Share

Hari Libur

Jingga menguap dengan mulut yang cukup lebar di depan meja makannya sambil memetik batang cabai. Matanya sedikit terpejam tapi tetap dipaksanya untuk terbuka lebar. 

"Sama bawang merahnya juga ya, Ga," perintah Mama yang masih sibuk dengan panci di atas kompornya. 

Gaga. Itulah panggilan sayang Mama untuk Jingga. Katanya, agar lebih mudah manggilnya. 

Tok...

Mama memukul kepala Jingga dengan centong sayurnya saat melihat Jingga yang masih terkantuk-kantuk di depan meja. 

Awww...

Jingga menjerit keras sekaligus kaget. Seketika rasa kantuk itu hilang karena pukulan keras Mama. 

Hubungan Jingga dan Mama memang jauh dari kata 'damai'. Mereka lebih sering bertengkar layaknya saudara daripada ibu dan anak. 

Maklum saja, jarak usia antara mereka berdua tak terpaut jauh. Hanya 17 tahun. Bahkan lebih muda daripada umur Jingga saat ini. 

Mama Jingga melahirkannya saat usianya masih 17 tahun saat itu. Akibat sebuah kesalahan fatal yang dia lakukan pada jamannya. 

"Sakit, Mama," teriak Jingga kesal sambil memegangi kepalanya. Rambutnya yang acak-acakan jadi kebiasaan tersendiri untuk Jingga. 

"Makanya, jangan tidur terus. Tadi malem tidur jam berapa sih?" tanya Mama heran melihat Jingga yang tak juga bisa membuka matanya.

Jingga menguap. Merenggangkan otot di seluruh badannya. Dan menyandarkan punggungnya ke kursi.

"Nggak malem-malem kok. Masih sore. Jam 7 kayaknya," kata Jingga santai sambil mengangkat kakinya ke atas kursi. 

Lagi-lagi Mama memukul kepala Jingga.

"Ketahuan banget bohongnya. Orang jam 9 Mama lihat kamu masih main handphone di ruang tamu," kata Mama kesal karena Jingga membohonginya.

Jingga ikut kesal sambil memegang kepalanya yang sakit.

"Kak," panggil seorang gadis kecil pada Jingga sambil menarik bajunya.

Namanya Regina. Biasa dipanggil Gigi. Supaya sama dengan panggilan Jingga. Dia adalah adik dari Jingga. Adik yang berbeda ayah dengannya. Ayah Jingga? Jangan ditanya. Bahkan sampai detik ini Jingga belum pernah tahu bagaimana wujud ayahnya. Regina masih berumur sekitar 9 tahunan. Masih sangat kecil sampai masih butuh bantuan untuk melakukan apa-apa.

"Apa, Gi?" jawab Jingga dengan nada sayang. Meski memiliki ayah yang berbeda dengan Regina, Jingga tetap sangat menyayanginya. Ia adalah satu-satunya saudara yang dimilikinya.

"Bantuin ngerjain PR," kata Regina dengan wajah memelas.

"Tumben nggak les?" tanya Jingga heran karena Regina ada di rumah saat ini. Walaupun hari ini adalah hari Minggu. Biasanya Regina selalu berangkat ke tempat les pada Minggu paginya.

"Tanggal merah kak sekarang. Lesnya libur," jawab Regina dengan suara yang terdengar manis. 

"Kasih hadiah dulu dong kalau gitu," kata Jingga sambil menyodorkan pipinya pada Regina. Regina menggelengkan kepala sambil memasang wajah manyun.

"Nggak mau. Kakak belum mandi," kata Regina menggoda. 

Jingga memandang Regina dengan tatapan nakal dan segera mengelitikinya. Suara tawa kegelian Regina berhasil menghiasi seluruh penjuru rumah. 

Jingga memandang Mamanya sejenak dan tersenyum pada Regina.

"Ma, nanti lagi ya. Gigi minta di ajarin PRnya nih," kata Jingga memcari alasan untuk pergi dari semua tumpukan bawang ini. 

"Nanti aja, Gi. Mama lagi minta tolong sama Gaga. Ini nanti masaknya nggak selesai-selesai," kata Mama membuat Jingga memasang wajah manyun. 

Jingga berbisik pada Regina.

"Gagal, Gi. Nanti aja. Kamu main aja dulu," bisik Jingga dengan lembut. Regina mengangguk dan segera bermain di ruang tamu.

Mama memang lagi sibuk-sibuknya masak nih. Karena nanti sore ada syukuran kecil-kecilan ulang tahun Papa. Papa dari Regina maksudnya. Yang juga Papa tiri Jingga. Apalagi Mbak Susi, orang yang biasa membantu Mama membersihkan rumah tidak bisa masuk hari ini. Jadi, Mama harus melakukan semuanya sendiri. Dengan bantuan Jingga tentunya.

Jingga memegang handphonenya. Melihat layar handphone yang masih sunyi itu. Tak ada panggilan dari Arga. Pesan pun tak ada.

"Nanti Arga kesini, Ga?" tanya Mama membuyarkan lamunan Jingga. Keluarga Jingga memang sudah mengenal  Arga sejak awal mereka berpacaran. Bahkan, dulu Arga dan Jingga sering kencan bersama Regina. Bisa dibilang, kemanapun Regina ingin bertamasya Arga dan Jingga selalu mengajaknya.

Tapi, sekarang berbeda. Sudah 1 tahun ini sikap Arga berubah. Kini Arga mulai menjauh dari semuanya. Bukan hanya dari keluarga Jingga. Tapi juga mulai menjauh dari Jingga. Dengan alasan yang tak pernah jelas.

Jingga kembali mengupas bawang di hadapannya.

"Nggak tahu, Ma," jawab Jingga singkat.

"Udah kamu kasih tahu belum?" tanya Mama lagi sambil memberikan sayuran pada Jingga.

"Sama ini tolong diiris," kata Mama di sela pertanyaannya.

"Udah aku kasih tahu. Tapi nggak tahu juga, Ma. Arga bisa datang atau enggak. Soalnya Arga lagi banyak kerjaan, Ma. Maklum. Udah akhir bulan. Waktunya kejar target," jawab Jingga. Mama melirik Jingga dengan penasaran.

"Tapi hubungan kalian baik-baik aja kan?" tanya Mama memastikan.

Jingga tersenyum tipis. Tak ingin Mamanya terbebani dengan hubungannya dan Arga.

"Nggak apa-apa kok. Mama tenang aja," jawab Jingga santai.

"Assalamualaikum," suara seolang lelaki memasuki rumah Jingga. 

Seorang lelaki berumur 25 tahunan dengan penampilan biasa datang memasuki rumah Jingga dengan terburu-buru. Keringatnya terlihat mengucur membasahi seluruh wajahnya. Dari sudut matanya terlihat tatapan penuh kekhawatiran dan gugup.

Matanya berlarian memandang ke seluruh penjuru rumah. Mencari orang yang ada di rumah itu.

"Waalaikum salam," tanya Jingga dengan wajah yang ikut gugup. Jingga berdiri dari duduknya dan segera mendekati lelaki itu dengan penasaran.

"Ada apa ya?"

"Bu Bidannya ada?" tanya lelaki itu dengan wajah bingung. 

"Iya. Saya sendiri," jawab Jingga yang mulai gugup.

"Ini bu. Bisa minta tolong? Ada ibu hamil yang lagi dalam kondisi darurat," kata lelaki itu sambil menunjuk mobil yang terparkir di depan rumahnya.

Jingga meliriknya sejenak. Dan mengangguk pelan.

"Tunggu sebentar, ya. Bawa masuk dulu ke klinik di depan. Saya mau ke kamar mandi dulu sebentar," kata Jingga pamit karena memang kondisinya saat ini tidak terlihat seperti seorang Bidan. Bahkan bisa dibilang terlihat seperti orang yang sudah tidak mandi selama berhari-hari.

Lelaki itu memegang tangan Jingga. Menghentikannya untuk pergi meninggalkannya.

"Nggak perlu. Gini aja. Bu bidan lihat dulu," kata lelaki itu dengan tatapan tajam. Penuh ketakutan yang teramat.

"Iya. Tapi sebentar. Kalau gitu saya ganti baju dulu," kata Jingga yang mulai gugup karena lelaki itu. Jingga memandang penampilannya dengan yang hanya memakai celana pendek. Dengan rambut yang acak-acakan. Ia bukan seorang Bidan detik itu. Jingga menutup wajahnya karena malu.

"Udah nggak ada waktu lagi, Bu," kata lelaki itu lalu menarik paksa tangan Jingga. Jingga tak bisa berkutik. Cengkraman lelaki itu sangat kuat.

Jingga menelan ludah. Sepertinya situasi ini tidak mudah. Ia harus mengesampingkan penampilan acak-acakannya saat ini. Yang terpenting adalah bagaimana dia melayani pasien darurat saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status