Share

Dark Circle
Dark Circle
Penulis: Risma Indah

Aku Ingin Putus

"Aku mau kita putus," kata Jingga dengan penuh keyakinan. 

Matanya nanar memandang bayangan dirinya yang terpantul jelas dari cermin kamarnya.

Kalimat yang setiap hari diucapkannya di depan cermin selalu tertelan habis saat berada di hadapan Arga. Lelaki yang sudah 3 tahun ini menjalin hubungan dengannya.  

Baginya, sudah tidak ada kecocokan lagi antara dirinya dan Arga. Apalagi dengan sikap Arga yang selalu bermain wanita di belakang Jingga. 

Jingga diam sesaat memandang cermin besar di hadapannya. 

Matanya terlihat sendu. Jingga memejamkan matanya sejenak dan kembali menghembuskan nafas panjang. Untuk kesekian kalinya, Jingga mengedipkan matanya. Berusaha menahan butir-butir air mata yang meresap melalui celah matanya. 

Perlahan, Ia kembali merapikan bajunya. Berusaha tampil lebih cantik di depan Arga. Setidaknya, jika kali ini dia bisa mengatakannya. Ia ingin semuanya menjadi perpisahan yang manis. 

Sekali lagi, Jingga berkaca, kali ini Ia kembali membenarkan rambutnya. 

Jingga mengambil tas selempang di atas kasurnya dan segera pergi dari kamarnya. Menuju sebuah kafe, tempat Ia bisa bertemu dengan kekasihnya. Arga.

****

Jam terus bergulir. Membiarkan waktu terus berjalan lebih cepat. 

Sesosok gadis dengan rambut terurai indah masih terduduk santai di salah satu meja kafe yang mulai terlihat sepi itu. 

Dia adalah Jingga. Yang sedang menunggu Arga. 

Jingga kembali melirik jam di handphonenya. Pukul 20.00 WIB. Tanda sebentar lagi kafe itu akan ditutup. Sudah 2 jam lebih Jingga menunggu Arga di kafe itu. Tapi, belum ada tanda-tanda kehadiran Arga dari jauh. Pesan dari Jingga 15 menit yang lalu pun belum juga terbaca oleh Arga. 

Sekali lagi, Jingga memandang keluar kafe. Berharap Arga berada disana dan bersembunyi untuk mengejutkannya. Sama seperti apa yang biasa Arga lakukan jika terlambat datang saat ada janji bertemu dengan Jingga. Tapi, itu hanyalah khayalan Jingga. Kenyataannya, Arga belum terlihat sedikitpun batang hidungnya. 

"Mbak," panggil pelayan kafe itu pada Jingga. Jingga memandang pelayan kafe itu dengan tatapan malu. Malu karena sudah cukup lama Ia duduk disana dan belum juga memesan apapun. 

"Jadi, mau pesan apa mbak? 10 menit lagi kita mau tutup mbak," kata pelayan itu mengingatkan Jingga. 

Jingga memandang handphonenya sekali lagi. Dan tersenyum malu pada karyawan itu. 

"Maaf. Lain kali aja ya mas. Pacar saya nggak jadi dateng," kata Jingga malu.

Pelayan itu mengangguk ramah dan segera kembali ke dapur.

Jingga segera mengemasi barang-barangnya dan bangkit dari duduknya. Sebelum pelayan itu menegurnya lagi. 

Malam semakin larut. Rintik gerimis mulai membasahi jalanan di hadapan Jingga. Membuat jalanan makin terlihat lengang. Jingga tetap berdiri di depan kafe yang mulai tutup itu. Kini, kakinya sudah sepenuhnya basah karena rintik gerimis yang mengenainya. 

Tapi, Jingga tetap tak bergeming dari tempatnya. Arga belum memberikan kabar apapun. Bisa saja Arga datang ke tempat itu saat Jingga baru saja pergi. 

Penantiannya selama hampir 3 jam ini akan sia-sia nantinya. 

Jingga kembali memundurkan kakinya. Berteduh lebih jauh agar bajunya tak terkena cipratan air dari langit itu. 

Bip... Bip...

Bunyi handphone Jingga berdering. Sebuah pesan masuk. Jingga membukanya dengan antusias. Dari Arga.

"Sorry. Aku nggak bisa dateng. Disini hujan deres banget. Kamu nggak nunggu lama kan?" 

Kaki Jingga terasa lemas membaca pesan dari Arga itu. 

Berulang kali hal ini terjadi. 

Jika memang tak bisa datang, bukankah seharusnya Arga memberinya kabar sejak awal? Ini sudah berlalu lebih dari 3 jam sejak janji temu mereka. Dan dengan entengnya Arga hanya mengirim pesan singkat untuk meminta maaf pada Jingga.

Setetes air mata keluar dari sudut mata Jingga. Ia tidak tahan lagi. Kesabarannya sudah mencapai puncaknya. Kali ini, semuanya harus berakhir. Jingga harus bisa mengakhiri hubungannya dengan Arga. 

Jingga berlari menerobos gerimis yang mulai deras itu. Bajunya basah. Rambut indahnya sudah tak karuan lagi. Jingga tak peduli.

****

Malam semakin larut. Jingga mengetuk pintu rumah Arga dengan baju yang basah kuyub. Bibirnya membiru, tanda dingin telah merasuk menusuk seluruh tubuhnya. 

Matanya basah. Entah karena hujan atau karena air mata yang terus mengalir dari sudut matanya. Semuanya bercampur begitu saja.

Jingga terus mengetuk pintu rumah Arga. Sebuah rumah yang tak terlalu berdekatan dengan rumah tetangga yang lain. Dengan halaman yang cukup luas. Membuat tetangga Arga tak terganggu dengan ketukan Jingga yang tak kunjung berhenti.

"Ga... Arga. Buka pintunya," teriak Jingga sambil terus menggedor pintu itu. 

Suara Jingga seolah tertelan oleh derai hujan yang makin deras itu. Teriakannya berpacu dengan suara berisik hujan bercampur gemuruh yang sebenarnya hanya terdengar lirih itu. 

Tak ada sahutan sama sekali. Entah karena Arga tak ada di rumah atau karena dia tak ingin menemui Jingga. Tak ada yang tahu. 

Jingga mengambil handphone di dalam tasnya. Berusaha menelepon Arga. Berulang kali. Tapi tak ada sahutan dari Arga. Panggilannya diabaikan begitu saja. 

Jingga menangis melihat pesan singkat Arga tadi. 

Hanya pesan itu yang dikirimkan Arga untuk membatalkan pertemuannya. Hanya itu. Sangat tak berartikah Jingga untuk Arga?

Dengan putus asa Jingga berjalan meninggalkan rumah Arga. Kembali menerobos hujan yang tak kunjung reda. 

Bajunya basah. Tapi lebih basah lagi hatinya karena air mata yang tak bisa dibendungnya lagi. 

Ini adalah batas kesabaran Jingga untuk Arga.

****

Hari telah berganti. Pagi mulai menyambut hari yang baru. Membuang kenangan hari yang lalu. 

Jingga kembali memulai awal yang baru. Kembali pada kesibukannya sendiri. 

Dengan langkah yang pasti Jingga melangkahkan kakinya ke sebuah klinik tempatnya bekerja. Sebuah klinik yang masih belum terlalu ramai dikunjungi. Tapi, setidaknya disinilah mimpi Jingga dimulai. 

Bergelut dengan ibu-ibu yang tengah berjuang demi sebuah kehidupan baru. 

Jingga menghentikan langkahnya saat melihat sesosok pemuda yang terlihat sedang menunggunya di depan klinik itu. 

Wajahnya terlihat santai sambil bersiul pelan memandang ke sekitar. Senyum lebarnya terukir melihat Jingga yang datang dari kejauhan. 

"Pagi Jingga," sapa lelaki itu yang tak lain adalah Arga. 

Jingga tak membalas senyum Arga. Wajahnya tampak serius memandang lelaki di hadapannya itu. 

"Maaf ya. Kemarin aku sibuk banget. Harus kejar target karena ini udah akhir bulan. Aku sampek nggak bisa tidur tadi malem karena harus nyelesaiin proposal yang udah ketunda dari kemarin. Ini aku baru aja pulang. Langsung kesini. Kamu nggak marah kan?" jelas Arga panjang lebar. 

Arga mengulurkan sebatang coklat kesukaan Jingga. Berusaha meluluhkan hati Jingga yang terlihat sangat kesal. Rona itu terpancar jelas dari ekspresi Jingga yang belum juga berubah.

"Aku janji. Besok kalau udah selesai, kita bakalan liburan bareng. Kali ini, coklat dulu sebagai permintaan maaf aku," kata Arga terus merayu. 

Jingga memukul Arga dengan kesal. Tapi, lagi-lagi Ia kembali luluh dengan permintaan maaf Arga. Semua kekesalannya kemarin menghilang begitu saja. Lenyap dengan kata maaf dari Arga. 

"Janji ya. Kita bakalan jalan-jalan lagi. Pokoknya nggak bisa diundur lagi kali ini. Titik," kata Jingga dengan pasrah. 

Arga tersenyum sambil menunjukkan jari kelingkingnya. 

"Kamu bisa pegang janji aku kali ini," jawab Arga yakin. 

Jingga tersenyum manis. Semudah itu Ia bisa memaafkan Arga. Hanya dengan sogokan sebungkus coklat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status