Langit siang mulai mendung. Udara di rumah sakit semakin dingin, seolah menyesuaikan diri dengan suasana hati Hana yang terus diliputi awan kelabu. Sejak kemarin, ia belum sempat benar-benar beristirahat. Matanya sembab, dan tubuhnya mulai letih, tapi pikirannya tak berhenti berputar.
Calista masih terbaring di ruang ICU. Kondisinya belum stabil. Dokter tak banyak berkata, hanya menyuruh Hana banyak berdoa dan bersiap untuk kemungkinan terburuk. Abian sempat datang pagi tadi. Tapi kehadirannya hanya menambah sesak di dada Hana. Tatapan pria itu menyimpan kegelisahan dan rasa bersalah, tapi Hana belum bisa membicarakan apa pun padanya. Ia hanya meminta Abian pulang untuk menenangkan diri. Meski begitu, hatinya sendiri tak kunjung tenang. Baru saja ia hendak berdiri dari kursi tunggu di lorong ICU, suara pelan dari arah lift membuatnya menoleh. Suara roda berderit, menyertai langkah seorang perawat yang mendorong kursi roda. Di atas kursi itu, duduk seorang wanita setengah baya dengan rambut tergerai. Wajahnya tampak tenang namun penuh wibawa. Matanya yang tajam tertuju langsung ke arah Hana. Perawat berhenti tak jauh dari tempat Hana duduk. “Hana.” Wanita itu memanggilnya. Hana berdiri dan menatap pada wanita itu. “Tante Mira... ada apa menemuiku lagi?” Wanita itu tersenyum kecil. “Aku hanya ingin bicara denganmu, kemarin sepertinya perkataanku terlalu menyakitimu. Satu hal yang harus kau tahu, ibumu itu adalah Temanku tentunya kau masih ingat ketika aku masih sering datang ke Rumah kalian bukan? Tapi, sejak saat itu pula ibumu yang membuat jarak antara aku dengan keluarga Adiyaksa. Saat itu aku memilih menetap di luar negeri.” Hana terkejut. Tapi... ia tidak pernah benar-benar tahu kalau ibunya dengan Mira memiliki masalah yang sangat serius dan pelik. “Kau bisa ajak aku bicara sebentar? Di tempat yang lebih tenang,” ujar Mira kemudian, tangannya menyentuh roda dengan lembut mengarahkan perawatnya untuk membantu mendorong kursi roda. Hana mengangguk dan membimbing perawat menuju taman kecil samping rumah sakit yang sedikit sepi. Di sana, mereka berhenti di dekat kolam ikan kecil. Setelah perawat pergi meninggalkan mereka, Mira menatap Hana lekat-lekat. “Kau mirip sekali dengan Calista saat seusiamu,” gumamnya. “Tapi lebih... lelah.” Hana tersenyum kaku. “Hari-hari ini tidak mudah.” Mira mengangguk perlahan, lalu menarik napas panjang. “Aku datang bukan hanya untuk menjenguk Calista. Tapi juga karena aku tahu siapa kamu... dan siapa suamimu.” Hana menegang. “Maksud Tante?” Mira menatap lurus ke matanya. “Aku tahu kamu sekarang adalah istri dari Abian Adiyaksa. Dan karena itu aku harus bicara padamu, sebelum semuanya terlambat.” Hana menatap Mira bingung. “Dulu,” lanjut Mira pelan, “aku mengenal keluarga Adiyaksa dengan baik. Termasuk Tania... dan Devan. Tapi yang tidak banyak tahu orang adalah... Calista pernah terlibat dalam hubungan yang tidak diinginkan oleh keluarga itu. Termasuk diriku.” Hana membeku. Mira menyipitkan mata. “Aku tahu... kamu tidak tahu banyak soal masa lalu ibumu. Dan mungkin, kamu pikir semua ini hanya kebetulan. Tapi Hana, aku mohon padamu... sebelum kau makin terseret terlalu dalam, pikirkan baik-baik pernikahan ini.” “Apa Tante bilang begitu karena masa lalu ibu saya dan Pak Devan?” tanya Hana tajam. “Itu tidak ada hubungannya dengan saya dan Abian.” “Sayangnya, semuanya berkaitan,” jawab Mira. “Keluarga Adiyaksa bukan keluarga yang sembarangan. Ketika mereka tahu siapa kamu sebenarnya, luka lama bisa terbuka kembali. Dan aku khawatir, kamu yang akan jadi korban. Bukan mereka.” Hana menggigit bibir bawahnya. Dadanya mulai bergemuruh. “Saya tidak takut, Tante.” Mira tersenyum lelah sekaligus sedikit kesal, tapi masih menyamarkannya. “Keberanian kadang tidak cukup. Kau butuh perlindungan. Dan aku tidak yakin Abian bisa melindungimu dari keluarganya sendiri.” Hana menggeleng. “Tapi dia sudah jadi suami saya. Lagi pula Mama Tania sudah mengetahui kalau Papa Devan tidak pernah memiliki hubungan lebih, selain persahabatan dengan ibuku.” “Dan itulah yang membuatnya lebih rumit, kamu belum cukup kenal seperti apa ibu mertuamu.” tegas Mira. “Karena itu, aku datang padamu... bukan hanya untuk bicara. Tapi untuk memohon satu hal.” Mata Hana melebar. “Apa?” “Bercerailah dari Abian.” Deg. Suara itu seperti petir di siang hari. “Apa?” bisik Hana nyaris tak terdengar. Mira menatapnya dalam. “Tinggalkan Abian sebelum semua kebusukan masa lalu itu kembali mencuat dan menghancurkan hidupmu. Kau masih bisa pergi, Hana. Sekarang, sebelum semua menjadi terlalu dalam dan menyakitkan.” Hana bangkit berdiri, matanya berkaca-kaca. “Tante tidak tahu apa yang sudah saya lewati. Tidak ada yang mudah. Dan sekarang, Tante meminta saya menyerah?” “Aku tidak menyuruhmu menyerah,” ujar Mira. “Aku menyuruhmu menyelamatkan dirimu sendiri.” “Tapi saya mencintainya... atau setidaknya saya ingin mencoba mencintainya,” jawab Hana, suaranya retak. Mira menatap lurus padanya. “Dan apakah dia mencintaimu? Atau masih berharap pada perempuan bernama Felia?” Hana membeku. Sekaligus tercengang karena Mira mengetahui tentang Felia. “Bagaimana Tante tahu soal Felia?” tanya Hana lirih. “Aku tahu lebih dari yang kamu kira, Hana. Aku tahu siapa Felia... dan siapa Alena sebenarnya.” Hana menatap Mira, terpaku. Ingin bertanya lebih jauh, tapi tenggorokannya tercekat. Sebelum Hana bisa bersuara lagi, suara dering ponselnya memecah suasana. Hana melihat layar. Nomor tak dikenal. Ragu, ia mengangkatnya. “Halo?” Suaranya tercekat ketika mendengar kata-kata dari seberang. “Selamat siang, ini dari Rumah Sakit. Kami butuh Anda segera ke ICU. Ada kondisi mendesak menyangkut ibu Anda, Ibu Calista. Hana segera bergegas kembali ke ruang ICU tempat di mana ibunya dirawat, dan pada saat itu dokter keluar dari ruang ICU dengan wajah penuh penyesalan. Hana menjatuhkan ponsel dari genggamannya. Suara detak jantungnya menggema di telinga, menenggelamkan suara-suara di sekeliling. Lututnya terasa lemas. Ia sempat menoleh ke Mira yang masih duduk di kursi roda, tetapi tak sempat berkata apa pun. Langkahnya langsung berlari, secepat mungkin kembali ke lorong ICU. Matanya berkabut, dadanya sesak. Di ujung lorong yang panjang itu, ia melihat dua perawat berdiri dengan kepala tertunduk. Dan di depan pintu ICU, seorang dokter berdiri tegap, namun wajahnya tak bisa menyembunyikan raut kehilangan. “Dokter!” panggil Hana hampir berteriak. Nafasnya terengah, dadanya naik turun. “Bagaimana... bagaimana keadaan Ibu saya?” Dokter itu menatapnya lama, lalu membuka masker. “Ibu Anda mengalami serangan mendadak. Jantungnya berhenti berdetak selama beberapa menit. Kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi...” Ia berhenti. Hana memelototi dokter itu. “Tapi apa?!” serunya panik. Dokter menunduk pelan. “Ibu Anda tidak tertolong. Maafkan kami.” Dunia Hana seperti runtuh saat itu juga. Tidak ada suara. Tidak ada cahaya. Hanya kehampaan yang menelan seluruh tubuh dan jiwanya. Ia terjatuh berlutut di lantai rumah sakit, tangannya menggenggam kerah bajunya sendiri, seakan ingin mencabik-cabik dada yang terasa sesak tak tertahankan. “Ibu... Ibu...!” Sementara dari arah lain seorang perempuan tersenyum melihat Hana merasa sedih.Mobil hitam itu masih terparkir di sisi kanan halaman rumah sakit. Dari balik kaca yang sedikit terbuka, sepasang mata mengamati pintu masuk ruang IGD dengan tajam. Perempuan itu adalah Felia. Ia tak segera turun, seolah menimbang apakah kehadirannya akan memperkeruh suasana atau justru membuka jalan untuk menjelaskan segalanya.Di dalam rumah sakit, kabar meninggalnya Calista menyebar cepat. Para perawat dan dokter yang merawatnya hanya bisa menunduk penuh penyesalan. Beberapa orang dari staf rumah sakit memberi ucapan belasungkawa singkat pada Hana yang masih berdiri membeku di depan ruang ICU. Tangisnya sudah kering, tetapi matanya tetap kosong.Langkah kaki cepat terdengar dari ujung lorong. Abian datang dengan tergesa, diikuti kedua orang tuanya, Tania dan Devan Adiyaksa. Wajah mereka tegang, napas terengah.“Hana!” panggil Tania. “Kami baru dengar soal ibumu... Kami sangat menyesal.”Abian langsung menghampiri Hana yang tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.“Hana... aku.
Langit siang mulai mendung. Udara di rumah sakit semakin dingin, seolah menyesuaikan diri dengan suasana hati Hana yang terus diliputi awan kelabu. Sejak kemarin, ia belum sempat benar-benar beristirahat. Matanya sembab, dan tubuhnya mulai letih, tapi pikirannya tak berhenti berputar.Calista masih terbaring di ruang ICU. Kondisinya belum stabil. Dokter tak banyak berkata, hanya menyuruh Hana banyak berdoa dan bersiap untuk kemungkinan terburuk.Abian sempat datang pagi tadi. Tapi kehadirannya hanya menambah sesak di dada Hana. Tatapan pria itu menyimpan kegelisahan dan rasa bersalah, tapi Hana belum bisa membicarakan apa pun padanya. Ia hanya meminta Abian pulang untuk menenangkan diri. Meski begitu, hatinya sendiri tak kunjung tenang.Baru saja ia hendak berdiri dari kursi tunggu di lorong ICU, suara pelan dari arah lift membuatnya menoleh. Suara roda berderit, menyertai langkah seorang perawat yang mendorong kursi roda.Di atas kursi itu, duduk seorang wanita setengah baya deng
Suara mesin di ruang ICU berdengung pelan, seperti alunan nada tak kasatmata yang menghantam relung hati Hana. Di balik kaca tebal, tubuh Calista terbaring lemah, penuh dengan kabel dan selang yang menempel di berbagai sisi tubuhnya. Napasnya naik-turun melalui ventilator. Lampu-lampu monitor berkedip seirama dengan detak jantungnya yang lemah.Hana berdiri diam, membeku. Dunia di sekitarnya seperti berhenti. Matanya merah, tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus menangis atau berteriak. Semuanya terasa terlalu berat, terlalu mendadak, terlalu sakit.Setelah bertahun-tahun hanya hidup berdua, kini ibunya berada di antara hidup dan mati. Dan di saat yang sama, pernikahannya bersama Abian baru saja diguncang oleh satu kenyataan besar, kemunculan Felia, dan seorang anak kecil bernama Alena.“Apa aku... pantas bahagia di atas semua ini?” gumamnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tenggelam oleh suara mesin-mesin medis.Pintu ruang tunggu terbuka pelan.Abian muncul, wajahnya masih d
Pagi itu, udara masih dingin menyapu dedaunan basah oleh embun. Taman kecil di belakang rumah sakit belum sepenuhnya ramai. Hanya ada satu-dua pengunjung yang duduk di bangku taman, menikmati ketenangan pagi.Hana datang dengan langkah hati-hati. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kecemasan malam tadi. Sementara ibunya masih dirawat di ruang intensif. Ia belum sadar, dan kini, Hana datang menuruti telepon dari orang asing yang memberitahunya soal masa lalu Abian.Jantungnya berdegup tak karuan.Matanya menyapu taman. Tak ada siapa pun yang mencurigakan. Sampai matanya tertuju pada seorang wanita berpenampilan elegan, berdiri di bawah pohon besar, mengenakan mantel krem dengan syal biru lembut melilit lehernya.Di sebelah wanita itu, berdiri seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, mengenakan gaun putih bermotif bunga. Gadis kecil itu memegang tangan wanita itu erat sambil memeluk boneka.Hana melangkah pelan, ragu.Wanita itu menoleh dan tersenyum tipis. Sorot matanya
Abian terpaku menatap layar ponselnya. Notifikasi itu menghantam dadanya seperti gelombang lama yang datang kembali membawa serpihan masa lalu yang belum selesai. Jemarinya mengepal, dadanya sesak. Bingung. Bimbang. Terikat dan terjerat di antara kewajiban sebagai seorang anak dan perasaan yang mulai mengusik batinnya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel pengantin yang sunyi. Hana tidak ada. Ia bahkan belum kembali sejak pergi diam-diam tadi—masih mengenakan gaun pengantin yang seharusnya menjadi saksi malam pertama mereka sebagai pasangan sah. Abian duduk di ujung ranjang, kepalanya menunduk dalam. “Harusnya aku menjelaskan semuanya… sebelum semua ini terjadi.” Ia tahu, Hana mungkin membaca notifikasi itu. Itu cukup untuk membuat siapa pun merasa diabaikan—terutama perempuan yang baru saja ia nikahi, meski hanya atas nama kontrak. Tapi kenapa hatinya seberat ini? Bukankah dulu, saat menyusun rencana pertunangan palsu itu, ia mengira tak akan ada yang terluka? Terny
Abian duduk membisu di ruang kerja ayahnya. Pagi itu, suasana rumah keluarga Adiyaksa sedikit lebih tenang dibanding malam sebelumnya yang nyaris meledak karena masa lalu yang menyeruak tanpa aba-aba. Tania kini duduk bersandar di sofa, mengenakan gaun berwarna pastel lembut. Wajahnya masih menyisakan kelelahan emosional, tapi matanya tak lagi menyala penuh dendam. Devan menyuguhkan teh untuk istrinya sebelum ia duduk di samping Abian. “Kita harus bicara,” ujar pria paruh baya itu. Abian mengangguk pelan. “Tentang pertunanganku dengan Hana?” Tania menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tentang pernikahan kalian.” Alis Abian terangkat. “Pernikahan? Kita belum bertunangan secara resmi. Lagipula ini hanya—” “Awalnya hanya sandiwara, ya, aku tahu,” sela Tania lembut namun tegas. “Tapi kamu sudah dewasa, Abian. Kami sudah lama menunggu kamu membawa pulang seseorang. Dan saat kamu akhirnya memilih, meskipun pura-pura, ternyata gadis itu... bukan orang yang buruk.” Devan menimp