ada lagi yang bersuara sampai mereka tiba di rumah orang tua Zahra. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis berhijab itu turun dari mobil mewah milik sang pimpinan.

Saat itu di jalan depan rumah Zahra ada mobil putih yang berhenti di sana. Entah milik siapa, Zyan tidak peduli dan tidak berniat mencari tahu. CEO itu langsung melajukan lagi kendaraannya meninggalkan tempat tersebut.

Zahra melangkahkan kaki masuk ke halaman. Dari sana dia bisa mendengar suara ribut dari dalam rumah. Gadis itu kemudian mempercepat langkahnya agar tahu apa yang sedang terjadi.

“Apa? Mau minta kelonggaran waktu lagi? Tidak bisa! Aku sudah berbaik hati memberi perpanjangan waktu satu bulan. Itu sudah lama, biasanya hanya satu minggu,” teriak seorang pria bertubuh tambun yang duduk di hadapan Umar, ayah Zahra.

“Tolonglah, Pak Binsar. Saya mohon. Kami masih mengusahakan menjual tanah di desa.” Umar sampai mengatupkan kedua tangan demi memohon pada rentenir yang sudah meminjamkan uang padanya.

Pria dengan perhiasan emas di leher, tangan, dan jarinya itu menggeleng. “Pokoknya tidak bisa! Bayar utangmu sekarang, atau tanah ini jadi milikku!” tegasnya.

“Ada apa ini?” tanya Zahra begitu masuk ke rumah. Dia memandang Umar dan Binsar dengan tatapan heran.

Pria bertubuh tambun itu terkejut kala melihat seorang gadis cantik masuk ke rumah. “Siapa dia?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari Zahra. Matanya awas memindai gadis berhijab itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“A-nak saya, Pak,” jawab Umar dengan terbata-bata.

“Boleh juga anakmu,” ucap Binsar sambil tersenyum menyeringai.

“Yah, ada apa ini sebenarnya?” Zahra mengulang pertanyaannya karena sejak tadi belum mendapat jawaban.

“Duduk sini dulu, Cantik. Abang akan jelaskan.” Binsar tiba-tiba bersikap lembut pada Zahra hingga membuat gadis itu merasa jijik.

“Anda, siapa? Kenapa membentak-bentak ayah saya?” tanya Zahra tanpa mengindahkan permintaan sang rentenir.

“Ayahmu punya utang 300 juta sama aku. Hari ini jatuh temponya, jadi aku datang menagih. Tapi ayahmu tidak tahu diri. Malah minta waktu lagi, padahal sudah kuberi kelonggaran,” jelas Binsar sambil terus memandang gadis itu.

“Ap—pa? Tiga ratus juta?” Netra Zahra membola, terkejut mendengar jumlah uang yang disebutkan oleh rentenir itu. Nominal yang jelas sangat besar untuknya dan keluarganya. Kalaupun semua gajinya dikumpulkan, butuh waktu beberapa tahun baru bisa mencapai jumlah tersebut.

Zahra kemudian menoleh pada Umar. “Apa benar, Yah?”

Umar pun mengangguk. “Benar, Ra. Maafkan ayah,” ucapnya penuh sesal.

“Lantas kalau tidak bisa membayar, apa konsekuensinya, Yah?” tanya Zahra.

“Tanah dan rumah ini akan menjadi milik Pak Binsar,” jawab Umar sambil menunduk.

“Apa?” Gadis berhijab itu kembali terkejut. “Terus kita akan tinggal di mana, Yah?”

Binsar tersenyum licik melihat interaksi ayah dan anak di depannya. “Aku punya solusi agar utangmu lunas dan tanah ini kembali jadi milikmu,” lontarnya yang membuat Umar dan Zahra sontak menoleh pada sang rentenir.

Mata Umar berbinar-binar begitu mendengar ada harapan tanahnya akan kembali. Berbeda dengan Zahra yang memandang Binsar dengan tatapan curiga. Tidak mungkin ada orang yang rela melepas uangnya tanpa punya tujuan tertentu apalagi seorang rentenir yang pekerjaan utamanya meminjamkan uang dengan bunga yang besar.

“Apa solusinya, Pak?” tanya Umar dengan senyum merekah.

“Aku menikah dengan anakmu yang cantik ini,” jawab Binsar dengan seringai di wajahnya.

Seketika senyum Umar lenyap. Kepalanya menggeleng berulang kali. “Tidak! Saya tidak akan menggadaikan anak saya demi melunasi utang,” jawabnya dengan tegas.

“Lebih baik saya kehilangan rumah ini daripada anak saya jadi istri keempat Pak Binsar,” sambungnya.

“Hei, Cantik. Apa kamu tega membiarkan ayahmu yang sudah tua ini jadi gelandangan di jalan?” Binsar tak mengindahkan Umar, dia langsung menekan Zahra.

Gadis itu tampak kalut dan tidak bisa berpikir jernih. Apa yang baru saja didengarnya bagaikan petir di siang bolong. Zahra mesti secepatnya membuat keputusan. Haruskah dia merelakan rumah yang jadi kenangan keluarganya hilang? Atau mengorbankan diri demi rumah itu?

“Rara, jangan korbankan dirimu!” lontar Umar yang melihat putri bungsunya tampak linglung.

“Cantik, sebagai anak yang baik, harusnya kamu membantu orang tuamu. Bukan malah membuat mereka kehilangan rumah. Kalau jadi istri abang, selain utang ayahmu lunas dan rumah ini kembali, abang juga akan memberikan rumah dan mobil untukmu. Kamu tidak perlu bekerja. Cukup ongkang-ongkang kaki di rumah dan melayani abang.” Binsar coba memengaruhi Zahra.

“Pergi dari sini! Saya tidak sudi menikahkan Zahra dengan pria licik seperti Anda!” seru Umar sambil mengacungkan tangan menunjuk ke arah pintu. Dia sudah tidak peduli kalau tidak punya rumah lagi dan tinggal di kontrakan. Putrinya jauh lebih berharga dari semua itu.

“Heh, Tua Bangka! Tidak salah kamu malah menyuruhku pergi? Detik ini juga kalau anakmu tidak mau menjadi istriku, tanah dan rumah ini jadi milikku. Harusnya aku yang mengusir kalian dari sini!” hardik Binsar yang sudah terpancing emosi.

Pria yang seperti toko emas berjalan itu lalu beralih pada Zahra. “Cantik, cepat ambil keputusan! Menikah dengan abang atau kalian tinggalkan rumah ini!” tekannya.

“Rara, jangan mengambil keputusan yang akan membuatmu menyesal!” Umar menggeleng berulang kali saat bertatapan dengan putri bungsunya.

“Tenang saja, Yah.” Zahra tersenyum pada Umar lalu menghela napas panjang. Dia kemudian menatap Binsar. “Saya akan menikah dengan Pak—”

“Zyan. Ya, kamu akan menikah denganku, Sayang.” Tanpa diduga Zyan tiba-tiba masuk ke rumah itu dan memotong ucapan sekretarisnya.

“Heh! Siapa kamu berani-beraninya berkata akan menikah dengan gadis itu?” bentak Binsar.

Zyan tersenyum miring seraya menatap tajam pria bertubuh tambun itu. “Anda bertanya siapa saya? Kenalkan saya Zyandaru Darmawangsa. Calon suaminya Zahra,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Isabella
nah Zian dpt ide nikah dg zahra
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
cieeeee dpt alasan yg kuat nih buat maksa Zahra nikah Sana zyan
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
utang 300 juta banyak amat ya buat apa aja itu papanya zahra ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status