Share

Tanda Tangan Kontrak

Penulis: Agus Irawan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-17 01:18:36

Siang itu kelabu. Awan menggantung rendah seperti suasana hati Hana Adelia pagi itu. Ia berdiri di depan gedung pencakar langit dengan logo elegan bertuliskan A & Co. Enterprises—markas besar perusahaan milik keluarga Adiyaksa. Jantungnya berdentum tak karuan. Ia masih mengenakan pakaian kerjanya dari butik, kemeja putih sederhana dan rok pensil biru tua.

"Maaf, saya mencari Pak Adrian Martadinata," ujar Hana dengan suara lirih pada resepsionis.

Resepsionis perempuan itu tersenyum tipis, memeriksa daftar kunjungan, lalu menekan tombol interkom.

"Bapak Adrian, tamu atas nama Hana Adelia sudah tiba."

Tak sampai dua menit, seorang pria berjas abu muda muncul dari balik pintu lobi VIP. Wajahnya tegas dan rapi, rambutnya disisir ke belakang dengan klimis. Pria itu berjalan tegap ke arah Hana, ya pria itu adalah pria yang kemarin ia temui.

"Hana Adelia?" tanyanya sambil mengulurkan tangan. "Saya Adrian Martadinata. Ikut saya. Tuan Abian sudah menunggu."

Tanpa banyak bicara, Hana mengikuti Adrian menuju lift pribadi. Jantungnya seperti digenggam seseorang. Ia masih tak percaya sedang melakukan ini—berakting sebagai tunangan palsu dari seorang konglomerat demi menyelamatkan nyawa ibunya.

Lift terbuka di lantai paling atas. Udara terasa lebih dingin. Lorongnya dipenuhi kaca dan lantai marmer mengilat. Adrian membukakan pintu ruang kerja yang besar dan minimalis, dominan warna abu dan putih.

Di balik meja CEO, seorang pria berdiri membelakanginya, memandang kota dari jendela besar. Tubuhnya tinggi, tegap, mengenakan kemeja hitam yang digulung sampai siku.

“Silakan duduk,” suaranya dingin, tenang namun berwibawa.

Hana duduk di sofa kulit hitam yang menghadap meja besar. Pria itu berbalik. Sorot matanya tajam, rahangnya kokoh, dan pembawaannya nyaris intimidatif. Abian Adiyaksa.

“Saya tidak suka buang waktu. Kamu tahu mengapa kamu di sini, bukan?” tanyanya tanpa basa-basi.

Hana mengangguk pelan.

“Bagus. Ini kontraknya.”

Ia mendorong map kulit hitam ke meja. Hana membuka dan mulai membaca setiap lembaran. Tangannya sedikit gemetar.

Ketentuannya jelas.

Masa pertunangan. 3 bulan.

Tugas utama: Meyakinkan orang tua Abian bahwa mereka adalah pasangan sungguhan.

Dilarang mengungkapkan kebenaran pada pihak luar.

Tanpa keterlibatan emosional.

Imbalan: Rp500 juta langsung setelah tanda tangan. Tambahan Rp500 juta setelah kontrak berakhir dan berhasil meyakinkan orang tua.

“Ini… luar biasa banyak,” ujar Hana, nyaris tak percaya.

Abian menatapnya tajam. “Kamu tidak perlu jatuh cinta. Kamu hanya perlu memainkan peran. Cukup yakinkan mereka.”

“Kenapa saya?” tanya Hana pelan.

“Kamu tampak… biasa. Itu kelebihannya. Kamu tidak mencolok, dan itu bagus. Tidak ada wartawan yang akan mencurigai. Dan kamu bukan dari kalangan saya, jadi orang tua saya tidak akan curiga kamu punya motif tersembunyi.”

Sakit rasanya disebut ‘biasa’, tapi Hana mengerti maksudnya. Ia mengangguk pelan. Kemudian mengambil pulpen dan menandatangani halaman terakhir.

Tanda tangan: Hana Adelia

Abian menarik amplop panjang dari laci meja, lalu menyodorkannya.

“Ini cek senilai lima ratus juta. Rekening kamu akan menerima sisanya jika semuanya berjalan lancar. Jangan buat kesalahan.”

Hana berdiri dengan gugup. “Terima kasih…”

“Ini bukan amal. Ini bisnis,” jawab Abian datar.

Adrian kemudian mengantarnya keluar ruangan.

***

Satu jam kemudian, Hana sudah berdiri di depan teller bank besar. Jantungnya masih berdebar, tapi ia harus segera mencairkan cek itu—ibunya membutuhkan operasi ginjal segera.

“Selamat pagi. Saya ingin mencairkan cek ini,” ujar Hana sambil menyerahkan dokumen.

Petugas teller memeriksa dengan saksama.

“Silakan tunggu sebentar, Bu.”

Setelah beberapa menit, sebagian dana dicairkan tunai, dan sebagian ditransfer langsung ke rekening rumah sakit.

Hana menghela napas lega. Air matanya nyaris tumpah.

"Ibu... kita bisa lanjutkan operasinya," bisiknya lirih.

***

Hari mulai gelap saat Hana kembali ke rumah sakit. Ia langsung menuju ruang ICU, tempat ibunya masih terbaring setelah sempat tak sadarkan diri.

“Operasi akan dijadwalkan besok pagi. Terima kasih, Bu Hana,” kata dokter sambil menyerahkan berkas persetujuan operasi.

Hana menandatangani surat itu tanpa ragu.

Ia lalu duduk di taman rumah sakit, menatap langit malam. Di tangannya, ponselnya bergetar.

Pesan dari Adrian:

“Besok kamu harus mulai mempelajari latar belakang hubunganmu dengan Abian. Detail sudah dikirim via email. Jangan sampai salah. Kalian akan makan malam dengan orang tua beliau akhir pekan ini.”

Hana menelan ludah. Permainan baru saja dimulai.

Namun tak berselang lama, seorang suster berlari menghampirinya.

“Bu Hana! Ibu Anda sadar!”

Hana bangkit dan menyusul ke ruang rawat. Callista, ibunya, terlihat lemah namun matanya mulai terbuka.

“Ibu…” Hana menahan air mata.

Callista tersenyum tipis. Tapi matanya terlihat penuh rasa cemas.

“Hana… kamu… jangan biarkan Devan dan Tania tahu… kalau kamu… anakku… Ibu tidak mau merusak kebahagiaan mereka, biar semuanya seperti ini,”

“Hah?” Hana mengerutkan dahi. “Maksud Ibu siapa Devan, Tania?”

Callista menggenggam tangan putrinya dengan sisa tenaga. “Jangan... jangan biarkan mereka tahu…”

“Ibu, siapa Devan? Apa maksud Ibu?” Hana memburu jawaban, panik.

Namun Callista kembali melemah dan tertidur setelah dokter menyuntikkan penenang. Hana masih berdiri terpaku di sisi tempat tidur.

Di luar kamar rawat, Hana membuka ponselnya, hendak membaca email dari Adrian soal latar belakang hubungan mereka yang harus ia pelajari.

Tapi saat membuka file profil yang dikirim, matanya membelalak.

Nama kedua orang tua Abian. Devan Adiyaksa, dan Tania Aurellia

Nama yang barusan disebut ibunya.

Hana duduk di halte rumah sakit setelah bergelut dengan pikirannya sendiri. Angin malam berembus pelan, tapi pikirannya seperti badai. Pesan ibunya terus terngiang—“Jangan biarkan Devan dan Tania tahu… kamu anakku…”

Tapi bagaimana mungkin ia menjauh, kalau saat ini hidup ibunya justru bisa diselamatkan karena bantuan dari keluarga Adiyaksa—keluarga Devan?

"Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, mu Bu? Siapa Devan bagimu? Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan hanya dengan menyebut namanya?"

Hana membuka kembali kontrak pertunangan yang sempat ia foto di ponselnya. Tinta tanda tangannya sudah tercetak tegas. Ia tidak bisa membatalkan semuanya semudah itu. Uang itu sudah digunakan. Operasi ibunya sudah dijadwalkan. Jalan kembali sudah tertutup.

Ia mendesah berat. Air matanya tak bisa dibendung lagi.

“Kenapa, Bu… justru sekarang kamu bilang jangan dekat-dekat dengan mereka? Aku… sudah terlanjur…”

Ponselnya tiba-tiba bergetar.

Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal.

“Kamu akan menyesal sudah masuk ke keluarga Adiyaksa. Kau pikir hanya ibumu yang menyembunyikan sesuatu?”

Dan tak lama setelah itu, satu foto dikirimkan.

Hana menatap foto itu dengan gemetar—foto lawas, hitam putih—Devan muda berdiri bersebelahan dengan Callista. Mereka terlihat terlalu dekat untuk sekadar sahabat.

Hana menutup mulutnya. Dadanya sesak.

Hana baru akan mematikan ponselnya saat tiba-tiba satu foto lagi masuk. Kali ini lebih mengejutkan.

Foto USG.

Di susul satu pesan masuk.

"Tanyakan pada ibumu… siapa sebenarnya ayahmu."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Ancaman yang Nyata

    Hana memandangi surat misterius di tangannya. Surat itu dikirim tanpa nama, tanpa alamat pengirim, dan tanpa jejak elektronik. Namun yang paling mengganggunya adalah foto tua hitam putih yang jelas menunjukkan ibunya Calista di masa muda. Garis tinta merah menyilang wajahnya, seolah menjadi peringatan… atau ancaman. “Ini bukan hanya tentang kita lagi,” gumam Hana sambil duduk di ruang kerja rumahnya. Abian masuk, membawa secangkir teh. “Kamu belum istirahat?” Hana menyerahkan surat itu. “Seseorang mengingatkan kita… bahwa cerita Mama belum selesai.” Abian membaca isinya, matanya menajam. “Akar dari kehancuranmu belum dicabut... Ini bukan ucapan acak. Ini ditulis oleh orang yang tahu terlalu dalam tentang masa lalu keluargamu.” “Dan itu berarti... bukan Mira. Tapi seseorang yang mengenal Mama sejak dulu,” bisik Hana. Abian mengangguk. “Kita harus menyelidiki. Dari awal. Dari tempat Mama pernah tinggal, sekolah, dan semua lingkaran sosialnya.” Sementara di rumah yang sudah

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Pengkhianat Paman

    Abian membanting map itu ke meja kerjanya. Suara kerasnya menggema, membuat Hana yang sedang mengatur dokumen hak asuh Alena terkejut. “Ada apa?” tanya Hana cepat, melangkah untuk menenangkan suaminya. Lalu Abian menatapnya, matanya merah karena emosi yang ditahan. Ia mengangkat selembar dokumen dari laporan investigasi internasional yang baru saja ia terima tertulis jelas di sana. Nama Reno Adiyaksa, pamannya. Adik dari Devan Adiyaksa. Tercatat melakukan transfer dana melalui rekening penampung milik Mira sejak dua tahun terakhir. Hana menatap wajah muram Abian, tanpa bisa berkata-kata. “Paman Reno...” gumamnya. Abian mengangguk. “Dia… dia selama ini bermain di belakang kita, menusuk keluarganya sendiri demi membantu Mira. Bahkan menggunakan perusahaan cangkang untuk memuluskan aliran dana ke luar negeri. Ini bukan cuma pengkhianatan biasa, Han. Ini... pengkhianatan dalam keharmonisan keluarga kita.” Sementara di rumahnya, Reno duduk di balkon rumah mewahnya, menyeruput kopi s

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Hadirnya Saksi

    Suasana ruang rapat di kantor pengacara keluarga Adiyaksa sangat tenang pagi itu. Tapi ketegangan tidak bisa disembunyikan. Di ujung meja, duduk seorang pria berusia awal empat puluhan. Wajahnya tirus, kulitnya pucat, dan tangannya gemetar ketika ia menandatangani dokumen perlindungan saksi.Namanya adalah Rendra Surya mantan teknisi laboratorium rumah sakit tempat hasil tes DNA Alena yang dulu dimanipulasi.“Terima kasih sudah datang,” ucap seorang pengacara keluarga Adiyaksa, yang bernama Ibu Melani.Rendra mengangguk kaku. “Saya... sudah lama ingin bicara. Tapi saya takut. Mira bukan orang sembarangan. Dia tahu cara membuat orang seperti saya hilang tanpa jejak.”Abian duduk di samping pengacara, mencatat setiap kalimat Rendra. Di seberang, Felia hadir sebagai bentuk pengakuan bahwa dia bersedia menjadi saksi melawan ibunya.“Beritahu kami dari awal,” kata Felia pelan.Rendra menarik napas panjang. “Empat tahun lalu, saya menerima amplop berisi uang dari seseorang yang mewakili Mir

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Keteguhan Hana

    Ruang keluarga pagi itu dipenuhi keheningan yang berat. Televisi menyala menayangkan ulang laporan berita pagi tentang skandal lama antara Calista dan Tania. Gambar-gambar diedit dengan framing yang menyudutkan. Komentator berita bahkan menyiratkan kemungkinan manipulasi warisan yang melibatkan Hana secara tidak langsung. Hana duduk sambil memeluk perutnya yang kini mulai membesar, bahkan ibunya telah tiada pun masih saja diberitakan miring, mental Hana kali ini di hajar habis-habisan, Abian berdiri di belakang kursinya menatap layar dengan wajah tegang, ia tentu sangat mengkhawatirkan kondisi Hana apalagi saat ini dalam kondisi hamil. Sementara Felia berdiri di sisi ruangan lain, menatap semua ini dengan rasa bersalah yang menyesakkan. “Aku tidak tahu dia akan sejauh ini, Mama benar-benar keterlaluan.” gumamnya. Tania datang dengan langkah tenang. Namun, wajahnya jelas menunjukkan luka, bukan hanya karena tuduhan yang disebar, tapi karena luka masa lalu yang kini dibuka lebar-le

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Bayang-Bayang Masa Lalu

    Foto yang ditemukan di rumah tua itu kini berada di tangan Tania. Ia menatapnya lama dan dalam diam. Wajah Calista, sahabat masa mudanya menatap lembut dari balik foto usang. Di sebelahnya, tampak Hana kecil berdiri di pangkuan Calista. Dan dirinya, Tania muda, berdiri di pinggir foto, setengah tersenyum, Tania mengenang masa itu sebelum sala paham antara dirinya dengan Calista terjadi, sehingga tidak bertegur sapa selama itu, hingga Hana dan Abian Dewasa, dan dipertemukan dalam ketidak sengajaan.Hana duduk di seberangnya, diam-diam memerhatikan perubahan raut wajah ibu mertuanya itu.“Apa Mama merindukan Mama Calista?” tanya Hana akhirnya, pelan tapi penuh tekanan.Tania meletakkan foto itu di pangkuannya, lalu mengangguk pelan.“Ya. Aku merindukan Calista dulu seperti saudara. Kami tumbuh bersama, kuliah bersama… sampai satu ketika, jalan kami terpisah karena… laki-laki yang sama.”Hana tertegun. “Abian bukankah putra dari Papa Devan...?”“Bukan,” potong Tania cepat. “Tapi aku me

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Kabur Lagi

    Asap dari ledakan kecil di belakang taman belum sepenuhnya menghilang. Para tamu berteriak dan berhamburan. Anak-anak dibawa menjauh oleh guru dan orang tua. Di antara keributan itu, Hana berusaha tetap tenang sambil memeluk Alena dengan erat.Hana segera bergegas memeluk Alena yang dalam ketakutan, ia berbisik lirih menenangkan. “Tenang sayang… Mama di sini,” Tania mengarahkan staf rumah untuk segera mengevakuasi para tamu ke dalam gedung utama. Sementara Abian dan dua polisi sipil langsung bergerak ke titik ledakan, namun seperti yang sudah diduga sosok Olivia atau Mira telah pergi sejak tadi.Abian menekan telepon genggamnya, berbicara cepat dengan salah satu kontak intelijen pribadi.b“Aku mau semua pintu keluar, pelabuhan, jalur udara pribadi, dan terminal dipantau. Dia pakai identitas Olivia. Tapi sekarang dia mungkin sudah berganti lagi. Ini bukan upaya penangkapan biasa tapi ini darurat.”Felia berdiri diam di dekat jendela, matanya menatap kosong ke halaman yang mulai sunyi.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status