Share

Duka Yang Menyelimuti Hana

Penulis: Agus Irawan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-28 02:44:25

Langit siang mulai mendung. Udara di rumah sakit semakin dingin, seolah menyesuaikan diri dengan suasana hati Hana yang terus diliputi awan kelabu. Sejak kemarin, ia belum sempat benar-benar beristirahat. Matanya sembab, dan tubuhnya mulai letih, tapi pikirannya tak berhenti berputar.

Calista masih terbaring di ruang ICU. Kondisinya belum stabil. Dokter tak banyak berkata, hanya menyuruh Hana banyak berdoa dan bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Abian sempat datang pagi tadi. Tapi kehadirannya hanya menambah sesak di dada Hana. Tatapan pria itu menyimpan kegelisahan dan rasa bersalah, tapi Hana belum bisa membicarakan apa pun padanya. Ia hanya meminta Abian pulang untuk menenangkan diri. Meski begitu, hatinya sendiri tak kunjung tenang.

Baru saja ia hendak berdiri dari kursi tunggu di lorong ICU, suara pelan dari arah lift membuatnya menoleh. Suara roda berderit, menyertai langkah seorang perawat yang mendorong kursi roda.

Di atas kursi itu, duduk seorang wanita setengah baya dengan rambut tergerai. Wajahnya tampak tenang namun penuh wibawa. Matanya yang tajam tertuju langsung ke arah Hana.

Perawat berhenti tak jauh dari tempat Hana duduk.

“Hana.” Wanita itu memanggilnya.

Hana berdiri dan menatap pada wanita itu. “Tante Mira... ada apa menemuiku lagi?”

Wanita itu tersenyum kecil. “Aku hanya ingin bicara denganmu, kemarin sepertinya perkataanku terlalu menyakitimu. Satu hal yang harus kau tahu, ibumu itu adalah Temanku tentunya kau masih ingat ketika aku masih sering datang ke Rumah kalian bukan? Tapi, sejak saat itu pula ibumu yang membuat jarak antara aku dengan keluarga Adiyaksa. Saat itu aku memilih menetap di luar negeri.”

Hana terkejut. Tapi... ia tidak pernah benar-benar tahu kalau ibunya dengan Mira memiliki masalah yang sangat serius dan pelik.

“Kau bisa ajak aku bicara sebentar? Di tempat yang lebih tenang,” ujar Mira kemudian, tangannya menyentuh roda dengan lembut mengarahkan perawatnya untuk membantu mendorong kursi roda.

Hana mengangguk dan membimbing perawat menuju taman kecil samping rumah sakit yang sedikit sepi. Di sana, mereka berhenti di dekat kolam ikan kecil.

Setelah perawat pergi meninggalkan mereka, Mira menatap Hana lekat-lekat.

“Kau mirip sekali dengan Calista saat seusiamu,” gumamnya. “Tapi lebih... lelah.”

Hana tersenyum kaku. “Hari-hari ini tidak mudah.”

Mira mengangguk perlahan, lalu menarik napas panjang. “Aku datang bukan hanya untuk menjenguk Calista. Tapi juga karena aku tahu siapa kamu... dan siapa suamimu.”

Hana menegang. “Maksud Tante?”

Mira menatap lurus ke matanya. “Aku tahu kamu sekarang adalah istri dari Abian Adiyaksa. Dan karena itu aku harus bicara padamu, sebelum semuanya terlambat.”

Hana menatap Mira bingung.

“Dulu,” lanjut Mira pelan, “aku mengenal keluarga Adiyaksa dengan baik. Termasuk Tania... dan Devan. Tapi yang tidak banyak tahu orang adalah... Calista pernah terlibat dalam hubungan yang tidak diinginkan oleh keluarga itu. Termasuk diriku.”

Hana membeku.

Mira menyipitkan mata. “Aku tahu... kamu tidak tahu banyak soal masa lalu ibumu. Dan mungkin, kamu pikir semua ini hanya kebetulan. Tapi Hana, aku mohon padamu... sebelum kau makin terseret terlalu dalam, pikirkan baik-baik pernikahan ini.”

“Apa Tante bilang begitu karena masa lalu ibu saya dan Pak Devan?” tanya Hana tajam. “Itu tidak ada hubungannya dengan saya dan Abian.”

“Sayangnya, semuanya berkaitan,” jawab Mira. “Keluarga Adiyaksa bukan keluarga yang sembarangan. Ketika mereka tahu siapa kamu sebenarnya, luka lama bisa terbuka kembali. Dan aku khawatir, kamu yang akan jadi korban. Bukan mereka.”

Hana menggigit bibir bawahnya. Dadanya mulai bergemuruh. “Saya tidak takut, Tante.”

Mira tersenyum lelah sekaligus sedikit kesal, tapi masih menyamarkannya. “Keberanian kadang tidak cukup. Kau butuh perlindungan. Dan aku tidak yakin Abian bisa melindungimu dari keluarganya sendiri.”

Hana menggeleng. “Tapi dia sudah jadi suami saya. Lagi pula Mama Tania sudah mengetahui kalau Papa Devan tidak pernah memiliki hubungan lebih, selain persahabatan dengan ibuku.”

“Dan itulah yang membuatnya lebih rumit, kamu belum cukup kenal seperti apa ibu mertuamu.” tegas Mira. “Karena itu, aku datang padamu... bukan hanya untuk bicara. Tapi untuk memohon satu hal.”

Mata Hana melebar. “Apa?”

“Bercerailah dari Abian.”

Deg.

Suara itu seperti petir di siang hari.

“Apa?” bisik Hana nyaris tak terdengar.

Mira menatapnya dalam. “Tinggalkan Abian sebelum semua kebusukan masa lalu itu kembali mencuat dan menghancurkan hidupmu. Kau masih bisa pergi, Hana. Sekarang, sebelum semua menjadi terlalu dalam dan menyakitkan.”

Hana bangkit berdiri, matanya berkaca-kaca. “Tante tidak tahu apa yang sudah saya lewati. Tidak ada yang mudah. Dan sekarang, Tante meminta saya menyerah?”

“Aku tidak menyuruhmu menyerah,” ujar Mira. “Aku menyuruhmu menyelamatkan dirimu sendiri.”

“Tapi saya mencintainya... atau setidaknya saya ingin mencoba mencintainya,” jawab Hana, suaranya retak.

Mira menatap lurus padanya. “Dan apakah dia mencintaimu? Atau masih berharap pada perempuan bernama Felia?”

Hana membeku. Sekaligus tercengang karena Mira mengetahui tentang Felia.

“Bagaimana Tante tahu soal Felia?” tanya Hana lirih.

“Aku tahu lebih dari yang kamu kira, Hana. Aku tahu siapa Felia... dan siapa Alena sebenarnya.”

Hana menatap Mira, terpaku. Ingin bertanya lebih jauh, tapi tenggorokannya tercekat.

Sebelum Hana bisa bersuara lagi, suara dering ponselnya memecah suasana.

Hana melihat layar.

Nomor tak dikenal.

Ragu, ia mengangkatnya.

“Halo?”

Suaranya tercekat ketika mendengar kata-kata dari seberang.

“Selamat siang, ini dari Rumah Sakit. Kami butuh Anda segera ke ICU. Ada kondisi mendesak menyangkut ibu Anda, Ibu Calista.

Hana segera bergegas kembali ke ruang ICU tempat di mana ibunya dirawat, dan pada saat itu dokter keluar dari ruang ICU dengan wajah penuh penyesalan.

Hana menjatuhkan ponsel dari genggamannya.

Suara detak jantungnya menggema di telinga, menenggelamkan suara-suara di sekeliling. Lututnya terasa lemas. Ia sempat menoleh ke Mira yang masih duduk di kursi roda, tetapi tak sempat berkata apa pun. Langkahnya langsung berlari, secepat mungkin kembali ke lorong ICU.

Matanya berkabut, dadanya sesak.

Di ujung lorong yang panjang itu, ia melihat dua perawat berdiri dengan kepala tertunduk. Dan di depan pintu ICU, seorang dokter berdiri tegap, namun wajahnya tak bisa menyembunyikan raut kehilangan.

“Dokter!” panggil Hana hampir berteriak. Nafasnya terengah, dadanya naik turun. “Bagaimana... bagaimana keadaan Ibu saya?”

Dokter itu menatapnya lama, lalu membuka masker.

“Ibu Anda mengalami serangan mendadak. Jantungnya berhenti berdetak selama beberapa menit. Kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi...”

Ia berhenti.

Hana memelototi dokter itu. “Tapi apa?!” serunya panik.

Dokter menunduk pelan. “Ibu Anda tidak tertolong. Maafkan kami.”

Dunia Hana seperti runtuh saat itu juga.

Tidak ada suara. Tidak ada cahaya.

Hanya kehampaan yang menelan seluruh tubuh dan jiwanya. Ia terjatuh berlutut di lantai rumah sakit, tangannya menggenggam kerah bajunya sendiri, seakan ingin mencabik-cabik dada yang terasa sesak tak tertahankan.

“Ibu... Ibu...!”

Sementara dari arah lain seorang perempuan tersenyum melihat Hana merasa sedih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Ancaman yang Nyata

    Hana memandangi surat misterius di tangannya. Surat itu dikirim tanpa nama, tanpa alamat pengirim, dan tanpa jejak elektronik. Namun yang paling mengganggunya adalah foto tua hitam putih yang jelas menunjukkan ibunya Calista di masa muda. Garis tinta merah menyilang wajahnya, seolah menjadi peringatan… atau ancaman. “Ini bukan hanya tentang kita lagi,” gumam Hana sambil duduk di ruang kerja rumahnya. Abian masuk, membawa secangkir teh. “Kamu belum istirahat?” Hana menyerahkan surat itu. “Seseorang mengingatkan kita… bahwa cerita Mama belum selesai.” Abian membaca isinya, matanya menajam. “Akar dari kehancuranmu belum dicabut... Ini bukan ucapan acak. Ini ditulis oleh orang yang tahu terlalu dalam tentang masa lalu keluargamu.” “Dan itu berarti... bukan Mira. Tapi seseorang yang mengenal Mama sejak dulu,” bisik Hana. Abian mengangguk. “Kita harus menyelidiki. Dari awal. Dari tempat Mama pernah tinggal, sekolah, dan semua lingkaran sosialnya.” Sementara di rumah yang sudah

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Pengkhianat Paman

    Abian membanting map itu ke meja kerjanya. Suara kerasnya menggema, membuat Hana yang sedang mengatur dokumen hak asuh Alena terkejut. “Ada apa?” tanya Hana cepat, melangkah untuk menenangkan suaminya. Lalu Abian menatapnya, matanya merah karena emosi yang ditahan. Ia mengangkat selembar dokumen dari laporan investigasi internasional yang baru saja ia terima tertulis jelas di sana. Nama Reno Adiyaksa, pamannya. Adik dari Devan Adiyaksa. Tercatat melakukan transfer dana melalui rekening penampung milik Mira sejak dua tahun terakhir. Hana menatap wajah muram Abian, tanpa bisa berkata-kata. “Paman Reno...” gumamnya. Abian mengangguk. “Dia… dia selama ini bermain di belakang kita, menusuk keluarganya sendiri demi membantu Mira. Bahkan menggunakan perusahaan cangkang untuk memuluskan aliran dana ke luar negeri. Ini bukan cuma pengkhianatan biasa, Han. Ini... pengkhianatan dalam keharmonisan keluarga kita.” Sementara di rumahnya, Reno duduk di balkon rumah mewahnya, menyeruput kopi s

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Hadirnya Saksi

    Suasana ruang rapat di kantor pengacara keluarga Adiyaksa sangat tenang pagi itu. Tapi ketegangan tidak bisa disembunyikan. Di ujung meja, duduk seorang pria berusia awal empat puluhan. Wajahnya tirus, kulitnya pucat, dan tangannya gemetar ketika ia menandatangani dokumen perlindungan saksi.Namanya adalah Rendra Surya mantan teknisi laboratorium rumah sakit tempat hasil tes DNA Alena yang dulu dimanipulasi.“Terima kasih sudah datang,” ucap seorang pengacara keluarga Adiyaksa, yang bernama Ibu Melani.Rendra mengangguk kaku. “Saya... sudah lama ingin bicara. Tapi saya takut. Mira bukan orang sembarangan. Dia tahu cara membuat orang seperti saya hilang tanpa jejak.”Abian duduk di samping pengacara, mencatat setiap kalimat Rendra. Di seberang, Felia hadir sebagai bentuk pengakuan bahwa dia bersedia menjadi saksi melawan ibunya.“Beritahu kami dari awal,” kata Felia pelan.Rendra menarik napas panjang. “Empat tahun lalu, saya menerima amplop berisi uang dari seseorang yang mewakili Mir

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Keteguhan Hana

    Ruang keluarga pagi itu dipenuhi keheningan yang berat. Televisi menyala menayangkan ulang laporan berita pagi tentang skandal lama antara Calista dan Tania. Gambar-gambar diedit dengan framing yang menyudutkan. Komentator berita bahkan menyiratkan kemungkinan manipulasi warisan yang melibatkan Hana secara tidak langsung. Hana duduk sambil memeluk perutnya yang kini mulai membesar, bahkan ibunya telah tiada pun masih saja diberitakan miring, mental Hana kali ini di hajar habis-habisan, Abian berdiri di belakang kursinya menatap layar dengan wajah tegang, ia tentu sangat mengkhawatirkan kondisi Hana apalagi saat ini dalam kondisi hamil. Sementara Felia berdiri di sisi ruangan lain, menatap semua ini dengan rasa bersalah yang menyesakkan. “Aku tidak tahu dia akan sejauh ini, Mama benar-benar keterlaluan.” gumamnya. Tania datang dengan langkah tenang. Namun, wajahnya jelas menunjukkan luka, bukan hanya karena tuduhan yang disebar, tapi karena luka masa lalu yang kini dibuka lebar-le

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Bayang-Bayang Masa Lalu

    Foto yang ditemukan di rumah tua itu kini berada di tangan Tania. Ia menatapnya lama dan dalam diam. Wajah Calista, sahabat masa mudanya menatap lembut dari balik foto usang. Di sebelahnya, tampak Hana kecil berdiri di pangkuan Calista. Dan dirinya, Tania muda, berdiri di pinggir foto, setengah tersenyum, Tania mengenang masa itu sebelum sala paham antara dirinya dengan Calista terjadi, sehingga tidak bertegur sapa selama itu, hingga Hana dan Abian Dewasa, dan dipertemukan dalam ketidak sengajaan.Hana duduk di seberangnya, diam-diam memerhatikan perubahan raut wajah ibu mertuanya itu.“Apa Mama merindukan Mama Calista?” tanya Hana akhirnya, pelan tapi penuh tekanan.Tania meletakkan foto itu di pangkuannya, lalu mengangguk pelan.“Ya. Aku merindukan Calista dulu seperti saudara. Kami tumbuh bersama, kuliah bersama… sampai satu ketika, jalan kami terpisah karena… laki-laki yang sama.”Hana tertegun. “Abian bukankah putra dari Papa Devan...?”“Bukan,” potong Tania cepat. “Tapi aku me

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Kabur Lagi

    Asap dari ledakan kecil di belakang taman belum sepenuhnya menghilang. Para tamu berteriak dan berhamburan. Anak-anak dibawa menjauh oleh guru dan orang tua. Di antara keributan itu, Hana berusaha tetap tenang sambil memeluk Alena dengan erat.Hana segera bergegas memeluk Alena yang dalam ketakutan, ia berbisik lirih menenangkan. “Tenang sayang… Mama di sini,” Tania mengarahkan staf rumah untuk segera mengevakuasi para tamu ke dalam gedung utama. Sementara Abian dan dua polisi sipil langsung bergerak ke titik ledakan, namun seperti yang sudah diduga sosok Olivia atau Mira telah pergi sejak tadi.Abian menekan telepon genggamnya, berbicara cepat dengan salah satu kontak intelijen pribadi.b“Aku mau semua pintu keluar, pelabuhan, jalur udara pribadi, dan terminal dipantau. Dia pakai identitas Olivia. Tapi sekarang dia mungkin sudah berganti lagi. Ini bukan upaya penangkapan biasa tapi ini darurat.”Felia berdiri diam di dekat jendela, matanya menatap kosong ke halaman yang mulai sunyi.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status