Alex dan Alona mengemasi barang-barang penting yang mereka miliki termasuk milik Abigail. Dengan bergegas menata segala yang mereka butuhkan saja, agar tak perlu membawa barang terlalu banyak.
Mereka saling bertatapan sebelum kemudian Alex mengangguk pada Alona sebagai tanda ia boleh membangunkan Abigail yang kini masih lelap.
Wanita itu, dengan langkah perlahan menghampiri Abigail yang masih pulas. Wajahnya sungguh damai. Alona mengusap bulir yang tertahan di pelupuk matanya sebelum kemudian mendekat pada keponakannya itu.
Abigail mengusap mata saat Alona tiba di kamarnya. Wanita itu duduk di sisi ranjang dan menyentuh tangan Abigail.
"Abby ... bersiaplah, kita akan pergi dari sini," ucap wanita itu, setengah berbisik, tak ingin membuat keponakannya terkejut. Baru beberapa hari ia berada di rumah ini dan harus pergi lagi.
Kemana? Ia pun tak tahu karena baik Alex maupun Alona tidak mengatakan apa pun selain memintanya berkemas.
Ia memberanikan diri bertanya pada pamannya, "kita akan ke mana, Paman Alex?"
Alex sedikit memutar tubuh agar Abigail dapat melihat wajahnya. Tersenyum lembut sebelum menjawab pertanyaan gadis itu.
"Kita akan tinggal di rumah baru. Kau pasti akan menyukainya. Rumah pantai yang indah, seperti yang selalu kau khayalkan."
"Dan selalu kuminta pada Papa tapi ia selalu melarang ...." Abigail melanjutkan kalimat pamannya dengan bersemangat. Alex tertawa sembari mengangguk.
"Iya ... kau benar, sayang. Karena kau sudah beranjak remaja, maka sudah waktunya mendapat apa yang jadi impianmu. Satu per satu akan kita wujudkan bersama." Alona tersenyum bahagia melihat ekspresi Abigail yang sumringah.
Ia kemudian melempar pandangan pada Alex. Pandangan bahagia yang berubah haru.
Alex menggenggam tangan Alona demi menguatkan istrinya itu. Ia bisa memahami apa yang kini di rasakan Alona. Wanita itu trenyuh akan kondisi keponakannya. Masih belia, tapi sudah harus mengalami ujian seberat ini.
"Ia akan baik-baik saja, sayang. Kita akan membuatnya baik-baik saja. Aku janji akan menjaga kalian berdua," ucap Alex, memudarkan kegelisahan istrinya.
Alona mengangguk, percaya pada perkataan suaminya.
Ia menoleh sekali lagi pada Abigail yang duduk di bangku belakang, yang mengedarkan pandangan sepanjang perjalanan melalui jendela mobil.
Gadis itu tak lupa, tak pernah lupa pada apa yang terjadi padanya. Namun belum mampu mencerna apa dan bagaimana semua bisa terjadi.
Meski memasuki usia remaja, hati dan pikiran gadis itu masih polos dan murni. Apa yang menimpanya sungguh sangat di luar batas kemampuannya. Meski ia terlihat kuat, tetapi tak ada yang tahu bagaimana dan apa yang tersimpan dalam hatinya.
Alona kembali menatap jalanan lurus di depannya. Sesekali menoleh pada suaminya yang juga sedang menatapnya. Lalu kembali memandang ke depan. Seperti yang akan mereka lakukan mulai saat ini. Memandang lurus ke depan tanpa menoleh kembali, kecuali jika mereka harus melakukannya. Untuk Abigail.
***
Abigail ternganga melihat sekelilingnya. Seperti yang Alex katakan, rumah pantai yang indah dengan pemandangan pasir dan laut lepas ketika membuka pintu. Deburan ombak bahkan seolah terdengar jelas dari dalam rumah.
Gadis remaja itu mengedar pandangan ke sekeliling dan menyeluruh pada ruangan tempatnya berdiri. Masih kosong, tapi ia bisa membayangkan betapa menyenangkan tinggal di sana nanti. Ia kemudian menghampiri Alona yang sedang mengeluarkan barang mereka satu per satu.
"Rumah ini masih belum terisi, hanya seadanya. Namun, paman sudah memesan perabot. Mungkin sebentar lagi mereka akan tiba," ujar Alona, sembari menata barang bawaan mereka. Sementara Alex sedang melakukan panggilan telepon di luar rumah.
"Bibi …." Abigail memeluk Alona tiba-tiba. "Terima kasih karena kalian mau menerimaku. Aku menyayangimu dan Paman Alex."
Mata alona berkaca mendengar kalimat yang keluar dari bibir mungil keponakannya. Ia mengecup kening dan mengusap pucuk kepala gadis itu.
"Jangan berkata begitu, sayang. Kami adalah keluargamu dan sangat mencintaimu. Apa pun yang kau kehendaki, katakanlah. Kami akan mengusahakannya." Alona meraih Abigail masuk ke dalam pelukannya.
Abigail membalas dekapan wanita cantik itu. Ia terharu, sangat terharu. Namun, ia seperti tak tahu bagaimana cara meneteskan air mata. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah menjadi yang terbaik untuk kedua orang tua barunya. Meski ia tak tahu bagaimana caranya, tapi suatu saat nanti ia pasti akan mampu mewujudkannya.
***
Abigail berjalan sendiri di hamparan pasir pantai. Kakinya menyepak-nyepak buih air yang bergerak ke pesisir. Ia sangat menikmati saat sendiri seperti ini, membuatnya merasa tenang.
Meski berada di antara Paman dan Bibinya membuatnya kembali merasakan memiliki keluarga, tapi tetap saja, ia membutuhkan saat dimana bisa mengingat kembali kenangan tentang keluarganya.
Ia berbaring di atas hamparan pasir yang tersapu ombak. Membiarkan tubuhnya ikut basah dan perlahan terseret ke tengah. Ia tak ingin mengakhiri hidupnya, tapi ingin merasakan sensasi berada di antara hidup dan mati. Pikiran itu muncul secara tiba-tiba.
Otaknya bahkan tak ingin mencegah apa pun yang dilakukannya kini. Ia memejamkan mata, menikmati sapuan dan dinginnya ombak di musim semi yang hangat. Ia merasa mengantuk karena pancaran sinar mentari di atasnya.
Lamat-lamat terdengar suara memanggil namanya.
"Abigail!"
Abigail membiarkan suara itu mendekat, memastikan bahwa itu nyata. Bahwa ia belum mati dan masih menjejak bumi.
"Abby!"
Ia masih bergeming, menikmati hangat dan dingin dari sinar mentari dan ombak yang menyatu di permukaan kulitnya. Tubuhnya perlahan semakin ke tengah laut, ia dapat merasakan itu. Namun, ia justru membentangkan kedua tangan dan kakinya. Membiarkan tubuhnya terapung bebas.
"ABBY!" Sebuah tangan kokoh menarik, mengangkat tubuhnya dan membawa ke tepian.
Begitu saja meletakkan tubuh itu di atas pasir. Abigail yang sejak tadi masih sadar, membuka matanya. Raut wajah cemas Alex yang pertama dilihatnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Alex, khawatir. Ia merengkuh tubuh remaja itu. "Jangan lakukan hal yang tidak-tidak, Abby, kumohon. Paman sudah kehilangan anggota keluarga, hanya kau yang paman miliki sekarang."
"Paman ini bicara apa?" tanya Abigail dengan wajah polos.
"K-kau ... Bukankah kau ingin—"
"Tidak, Paman. Aku hanya sedang bermain di laut. Aku tidak akan mati, Paman. Tidak sebelum membuat orang-orang itu menerima balasannya—siapa pun yang telah menghancurkan hidupku."
Alex mengambil tempat dan duduk di sisi keponakannya. Ia menatap lurus ke depan, dimana ombak dan langit berjarak sangat dekat. Kemudian tatapannya beralih pada gadis remaja yang kini tengah duduk memeluk kaki.
"Dengarkan, paman. Jika dendam yang sedang kau tanamkan dalam hatimu ini suatu saat justru berbalik menghancurkanmu, paman tak akan ijinkan kau melanjutkannya. Namun, jika hanya untuk memberi pelajaran, silahkan. Tidak untuk menghancurkan mereka."
"Kenapa tidak? Mereka menghancurkan kehidupanku, Paman!" Intonasi Abigail mulai meninggi.
Alex hanya mendesah, menyadari bahwa tak mudah berkomunikasi dengan gadis remaja yang emosi dan egonya masih sangat tinggi. Namun, membiarkannya melakukan apa pun yang ia katakan, juga bukan hal yang benar. Pria itu kemudian meraih jemari Abigail.
"Paman bisa mengerti, perasaan dan kemarahanmu bisa diterima karena itu adalah naluri setiap manusia. Namun, pesan paman, jangan hancurkan hidupmu hanya demi menghancurkan mereka."
"Aku tidak mengerti."
"Begini. Mari kita persiapkan dan lakukan misi balas dendam, tapi dengan cara yang baik. Dengan cara elegan. Kau setuju?"
"Apakah Paman tahu caranya?" tanya Abigail, mulai tertarik dengan perkataan pamannya.
Alex mengangguk. "Tentu saja. Berjanjilah dulu, apa pun yang terjadi, apa pun yang kau lakukan tak akan pernah membahayakan dirimu sendiri dan orang lain, meski itu untuk membalaskan dendam pada musuhmu."
Abigail menatap Alex penuh keraguan. Alex mengulurkan jari kelingkingnya, sebagai isyarat agar Abigail berjanji padanya. Gadis itu meraih dan mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Alex
"Oke, keponakan paman yang cantik dan cerdas. Kita akan memulai misi balas dendam mulai besok. Kita awali dengan masuk ke sekolah yang bagus. Paman sudah mendaftarkanmu dan kau akan bersekolah mulai besok," tutur Alex yang disambut senyum penuh semangat oleh Abigail.
Ia lalu memeluk pamannya. "Terima kasih, Paman Alex."
Alex mengeratkan dekapan pada tubuh gadis itu dengan pikiran yang berkecamuk. Ia tak akan membiarkan Abigail-nya tersesat pada dendam yang tak terarah. Ia berjanji akan berusaha memberikan segala yang ia mampu untuk membahagiakan Abigail agar melupakan dendamnya.
***
Abigail sudah duduk di teras depan rumah, ketika paman dan bibinya mencari keberadaannya. Ia menikmati embusan angin yang lembab serta cahaya mentari pagi yang hangat. Perlahan Alex dan Alona duduk di dekat gadis yang sedang duduk di atas kursi ayunan yang bergoyang perlahan. Alona menyentuh jemari Abigail, membuat gadis itu tersadar akan kedatangan dua orang terkasihnya. Perlahan ia membuka mata demi manatap kedua orang tua barunya itu. "Abby sayang, Hari ini Paman akan menemui seorang pengacara yang telah ditunjuk oleh ayahmu untuk mengurus segala aset yang ia tinggalkan untukmu. Apakah kau siap untuk menemuinya hari ini? JIka kau ingin menggulur waktu, Paman akan sampaikan padanya," tutur Alex, dengan sangat hati-hati, khawatir jika sampai mengusik ketenangan gadis remaja itu. Bisa saja Abigail merasa terusik karena ingin hidup tenang tanpa gangguan apapun yang berhubungan dengan ayahnya. Namun, denga
Abigail tersadar dari lamunannya sesaat. Ingatannya sempat kembali pada masa dimana ia akhirnya menyandang namanya yang sekarang. Pada mulanya ia tidak terima melepaskan nama keluarganya, tetapi ia kemudian sadar bahwa itulah cara Alex untuk menjauhkan dirinya dari bahaya. Abigail meraih blazer merah dari balik pintu kemudian memakai sembari melangkah tergesa keluar dari kantornya. Ia sudah membuat janji dengan Mr.Thompson untuk membicarakan tentang misinya. Tidak, ia tidak mengatakan pada dektektif itu detail tujuannya mencari tahu identitas rival bisnis James, ayahnya. Ia hanya akan menyampaikan alasan yang berhubungan dengan bisnis. Saat mobilnya tiba di halaman parkir L'Restaurante, sudah terlihat dari kejauhan sosok Mr.Thompson yang duduk di sudut ruangan dekat dengan jendela besar. Mungkin agar mempermudah dirinya mengawasi sekitar. Tak mas
Abigail masih duduk menghadap layar laptop, mengawasi pergerakan indeks saham untuk beberapa anak perusahaannya. Ia berharap kali ini akan kembali memenangkan beberapa perusahaan incarannya. Ia ingin menanamkan aset di perusahaan pertambangan. Prospek yang cukup bagus dan potensial. Sesekali ia menghubungi Tamara, sekretarisnya untuk melakukan pemeriksaan secara manual dengan menghubungi perusahaan miliknya. Beberapa hari ini akan menjadi hari paling menegangkan baginya dan juga seluruh karyawan perusahaannya. Tak lama ponselnya berdering. Nama Alona tertera di sana. Panggilan rutin yang selalu dilakukan bibinya terlebih setiap kali perusahaan mereka ikut dalam trading besar seperti saat ini. “Halo, Bi,” sapa Abigail, tanpa mengalihkan mata elangnya dari layar. “Kau jangan hanya duduk di depan layar, jangan lupakan perutmu. Bibi tidak mau sampai asam lambungmu kambuh lagi. Siapa nanti yang akan mengurus jika kau sakit?” “Iya, Bi ... aku tahu. Kami sedang bersaing ketat dan ak
Abigail dan pria berkumis tebal dengan jas kulit berwarna coklat membungkus tubuhnya, kini tengah duduk di tempat yang sama seperti beberapa waktu sebelumnya. Mereka memutuskan untuk bertemu setiap dua minggu sekali untuk menyetorkan informasi yang ia dapatkan kepada Abigail. Terlebih setelah kekalahan Abigail dalam perang bisnis beberapa waktu lalu, Mr. Thompson kebetulan mengikuti juga perkembangan berita tersebut, membuatnya tak sabar untuk menyampaikan hasil investigasinya. Senyum terulas di sisi wajah Abigail. Lipstik merah menyala yang terpoles di bibirnya menambah kesan dominan dan mungkin antagonis bagi sebagian besar orang yang tidak mengetahui latar belakang gadis itu. Informasi yang ia dapat dari Mr. Thompson cukup sebagai penunjuk arah baginya. Hanya tinggal menyusun rencana untuk langkah selanjutnya. Sepeninggal Mr. Thompson, Abigail mengambil ponsel, kemudian menekan nomor pria itu dan menunggu jawaban dari seberang. Ia membenarkan duduk, melipat kaki dengan anggu
Setelah pertemuannya dengan Zachary beberapa kali, Abigail mulai menemukan ritme dan siasat untuk menaklukkan pria itu. Terakhir kali mereka bertemu, Abigail sudah bisa melihat ada ketertarikan di mata pria itu. Kali ini saatnya ia membalas kebaikan Zachary. Ia berencana mengundang pria itu untuk makan malam, ia yang akan menjamu sendiri tamu istimewanya, bahkan mempersiapkan segala bahan yang dibutuhkan. Untuk mendapatkan ikan paus, ia harus menyiapkan jala yang besar. Bahkan bila perlu, ia akan menggunakan peledak untuk menghancurkannya mangsanya. Apa pun akan ia lakukan demi lancarnya misi balas dendam ini. Abigail berjalan santai mendorong keranjang belanjaan dan memilih bahan yang ia butuhkan. Hingga tak sengaja ia berpapasan dengan seseorang. Seolah takdir memiliki kehendak yang sama, Zachary kini berdiri di hadapan Abigail nyaris tertabrak kereta belanja milik gadis itu. “Whoa ... lihat jalan–“ Zachary membulatkan mata saat melihat siapa yang berada di depannya sekaran
Mr. Thompson menyodorkan sebuah kartu nama pada Abigail. Dengan cepat gadis itu meraihnya dari meja dan membaca barisan huruf yang tertulis di sana. Alice Denver, merupakan detektif yang direkomendasikan oleh Mr. Thompson untuk menyelidiki dan mencari keberadaan adik Abigail. Beberapa saat Abigail terdiam, menimbang-nimbang keputusan darinya apakah akan menyewa Alice atau tetap menyerahkan semua pada Mr. Thompson. Sejauh ini ia tidak mengalami masalah dengan pria itu. Namun, justru pria itu sendiri yang menyarankan untuk memakai jasa lain agar kasus tidak tercampur. Terlebih, Abigail masih mampu membayar bahkan ratusan detektif sekali pun. Ia hanya mempertimbangkan, dengan adanya pihak lain yang ia gerakkan, itu berarti latar belakang keluarganya akan diketahui lebih banyak orang. Dan ia tak ingin itu terjadi. “Ia sangat kompeten dan bisa dipercaya, jika itu yang menjadi pertimbanganmu, Nona Genovhia.” Mr. Thompson berusaha meyakinkan Abigail untuk segera membuat keputusan. Gad
Hari Minggu terasa lambat berlalu bagi Abigail. Ia merasa bosan hanya berdiam di rumah tanpa kawan. Sejak dulu ia memang menghindari pertemanan dengan siapa pun. Ia tak ingin citra yang telah ia bentuk sejak awal akaan sirna, karena ada orang terdekat yang mengenali dirinya yang sesungguhnya. Itulah sebabnya Abigail lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah atau kampus. hanya sendiri dan tenggelam dalam bacaan di hadapannya. Dan itulah yang dikenal orang darinya, seorang kutu buku yang dingin dan tertutup. Namun, di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, ia mulai merasa hidupnya membosankan. Ia teringat masa kecilnya, memiliki seorang teman pria, satu-satunya yang dapat ia percaya. Sayang, pertemanan mereka hanya sebentar karena berikutnya yang ia tahu, pria itu sudah tidak lagi berada di Estern Shore, kota asal mereka. Ia lalu
Sidney dan Zachary berada dalam mobil setelah acara makan malam mereka. Suasana yang semula mesra dan hangat, berubah seketika tatkala Zachary mendadak terlihat sedang termenung. Matanya menatap lurus ke jalan beraspal di hadapannya, tetapi beberapa kali ia nyaris menyerempat kendaraan lain, bahkan sampai hampir bertabrakan. Sidney sangat mengenal pria itu, ia tak akan hilang fokus seperti sekarang jika tak ada masalah yang mengganggu pikirannya. "Ada apa denganmu, sayang? Sejak tadi kau seperti tidak benar-benar berkonsentrasi pada jalanan di hadapanmu." Sidney membuka obrolan, karena mengerti Zachary tak akan memulai jika ia tidak mengawali. Pria itu pada mulanya menolak unuk menjawab. Ia bergeming, tak mengucap sepatah kata pun. Berpura fokus pada jalanan padat di hadapannya, padahal sesungguhnya pikirannya sudah tak berada di tempat seharusnya.