Binsar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia memindai Zyan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pria yang lebih muda darinya itu mempunyai paras tampan. Pakaian dan aksesori yang melekat di tubuh tegap Zyan, semuanya tampak berkelas dan mahal. Membuat pria bertubuh tambun itu jadi kurang percaya diri karena kekayaan pria yang mengaku sebagai calon suami Zahra itu pasti jauh di atasnya.
“Hei, Anak Muda. Jangan mengaku-aku. Lagian kamu tidak akan bisa menikahi gadis itu karena dia sudah setuju jadi penebus utang ayahnya,” ucapnya dengan pongah. Binsar juga tidak mau menyambut uluran tangan Zyan. Meskipun dalam hal apa pun kalah dari Zyan, dia tidak mau mengakuinya. Rentenir itu tetap mempertahankan wibawanya.
Zyan pun menarik tangannya lalu tersenyum sinis. “Anda sedang berkhayal? Zahra tidak pernah setuju menikah dengan Anda.”
“Dia tadi akan mengatakannya, tapi kamu tiba-tiba datang dan memotong ucapannya,” sergah Binsar yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
Pria bertumbuh tambun itu kemudian beralih pada Zahra. Memandang gadis itu dengan tatapan menggoda. “Benar ‘kan apa yang abang katakan, Cantik? Kamu mau menikah dengan abang?”
“Sayang, ikut aku! Kita harus bicara.” Zyan langsung menarik Zahra keluar sebelum sekretarisnya menjawab pertanyaan sang rentenir. Pria tampan itu tak mau kehilangan kesempatan untuk mempertahankan posisinya sebagai ahli waris. Semesta saat ini sedang berpihak padanya.
“Hei, mau dibawa ke mana calon istriku?” teriak Binsar saat melihat Zyan membawa Zahra pergi. Namun, CEO muda itu tak mengindahkan, dia terus mengajak sekretarisnya masuk ke mobil. Tanpa mengatakan apa pun Zyan menyalakan mobil dan AC lalu mengunci semua pintu dengan central lock.
“Apa yang Pak Zyan lakukan? Jangan menambah masalah keluarga saya, Pak,” protes Zahra. Sebelumnya dia tidak memberontak karena tak ingin membuat bosnya kehilangan wibawa di depan Binsar dan Umar.
“Dengar, Ra! Aku di sini menawarkan bantuan, bukan menambah masalah. Kalau kamu setuju kita nikah kontrak, aku akan bayar lunas utang ayahmu.” Zyan menatap tajam Zahra.
Gadis berhijab itu terkejut mendengar tawaran bosnya. Otaknya masih mencerna yang apa yang dia dengar. Benarkah Zyan mau melunasi utang ayahnya pada rentenir itu?
“Cepat putuskan, Ra! Menikah denganku atau menikah dengan pria tua dan norak itu!” tekan Zyan.
“Jangan mengambil keputusan bodoh yang akan kamu sesali!” imbuhnya memperingatkan gadis itu.
Zahra menutup wajah dengan kedua tangan. Mempertimbangkan mana yang paling baik di anatar kedua pilihan yang sama-sama tidak disukainya. Dia bagai mendapat buah simalakama.
“Zahra cepat putuskan! Waktu kita tidak banyak. Lihat pria tua itu datang ke sini!” desak Zyan yang melihat Binsar berjalan mendekati mobilnya.
Setelah menarik tangan yang menutupi wajahnya, gadis berhijab itu menghela napas panjang. “Saya mau menikah dengan Pak Zyan,” putusnya yang seketika membuat sang CEO tersenyum lebar penuh kemenangan. Akhirnya dia bisa membuat sekretarisnya itu secara sukarela menikah dengannya.
“Aku pegang ucapanmu! Ayo kita keluar.” Zyan membuka kunci semua pintu lalu turun dari mobil mewah itu. Dia memutari depan mobil, menghampiri Zahra. Sesudah sekretarisnya keluar, pria itu menggandeng tangannya.
Binsar yang tiba di dekat kendaraan berharga miliaran itu tercengang melihat mobil mewah di depan mata. Dia menebak-nebak seberapa kaya pria yang sudah membawa kabur calon istrinya.
“Mari selesaikan urusan kita di dalam, Pak.” Ucapan Zyan berhasil membuyarkan lamunan sang rentenir.
“Hei, lepaskan tanganmu dari calon istriku!” Pria bertubuh tambun itu kembali berteriak pada Zyan. Namun tentu saja CEO itu tak peduli. Dia tetap menggenggam tangan Zahra dengan erat sampai kembali ke ruang tamu.
“Saya akan melunasi utang ayah Zahra. Apa Anda membawa sertifikat rumah ini?” Zyan memulai pembicaraan saat mereka semua sudah duduk di ruang tamu. Dia mengatakannya sambil menatap tajam sang rentenir.
“Memangnya kamu tahu berapa utangnya Pak Umar?” Binsar tetap bersikap pongah agar wibawanya tetap terjaga. Meskipun di dalam hatinya merasa minder. Selain lebih kaya, Zyan juga lebih tampan dan gagah darinya. Dia diam-diam mengakui kalau CEO itu sangat serasi dengan Zahra yang cantik.
Zyan menggeleng. Dia memang belum tahu jumlah utang Umar. “Berapa memangnya?” tantangnya.
“Tiga ratus juta,” jawab Binsar. “Aku mau dilunasi sekarang juga atau si cantik itu jadi istriku,” sambungnya.
"Tiga ratus juta?” dengus Zyan sambil tersenyum miring. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan memindai lawan bicaranya dengan tatapan remeh.
“Iya. Tiga ratus juta. Sekarang, mana uangnya?” sergah sang rentenir marah, tidak suka dengan cara Zyan menatapnya.
“Anda belum menjawab, apa sertifikat rumah ini Anda bawa? Begitu melihatnya, langsung saya lunasi,” tegas Zyan.
“Sertifikatnya di mobil, nanti aku ambilkan. Awas kalau kalian sampai mempermainkan dan membohongi aku!” Binsar bangkit dari duduk lalu beranjak menuju mobil putih yang terparkir di pinggir jalan depan rumah tersebut. Tak berapa lama, pria bertubuh tambun itu kembali dengan amplop cokelat besar di tangan kanan. “Ini sertifikatnya,” ucapnya setelah duduk lagi di ruang tamu.
“Pak Umar, silakan dicek dulu sertifikatnya,” kata Zyan pada ayah Zahra. Dia lalu berpaling pada sang rentenir. “Berikan sertifikat itu pada Pak Umar!” perintahnya.
“Anak Muda, tadi kamu bilang kalau sudah melihat sertifikat akan langsung melunasi. Kenapa harus mengecek dulu? Jangan coba-coba menipuku ya!” protes Binsar.
Zyan tersenyum mengejek. “Menipu Anda? Apa untungnya buat saya? Bahkan kalau saya mau, mobil dan seluruh perhiasan yang Anda pakai itu saya bayar sekalian. Berapa jumlahnya? Pasti tidak sampai lima ratus juta ‘kan!” Dia mengeluarkan gawai lalu membuka aplikasi m-banking dan menunjukkan saldonya pada pria tambun itu.
Binsar menelan ludah melihat banyaknya digit yang ada di sana. Belum selesai dia menghitung jumlah digitnya, Zyan sudah menarik kembali ponsel berlogo apel tergigit itu.
“Cepat berikan sertifikatnya pada Pak Umar!” desak Zyan yang mulai kehilangan kesabaran.
Tanpa mengatakan apa pun, Binsar memberikan amplop tersebut pada Umar. Ayah Zahra itu kemudian mengeluarkan sertifikat dan membacanya dengan saksama. Dia lalu menatap bos putri bungsunya. “Nak Zyan, sertifikatnya sudah benar.”
Zyan mengangguk. Dia kembali menatap tajam Binsar. “Berapa nomor rekeningmu?”
Setelah pria tambun itu menyebutkan nomor rekeningnya, Zyan segera mentransfer sejumlah tiga ratus juta rupiah. Dia lalu menunjukkan bukti transfernya.
“Sudah saya transfer. Mulai detik ini, utang Pak Umar lunas. Jangan lagi Anda mengganggu mereka terutama Zahra! Atau saya tidak akan segan-segan membuat Anda membusuk di penjara,” ucap Zyan penuh intimidasi. Dia tak main-main dengan ancamannya. Melenyapkan rentenir seperti itu mudah saja baginya
“Baik. Aku pergi. Senang berbisnis denganmu, Anak Muda.” Binsar mengulurkan tangan, tapi Zyan tak menyambutnya. Pria tambun itu pun menarik tangannya dan pergi meninggalkan rumah Umar tanpa mengatakan apa pun lagi.
Zahra akhirnya bisa menghela napas lega. Diam-diam gadis itu merasa kagum pada Zyan. Meskipun bosnya sering jutek dan bersikap dingin, tapi hatinya baik. Hari ini sudah dua kali Zyan menolongnya. Meskipun pertolongan yang kedua tidak tulus, tetap saja dia bersyukur karena tidak menjadi istri keempat Binsar.
“Terima kasih, Pak. Saya banyak berutang budi pada Bapak hari ini,” ucap Zahra setelah Binsar pergi dan Umar masuk ke kamar untuk menyimpan sertifikat.
Zyan mengangguk. “Sekarang masalahmu sudah beres. Kita bisa membicarakan soal perjanjian nikah kontrak ‘kan?”
Zahra langsung mengiakan tanpa berpikir lagi. Dia mengajak Zyan keluar agar pembicaraan mereka tidak didengar ayah dan ibunya. Keduanya pergi setelah berpamitan pada Maryam, ibu Zahra.“Sebelum membahas soal perjanjian, saya ingin tahu kenapa Pak Zyan tiba-tiba kembali ke rumah saya?” tanya Zahra saat mobil mewah yang mereka naiki sudah melaju di jalanan.“Untuk bertemu orang tuamu,” sahut Zyan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Jawaban dari bosnya itu membuat Zahra mengernyit. “Untuk apa?”“Memberi tahu kalau nanti malam Papa dan Mama akan melamar kamu.” Wajah Zyan sangat datar untuk seseorang yang ingin berniat melamar wanita.“Walaupun saya tidak setuju menikah, Pak Zyan tetap akan melamar?” Zahra memandang wajah pria yang duduk di belakang kemudi itu.“Itu urusanmu sama Papa dan Mama. Aku hanya menyampaikan pesan mereka saja,” jawab Zyan tanpa beban. Pria itu la
Zahra menelan ludah mendengar pertanyaan Zyan. Gadis itu jadi semakin gugup karena bosnya malah berdiri menghadap ke arahnya hingga semakin tampak jelas otot-otot yang terbentuk di bagian atas tubuh pria itu. “Bukan begitu, Pak. Saya hanya merasa kurang nyaman karena tidak terbiasa,” ucapnya dengan terbata-bata.“Kalau begitu mulai dibiasakan,” tukas Zyan tanpa mengindahkan permintaan sang sekretaris yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya.Karena Zyan tetap akan memakai pakaiannya di dalam kamar, Zahra memutuskan masuk ke kamar mandi. Lebih baik mengalah daripada dia jadi canggung sendiri. Gadis itu sebenarnya ingin mandi sekalian. Namun karena belum membawa baju ganti, dia memutuskan duduk di atas toilet sambil menunggu Zyan selesai berpakaian.“Zahra,” panggil Zyan sambil mengetuk pintu kamar mandi.“Ya, Pak,” sahut Zahra tanpa membuka pintu. Dia takut bosnya belum selesai berpakaian.“Aku
“Bunny, kamu melamun?” Suara Mila berhasil membuat Zyan kembali ke alam nyata. Dia tersenyum tipis pada kekasihnya itu.“Aku sedang berpikir apa yang akan aku lakukan kalau kamu tidak di sini,” kilah Zyan untuk menutupi apa yang sebenarnya tadi dia pikirkan. Sementara ini, Zyan memutuskan menutupi pernikahannya dengan Zahra dari Mila. Toh, pernikahan mereka hanya sementara dan tak banyak yang tahu. Jadi, Mila pun tak akan tahu selama tak ada yang memberi tahu.“Daripada memikirkan soal itu lebih baik kita melakukan hal yang menyenangkan, Bunny. I miss your touch.” Mila memandang Zyan dengan tatapan menggoda. Dia menangkup wajah sang kekasih dengan kedua tangan lalu menautkan bibir mereka. Ciuman yang semula pelan itu jadi semakin intens dan membuat kedua tangan mereka bergerak, menyentuh apa pun yang ingin disentuh.***Zahra baru saja berpakaian saat bel kamar hotel berbunyi. Dia beranjak menuju pintu dan meli
Zyan mondar-mandir di balkon apartemen Mila dengan gawai di samping telinga. Setelah membaca pesan dari Zahra kalau kedua keluarga mendatangi kamar hotel mereka, dia merasa gelisah sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karenanya pria berwajah rupawan itu menghubungi sekretaris yang juga istrinya. Namun sayangnya, setelah beberapa kali melakukan panggilan, tak ada satu pun yang dijawab oleh Zahra."Apa dia sedang di kamar mandi? Kenapa teleponku tidak diangkat?" gumam Zyan dengan kening mengerut.CEO muda itu kemudian menghubungi asistennya. Berbeda dengan Zahra, panggilan pada Faisal itu langsung dijawab."Apa Papa atau Mama telepon kamu?" tanya Zyan tanpa basa-basi begitu sang asisten menjawab panggilannya."Tidak, Pak. Apa ada masalah?" sahut Faisal dari seberang telepon.Zyan menghela napas lega setelah mendengar jawaban asistennya. "Tidak ada. Ingat, Fai! Kalau Papa dan Mama tanya soal aku, kamu jawab seperti yang aku katakan tadi," pesannya."Baik, Pak. Apa ada
Zyan langsung masuk ke kamar begitu tiba di hotel tempatnya melangsungkan akad nikah dengan Zahra. Dia sengaja membawa keycard kamar waktu pergi tadi agar bisa masuk sendiri tanpa harus menunggu dibukakan pintu oleh wanita yang sudah dihalalkannya itu. Karena itu Zyan melarang Zahra keluar dari kamar.Betapa terkejutnya Zyan saat mendapati sekretaris yang juga istrinya sedang tertidur pulas di atas ranjang hotel. Dia tadi cemas memikirkan apa yang terjadi saat keluarga mereka datang, sampai mengebut agar cepat sampai di hotel, malah Zahra enak-enakan tidur.Pria berparas tampan itu sebenarnya ingin mengamuk dan membangunkan istrinya, tapi entah kenapa jadi tidak tega. Rasa bersalah karena menyeret Zahra dalam pernikahan kontrak mereka membuatnya urung melakukannya. Mama dan Papanya sama sekali tidak menghubunginya, bukankah itu artinya baik-baik saja? Kenapa dia jadi secemas tadi padahal juga sudah menjelaskan lewat pesan?CEO itu mendekat pada Zahra. B
Zahra terkejut karena wajah Zyan begitu dekat dengannya. Bahkan embusan napas saat pria itu berbicara, bisa dirasakannya. Tubuhnya seketika meremang apalagi melihat senyuman Zyan yang seolah mengejeknya.“Mak—sud Bapak apa?” tanyanya dengan gugup dan jantung berdebar.Melihat sekretarisnya jadi gugup, Zyan menjauhkan diri. Dia menikmati perubahan ekspresi gadis berhijab itu. Membuatnya gemas dan jadi ingin terus menggoda Zahra.“Masa kamu tidak tahu kegiatan yang biasa dilakukan penganti baru, Ra?” pancingnya.Zahra menelan ludah. Dia mulai waspada. Apa Zyan ingin menyentuhnya seperti suami pada umumnya? Bukankah dalam kontrak, mereka sudah sepakat tidak akan melakukan hubungan suami istri setelah menikah? Tidak mungkin ‘kan Zyan yang terkenal tegas dan disiplin itu mengingkari perjanjian mereka?Pria itu tersenyum miring. “Kenapa diam? Apa kamu sedang membayangkan kita melakukan kegiatan itu?” Zyan s
Kedua alis Zahra bertaut usai mendengar kata-kata Zyan. “Memangnya setelah dari sini kita tinggal di mana, Pak?” tanyanya. Mereka memang tak pernah membahas akan tinggal di mana setelah menikah karena waktu pernikahan yang mepet.Zyan menghela napas. “Mama ingin kita tinggal bersama mereka. Kalau kamu setuju kita tidak tinggal bersama mereka, aku akan bicara sama Mama dan Papa. Aku akan bilang kita ingin hidup mandiri setelah menikah jadi mau tinggal di rumah sendiri. Kamu juga tidak mau ‘kan terus-terusan bersandiwara?” Dia menatap mata gadis berhijab itu.“Saya ikut saja mana yang terbaik, Pak. Tapi memang lebih bebas kalau tinggal berdua. Kita bisa tidur di kamar yang terpisah,” timpal Zahra.“Berarti kamu setuju ‘kan kita tinggal berdua?” Zyan memastikan.Zahra mengangguk. “Setuju, Pak.”“Kalau kita boleh tinggal berdua, kamu maunya tinggal di apartemen atau rumah bia
“Pak, bisa tolong lepaskan tangan saya?” pinta Zahra yang ditarik saja oleh Zyan.Pria tampan itu menghentikan langkah tanpa melepaskan tangan Zahra. “Bukannya kamu lapar?”“Iya, tapi apa Bapak tidak melihat pakaian saya.” Zahra menunduk, menunjukkan pakaian tidur yang dikenakannya.“Memangnya kenapa pakaianmu?” Zyan menaikkan sebelah alis tebalnya.Zahra menghela napas karena bosnya itu tidak peka. “Saya ‘kan pakai baju tidur, Pak. Masa masuk ke restoran pakaian saya begini.”“Mereka tidak akan menolak kita, Ra. Lagian kita cuma makan malam biasa bukan makan malam resmi. Penampilan tidak masalah, yang penting kita mampu bayar di sana,” tukas Zyan.“Pak, penampilan kita tuh jomplang! Pak Zyan rapi sementara saya kaya gini. Setidaknya biarkan saya ganti baju yang lebih layak agar tidak mempermalukan Bapak kalau tidak sengaja bertemu orang yang kita kenal. Masa