Share

Rumah Ini dan Kesiapan Mentari

Langkah kaki Mentari terasa begitu berat memasuki rumah besar dan mewah yang dulu ia tinggalkan. Banyak kisah di sini. Banyak kenangan juga. Dan, sumber luka Mentari juga berasal dari sini. Tidak ada yang berubah secara signifikan. Semuanya masih sama. Terawat.

"Mami!"

Mentari menoleh cepat. Matanya menatap gadis yang semalam menyadarkannya betapa pentingnya arti sebuah keluarga. Mentari juga menyadari betapa ia sangat merindukan orang-orang terkasihnya di sini.

"Kangen," Lengan Mentari membelit erat tubuh gadis 8 tahun yang saat ini memeluknya. Bagian dadanya yang basah membuat Mentari tahu kalau gadis itu menangis tanpa suara.

"Maaf, Nak," bisik Mentari.

"Kamu kembali."

Mentari menoleh lagi. Kali ini ada sosok lain yang berjalan mendekat. Mentari tersenyum.

"Mas Genta apa kabar?" tanyanya.

Genta mengangguk pelan, "baik," jawabnya. Pandangannya jatuh pada Yosi yang belum menguraikan pelukannya pada tubuh Mentari.

"Kak, udah, biarin Mami istirahat dulu," tegur Genta.

Yosi melepaskan pelukannya sambil menunduk. Mentari tahu, gadis itu sedang berusaha untuk melindungi wajah basahnya.

"Mau dua!"

"Satu!"

"Dua!"

"Satu, Nak,"

"Dua, Bunaaaaa!"

Mentari menoleh menatap suara yang saling bersahutan dari arah belakangnya. Matanya langsung berkaca-kaca melihat wanita yang tengah menggendong seorang bocah berusia 2 tahun berjalan mendekat.

"Men...tari..."

Mentari mengangguk. Kini isakan pelannya mulai terdengar. Genta segera mengambil alih bocah 2 tahun itu dari gendongan Senja, istrinya. Pria itu membiarkan sang istri melepaskan rasa rindunya kepada sang kembaran.

"Aku kangen," bisik Senja.

Mentari ingin sekali mengeratkan pelukan mereka. Tapi wanita itu menahannya karena keadaan perut buncit Senja. Jelas wanita itu sedangan hamil besar.

"Aku juga kangen," balas Mentari.

Cukup lama keduanya berpelukan hingga suara lain terdengar kembali. Kali ini, Hasna yang datang mendekat. Wanita tua itu menatap punggung Mentari yang masih memeluk Senja.

"Ada tamu? Siapa, Kak?" tanya Hasna berbisik pada Yosi.

Yosi tersenyum lebar. "Hadiah ulang tahun Nenek," jawabnya.

Genta menahan kekehan geli mendengar jawaban asal putrinya. Sedangkan Hasna mengerutkan kening sambil meneliti lagi siapa wanita di pelukan Senja.

"Ayo, Ibu kangen sama kamu," Senja melepaskan pelukan mereka, lalu mendorong dengan pelan tubuh kembarannya agar berbalik.

Mentari langsung berjalan cepat menuju Hasna saat menyadari kehadiran mertua Senja itu. Apalagi dengan terbentangnya kedua lengan Hasna, membuat Mentari tidak tahan untuk segera memeluknya.

"Ya, Tuhan, Nak, akhirnya kamu kembali juga. Udah lama kamu pergi," ujar Hasna dengan perasaan yang lega luar biasa.

Senja tersenyum sambil mengusap pipinya yang basah. Wanita itu mendekati Genta dan lengan suaminya segera merangkul bahunya.

"Dua, Buna," Suara Yessi terdengar pelan.

Genta tertawa. Bisa-bisanya putri keduanya itu mengambil kesempatan untuk menawar di saat seperti ini. Sedangkan Senja mencebikkan bibir. Yessi memang menyalin sifat Genta yang tidak mudah menyerah.

"Anak Mas banget," keluh Senja.

Genta semakin tertawa saat Yessi menyengir lebar mendengar ucapan Senja. Bocah itu menatap Mentari yang masih memeluk Hasna.

"Capa tuh?" tanyanya.

"Mami," jawab Senja.

"Mami capa?" Yessi melirik Yosi yang menatap kesal padanya.

"Maminya Adek," jawab Senja lagi.

"Enak aja! Mami Kakak itu!" seru Yosi tidak terima.

"Mami Adek! Wleee!" Yessi mengejek Yosi membuat sang kakak melotot marah.

"Tuyul nyebelin!"

Yessi heboh sendiri di pelukan Genta saat melihat Yosi bersiap untuk menerkamnya. Bocah itu sampai manjat-manjat di tubuh Genta dan menjerit sambil mengatakan 'no'.

"Kak," tegur Senja karena pasti nanti malam putri keduanya itu akan mengigau saat tidur.

***

Mentari tertawa melihat tingkah lucu kedua putri kembarannya. Yosi dan Yessi. Dua keturunan Senja dan Genta yang selalu saja ada tingkah menggemaskan.

Karena baru saja kembali, Mentari tidak dilepaskan oleh keduanya untuk bebas barang sejenak pun. Ke mana wanita itu melangkah, Yosi dan Yessi pasti akan mengikutinya.

"Kakak sama Adek gak capek ngikutin Mami terus dari tadi?" tanyanya.

Yosi dan Yessi saling pandang, lalu keduanya kompak menggeleng. Cengiran lebar yang mereka berikan membuat Mentari mau tak mau menghela napas. Kelehan gelinya tak dapat terhindarkan saat pintu kamar diketuk, lalu Senja masuk.

"Ya, Tuhan, Nak, ini udah jam berapa sampai kalian masih aja gangguin Mami? Siap-siap sana! Buruan!" Senja berkacak pinggang menatap kedua putrinya.

Yosi dan Yessi mencebikkan bibir sebelum berlalu dari kamar Mentari. Mereka tidak mau membuat Senja mengamuk. Wanita itu lebih mengerikan kalau sedang kesal. Karena sasaran utama kekesalan Senja adalah Genta, lalu Genta akan memarahi mereka.

"Mami tungguin, ya, jangan ke mana-mana," Yosi menoleh lagi pada Mentari saat ia sudah berada di ambang pintu kamar Mentari.

Senja dibuat geleng-geleng kepala. "Mandinya yang bersih. Kakak lihatin Adek dulu, nanti Bunda susul ke atas,"  ujar Senja.

"Siap, Bos!" Yosi dan Yessi saling berlarian menuju lantai atas di mana kamar keduanya berada.

"Kamu siap-siap aja, anak-anak gak bakal ganggu. Cepat, ya, aku butuh bantuan kamu soalnya," kata Senja pada Mentari.

Mentari mengangguk, "oke. Kamu duduk aja. Aku ngeri lihat perut melendung kamu. Udah tahu hamil gede, masih aja bolak-balik, lincah banget," keluh Mentari.

Senja tertawa. "Nambah lagi yang cerewet satu ini," balas Senja.

"Demi kamu, Senja," sahut Mentari mencebikkan bibir. Dia tidak mau kembarannya kenapa-napa.

"Iya, iya. Aku keluar dulu, kamu siap-siap," ulang Senja sebelum keluar dari kamar Mentari.

Selepas Senja pergi, Mentari segera bersiap. Dia tidak mau nanti kembarannya itu balik lagi hanya untuk memanggilnya. Mentari yang ngilu melihat Senja dengan perut besarnya.

Sekitar tiga puluh menit bersiap, Mentari keluar dari kamar. Acara akan dimulai sekitar satu jam lagi. Sebenarnya ini bukan acara besar, hanya makan malam biasa dengan beberapa rekan terdekat saja. Apalagi semenjak tinggal di rumah baru ini, Senja memiliki banyak teman dari penghuni rumah di komplek ini.

"Mami, ayo!" Mentari menoleh kala mendengar suara Yosi memanggilnya.

"Ke mana?" tanya Mentari bingung saat gadis itu menarik tangannya.

"Ke belakang, ayo," Yosi bersemangat dengan senyuman manisnya. Mentari ikut tertular dan mengikuti langkah gadis tersebut ke halaman belakang.

Tak bertahan lama, senyuman lebar Mentari seketika lenyap entah ke mana. Ada dia. Mentari masih sangat mengingatnya. Bahkan, dari belakang saja, Mentari tahu siapa pria yang kini duduk bersama Hasna dan sedang tertawa.

"Mami!" Yessi yang tengah duduk di atas pangkuan seorang wanita yang tidak Mentari ketahui siapa, memanggilnya.

Mentari menahan napas saat orang yang sejak tadi ia perhatikan seketika menoleh. Pijakan Mentari seolah lunak, tubuhnya hampir saja tumbang kalau Yosi tidak sedang memegangnya.

"Mami kenapa? Mukanya pucat, Mami sakit? Kita ke kamar aja, yuk," ajak Yosi dengan wajah panik.

Mentari tetap diam. Apalagi saat pria itu beranjak dan berjalan ke arahnya. Mentari melepaskan tangan Yosi, lalu berbalik sambil tergesa untuk kembali ke dalam rumah.

"Mentari!"

Mentari menggeleng, langkahnya semakin cepat dan terkesan berlari. Ternyat, hatinya belum siap. Hatinya belum sembuh. Dan, apakah pria itu sudah menemukan wanita yang dia inginkan? Kalau iya, Mentari ingin pergi saja selamanya untuk mengubur hatinya.

Setelah disakiti dengan sangat kejam, ternyata perasaannya untuk pria itu masih saja tidak berubah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status