Zahra diam, tak langsung menanggapi pertanyaan Zyan. Gadis itu juga mengalihkan pandangan ke depan. Dia tak habis pikir dengan apa yang dilontarkan oleh bosnya itu. Pernikahan kontrak? Seperti di novel-novel yang sering dia baca saja.
“Kenapa diam? Kamu tidak setuju?” Zyan menaikkan sebelah alisnya seraya menoleh pada sekretarisnya.
“Menikah itu ikatan yang suci, Pak. Perjanjian dengan Allah, tidak hanya dengan manusia. Kita tidak boleh mempermainkannya,” sergah Zahra. Menolak dengan tegas ide gila CEO di tempatnya bekerja itu.
Rahang Zyan mengetat, tidak sependapat dengan jawaban sang sekretaris. “Terus maumu apa? Kita benar-benar menikah?” timpalnya dengan kesal.
“Sama seperti jawaban saya tadi. Saya tidak mau menikah dengan Bapak,” tegas Zahra. Meskipun berhutang budi pada Zyan, dia tetap tidak mau mengorbankan masa depannya demi ambisi sang bos.
Pria berusia 32 tahun itu mengembuskan napas kasar. Bagaimanapun dia harus menikah dengan Zahra agar tidak kehilangan warisan. Karena itu Zyan harus bisa mengambil hatinya. “Aku akan menaikkan gajimu dua kali lipat dan memberikan apa pun yang kamu mau asal mau nikah kontrak denganku,” bujuknya kemudian.
Zahra tersenyum tipis. “Tawaran Pak Zyan sangat menarik. Tapi maaf, saya sama sekali tidak tertarik.”
“Serius, kamu sama sekali tidak tertarik?” Zyan tidak mau percaya begitu saja. Wanita mana yang tidak tertarik dengan harta?
“Saya serius, Pak.” Gadis berhijab itu kembali menegaskan sikapnya.
Zyan mengeratkan genggamannya pada kemudi. Kalau sampai Zahra tidak mau menikah dengannya, dia akan menggunakan berbagai macam cara untuk membuat sekretarisnya itu setuju. Pekerjaan rumahnya sekarang mencari siasat agar Zahra dengan sukarela mau menjadi istrinya, walau hanya untuk sementara.
Setelah itu, tak ada lagi yang bersuara sampai mereka tiba di rumah orang tua Zahra. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis berhijab itu turun dari mobil mewah milik sang pimpinan.
Saat itu di jalan depan rumah Zahra ada mobil putih yang berhenti di sana. Entah milik siapa, Zyan tidak peduli dan tidak berniat mencari tahu. CEO itu langsung melajukan lagi kendaraannya meninggalkan tempat tersebut.
Zahra melangkahkan kaki masuk ke halaman. Dari sana dia bisa mendengar suara ribut dari dalam rumah. Gadis itu kemudian mempercepat langkahnya agar tahu apa yang sedang terjadi.
“Apa? Mau minta kelonggaran waktu lagi? Tidak bisa! Aku sudah berbaik hati memberi perpanjangan waktu satu bulan. Itu sudah lama, biasanya hanya satu minggu,” teriak seorang pria bertubuh tambun yang duduk di hadapan Umar, ayah Zahra.
“Tolonglah, Pak Binsar. Saya mohon. Kami masih mengusahakan menjual tanah di desa.” Umar sampai mengatupkan kedua tangan demi memohon pada rentenir yang sudah meminjamkan uang padanya.
Pria dengan perhiasan emas di leher, tangan, dan jarinya itu menggeleng. “Pokoknya tidak bisa! Bayar utangmu sekarang, atau tanah ini jadi milikku!” tegasnya.
“Ada apa ini?” tanya Zahra begitu masuk ke rumah. Dia memandang Umar dan Binsar dengan tatapan heran.
Pria bertubuh tambun itu terkejut kala melihat seorang gadis cantik masuk ke rumah. “Siapa dia?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari Zahra. Matanya awas memindai gadis berhijab itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“A-nak saya, Pak,” jawab Umar dengan terbata-bata.
“Boleh juga anakmu,” ucap Binsar sambil tersenyum menyeringai.
“Yah, ada apa ini sebenarnya?” Zahra mengulang pertanyaannya karena sejak tadi belum mendapat jawaban.
“Duduk sini dulu, Cantik. Abang akan jelaskan.” Binsar tiba-tiba bersikap lembut pada Zahra hingga membuat gadis itu merasa jijik.
“Anda, siapa? Kenapa membentak-bentak ayah saya?” tanya Zahra tanpa mengindahkan permintaan sang rentenir.
“Ayahmu punya utang 300 juta sama aku. Hari ini jatuh temponya, jadi aku datang menagih. Tapi ayahmu tidak tahu diri. Malah minta waktu lagi, padahal sudah kuberi kelonggaran,” jelas Binsar sambil terus memandang gadis itu.
“Ap—pa? Tiga ratus juta?” Netra Zahra membola, terkejut mendengar jumlah uang yang disebutkan oleh rentenir itu. Nominal yang jelas sangat besar untuknya dan keluarganya. Kalaupun semua gajinya dikumpulkan, butuh waktu beberapa tahun baru bisa mencapai jumlah tersebut.
Zahra kemudian menoleh pada Umar. “Apa benar, Yah?”
Umar pun mengangguk. “Benar, Ra. Maafkan ayah,” ucapnya penuh sesal.
“Lantas kalau tidak bisa membayar, apa konsekuensinya, Yah?” tanya Zahra.
“Tanah dan rumah ini akan menjadi milik Pak Binsar,” jawab Umar sambil menunduk.
“Apa?” Gadis berhijab itu kembali terkejut. “Terus kita akan tinggal di mana, Yah?”
Binsar tersenyum licik melihat interaksi ayah dan anak di depannya. “Aku punya solusi agar utangmu lunas dan tanah ini kembali jadi milikmu,” lontarnya yang membuat Umar dan Zahra sontak menoleh pada sang rentenir.
Mata Umar berbinar-binar begitu mendengar ada harapan tanahnya akan kembali. Berbeda dengan Zahra yang memandang Binsar dengan tatapan curiga. Tidak mungkin ada orang yang rela melepas uangnya tanpa punya tujuan tertentu apalagi seorang rentenir yang pekerjaan utamanya meminjamkan uang dengan bunga yang besar.
“Apa solusinya, Pak?” tanya Umar dengan senyum merekah.
“Aku menikah dengan anakmu yang cantik ini,” jawab Binsar dengan seringai di wajahnya.
Seketika senyum Umar lenyap. Kepalanya menggeleng berulang kali. “Tidak! Saya tidak akan menggadaikan anak saya demi melunasi utang,” jawabnya dengan tegas.
“Lebih baik saya kehilangan rumah ini daripada anak saya jadi istri keempat Pak Binsar,” sambungnya.
“Hei, Cantik. Apa kamu tega membiarkan ayahmu yang sudah tua ini jadi gelandangan di jalan?” Binsar tak mengindahkan Umar, dia langsung menekan Zahra.
Gadis itu tampak kalut dan tidak bisa berpikir jernih. Apa yang baru saja didengarnya bagaikan petir di siang bolong. Zahra mesti secepatnya membuat keputusan. Haruskah dia merelakan rumah yang jadi kenangan keluarganya hilang? Atau mengorbankan diri demi rumah itu?
“Rara, jangan korbankan dirimu!” lontar Umar yang melihat putri bungsunya tampak linglung.
“Cantik, sebagai anak yang baik, harusnya kamu membantu orang tuamu. Bukan malah membuat mereka kehilangan rumah. Kalau jadi istri abang, selain utang ayahmu lunas dan rumah ini kembali, abang juga akan memberikan rumah dan mobil untukmu. Kamu tidak perlu bekerja. Cukup ongkang-ongkang kaki di rumah dan melayani abang.” Binsar coba memengaruhi Zahra.
“Pergi dari sini! Saya tidak sudi menikahkan Zahra dengan pria licik seperti Anda!” seru Umar sambil mengacungkan tangan menunjuk ke arah pintu. Dia sudah tidak peduli kalau tidak punya rumah lagi dan tinggal di kontrakan. Putrinya jauh lebih berharga dari semua itu.
“Heh, Tua Bangka! Tidak salah kamu malah menyuruhku pergi? Detik ini juga kalau anakmu tidak mau menjadi istriku, tanah dan rumah ini jadi milikku. Harusnya aku yang mengusir kalian dari sini!” hardik Binsar yang sudah terpancing emosi.
Pria yang seperti toko emas berjalan itu lalu beralih pada Zahra. “Cantik, cepat ambil keputusan! Menikah dengan abang atau kalian tinggalkan rumah ini!” tekannya.
“Rara, jangan mengambil keputusan yang akan membuatmu menyesal!” Umar menggeleng berulang kali saat bertatapan dengan putri bungsunya.
“Tenang saja, Yah.” Zahra tersenyum pada Umar lalu menghela napas panjang. Dia kemudian menatap Binsar. “Saya akan menikah dengan Pak—”
“Zyan. Ya, kamu akan menikah denganku, Sayang.” Tanpa diduga Zyan tiba-tiba masuk ke rumah itu dan memotong ucapan sekretarisnya.
“Heh! Siapa kamu berani-beraninya berkata akan menikah dengan gadis itu?” bentak Binsar.
Zyan tersenyum miring seraya menatap tajam pria bertubuh tambun itu. “Anda bertanya siapa saya? Kenalkan saya Zyandaru Darmawangsa. Calon suaminya Zahra,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Binsar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia memindai Zyan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pria yang lebih muda darinya itu mempunyai paras tampan. Pakaian dan aksesori yang melekat di tubuh tegap Zyan, semuanya tampak berkelas dan mahal. Membuat pria bertubuh tambun itu jadi kurang percaya diri karena kekayaan pria yang mengaku sebagai calon suami Zahra itu pasti jauh di atasnya. “Hei, Anak Muda. Jangan mengaku-aku. Lagian kamu tidak akan bisa menikahi gadis itu karena dia sudah setuju jadi penebus utang ayahnya,” ucapnya dengan pongah. Binsar juga tidak mau menyambut uluran tangan Zyan. Meskipun dalam hal apa pun kalah dari Zyan, dia tidak mau mengakuinya. Rentenir itu tetap mempertahankan wibawanya. Zyan pun menarik tangannya lalu tersenyum sinis. “Anda sedang berkhayal? Zahra tidak pernah setuju menikah dengan Anda.” “Dia tadi akan mengatakannya, tapi kamu tiba-tiba datang dan memotong ucapannya,” sergah Binsar yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Pria bertu
Zahra langsung mengiakan tanpa berpikir lagi. Dia mengajak Zyan keluar agar pembicaraan mereka tidak didengar ayah dan ibunya. Keduanya pergi setelah berpamitan pada Maryam, ibu Zahra.“Sebelum membahas soal perjanjian, saya ingin tahu kenapa Pak Zyan tiba-tiba kembali ke rumah saya?” tanya Zahra saat mobil mewah yang mereka naiki sudah melaju di jalanan.“Untuk bertemu orang tuamu,” sahut Zyan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Jawaban dari bosnya itu membuat Zahra mengernyit. “Untuk apa?”“Memberi tahu kalau nanti malam Papa dan Mama akan melamar kamu.” Wajah Zyan sangat datar untuk seseorang yang ingin berniat melamar wanita.“Walaupun saya tidak setuju menikah, Pak Zyan tetap akan melamar?” Zahra memandang wajah pria yang duduk di belakang kemudi itu.“Itu urusanmu sama Papa dan Mama. Aku hanya menyampaikan pesan mereka saja,” jawab Zyan tanpa beban. Pria itu la
Zahra menelan ludah mendengar pertanyaan Zyan. Gadis itu jadi semakin gugup karena bosnya malah berdiri menghadap ke arahnya hingga semakin tampak jelas otot-otot yang terbentuk di bagian atas tubuh pria itu. “Bukan begitu, Pak. Saya hanya merasa kurang nyaman karena tidak terbiasa,” ucapnya dengan terbata-bata.“Kalau begitu mulai dibiasakan,” tukas Zyan tanpa mengindahkan permintaan sang sekretaris yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya.Karena Zyan tetap akan memakai pakaiannya di dalam kamar, Zahra memutuskan masuk ke kamar mandi. Lebih baik mengalah daripada dia jadi canggung sendiri. Gadis itu sebenarnya ingin mandi sekalian. Namun karena belum membawa baju ganti, dia memutuskan duduk di atas toilet sambil menunggu Zyan selesai berpakaian.“Zahra,” panggil Zyan sambil mengetuk pintu kamar mandi.“Ya, Pak,” sahut Zahra tanpa membuka pintu. Dia takut bosnya belum selesai berpakaian.“Aku
“Bunny, kamu melamun?” Suara Mila berhasil membuat Zyan kembali ke alam nyata. Dia tersenyum tipis pada kekasihnya itu.“Aku sedang berpikir apa yang akan aku lakukan kalau kamu tidak di sini,” kilah Zyan untuk menutupi apa yang sebenarnya tadi dia pikirkan. Sementara ini, Zyan memutuskan menutupi pernikahannya dengan Zahra dari Mila. Toh, pernikahan mereka hanya sementara dan tak banyak yang tahu. Jadi, Mila pun tak akan tahu selama tak ada yang memberi tahu.“Daripada memikirkan soal itu lebih baik kita melakukan hal yang menyenangkan, Bunny. I miss your touch.” Mila memandang Zyan dengan tatapan menggoda. Dia menangkup wajah sang kekasih dengan kedua tangan lalu menautkan bibir mereka. Ciuman yang semula pelan itu jadi semakin intens dan membuat kedua tangan mereka bergerak, menyentuh apa pun yang ingin disentuh.***Zahra baru saja berpakaian saat bel kamar hotel berbunyi. Dia beranjak menuju pintu dan meli
Zyan mondar-mandir di balkon apartemen Mila dengan gawai di samping telinga. Setelah membaca pesan dari Zahra kalau kedua keluarga mendatangi kamar hotel mereka, dia merasa gelisah sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karenanya pria berwajah rupawan itu menghubungi sekretaris yang juga istrinya. Namun sayangnya, setelah beberapa kali melakukan panggilan, tak ada satu pun yang dijawab oleh Zahra."Apa dia sedang di kamar mandi? Kenapa teleponku tidak diangkat?" gumam Zyan dengan kening mengerut.CEO muda itu kemudian menghubungi asistennya. Berbeda dengan Zahra, panggilan pada Faisal itu langsung dijawab."Apa Papa atau Mama telepon kamu?" tanya Zyan tanpa basa-basi begitu sang asisten menjawab panggilannya."Tidak, Pak. Apa ada masalah?" sahut Faisal dari seberang telepon.Zyan menghela napas lega setelah mendengar jawaban asistennya. "Tidak ada. Ingat, Fai! Kalau Papa dan Mama tanya soal aku, kamu jawab seperti yang aku katakan tadi," pesannya."Baik, Pak. Apa ada
Zyan langsung masuk ke kamar begitu tiba di hotel tempatnya melangsungkan akad nikah dengan Zahra. Dia sengaja membawa keycard kamar waktu pergi tadi agar bisa masuk sendiri tanpa harus menunggu dibukakan pintu oleh wanita yang sudah dihalalkannya itu. Karena itu Zyan melarang Zahra keluar dari kamar.Betapa terkejutnya Zyan saat mendapati sekretaris yang juga istrinya sedang tertidur pulas di atas ranjang hotel. Dia tadi cemas memikirkan apa yang terjadi saat keluarga mereka datang, sampai mengebut agar cepat sampai di hotel, malah Zahra enak-enakan tidur.Pria berparas tampan itu sebenarnya ingin mengamuk dan membangunkan istrinya, tapi entah kenapa jadi tidak tega. Rasa bersalah karena menyeret Zahra dalam pernikahan kontrak mereka membuatnya urung melakukannya. Mama dan Papanya sama sekali tidak menghubunginya, bukankah itu artinya baik-baik saja? Kenapa dia jadi secemas tadi padahal juga sudah menjelaskan lewat pesan?CEO itu mendekat pada Zahra. B
Zahra terkejut karena wajah Zyan begitu dekat dengannya. Bahkan embusan napas saat pria itu berbicara, bisa dirasakannya. Tubuhnya seketika meremang apalagi melihat senyuman Zyan yang seolah mengejeknya.“Mak—sud Bapak apa?” tanyanya dengan gugup dan jantung berdebar.Melihat sekretarisnya jadi gugup, Zyan menjauhkan diri. Dia menikmati perubahan ekspresi gadis berhijab itu. Membuatnya gemas dan jadi ingin terus menggoda Zahra.“Masa kamu tidak tahu kegiatan yang biasa dilakukan penganti baru, Ra?” pancingnya.Zahra menelan ludah. Dia mulai waspada. Apa Zyan ingin menyentuhnya seperti suami pada umumnya? Bukankah dalam kontrak, mereka sudah sepakat tidak akan melakukan hubungan suami istri setelah menikah? Tidak mungkin ‘kan Zyan yang terkenal tegas dan disiplin itu mengingkari perjanjian mereka?Pria itu tersenyum miring. “Kenapa diam? Apa kamu sedang membayangkan kita melakukan kegiatan itu?” Zyan s
Kedua alis Zahra bertaut usai mendengar kata-kata Zyan. “Memangnya setelah dari sini kita tinggal di mana, Pak?” tanyanya. Mereka memang tak pernah membahas akan tinggal di mana setelah menikah karena waktu pernikahan yang mepet.Zyan menghela napas. “Mama ingin kita tinggal bersama mereka. Kalau kamu setuju kita tidak tinggal bersama mereka, aku akan bicara sama Mama dan Papa. Aku akan bilang kita ingin hidup mandiri setelah menikah jadi mau tinggal di rumah sendiri. Kamu juga tidak mau ‘kan terus-terusan bersandiwara?” Dia menatap mata gadis berhijab itu.“Saya ikut saja mana yang terbaik, Pak. Tapi memang lebih bebas kalau tinggal berdua. Kita bisa tidur di kamar yang terpisah,” timpal Zahra.“Berarti kamu setuju ‘kan kita tinggal berdua?” Zyan memastikan.Zahra mengangguk. “Setuju, Pak.”“Kalau kita boleh tinggal berdua, kamu maunya tinggal di apartemen atau rumah bia