Abigail mengemasi barang, sudah cukup waktu yang ia habiskan bersama keluarganya. Meski sedikit runyam karena kehadiran Sidney dan Zachary, tapi setidaknya dua sejoli itu juga merasakan hal yang sama. Kegembiraan.
Abigail memutuskan untuk menemui Alice, juga Ashton. Kepada Ashton, ia tak akan mengatakan rencana dan tujuan mencari Gin, ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama pria itu. Seperti apa yang ia rencanakan sejak awal, ia akan memanfaatkan sisa waktu yang ia miliki.
Terdengar miris dan mengerikan memang. Mengingat banyak hal yang belum bisa ia wujudkan-lalu ia justru membicarakan tentang kematian. Rasanya ingin membeli satu slot kehidupan abadi untuk ia gunakan, sampai dendamnya terbayar lunas.
Akan tetapi, mana mungkin hal seperti itu bisa terjadi?
Abigail tak ingin terlalu fokus pada bahaya yang mengi
Kali ini giliran Abigail yang terkejut. Tidak. Bukan seperti ini yang ia mau. Selain tak ingin melibatkan Ashton, tetapi juga ia tak bisa mengatakan yang sejujurnya pada pria itu. Ia sedang tak ingin melakukan tawar-menawar dengan siapa pun. "Jangan, Ash. Aku harus melakukannya sendiri, tidak dengan kehadiranmu." "Mengapa? Siapa tahu justru aku bisa membantu urusanmu agar lebih cepat terselesaikan." Abigail menggeleng, keras. Menolak apa pun yang ditawarkan Ashton agar ia diperbolehkan untuk ikut serta. Namun, baik Abigail maupun Ashton tak ingin mengalah dan menyerah dengan keinginan mereka. "Ash, please ... jangan membuatku kesal." "Kalau begitu, katakan apa yang akan kau lakukan. Jika kau menceritakan segalanya, aku berjanji tak akan mengga
Satu tembakan tepat mengenai sasaran, tetapi bukan sasaran yang dituju melainkan Abigail, yang dengan nekat menerjang peluru itu agar tidak mengenai Gin. Di saat yang sama, Alice mengeluarkan pistol yang sejak tadi berdiam aman di balik punggungnya, segera ia melepaskan beberapa peluru yang telak mengenai dada pria berandalan itu. "ABBY!" pekik Alice, yang langsung menghambur ke arah Abigail yang ambruk. Beruntung, Gin dengan sigap menangkap tubuh itu. Perlahan Alice memeriksa letak luka Abigail, lalu menoleh pada pemuda yang sejak tadi layaknya orang bisu, tak berucap satu kata pun. "Peluru mengenai pinggangnya, jika kita cepat dan ia segera ditangani maka semua akan baik-baik saja. Kau bantu angkat kakakmu dan ikuti aku menuju ke mobil. Kau dengar?" Laki-laki itu mengangguk. Namun, Alice dapat menangkap ada sorot pa
Ashton bergegas mengambil penerbangan awal menuju ke Saint Orleans, sesaat setelah mendapat kabar mengenai kondisi Abigail. Alice memutuskan untuk menghubungi Ashton terlebih dahulu sebelum menghubungi Alex dan Alona. Ia masih mempertimbangkan keberadaan Gin di sana. Bisa saja pemuda itu tak inginkan bertemu keluarga lain selain Abigail. Maka, itulah yang ia lakukan. Tak perlu ditanya bagaimana perasaan Ashton mendengar kabar tersebut. Tubuhnya mendadak lunglai bagai tak bertulang. Yang ada dalam pikirannya hanyalah keadaan Abigail. Berharap gadis itu mampu bertahan meski dalam kondisi apa pun. Meski Ashton sangat mengenal Abigail sebagai gadis yang tangguh, tetapi tetap saja rasa takut dan cemas tak dapat ia usir begitu saja. Ia tak dapat membayangkan bagaimana jika tak ada lagi Abigail, bagaimana kehidupannya tanpa
Gin masuk ke kamar Abigail dengan langkah ragu. Bagaimana pun ia sadari kekeliruannya mengambil sikap yang justru jadi terkesan manja dan menyusahkan kakaknya. Namun, semua telah terjadi. Ia hanya berharap dapat mengambil pelajaran dari semua itu. Meski apa yang ia alami ini justru menyakitinya. Tentu saja, melihat kakaknya harus menderita, tak mungkin ia bisa memaafkan dirinya sendiri. Abigail yang masih berbincang dengan Ashton aakhirnya menyadari kedatangan Gin. Alice sengaja membiarkan pemuda itu masuk seorang diri sementara ia berjaga di luar. Abigail mengulas senyum hangat menyambut kedatangan adiknya, meski wajahnya masih tampak pucat. Sementara Gin, tak tahu harus berbuat apa, karena akibat kesalahannya kini Abigail harus terbarin di rumah sakir dengan luka tembak yang bisa saja menghilangkan nyawanya. Abigail memberi isyarat pada ashton agar memberi kesempatan dirinya melepas kerinduan bersama adik satu-satunya yang belasan tahun tak pernah ia temui. Ashton mengangguk,
Gin tersuruk akibat jotosan yang cukup bertenaga dari pria itu. Sementara Abigail yang tak mampu berkutik hanya bisa memekik, memohon pria itu hentikan kegilaannya dan melepaskan Gin yang kini nyaris babak belur. "Zac! Apakah kau sudah gila?! Lepaskan adikku, kau tak boleh menyentuhnya sedikit pun!" Tak ada satu kalimat pun yang mampu menghentikan amukan Zachary saat ini. Amukan yang bagi abigail sungguh samgat tidak beralasan. "Zac!!! I swear you, kalau kau tidak berhenti, aku akan memanggil security atau bahkan polisi!" Kalimat itu masih juga tidak mempan bagi Zachary. Bukan itu yang membuatnya, melainkan satu hal. Dan Abigail tahu sekali apa yang bisa membuat Zachary menghentikan segala tindakannya dan mendengarkan perkataan Abigail. "Jika kau masih tak pedulikan perkataanku, aku bersumpah tak akan pernah muncul lagi di hadapanmu selamanya!" Secara ajaib kalimat itu berhasil membuat Zachary mematung dan otomatis menghentikan ayunan ta
Abigail memaksa untuk pulang dengan segera. Ia tak sabar untuk banyak hal setelah Gin kembali. Tur rumah, pesta penyambutan, bahkan mengantarkan Gin bersekolah. Membayangkan itu semua, Abigail merasa kesehatannya secara ajaib pulih dengan cepat. Meski pada akhirnya ia harus beradu mulut dengan tiga orang—Gin, Ashton, dan Alice—yang memaksa ia tetap di rumah sakit sampai benar-benar pulih. Abigail tidak pernah tidak memenangkan apa pun, bahkan untuk sebuah perdebatan. Ketika pada akhirnya mereka berada di atas helikopter pribadinya, ia hanya mengulum senyum penuh kemenangan, sementara lainnya terdiam dengan kemelut dalam batin masing-masing, keheranan dengan karakter gadis satu ini yang sangat keras kepala. Mereka tiba di rumah, yang langsung disambut oleh Alex dan Alona, yang sebelumnya telah dikabari oleh Alice. Mereka telah menyiapkan segalanya untuk Abigail, juga Gin. "Paman, Bibi, ini Gin, adikku. Keponakan kalian yang lain," ucap abigail dengan manik yang berembun karena m
Jantung Abigail nyaris mencelus ketika mendengar statement yang terkesan menuding dirinya. Ia tak menyangka Gin dapat membaca semuanya. Apakah terlalu kentara apa yang ia lakukan terhadap Zachary? "K-kau ... bagaimana kau bisa tahu semuanya?" tanya Abigail, tergagap. "Aku sudah katakan padamu, kan, kalau aku lebih hebat dibanding Nona Denver. Apakah kau sekarang bersedia menjadikanku bodyguardmu?" tanya Gin. Ia tak ingin melanjutkan pembicaraan tentang balas dendam atau lainnya. Ini hari pertama dirinya menginjakkan kaki di rumah Abigail, ia tak ingin hubungannya dengan sang kakak justru memanas di hari pertama. Mendengar kelakar Gin, Abigail tergelak sesaat. "Oh, Tuhan, terima kasih kau sudah mempertemukanku dengan bocah bandel ini. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku tertawa seperti ini," ucap Abiagail, masih dengan tawa yang tersisa. Gin tak mampu menahan diri untuk tidak tertawa. Melihat tawa kakaknya, hatinya terasa menghangat. Bukankah
"Aku menginginkan hatimu, Abby ... aku ingin tempat di sana, yang tidak terjamah oleh siapa pun, dan hanya untukku saja." Zachary mengulang kalimatnya yang tentu saja membuat Abigail terdiam sekarang. Apa yang harus ia katakan, jika apa yang diminta Zachary adalah hal yang jelas sulit untuk ia kabulkan. Menang. Ia menang, kan, sekarang? Ia sudah berhasil membuat Zachary begitu mendambakannya. Begitu menginginkannya, bahkan rela melakukan apa pun. Begitu yang pria itu katakan tadi, kan? Lalu apa lagi? Bukankah ini saatnya menjadikan Zachary hancur berkeping-keping untuk menghancurkan Emerson? Tidak. Bagi Abigail, ini belum saatnya. Membuat Zachary begitu gila, ternyata bukan akhir dari semuanya. Dendam ini membuat Abigail lebih gila lagi. Ia menginginkan lebih. Ia mau yang lain lagi. Ia ingin membuat luka lain yang lebih lebar menganga di hati Zachary, membuatnya gila, hancur, tak berdaya, agar ia lebih puas. Dendam ini membuat Abigail menggila. Membuatnya kecanduan ketika seg