Siang itu kelabu. Awan menggantung rendah seperti suasana hati Hana Adelia pagi itu. Ia berdiri di depan gedung pencakar langit dengan logo elegan bertuliskan A & Co. Enterprises—markas besar perusahaan milik keluarga Adiyaksa. Jantungnya berdentum tak karuan. Ia masih mengenakan pakaian kerjanya dari butik, kemeja putih sederhana dan rok pensil biru tua.
"Maaf, saya mencari Pak Adrian Martadinata," ujar Hana dengan suara lirih pada resepsionis. Resepsionis perempuan itu tersenyum tipis, memeriksa daftar kunjungan, lalu menekan tombol interkom. "Bapak Adrian, tamu atas nama Hana Adelia sudah tiba." Tak sampai dua menit, seorang pria berjas abu muda muncul dari balik pintu lobi VIP. Wajahnya tegas dan rapi, rambutnya disisir ke belakang dengan klimis. Pria itu berjalan tegap ke arah Hana, ya pria itu adalah pria yang kemarin ia temui. "Hana Adelia?" tanyanya sambil mengulurkan tangan. "Saya Adrian Martadinata. Ikut saya. Tuan Abian sudah menunggu." Tanpa banyak bicara, Hana mengikuti Adrian menuju lift pribadi. Jantungnya seperti digenggam seseorang. Ia masih tak percaya sedang melakukan ini—berakting sebagai tunangan palsu dari seorang konglomerat demi menyelamatkan nyawa ibunya. Lift terbuka di lantai paling atas. Udara terasa lebih dingin. Lorongnya dipenuhi kaca dan lantai marmer mengilat. Adrian membukakan pintu ruang kerja yang besar dan minimalis, dominan warna abu dan putih. Di balik meja CEO, seorang pria berdiri membelakanginya, memandang kota dari jendela besar. Tubuhnya tinggi, tegap, mengenakan kemeja hitam yang digulung sampai siku. “Silakan duduk,” suaranya dingin, tenang namun berwibawa. Hana duduk di sofa kulit hitam yang menghadap meja besar. Pria itu berbalik. Sorot matanya tajam, rahangnya kokoh, dan pembawaannya nyaris intimidatif. Abian Adiyaksa. “Saya tidak suka buang waktu. Kamu tahu mengapa kamu di sini, bukan?” tanyanya tanpa basa-basi. Hana mengangguk pelan. “Bagus. Ini kontraknya.” Ia mendorong map kulit hitam ke meja. Hana membuka dan mulai membaca setiap lembaran. Tangannya sedikit gemetar. Ketentuannya jelas. Masa pertunangan. 3 bulan. Tugas utama: Meyakinkan orang tua Abian bahwa mereka adalah pasangan sungguhan. Dilarang mengungkapkan kebenaran pada pihak luar. Tanpa keterlibatan emosional. Imbalan: Rp500 juta langsung setelah tanda tangan. Tambahan Rp500 juta setelah kontrak berakhir dan berhasil meyakinkan orang tua. “Ini… luar biasa banyak,” ujar Hana, nyaris tak percaya. Abian menatapnya tajam. “Kamu tidak perlu jatuh cinta. Kamu hanya perlu memainkan peran. Cukup yakinkan mereka.” “Kenapa saya?” tanya Hana pelan. “Kamu tampak… biasa. Itu kelebihannya. Kamu tidak mencolok, dan itu bagus. Tidak ada wartawan yang akan mencurigai. Dan kamu bukan dari kalangan saya, jadi orang tua saya tidak akan curiga kamu punya motif tersembunyi.” Sakit rasanya disebut ‘biasa’, tapi Hana mengerti maksudnya. Ia mengangguk pelan. Kemudian mengambil pulpen dan menandatangani halaman terakhir. Tanda tangan: Hana Adelia Abian menarik amplop panjang dari laci meja, lalu menyodorkannya. “Ini cek senilai lima ratus juta. Rekening kamu akan menerima sisanya jika semuanya berjalan lancar. Jangan buat kesalahan.” Hana berdiri dengan gugup. “Terima kasih…” “Ini bukan amal. Ini bisnis,” jawab Abian datar. Adrian kemudian mengantarnya keluar ruangan. *** Satu jam kemudian, Hana sudah berdiri di depan teller bank besar. Jantungnya masih berdebar, tapi ia harus segera mencairkan cek itu—ibunya membutuhkan operasi ginjal segera. “Selamat pagi. Saya ingin mencairkan cek ini,” ujar Hana sambil menyerahkan dokumen. Petugas teller memeriksa dengan saksama. “Silakan tunggu sebentar, Bu.” Setelah beberapa menit, sebagian dana dicairkan tunai, dan sebagian ditransfer langsung ke rekening rumah sakit. Hana menghela napas lega. Air matanya nyaris tumpah. "Ibu... kita bisa lanjutkan operasinya," bisiknya lirih. *** Hari mulai gelap saat Hana kembali ke rumah sakit. Ia langsung menuju ruang ICU, tempat ibunya masih terbaring setelah sempat tak sadarkan diri. “Operasi akan dijadwalkan besok pagi. Terima kasih, Bu Hana,” kata dokter sambil menyerahkan berkas persetujuan operasi. Hana menandatangani surat itu tanpa ragu. Ia lalu duduk di taman rumah sakit, menatap langit malam. Di tangannya, ponselnya bergetar. Pesan dari Adrian: “Besok kamu harus mulai mempelajari latar belakang hubunganmu dengan Abian. Detail sudah dikirim via email. Jangan sampai salah. Kalian akan makan malam dengan orang tua beliau akhir pekan ini.” Hana menelan ludah. Permainan baru saja dimulai. Namun tak berselang lama, seorang suster berlari menghampirinya. “Bu Hana! Ibu Anda sadar!” Hana bangkit dan menyusul ke ruang rawat. Callista, ibunya, terlihat lemah namun matanya mulai terbuka. “Ibu…” Hana menahan air mata. Callista tersenyum tipis. Tapi matanya terlihat penuh rasa cemas. “Hana… kamu… jangan biarkan Devan dan Tania tahu… kalau kamu… anakku… Ibu tidak mau merusak kebahagiaan mereka, biar semuanya seperti ini,” “Hah?” Hana mengerutkan dahi. “Maksud Ibu siapa Devan, Tania?” Callista menggenggam tangan putrinya dengan sisa tenaga. “Jangan... jangan biarkan mereka tahu…” “Ibu, siapa Devan? Apa maksud Ibu?” Hana memburu jawaban, panik. Namun Callista kembali melemah dan tertidur setelah dokter menyuntikkan penenang. Hana masih berdiri terpaku di sisi tempat tidur. Di luar kamar rawat, Hana membuka ponselnya, hendak membaca email dari Adrian soal latar belakang hubungan mereka yang harus ia pelajari. Tapi saat membuka file profil yang dikirim, matanya membelalak. Nama kedua orang tua Abian. Devan Adiyaksa, dan Tania Aurellia Nama yang barusan disebut ibunya. Hana duduk di halte rumah sakit setelah bergelut dengan pikirannya sendiri. Angin malam berembus pelan, tapi pikirannya seperti badai. Pesan ibunya terus terngiang—“Jangan biarkan Devan dan Tania tahu… kamu anakku…” Tapi bagaimana mungkin ia menjauh, kalau saat ini hidup ibunya justru bisa diselamatkan karena bantuan dari keluarga Adiyaksa—keluarga Devan? "Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, mu Bu? Siapa Devan bagimu? Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan hanya dengan menyebut namanya?" Hana membuka kembali kontrak pertunangan yang sempat ia foto di ponselnya. Tinta tanda tangannya sudah tercetak tegas. Ia tidak bisa membatalkan semuanya semudah itu. Uang itu sudah digunakan. Operasi ibunya sudah dijadwalkan. Jalan kembali sudah tertutup. Ia mendesah berat. Air matanya tak bisa dibendung lagi. “Kenapa, Bu… justru sekarang kamu bilang jangan dekat-dekat dengan mereka? Aku… sudah terlanjur…” Ponselnya tiba-tiba bergetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. “Kamu akan menyesal sudah masuk ke keluarga Adiyaksa. Kau pikir hanya ibumu yang menyembunyikan sesuatu?” Dan tak lama setelah itu, satu foto dikirimkan. Hana menatap foto itu dengan gemetar—foto lawas, hitam putih—Devan muda berdiri bersebelahan dengan Callista. Mereka terlihat terlalu dekat untuk sekadar sahabat. Hana menutup mulutnya. Dadanya sesak. Hana baru akan mematikan ponselnya saat tiba-tiba satu foto lagi masuk. Kali ini lebih mengejutkan. Foto USG. Di susul satu pesan masuk. "Tanyakan pada ibumu… siapa sebenarnya ayahmu."Mobil hitam itu masih terparkir di sisi kanan halaman rumah sakit. Dari balik kaca yang sedikit terbuka, sepasang mata mengamati pintu masuk ruang IGD dengan tajam. Perempuan itu adalah Felia. Ia tak segera turun, seolah menimbang apakah kehadirannya akan memperkeruh suasana atau justru membuka jalan untuk menjelaskan segalanya.Di dalam rumah sakit, kabar meninggalnya Calista menyebar cepat. Para perawat dan dokter yang merawatnya hanya bisa menunduk penuh penyesalan. Beberapa orang dari staf rumah sakit memberi ucapan belasungkawa singkat pada Hana yang masih berdiri membeku di depan ruang ICU. Tangisnya sudah kering, tetapi matanya tetap kosong.Langkah kaki cepat terdengar dari ujung lorong. Abian datang dengan tergesa, diikuti kedua orang tuanya, Tania dan Devan Adiyaksa. Wajah mereka tegang, napas terengah.“Hana!” panggil Tania. “Kami baru dengar soal ibumu... Kami sangat menyesal.”Abian langsung menghampiri Hana yang tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.“Hana... aku.
Langit siang mulai mendung. Udara di rumah sakit semakin dingin, seolah menyesuaikan diri dengan suasana hati Hana yang terus diliputi awan kelabu. Sejak kemarin, ia belum sempat benar-benar beristirahat. Matanya sembab, dan tubuhnya mulai letih, tapi pikirannya tak berhenti berputar.Calista masih terbaring di ruang ICU. Kondisinya belum stabil. Dokter tak banyak berkata, hanya menyuruh Hana banyak berdoa dan bersiap untuk kemungkinan terburuk.Abian sempat datang pagi tadi. Tapi kehadirannya hanya menambah sesak di dada Hana. Tatapan pria itu menyimpan kegelisahan dan rasa bersalah, tapi Hana belum bisa membicarakan apa pun padanya. Ia hanya meminta Abian pulang untuk menenangkan diri. Meski begitu, hatinya sendiri tak kunjung tenang.Baru saja ia hendak berdiri dari kursi tunggu di lorong ICU, suara pelan dari arah lift membuatnya menoleh. Suara roda berderit, menyertai langkah seorang perawat yang mendorong kursi roda.Di atas kursi itu, duduk seorang wanita setengah baya deng
Suara mesin di ruang ICU berdengung pelan, seperti alunan nada tak kasatmata yang menghantam relung hati Hana. Di balik kaca tebal, tubuh Calista terbaring lemah, penuh dengan kabel dan selang yang menempel di berbagai sisi tubuhnya. Napasnya naik-turun melalui ventilator. Lampu-lampu monitor berkedip seirama dengan detak jantungnya yang lemah.Hana berdiri diam, membeku. Dunia di sekitarnya seperti berhenti. Matanya merah, tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus menangis atau berteriak. Semuanya terasa terlalu berat, terlalu mendadak, terlalu sakit.Setelah bertahun-tahun hanya hidup berdua, kini ibunya berada di antara hidup dan mati. Dan di saat yang sama, pernikahannya bersama Abian baru saja diguncang oleh satu kenyataan besar, kemunculan Felia, dan seorang anak kecil bernama Alena.“Apa aku... pantas bahagia di atas semua ini?” gumamnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tenggelam oleh suara mesin-mesin medis.Pintu ruang tunggu terbuka pelan.Abian muncul, wajahnya masih d
Pagi itu, udara masih dingin menyapu dedaunan basah oleh embun. Taman kecil di belakang rumah sakit belum sepenuhnya ramai. Hanya ada satu-dua pengunjung yang duduk di bangku taman, menikmati ketenangan pagi.Hana datang dengan langkah hati-hati. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kecemasan malam tadi. Sementara ibunya masih dirawat di ruang intensif. Ia belum sadar, dan kini, Hana datang menuruti telepon dari orang asing yang memberitahunya soal masa lalu Abian.Jantungnya berdegup tak karuan.Matanya menyapu taman. Tak ada siapa pun yang mencurigakan. Sampai matanya tertuju pada seorang wanita berpenampilan elegan, berdiri di bawah pohon besar, mengenakan mantel krem dengan syal biru lembut melilit lehernya.Di sebelah wanita itu, berdiri seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, mengenakan gaun putih bermotif bunga. Gadis kecil itu memegang tangan wanita itu erat sambil memeluk boneka.Hana melangkah pelan, ragu.Wanita itu menoleh dan tersenyum tipis. Sorot matanya
Abian terpaku menatap layar ponselnya. Notifikasi itu menghantam dadanya seperti gelombang lama yang datang kembali membawa serpihan masa lalu yang belum selesai. Jemarinya mengepal, dadanya sesak. Bingung. Bimbang. Terikat dan terjerat di antara kewajiban sebagai seorang anak dan perasaan yang mulai mengusik batinnya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel pengantin yang sunyi. Hana tidak ada. Ia bahkan belum kembali sejak pergi diam-diam tadi—masih mengenakan gaun pengantin yang seharusnya menjadi saksi malam pertama mereka sebagai pasangan sah. Abian duduk di ujung ranjang, kepalanya menunduk dalam. “Harusnya aku menjelaskan semuanya… sebelum semua ini terjadi.” Ia tahu, Hana mungkin membaca notifikasi itu. Itu cukup untuk membuat siapa pun merasa diabaikan—terutama perempuan yang baru saja ia nikahi, meski hanya atas nama kontrak. Tapi kenapa hatinya seberat ini? Bukankah dulu, saat menyusun rencana pertunangan palsu itu, ia mengira tak akan ada yang terluka? Terny
Abian duduk membisu di ruang kerja ayahnya. Pagi itu, suasana rumah keluarga Adiyaksa sedikit lebih tenang dibanding malam sebelumnya yang nyaris meledak karena masa lalu yang menyeruak tanpa aba-aba. Tania kini duduk bersandar di sofa, mengenakan gaun berwarna pastel lembut. Wajahnya masih menyisakan kelelahan emosional, tapi matanya tak lagi menyala penuh dendam. Devan menyuguhkan teh untuk istrinya sebelum ia duduk di samping Abian. “Kita harus bicara,” ujar pria paruh baya itu. Abian mengangguk pelan. “Tentang pertunanganku dengan Hana?” Tania menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tentang pernikahan kalian.” Alis Abian terangkat. “Pernikahan? Kita belum bertunangan secara resmi. Lagipula ini hanya—” “Awalnya hanya sandiwara, ya, aku tahu,” sela Tania lembut namun tegas. “Tapi kamu sudah dewasa, Abian. Kami sudah lama menunggu kamu membawa pulang seseorang. Dan saat kamu akhirnya memilih, meskipun pura-pura, ternyata gadis itu... bukan orang yang buruk.” Devan menimp