Langit masih mengambang abu-abu ketika Hana menuruni angkot terakhir dan menyusuri trotoar sempit menuju butik tempatnya bekerja. Jemarinya menggigil memeluk jaket tipis yang sudah mulai memudar warnanya. Sepatu ketsnya berdecit halus saat menjejak genangan kecil. Kehidupan Hana memang tak pernah mewah, tapi ia tetap bersyukur.
Butik Miracle Mode itu bukan butik besar, hanya cabang kecil dari butik utama milik istri pejabat. Tapi bagi Hana, tempat itu adalah sumber harapan. Sejak lulus SMA dan tak mampu melanjutkan kuliah, ia menerima pekerjaan ini dengan senang hati. Pagi itu, ia belum sempat menyalakan lampu butik ketika ponselnya bergetar. Sebuah panggilan dari nomor tetangganya, Bu Sari. Wajah Hana mengerut, merasa aneh. Belum sempat menyapa, suara panik langsung membanjiri telinganya. “Hana! Cepat ke rumah sakit! Ibumu dibawa ke UGD! Ditemukan pingsan di halaman rumah—” Telepon terputus. Hana tak sempat mengunci pintu butik. Ia hanya mengambil tas dan berlari sekencang mungkin, berharap Bu Sari salah bicara, dan berharap ini hanya mimpi di siang bolong. *** Koridor UGD dipenuhi bau obat-obatan dan ketegangan. Hana nyaris tak bisa bernapas saat menyebutkan nama ibunya pada bagian pendaftaran. Tak lama kemudian, seorang perawat menunjukkan arah ruang pemeriksaan. Callista, ibunya, tampak terbaring lemah dengan selang infus menancap di tangan. Wajahnya pucat, napasnya tak teratur. Hana mencengkeram tangan ibunya dan mencoba menahan air mata. Beberapa saat kemudian, seorang dokter paruh baya dengan jas putih menghampiri Hana dan memintanya ke ruang konsultasi. Degup jantung Hana memburu tak karuan. “Kami sudah melakukan pemeriksaan awal,” ujar dokter itu hati-hati. “Ibu Anda mengalami penurunan fungsi ginjal yang parah. Kemungkinan besar sudah masuk stadium lanjut.” Hana tercengang, dan dokter melanjutkan ucapannya. “Harus segera ditangani. Operasi dan cuci darah berkala adalah pilihan terbaik saat ini.” “O-opera…si Dok?” suara Hana gemetar. “Iya. Tapi kami harus segera membayar terlebih dahulu agar kami bisa mengambil tindakan. Biayanya cukup besar. Belum termasuk perawatan setelahnya.” Langit seolah runtuh di kepala Hana. Ia bukan siapa-siapa. Gajinya sebagai pegawai butik bahkan tak cukup untuk membayar kamar rumah sakit VIP. Apalagi operasi dan cuci darah? “Berapa… perkiraan totalnya, Dok?” suaranya lirih. Dokter itu menyebutkan angka yang membuat lutut Hana lemas. kurang lebih lima ratus juta termasuk operasi transplantasi ginjal. Jumlah yang bahkan tak bisa ia kumpulkan dalam waktu setahun pun. Sepulang dari rumah sakit, Hana duduk di kamar sempitnya sambil memandangi pigura kecil foto mendiang ayahnya. Air matanya mengalir diam-diam. Ia merasa sendirian. Keluarganya hanya ibunya. Tak ada saudara. Tak ada kerabat kaya. Ia ingin menangis sepuasnya. Tapi belum sempat air matanya benar-benar pecah, ponselnya kembali bergetar. Kali ini pesan dari grup sosial media yang sudah lama ia bisukan. “Sayembara! Dicari pasangan pura-pura untuk dikenalkan ke keluarga. Kontrak 3 bulan. Dibayar satu miliar, tunjangan luar biasa. Hanya untuk wanita lajang. Interview besok jam sepuluh pagi di Hotel Casa Del Piero.” Pesan itu dikirim oleh temannya di butik, Maya. Ia menambahkan pesan pribadi. “Hana, kamu harus coba ini. Cowoknya anak konglomerat. Ini bisa untuk biaya operasi ibu kamu, bahkan kamu bisa melanjutkan kuliah. Cuma buat akting jadi pacarnya. Siapa tahu rezeki kamu dari sini?” Hana tertegun menatap layar ponselnya. Ia nyaris menghapus pesan itu—kedengarannya terlalu aneh, terlalu tidak masuk akal. Tapi ketika mengingat ibunya yang masih terbaring di ruang rawat rumah sakit, tubuh Hana bergerak sendiri. Besok, ia akan datang ke Hotel yang disebutkan di dalam pesan itu. Keesokan harinya, Hana berdiri kikuk di depan ballroom kecil di Hotel Casa Del Piero. Puluhan wanita lain juga hadir, semuanya cantik dan modis. Sementara ia hanya mengenakan blus putih dan rok panjang satu-satunya yang layak pakai. Ruangan itu dipenuhi bisik-bisik. Ada yang mengatakan pria yang mengadakan sayembara ini adalah Abian Adiyaksa, pemilik grup usaha besar yang sedang naik daun. Tampan, kaya, dan… terkenal dingin. Gosipnya, ia belum pernah membawa wanita satu pun ke hadapan orang tuanya. Hana mengisi formulir dan menunggu namanya dipanggil. Ketika tiba gilirannya, ia melangkah masuk ke sebuah ruangan yang lebih kecil. Di dalamnya, duduklah pria dengan jas hitam rapi, wajah tajam, dan sorot mata yang membuat lehernya kaku. Adrian Martadinata sahabat sekaligus asisten pribadi Abian Adiyaksa. “Hana Adelia?” tanyanya datar. “Iya, Pak…” “Kamu tahu sayembara ini untuk apa?” “Untuk berpura-pura menjadi pasangan Tuan Abian, selama tiga bulan, agar dikenalkan ke keluarga.” Hana berusaha bersikap tenang. Adrian memerhatikan Hana cukup lama. Matanya seperti menilai tanpa ekspresi. “Kenapa kamu ikut sayembara ini?” tanyanya lagi. Hana menatapnya sejenak. Ia bisa berbohong, seperti peserta lain mungkin. Tapi ia justru berkata jujur. “Karena ibu saya sakit. Saya butuh uang untuk operasinya.” Senyap. “Kamu tidak takut bermain perasaan?” tanya Adrian lagi. “Saya hanya ingin menyelamatkan ibu saya, Pak. Kalau itu artinya saya harus jadi pasangan pura-pura… saya akan lakukan.” Adrian menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menutup map di hadapannya. Ia tidak mengangguk, tidak pula menolak. Hanya berkata. “Kami akan menghubungi kamu besok. Pulanglah.” Hana keluar dengan jantung berdebar, tak tahu apakah ia berhasil atau tidak. *** Malam itu, ia kembali ke rumah sakit dengan hati tak menentu. Di dalam ruang rawat, ibunya membuka mata perlahan dan tersenyum lemah. “Kamu sudah makan, Hana?” suara ibu terdengar parau. “Sudah, Bu,” bohong Hana sambil menggenggam tangannya. “Ibu jangan banyak bicara. Fokus sembuh dulu, ya…” Callista menatap anaknya lama. Matanya seperti menyimpan banyak hal yang belum terucap. Tapi ia hanya mengangguk dan memejamkan mata lagi. *** Ketika tengah malam tiba dan Hana tertidur di kursi samping tempat tidur ibunya, ponselnya bergetar pelan. Pesan dari nomor tak dikenal. “Kamu terpilih. Kontrak akan dikirim besok pagi. Siapkan diri untuk pertemuan keluarga dalam 5 hari ke depan. Namun, tepat saat Hana hendak membalas pesan itu dengan ucapan terima kasih, sebuah perawat masuk dengan panik ke ruang rawat. “Ibu Callista? Detak jantungnya menurun drastis! Cepat panggil dokter!” Hana terlonjak bangun. “Bu! Bu!” teriaknya sambil mengguncang tubuh ibunya yang tampak melemah. Perawat dan dokter bergegas masuk, mendorong tempat tidur keluar dari ruangan. Hana hanya bisa berdiri terpaku di koridor, tubuhnya gemetar. Dalam hitungan menit, pintu ruang ICU menutup rapat di hadapannya. Dan tak lama kemudian… Seorang wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh, mengenakan jaket lusuh dan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Ia berdiri di samping Hana dan menatap ke arah ruang ICU. “Apakah perempuan di dalam ibumu?” Hana menoleh bingung. “Ibu siapa?” Wanita itu menatap Hana dengan tatapan ganjil. “Aku… sahabat lama ibumu. Aku tahu semuanya. Termasuk siapa kamu sebenarnya.” Hana menegang. “Maksud Ibu…?” Wanita itu tak menjawab. Ia hanya menyodorkan sebuah amplop berisi foto tua dan selembar kertas lusuh—tertulis nama. Devan Adiyaksa.Hana memandangi surat misterius di tangannya. Surat itu dikirim tanpa nama, tanpa alamat pengirim, dan tanpa jejak elektronik. Namun yang paling mengganggunya adalah foto tua hitam putih yang jelas menunjukkan ibunya Calista di masa muda. Garis tinta merah menyilang wajahnya, seolah menjadi peringatan… atau ancaman. “Ini bukan hanya tentang kita lagi,” gumam Hana sambil duduk di ruang kerja rumahnya. Abian masuk, membawa secangkir teh. “Kamu belum istirahat?” Hana menyerahkan surat itu. “Seseorang mengingatkan kita… bahwa cerita Mama belum selesai.” Abian membaca isinya, matanya menajam. “Akar dari kehancuranmu belum dicabut... Ini bukan ucapan acak. Ini ditulis oleh orang yang tahu terlalu dalam tentang masa lalu keluargamu.” “Dan itu berarti... bukan Mira. Tapi seseorang yang mengenal Mama sejak dulu,” bisik Hana. Abian mengangguk. “Kita harus menyelidiki. Dari awal. Dari tempat Mama pernah tinggal, sekolah, dan semua lingkaran sosialnya.” Sementara di rumah yang sudah
Abian membanting map itu ke meja kerjanya. Suara kerasnya menggema, membuat Hana yang sedang mengatur dokumen hak asuh Alena terkejut. “Ada apa?” tanya Hana cepat, melangkah untuk menenangkan suaminya. Lalu Abian menatapnya, matanya merah karena emosi yang ditahan. Ia mengangkat selembar dokumen dari laporan investigasi internasional yang baru saja ia terima tertulis jelas di sana. Nama Reno Adiyaksa, pamannya. Adik dari Devan Adiyaksa. Tercatat melakukan transfer dana melalui rekening penampung milik Mira sejak dua tahun terakhir. Hana menatap wajah muram Abian, tanpa bisa berkata-kata. “Paman Reno...” gumamnya. Abian mengangguk. “Dia… dia selama ini bermain di belakang kita, menusuk keluarganya sendiri demi membantu Mira. Bahkan menggunakan perusahaan cangkang untuk memuluskan aliran dana ke luar negeri. Ini bukan cuma pengkhianatan biasa, Han. Ini... pengkhianatan dalam keharmonisan keluarga kita.” Sementara di rumahnya, Reno duduk di balkon rumah mewahnya, menyeruput kopi s
Suasana ruang rapat di kantor pengacara keluarga Adiyaksa sangat tenang pagi itu. Tapi ketegangan tidak bisa disembunyikan. Di ujung meja, duduk seorang pria berusia awal empat puluhan. Wajahnya tirus, kulitnya pucat, dan tangannya gemetar ketika ia menandatangani dokumen perlindungan saksi.Namanya adalah Rendra Surya mantan teknisi laboratorium rumah sakit tempat hasil tes DNA Alena yang dulu dimanipulasi.“Terima kasih sudah datang,” ucap seorang pengacara keluarga Adiyaksa, yang bernama Ibu Melani.Rendra mengangguk kaku. “Saya... sudah lama ingin bicara. Tapi saya takut. Mira bukan orang sembarangan. Dia tahu cara membuat orang seperti saya hilang tanpa jejak.”Abian duduk di samping pengacara, mencatat setiap kalimat Rendra. Di seberang, Felia hadir sebagai bentuk pengakuan bahwa dia bersedia menjadi saksi melawan ibunya.“Beritahu kami dari awal,” kata Felia pelan.Rendra menarik napas panjang. “Empat tahun lalu, saya menerima amplop berisi uang dari seseorang yang mewakili Mir
Ruang keluarga pagi itu dipenuhi keheningan yang berat. Televisi menyala menayangkan ulang laporan berita pagi tentang skandal lama antara Calista dan Tania. Gambar-gambar diedit dengan framing yang menyudutkan. Komentator berita bahkan menyiratkan kemungkinan manipulasi warisan yang melibatkan Hana secara tidak langsung. Hana duduk sambil memeluk perutnya yang kini mulai membesar, bahkan ibunya telah tiada pun masih saja diberitakan miring, mental Hana kali ini di hajar habis-habisan, Abian berdiri di belakang kursinya menatap layar dengan wajah tegang, ia tentu sangat mengkhawatirkan kondisi Hana apalagi saat ini dalam kondisi hamil. Sementara Felia berdiri di sisi ruangan lain, menatap semua ini dengan rasa bersalah yang menyesakkan. “Aku tidak tahu dia akan sejauh ini, Mama benar-benar keterlaluan.” gumamnya. Tania datang dengan langkah tenang. Namun, wajahnya jelas menunjukkan luka, bukan hanya karena tuduhan yang disebar, tapi karena luka masa lalu yang kini dibuka lebar-le
Foto yang ditemukan di rumah tua itu kini berada di tangan Tania. Ia menatapnya lama dan dalam diam. Wajah Calista, sahabat masa mudanya menatap lembut dari balik foto usang. Di sebelahnya, tampak Hana kecil berdiri di pangkuan Calista. Dan dirinya, Tania muda, berdiri di pinggir foto, setengah tersenyum, Tania mengenang masa itu sebelum sala paham antara dirinya dengan Calista terjadi, sehingga tidak bertegur sapa selama itu, hingga Hana dan Abian Dewasa, dan dipertemukan dalam ketidak sengajaan.Hana duduk di seberangnya, diam-diam memerhatikan perubahan raut wajah ibu mertuanya itu.“Apa Mama merindukan Mama Calista?” tanya Hana akhirnya, pelan tapi penuh tekanan.Tania meletakkan foto itu di pangkuannya, lalu mengangguk pelan.“Ya. Aku merindukan Calista dulu seperti saudara. Kami tumbuh bersama, kuliah bersama… sampai satu ketika, jalan kami terpisah karena… laki-laki yang sama.”Hana tertegun. “Abian bukankah putra dari Papa Devan...?”“Bukan,” potong Tania cepat. “Tapi aku me
Asap dari ledakan kecil di belakang taman belum sepenuhnya menghilang. Para tamu berteriak dan berhamburan. Anak-anak dibawa menjauh oleh guru dan orang tua. Di antara keributan itu, Hana berusaha tetap tenang sambil memeluk Alena dengan erat.Hana segera bergegas memeluk Alena yang dalam ketakutan, ia berbisik lirih menenangkan. “Tenang sayang… Mama di sini,” Tania mengarahkan staf rumah untuk segera mengevakuasi para tamu ke dalam gedung utama. Sementara Abian dan dua polisi sipil langsung bergerak ke titik ledakan, namun seperti yang sudah diduga sosok Olivia atau Mira telah pergi sejak tadi.Abian menekan telepon genggamnya, berbicara cepat dengan salah satu kontak intelijen pribadi.b“Aku mau semua pintu keluar, pelabuhan, jalur udara pribadi, dan terminal dipantau. Dia pakai identitas Olivia. Tapi sekarang dia mungkin sudah berganti lagi. Ini bukan upaya penangkapan biasa tapi ini darurat.”Felia berdiri diam di dekat jendela, matanya menatap kosong ke halaman yang mulai sunyi.