Share

Bab 5

Binsar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia memindai Zyan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pria yang lebih muda darinya itu mempunyai paras tampan. Pakaian dan aksesori yang melekat di tubuh tegap Zyan, semuanya tampak berkelas dan mahal. Membuat pria bertubuh tambun itu jadi kurang percaya diri karena kekayaan pria yang mengaku sebagai calon suami Zahra itu pasti jauh di atasnya.

“Hei, Anak Muda. Jangan mengaku-aku. Lagian kamu tidak akan bisa menikahi gadis itu karena dia sudah setuju jadi penebus utang ayahnya,” ucapnya dengan pongah. Binsar juga tidak mau menyambut uluran tangan Zyan. Meskipun dalam hal apa pun kalah dari Zyan, dia tidak mau mengakuinya. Rentenir itu tetap mempertahankan wibawanya.

Zyan pun menarik tangannya lalu tersenyum sinis. “Anda sedang berkhayal? Zahra tidak pernah setuju menikah dengan Anda.”

“Dia tadi akan mengatakannya, tapi kamu tiba-tiba datang dan memotong ucapannya,” sergah Binsar yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya.

Pria bertumbuh tambun itu kemudian beralih pada Zahra. Memandang gadis itu dengan tatapan menggoda. “Benar ‘kan apa yang abang katakan, Cantik? Kamu mau menikah dengan abang?”

“Sayang, ikut aku! Kita harus bicara.” Zyan langsung menarik Zahra keluar sebelum sekretarisnya menjawab pertanyaan sang rentenir. Pria tampan itu tak mau kehilangan kesempatan untuk mempertahankan posisinya sebagai ahli waris. Semesta saat ini sedang berpihak padanya.

“Hei, mau dibawa ke mana calon istriku?” teriak Binsar saat melihat Zyan membawa Zahra pergi. Namun, CEO muda itu tak mengindahkan, dia terus mengajak sekretarisnya masuk ke mobil. Tanpa mengatakan apa pun Zyan menyalakan mobil dan AC lalu mengunci semua pintu dengan central lock.

“Apa yang Pak Zyan lakukan? Jangan menambah masalah keluarga saya, Pak,” protes Zahra. Sebelumnya dia tidak memberontak karena tak ingin membuat bosnya kehilangan wibawa di depan Binsar dan Umar.

“Dengar, Ra! Aku di sini menawarkan bantuan, bukan menambah masalah. Kalau kamu setuju kita nikah kontrak, aku akan bayar lunas utang ayahmu.” Zyan menatap tajam Zahra.

Gadis berhijab itu terkejut mendengar tawaran bosnya. Otaknya masih mencerna yang apa yang dia dengar. Benarkah Zyan mau melunasi utang ayahnya pada rentenir itu?

“Cepat putuskan, Ra! Menikah denganku atau menikah dengan pria tua dan norak itu!” tekan Zyan.

“Jangan mengambil keputusan bodoh yang akan kamu sesali!” imbuhnya memperingatkan gadis itu.

Zahra menutup wajah dengan kedua tangan. Mempertimbangkan mana yang paling baik di anatar kedua pilihan yang sama-sama tidak disukainya. Dia bagai mendapat buah simalakama.

“Zahra cepat putuskan! Waktu kita tidak banyak. Lihat pria tua itu datang ke sini!” desak Zyan yang melihat Binsar berjalan mendekati mobilnya.

Setelah menarik tangan yang menutupi wajahnya, gadis berhijab itu menghela napas panjang. “Saya mau menikah dengan Pak Zyan,” putusnya yang seketika membuat sang CEO tersenyum lebar penuh kemenangan. Akhirnya dia bisa membuat sekretarisnya itu secara sukarela menikah dengannya.

“Aku pegang ucapanmu! Ayo kita keluar.” Zyan membuka kunci semua pintu lalu turun dari mobil mewah itu. Dia memutari depan mobil, menghampiri Zahra. Sesudah sekretarisnya keluar, pria itu menggandeng tangannya.

Binsar yang tiba di dekat kendaraan berharga miliaran itu tercengang melihat mobil mewah di depan mata. Dia menebak-nebak seberapa kaya pria yang sudah membawa kabur calon istrinya.

“Mari selesaikan urusan kita di dalam, Pak.” Ucapan Zyan berhasil membuyarkan lamunan sang rentenir.

“Hei, lepaskan tanganmu dari calon istriku!” Pria bertubuh tambun itu kembali berteriak pada Zyan. Namun tentu saja CEO itu tak peduli. Dia tetap menggenggam tangan Zahra dengan erat sampai kembali ke ruang tamu.

“Saya akan melunasi utang ayah Zahra. Apa Anda membawa sertifikat rumah ini?” Zyan memulai pembicaraan saat mereka semua sudah duduk di ruang tamu. Dia mengatakannya sambil menatap tajam sang rentenir.

“Memangnya kamu tahu berapa utangnya Pak Umar?” Binsar tetap bersikap pongah agar wibawanya tetap terjaga. Meskipun di dalam hatinya merasa minder. Selain lebih kaya, Zyan juga lebih tampan dan gagah darinya. Dia diam-diam mengakui kalau CEO itu sangat serasi dengan Zahra yang cantik.

Zyan menggeleng. Dia memang belum tahu jumlah utang Umar. “Berapa memangnya?” tantangnya.

“Tiga ratus juta,” jawab Binsar. “Aku mau dilunasi sekarang juga atau si cantik itu jadi istriku,” sambungnya.

"Tiga ratus juta?” dengus Zyan sambil tersenyum miring. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan memindai lawan bicaranya dengan tatapan remeh. 

“Iya. Tiga ratus juta. Sekarang, mana uangnya?” sergah sang rentenir marah, tidak suka dengan cara Zyan menatapnya.

“Anda belum menjawab, apa sertifikat rumah ini Anda bawa? Begitu melihatnya, langsung saya lunasi,” tegas Zyan.

“Sertifikatnya di mobil, nanti aku ambilkan. Awas kalau kalian sampai mempermainkan dan membohongi aku!” Binsar bangkit dari duduk lalu beranjak menuju mobil putih yang terparkir di pinggir jalan depan rumah tersebut. Tak berapa lama, pria bertubuh tambun itu kembali dengan amplop cokelat besar di tangan kanan. “Ini sertifikatnya,” ucapnya setelah duduk lagi di ruang tamu.

“Pak Umar, silakan dicek dulu sertifikatnya,” kata Zyan pada ayah Zahra. Dia lalu berpaling pada sang rentenir. “Berikan sertifikat itu pada Pak Umar!” perintahnya.

“Anak Muda, tadi kamu bilang kalau sudah melihat sertifikat akan langsung melunasi. Kenapa harus mengecek dulu? Jangan coba-coba menipuku ya!” protes Binsar.

Zyan tersenyum mengejek. “Menipu Anda? Apa untungnya buat saya? Bahkan kalau saya mau, mobil dan seluruh perhiasan yang Anda pakai itu saya bayar sekalian. Berapa jumlahnya? Pasti tidak sampai lima ratus juta ‘kan!” Dia mengeluarkan gawai lalu membuka aplikasi m-banking dan menunjukkan saldonya pada pria tambun itu.

Binsar menelan ludah melihat banyaknya digit yang ada di sana. Belum selesai dia menghitung jumlah digitnya, Zyan sudah menarik kembali ponsel berlogo apel tergigit itu.

“Cepat berikan sertifikatnya pada Pak Umar!” desak Zyan yang mulai kehilangan kesabaran.

Tanpa mengatakan apa pun, Binsar memberikan amplop tersebut pada Umar. Ayah Zahra itu kemudian mengeluarkan sertifikat dan membacanya dengan saksama. Dia lalu menatap bos putri bungsunya. “Nak Zyan, sertifikatnya sudah benar.”

Zyan mengangguk. Dia kembali menatap tajam Binsar. “Berapa nomor rekeningmu?”

Setelah pria tambun itu menyebutkan nomor rekeningnya, Zyan segera mentransfer sejumlah tiga ratus juta rupiah. Dia lalu menunjukkan bukti transfernya.

“Sudah saya transfer. Mulai detik ini, utang Pak Umar lunas. Jangan lagi Anda mengganggu mereka terutama Zahra! Atau saya tidak akan segan-segan membuat Anda membusuk di penjara,” ucap Zyan penuh intimidasi. Dia tak main-main dengan ancamannya. Melenyapkan rentenir seperti itu mudah saja baginya

“Baik. Aku pergi. Senang berbisnis denganmu, Anak Muda.” Binsar mengulurkan tangan, tapi Zyan tak menyambutnya. Pria tambun itu pun menarik tangannya dan pergi meninggalkan rumah Umar tanpa mengatakan apa pun lagi.

Zahra akhirnya bisa menghela napas lega. Diam-diam gadis itu merasa kagum pada Zyan. Meskipun bosnya sering jutek dan bersikap dingin, tapi hatinya baik. Hari ini sudah dua kali Zyan menolongnya. Meskipun pertolongan yang kedua tidak tulus, tetap saja dia bersyukur karena tidak menjadi istri keempat Binsar.

“Terima kasih, Pak. Saya banyak berutang budi pada Bapak hari ini,” ucap Zahra setelah Binsar pergi dan Umar masuk ke kamar untuk menyimpan sertifikat.

Zyan mengangguk. “Sekarang masalahmu sudah beres. Kita bisa membicarakan soal perjanjian nikah kontrak ‘kan?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
sultan mah beda ya baru 300 juta doang dia bilang kecil ya oloh apa daya aq wkwkw. akhirnya masalah terselesaikan utang pun lunas ini tapi zahra masih dihadapkan dengan perjanjian pernikahan kontrak ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status