Share

Bidan Jingga

"Cowok itu nggak akan berubah hanya karena seseorang, Ngga," ujar Tiara. Sahabat Jingga yang juga membantunya membuka klinik yang dijalankannya itu sesaat setelah Jingga menceritakan hubungannya dengan Arga.

Jingga tersenyum tipis sambil menuliskan sesuatu di buku besarnya.

"Aku nggak berharap dia berubah, Ra. Aku cuma pengen dia ngerti apa yang aku mau. Emangnya aku salah ya kalau aku cuma mau perhatian dari dia?" kata Jingga melemparkan pandangannya pada Tiara yang masih sibuk membersihkan setiap sudut klinik itu.

Tiara duduk di hadapan Jingga. Meletakkan tangannya di atas meja.

"Bukan masalah salah atau enggaknya. Tapi, sekarang kondisinya beda. Dia udah terlalu sering cuek sama kamu. Sampai kapan kamu mau nangis-nangis karena disia-siakan? Trus balik lagi luluh karena sikap dia yang menurut kamu romantis?" tanya Tiara tak mengerti dengan jalan pikiran Jingga.

Jingga membuang nafas. Dia sendiri tak tahu harus bagaimana melawan sikap Arga.

"Aku sendiri bingung kalau mikirin kalian berdua. Kamu sahabat aku. Arga juga. Aku nggak bisa membenarkan salah satu dari kalian. Tapi aku tahu, semua ini akan terus berulang. Kamu akan tetap sakit hati karena Arga. Dan Arga juga nggak akan bisa berubah," ujar Tiara bingung.

Tiara dan Arga memang bersahabat sejak lama. Dulu mereka adalah teman satu SMP. Sedangkan Tiara bertemu Jingga saat memasuki Universitas. Dari situlah Jingga bisa dekat dengan Arga. Yang lebih dulu bersahabat dengan Tiara. Bahkan setelah mereka lulus SMA.

"Cukup jadi Tiara yang selalu nyemangatin kita aja. Kamu juga salah satu sahabat yang berharga untuk Arga. Jadi nggak usah saling berpihak," jawab Jingga dengan wajah tenang.

Tiara bertopang dagu. Hal tersulit bagi seseorang adalah harus memilih salah satu dari sahabatnya saat mereka menjalin suatu hubungan.

Akan terasa sangat canggung jika harus menjadi perantara antara Jingga dan Arga saat semuanya memburuk. Tapi, tak ada yang bisa dilakukan Tiara. Mungkin Ia sudah lelah dengan tangisan Jingga ketika bertengkar dengan Arga.

"Assalamualaikum," salam seseorang membuyarkan pembicaraan Jingga dan Tiara.

Seorang wanita berumur 30 tahunan dengan perut membesar. Kira-kira menginjak usia kehamilan yang kedelapan.

Jingga segera mempersilahkan wanita itu untuk tidur di ranjang. Sementara Tiara sibuk menulis identitas wanita tersebut.

Dengan ramah Jingga memeriksa kandungan wanita itu. Mulai dari mengukur tensi ibu itu, memperlihatkan detak jantung bayi yang sehat itu, mengukur tinggi perut wanita itu. Sampai memeriksa letak bayi itu.

"Alhamdulillah. Bayinya sehat. Detak jantungnya juga normal. Vitaminnya jangan lupa diminum ya, Bu. Biar tambah semangat adek bayinya. Jangan lupa makan makanan yang bergizi. Minum susu. Sama olahraga yang ringan juga nggak apa-apa kok, Bu. Supaya nanti kalau mau lahiran bisa kuat ibu sama adek bayinya. Kalau bisa nggak usah di urut ya, Bu. Udah bagus kok posisinya. Buat gerak aja," kata Jingga ramah pada wanita di hadapannya itu.

Tangannya menuliskan resep vitamin untuk ibu itu. Dengan cepat Tiara memberikan vitamin yang dituliskan Jingga dan segera menyerahkannya pada wanita itu. Wanita itu tersenyum senang.

"Terima kasih, Bu. Kalau misalnya udah kerasa bisa langsung kesini ya, Bu?" tanya wanita itu sopan. Jingga tersenyum ramah. 

"Iya nggak apa-apa langsung kesini. Nanti di cek dulu. Mau di rujuk kemana. Ke puskesmas atau ke rumah sakit. Nanti saya yang urus semuanya. Soalnya sekarang nggak boleh kalau lahiran di rumah. Harus di faskes yang sudah di sediakan. Tapi, ibu tenang saja. Walaupun bukan disini. Saya tetap nemenin ibu sampek adek bayinya bisa lahir dengan selamat," kata Jingga dengan penuh perhatian. 

Wanita itu tersenyum ramah. Tanda suka dengan sikap Jingga. 

****

Matahari telah tenggelam beberapa waktu silam. Gelap telah menyapa. Tanda jam istirahat tubuh telah tiba.

Jingga telah merebahkan tubuhnya di ranjang kamarnya. Menatap langit-langit kamar yang putih bersih itu. 

Bip... Bip...

Suara handphone Jingga membuyarkan lamunan Jingga. 

Dengan cepat Jingga menyambar handphone di samping ranjang kamarnya dengan penuh semangat. 

Senyumnya lenyap saat melihat jika itu hanyalah pesan spam. 

Jingga membuka pesannya dengan Arga. Masih belum terbaca. Dilihatnya pesan itu sampai ke atas. 

***

'makasih ya ga coklatnya. Udah aku makan' pukul 08.15.

'udah pulang kerja ga?' pukul 19.00

'lembur lagi ya ga?' pukul 20.00

***

Tak ada balasan dari Arga. Bahkan membacanya pun tidak. Jingga membuang nafas. Kembali menatap langit kamarnya. 

Ditaruhnya handphone 

itu di samping bantalnya sehingga bisa membalas pesan dari Arga jika Ia tertidur saat Arga mengiriminya pesan. Dipandanginya handphone yang mulai redup itu. Sampai akhirnya perlahan Jingga mulai tertidur lelap. 

***

Pagi telah tiba. Matahari telah menampakkan sinarnya sejak tadi. Membuat langit terlihat begitu cerah hari ini. Kicauan burung bersahutan dengan suara ayam berkokok memenuhi pekarangan rumah Jingga.  

Jingga bangun dengan semangat sambil mengambil handphonenya. Menyalakannya dengan penuh harap.

Tak ada pesan dari Arga. 

Jingga kembali memejamkan matanya yang lelah. Menutupi tubuhnya dengan selimut. 

Hingga tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Mamanya muncul dari balik pintu sambil membawa centong nasi yang masih terlihat mengepulkan asapnya. 

"Jingga. Udah siang. Bangun," teriak Mama keras dan kembali menutup pintu kamar Jingga. 

"Iyaa...," jawab Jingga keras meski mungkin Mamanya tak mendengar jawabannya. 

Jingga beringsut dan kembali tidur dengan nyaman. Tak peduli dengan suara melengking Mamanya.

5 menit kemudian... 

Brakkk...

Suara pintu kembali terbuka. Mamanya kembali muncul dari balik pintu. Kini dengan membawa sendok sayur di tangannya. 

"Jingga," teriak Mama keras. 

"Iyaa..." jawab Jingga lagi tanpa membuka selimutnya. 

Mama hilang kesabaran. Dengan cepat Mama berlari ke kasur Jingga dan segera memukul Jingga dengan sendok sayurnya.

Aaaa....

Terdengar suara teriakan yang keras.

Jingga bangun dengan kesal. Rambutnya acak-acakan tak karuan.

"Bangun. Udah jam 8. Udah siang ini," kata Mama. Jingga memandang Mamanya kesal. Paginya kacau karena pukulan keras Mamanya itu. 

Mama beranjak pergi dari kamar Jingga. Kembali ke dapurnya. 

Jingga yang masih mengantuk kembali menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. 

"Jingga. Jangan tidur lagi," teriak Mama membuat Jingga kembali membuka matanya. 

Jingga bangun dengan cepat. Diusapnya air liur yang mengalir menghiasi pipinya. Suara alarm Mama memang lebih manjur daripada alarm manapun di dunia ini. 

Jingga turun dari ranjangnya. Memandang sinar mentari pagi yang masuk melalui celah jendela kamarnya. 

Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk Jingga. Karena hari ini adalah hari libur. Tanggal merah. Jadi, tak ada kewajiban lagi untuknya bergelut dengan klinik yang dibukanya. 

Jingga hanyalah gadis muda biasa. Yang butuh hari libur. Dan ingin terbebas dari rutinitasnya. Setidaknya hanya sehari.

"Jingga," teriak Mama lagi dengan lantangnya. 

"Iyaaa," jawab Jingga dengan lantang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status