Share

Dark Secret 2 [Mentari]
Dark Secret 2 [Mentari]
Penulis: PRINCESSA

Pantai dan Permintaan Pulang

Mentari melamun, tatapannya lurus ke hamparan ombak laut di depan sana. Entah sudah berapa lama wanita itu duduk diam menikmati angina yang menerpa tubuhnya. Mentari hanya menikmati apa yang dia rasakan saat ini. Tenang, damai dan menyedihkan.

Mentari menatap beberapa orang yang bermain di tepi pantai. Semuanya tampak senang dan tertawa lepas. Semuanya tampak menikmati waktu yang terus bergulir tanpa memikirkan senja yang sebentar lagi tiba. Mentari iri. Mentari juga ingin seperti mereka. Bersama, tertawa, saling menggoda dan tentunya saling melindungi.

Helaan napas yang terasa berat, bisa menjadi tanda betapa Mentari tersiksa. Hanya saja, wanita itu pintar menyembunyikannya. Mentari lebih suka bersedih sendiri. Untuk apa mengatakan perasaannya pada orang yang bahkan belum tentu mau mengerti apa yang ia rasakan.

Tatapan mata Mentari menyisir area pantai. Kenangan itu, kenapa begitu menyakitkan? Cinta memang tidak ada yang abadi. Kecuali cinta Sang Pencipta kepada hamba-Nya. Bahkan ketika sang hamba sudah berlumur dosa, Sang Pencipta tidak pernah meninggalkannya.

Mentari tersenyum tipis. Garis hidupnya sungguh miris. Ditinggal sang kekasih bukanlah hal yang Mentari tangisi berhari-hari. Tapi kali ini, Mentari benar-benar merasa hidupnya diambang kematian.

“Kakak cantik, mau ikut main gak?”

Mentari mendongak dan menemukan seorang bocah laki-laki berdiri di dekatnya. Tampan. Itulah yang Mentari nilai untuk pertama kalinya. Senyuman bocah itu juga manis dan lembut. Mentari suka. Tapi, seolah menyadari sesuatu, Mentari menggeleng. Tidak. Mentari tidak boleh mengatakan suka dengan mudah. Mentari harus merubah sifatnya yang satu itu.

“Main apa?” tanya Mentari membalas senyuman bocah tersebut.

“Itu,” Tangan mungilnya menunjuk sebuah istana dari pasir yang tampak cantik. “Kakak cantik mau jadi princess nya? Karena kami cuma punya pangeran,” lanjutnya.

Mentari mengernyit bingung. Princess? Dirinya? Bagaimana bisa? Mentari tertawa dan menggeleng geli. Matanya melirik istana pasir tersebut, lalu beralih pada sekumpulan anak-anak seusia bocah laki-laki itu yang tengah memandanginya.

“Kalian gak punya teman perempuan?” tanya Mentari penasaran.

“Punya. Tapi dia cengeng. Itu,” Jari bocah itu kembali menunjuk kea rah lain. Mentari refleks mengikuti arah tunjuknya dan pandangannya terpaku lama pada sosok bocah perempuan yang sedang menangis di atas pangkuan seorang pria.

“Dia ceneng. Kami cuma bilang dia kurang cantik jadi princess, tapi dia nangis dan ngadu ke papanya,” ungkap bocah laki-laki yang tidak Mentari tahu siapa namanya.

Mentari masih setia menatap ke arah bocah perempuan dan seorang pria tersebut. Senyum Mentari berganti wajah sedih. Andai, andai dulu dia memberikan harta berharganya, apakah tunangannya saat itu tidak akan berselingkuh? Lalu lihatlah, sang mantan sudah bahagia dengan keluarga kecilnya.

“Kami juga bilang, kalau princess harus punya ibu. Dia gak punya ibu, jadi gak bisa jadi princess,” Bocah itu terus saja menjelaskan sesuatu yang tidak didengar oleh Mentari. Mentari sedang mengingat hal menyakitkan yang membuatnya menjauhi yang namanya pria.

“Kita…, udahan aja. Aku gak bisa lanjutin ini, Tar. Aku…,”

“Oke, gak papa.” Hanya itu yang bisa Mentari katakana saat dia dicampakkan oleh pria yang lebih memilih selingkuhannya.

“Kak!”

Mentari terlonjak dan menatap bingung bocah laki-laki di dekatnya.

“Kalian main aja, Kakak harus pergi. Bawa dia main. Laki-laki gak boleh jahat sama perempuan. Apalagi sampai dibikin nangis,” ujar Mentari sambil mengusap kepala bocah itu.

Mentari jadi merindukan keponakan-keponakannya.

***

Setiap malam, hal yang dilakukan Mentari selalu sama, berbaring dengan pipi basah karena air mata. Entah kenapa, semuanya sulit Mentari lupakan. Padahal ini sudah hampir satu tahun. Tapi luka menyakitkan itu masih saja terasa jelas di hatinya.

Dering ponsel Mentari membuatnya menyeka pipinya yang basah dan segera mengulurkan tangan untuk meraih benda pipih di atas nakas.

Senyum Mentari langsung merekah indah. Dengan perasaan yang menghangat, Mentari menjawab panggilan tersebut. Wajah tampan seorang pria langsung menghiasi layar ponselnya.

"Ganggu, ya?" tanyanya.

Mentari menggeleng. "Anak-anak mana?"

Tak lama setelah Mentari bertanya, seorang gadis cantik mengambil alih ponsel milik sang pria. "Mami!" serunya sambil tersenyum lebar.

"Halo, Princess," sapa Mentari dengan senyuman lembut.

"Kangen!"

"Mami juga. Kakak kenapa belum tidur?"

"Tadi udah mau tidur, tapi diganggu sama si tuyul," rutuknya dengan ekspresi yang seketika berubah kesal.

Mentari tertawa. "Diapain lagi sama adek?"

"Masa dia duduk di perut Kakak gak mau turun. Kakak dorong, dia teriak marah, Kakak marahin balik, dia nangis, ngadu ke Ayah, dan.... Mami pasti tahu kelanjutannya," adu gadis 8 tahun tersebut.

Mentari mengangguk dengan tawa geli di bibirnya, "Kakak kena omel sama Ayah," lanjut Mentari.

"Iya! Mana itu tuyul pake melet-melet lidah pula pas keluar kamar. Kan, ngeselin! Makanya Kakak suruh Ayah telpon Mami ini, temenin bobo," ujarnya manja.

"Oke, ayo tidur, Kakak mau dinyanyiin apa?" tanya Mentari.

Gadis bernama Yosi itu menggeleng. "Gak mau nyanyi. Kakak mau cerita aja. Tapi tunggu dulu," Yosi tampak menoleh ke samping dan berbicara pada seseorang di sana.

"Ayah keluar aja, hapenya sama Kakak dulu. Mau tidur sama Mami," katanya.

Mentari diam mendengarkan, hingga suara pria itu juga terdengar menyahut. "Yaudah, Ayah balik ke kamar dulu. Jangan begadang. Dan habis telponan sama Mami langsung taruh hapenya di atas meja. Paham?"

Yosi mengangguk patuh. Mentari tersenyum melihatnya. Lalu, wajah pria yang Yosi panggil ayah, tampak mengintip sedikit. "Kamu juga jaga kesehatan, itu kantung mata udah kayak panda," ujarnya sebelum berlalu.

"Ayah nyebelin, ya, kan?" bisik Yosi pada Mentari.

Mentari tertawa dan mengangguk. "Ayo, mau cerita apa? Mami gak mau dengar cinta-cintaan, ya, Kak."

Yosi mendadak lemas. "Siapa juga mau cerita cinta-cintaan. Kakak tuh, ya, Mi, mau bilang, kalau besok, Nenek ulang tahun. Mami gak pulang?"

Mentari mengerjap. Benarkah? Kenapa dia bisa lupa?

"Besok, ya? Bukannya Minggu depan?"

Yosi mencebikkan bibir. "Pasti Mami lupa. Nenek selalu bilang, 'rumah sepi, ya, Kak, gak ada Mami,' wajahnya sedih banget. Kakak jadi ikutan sedih. Mami gak kangen sama kami?"

Mentari menahan perih di matanya. Jelas saja di merindukan semua hal di sana. Tapi....

"Mami..., harus pulang. Harus. Mami janji perginya gak lama. Tapi ini udah lama banget. Kakak gak ada lagi teman bobonya," Suara Yosi jelas bergetar menahan tangis. Matanya pun sudah berkaca-kaca.

"Sayang, maafin Mami, ya, Mami gak maksud bohong. Mami cuma-"

"Ayah bilang, Mami lagi sakit, makanya pergi dulu, buat sembuh. Tapi lama. Nenek juga bilang, apa Mami bakal pulang pas Nenek udah gak ada?"

Hati Mentari seperti ditikam ribuan pedang. Bukan itu maksud kepergian Mentari. Dia hanya ingin benar-benar sembuh dari lukanya sebelum kembali melanjutkan hidup dengan keluarganya di sana.

"Pulang, ya, kalau Mami sayang sama kami, Mami harus pulang. Kalau Mami gak pulang besok, Kakak gak mau ketemu Mami lagi." Panggilan telepon langsung terputus begitu saja. Mentari termangu. Haruskah dia pulang besok?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status