Share

Kelahiran

Jingga diam terpaku di samping mobil hitam yang terparkir di depan rumahnya. 

Di pagi yang sibuk ini seorang pemuda yang tak dikenalnya menarik paksa tangannya. Membawanya menuju ke sebuah kondisi yang katanya darurat itu.

Laki-laki itu bernama Nathan. Seorang pemuda berusia 25 tahun yang hanya memakai kaos tipis dengan celana pendek sekaligus sandal japit. Membawa sebuah mobil yang terlihat cukup mahal. Terparkir dengan gagahnya di depan rumah Jingga.

Ceklek...

Pintu mobil itu terbuka. Seorang wanita hamil tua sedang menahan kesakitan di dalam sana. Wanita itu adalah wanita yang kemarin baru saja memeriksakan kandungannya di klinik Jingga kemarin. 

Jingga memandang Nathan dengan wajah sedikit heran. Tak menyangka jika suami dari wanita yang biasa menjadi pasiennya itu adalah seorang pria yang masih sangat muda.

"Aku bukan suaminya," kata Nathan yang mengerti maksud dari pandangan Jingga. Jingga mengangguk pelan. 

"Sayaangg..." wanita itu melambaikan tangannya ke arah Nathan sambil menahan sakit yang luar biasa. 

Jingga memandang Nathan. Lalu mengangguk pelan. Imajinasinya berkeliaran. Oh, mungkin selingkuhannya. Di jaman sekarang memang banyak pasangan yang suka selingkuh. 

"Kamu nggak percaya? Aku bukan suaminya. Serius," kata Nathan dengan wajah yang tampak serius. Jingga mengangguk pelan.

"Iya. Kita bahas lagi nanti ya, Pak," kata Jingga dengan sopan pada Nathan. 

Nathan mengeryitkan dahinya karena heran dengan sikap Jingga yang memanggilnya dengan sebutan 'Pak'. Karena jelas-jelas dia masih sangat muda untuk dipanggil 'Bapak'.

Jingga memeriksa gerak janin itu dengan pelan. Dilihatnya sebuah cairan yang keluar dari sela paha wanita itu. Sebuah cairan yang bercampur dengan darah. Tanda wanita itu akan segera melahirkan. Jingga memeriksa kondisi pembukaan jalan lahir dari wanita itu.

"Pak, ini sebaiknya istrinya langsung di bawa ke puskesmas saja. Karena ini sudah pembukaan 6. Sudah harus secepatnya dilahirkan," kata Jingga memberi isyarat pada Nathan. Nathan menepuk jidatnya.

"Saya bukan suaminya, Bu," kata Nathan dengan wajah kesal.

"Oh iya. Maaf pak," kata Jingga.

"Saya bukan bapak-bapak, Bu. Saya masih belum nikah," kata Nathan bingung menjelaskan. Jingga mengangguk pelan.

"Iya. Mas aja kalau gitu," ujar Jingga yang pasrah dengan bantahan Nathan. 

Nathan menggeleng cepat.

"Nggak perlu dibawa ke puskesmas, Bu. Disini aja. Puskesmas masih terlalu jauh. Nggak akan sempet waktunya. Daripada nanti lahiran di mobil," kata Nathan memaksa dan segera membawa turun wanita itu.

Jingga bingung. Apalagi saat ini tak ada Tiara yang membantunya di klinik. Ia tidak mungkin melakukan persalinan sendirian.

Jingga mengambil handphone di sakunya. Mencoba menghubungi Tiara. Tapi, tak ada jawaban dari Tiara.

"Bu, cepetan!" panggil Nathan yang telah berdiri di depan pintu klinik membuyarkan lamunan Jingga.

"Oh iya. Sebentar," kata Jingga panik dan segera membukakan pintu klinik.

Nathan menidurkan wanita itu di atas ranjang klinik. 

"Aduh, Bu. Sakit," rintih wanita itu kesakitan. 

Jingga mencuci tangannya. Ia tak punya pilihan lain selain membantu wanita itu melahirkan disini. Sendirian. Keadaan wanita itu tidak memungkinkan untuk dibawa ke puskesmas yang akan menghabiskan 30 menit perjalanan kesana. Itupun jika tak terkena macet.

"Pak," panggil Jingga pada Nathan yang hendak beranjak keluar ruangan.

"Jangan panggil Bapak," kata Nathan protes. 

"Iya. Mas, di dalem aja. Nemenin istrinya," kata Jingga yang gugup disambut dengan wajah kesal Nathan. 

"Saya bukan suaminya, Bu," bantah Nathan lagi. 

Jingga menghela nafas sedikit kesal. Aneh saja. Karena jika Nathan bukan suaminya, lalu bagaimana Nathan menemani wanita itu melahirkan. 

"Iya, iya. Mas di dalam aja ya. Bantuin saya. Saya cari bantuan nggak ada. Soalnya kan bapak tahu sendiri. Sekarang hari libur," kata Jingga menjelaskan. Nathan tampak terkejut dengan permintaan Jingga. Dengan cepat Ia menggeleng.

"Bu, saya ini bukan siapa-siapanya ibu ini. Saya juga bukan tenaga medis. Nggak. Saya nggak bisa," kata Nathan menolak.

Jingga memasang infus pada wanita itu. Memeriksa detak jantung ibu dan bayinya dan memeriksa jalan lahir wanita itu dengan seksama. 

Jingga memegang tangan Nathan dan menariknya. Menggenggamkannya pada tangan wanita hamil itu.

"Nggak apa-apa. Cuma butuh seseorang yang bisa di pegang aja. Bantu nguatin ya, Pak," kata Jingga. Nathan memandang Jingga kesal.

Wanita itu masih merintih kesakitan. Keringat dingin mengucur membasahi seluruh tubuhnya. Jingga sudah siap pada tempatnya. Seluruh perlengkapan telah siap sedia.

"Semangat ya. Kita berjuang sama-sama. Bayangin aja gimana nanti wajah bayinya," kata Nathan berusaha menyemangati wanita itu. 

Nathan meringis kesakitan saat wanita itu memegang tangannya kuat. Tak menyangka seorang wanita bisa sekuat ini. 

Jingga tersenyum melihat Nathan yang akhirnya mulai terbiasa dengan situasi ini. 

"Baik bu. Kita mulai ya. Ibu rileks aja. Lihat wajah tampan si bapak. Nggak usah gugup. Kita mulai tiup-tiupnya ya. Nanti setiap kerasa sakit, ibu tiup-tiup ya. Nggak usah tegang. Santai aja," kata Jingga yang menenangkan ibu itu di sampingnya. 

Perlahan wanita itu mulai terlihat lebih tenang. Tak merintih seperti sebelumnya. Ia mulai mengambil nafas dalam dan membuangnya panjang.

"Ayo bu. Tiup... Tiup... Tiup...," kata Nathan yang menuntun wanita itu. Keringatnya mengalir deras di pelipis kirinya.

Wanita itu memandang Nathan sambil terus meniup nafas panjang. 

"Nah... Bagus sekali ibu," kata Jingga senang dengan kerjasamanya dengan Nathan..

Oweekk...

Dalam sekejap saja bayi itu lahir dengan selamat. Nathan kaget dengan mudahnya bayi itu lahir ke dunia ini.

Ini adalah pertama kalinya Nathan melihat seseorang melahirkan secara langsung. Nathan jatuh tersungkur. Kakinya lemas mendengar tangisan bayi yang baru lahir. Seperti mimpi saja rasanya. 

"Selamat ya bu. Bayinya laki-laki. Ganteng seperti bapaknya," kata Jingga senang melihat bayi yang baru saja melihat dunia itu. 

Jingga memeriksa bayi itu dengan seksama. Memeriksa seluruh tubuhnya. Dari atas sampai bawah.

"Alhamdulillah. Normal semuanya. Jari tangannya 10. Jari kakinya 10. Wajahnya juga sempurna," kata Jingga dengan senyum lebarnya. 

Wanita itu menangis. Bersyukur bayinya lahir dengan selamat ke dunia ini. Sama dengan Nathan yang ternyata malah menangis tersedu. 

"Pak. Ini tolong dipotong ya," kata Jingga sambil menyodorkan sebuah tali pada Nathan. 

Nathan begidik ngeri melihat darah segar yang bercucuran. Dengan tangan gemetar diguntingnya tali yang disodorkan oleh Jingga. 

Pikirannya kacau. Seperti baru saja terbangun dari mimpi. 

"Itu tali apa, Bu?" tanya Nathan dengan wajah yang masih terlihat linglung. 

"Ini tali pusarnya," jawab Jingga santai dengan wajah yang ramah. 

Nathan membelalakkan matanya. Tak mengira jika tali seperti usus itu adalah tali pusar dari bayi itu. 

Nathan menelan ludah. Seperti mau muntah saja rasanya. Suatu hal baru yang tak pernah dia sangka sebelumnya. Mata Nathan berkunang-kunang. Pikirannya tak karuan. 

Nathan pingsan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status