Share

Chapter 4

Kanaya baru mengerti ungkapan yang mengatakan kalau kesakitan di dalam hati, mampu mengalahkan kesakitan fisik. Buktinya saat akan melahirkan seperti ini, ia seperti tidak merasakan sakit akibat kontraksi. Pikirannya semua tercurah pada keadaan Haikal. Ia tidak tau apa yang telah terjadi pada suaminya. Sesaat setelah ia masuk ke dalam ruang bersalin, ia tidak boleh lagi memegang ponsel. Alhasil pikirannya terus mengembara ke mana-mana. Ia membayangkan kalau suaminya itu tengah tergeletak berdarah-darah di jalanan, tanpa ada yang memberitahukannya. Memikirkan semua kengerian-kengerian itu, ia kembali berteriak histeris. Demi Tuhan, ia ketakutan!

"Jangan begini, Nay. Jangan terus menyiksa dirimu dengan pikiran yang tidak-tidak. Ingat ada bayi yang harus kamu lahirkan dengan selamat. Dengar baik-baik, dengan selamat, Nay. Kamu tidak ingin terjadi sesuatu pada bayimu, bukan?" ancam dokter Kirana. Sebenarnya ia tidak tega berbicara sefrontal ini pada Kanaya. Tetapi mau bagaimana lagi, ia terpaksa. Kanaya sekarang hanya bengong seperti orang kehilangan akal, padahal bukaan rahimnya hampir penuh. Walau Kanaya mengatakan ia tidak merasakan apapun, namun sesungguhnya ia merasakan. Ya, Kanaya kesakitan. Namun alam bawah sadarnya terus memaksa agar ia berpikir, hingga ia tidak punya waktu untuk merasakan apapun. Buktinya sedari tadi ia mengejan-ngejan kecil sembil meringis-ringis. Hanya saja ia tidak menyadarinya karena pikirannya fokus pada masalah Haikal. 

"Astaghfirullahaladzim, tentu saja tidak, Dok. Mana mungkin saya menginginkan bayi saya kenapa-kenapa?" Kanaya memandang dokter Kirana seolah-olah dokter kandungannya ini sudah gila.

"Kalau begitu fokus, Naya. Kamu harus menyelesaikan masalah satu persatu. Sesuai dengan waktu dan kepentingannya. Dan saat ini adalah waktunya kamu fokus pada kelahiran bayimu. Bukaan leher rahimmu hampir sempurna, Nay. Dan itu artinya kamu harus mengedan secara baik dan benar, sesuai dengan yang telah kamu pelajari di kelas senam." Kirana menghentikan kalimatnya saat seseorang masuk ke ruang bersalin. Ternyata Bu Gendis, ibu Kanaya yang masuk.

"Naya, Ibu baru mendapat kabar tentang Haikal--"

"Bagaimana ke--keadaan Mas Haikal, Bu? Mas Haikal baik-baik saja 'kan, Bu?" tanya Kanaya gugup. 

"Haikal mengalami kecelakaan,"

"Hah, kecelakaan?" Kanaya berusaha duduk, sebelum dokter Kirana menahan tubuhnya. Dokter Kirana menggeleng-gelengkan kepala. Kanaya akan segera melahirkan. Dengan wajah penuh keringat dan air mata yang terus berderaian, pasiennya ini malah sibuk memikirkan keadaan suaminya. Luar biasa. Kirana berharap semoga suaminya kelak, bisa menghargai cinta dan kesetiaan Kanaya untuknya.

"Tenang, Nay. Haikal memang mengalami kecelakaan. Tapi ia tidak apa-apa. Dengar Ibu, Naya. Haikal. Tidak. Apa-apa." Gendis mengeja kalimatnya satu persatu. Ia ingin menenangkan hati putrinya. Gendis tau, hal yang paling ingin diketahui oleh putrinya adalah kabar tentang Haikal. Oleh karena itu, ia segera masuk ke ruang bersalin ini, setelah mendapat kabar dari besannya. 

"Alhamdullilah. Naya lega mendengarnya, Bu. Se--aduh! Semoga Mas Haikal segera pu--pulih dan--dan bisa menjenguk Naya nantinya... ya, Bu?" desah Kanaya dengan napas tersengal-sengal. Setelah mendapat kepastian akan keadaan Haikal, barulah ia merasa kesakitan yang luar biasa. Perutnya terus bergolak, dan ia jadi ingin mengejan tanpa bisa ditahan. Ia sampai gemetar dalam usaha menahan keinginannya untuk mengejan. Karena ia tau kalau sembarang mengejan bisa mengakibatkan Perdarahan subkonjungtiva, pembengkakan vulva kemaluan sampai robeknya perineum.

"Waktunya akan segera tiba, Nay. Oh ya, Bu Gendis. Kalau Ibu mau mendampingi Naya, silahkan Ibu mengambil posisi di samping kiri Naya. Ibu boleh mengenggam tangan Naya, untuk memberinya kekuatan. Biasanya kehadiran suami atau ibu, bisa memberikan kekuatan tambahan pada calon ibu." Karena ketiadaan suami si calon ibu. Kirana sengaja memperbolehkan ibu kandung si calon ibu sebagai pengganti suaminya. Semoga saja Kanaya sanggup melalui proses kelahiran yang menyakitkan ini. 

Tanpa perlu diperintahkan dua kali, Gendis segera mengambil posisi. Pada saat-saat seperti ini, dokter bertugas membantu persalinan, dan ia sebagai seorang ibu membantu menenangkan.

"Oke, Naya. Siap-siap lah mengejan sesuai dengan aba-aba saya. Satu, dua, tiga, mulai!" perintah Kirana.

"Arghhh!" Kanaya mulai mendorong sekuat-kuatnya. Namun sang jabang bayi sepertinya belum menemukan jalan keluar. Tanpa bisa ditahan, Kanaya kembali merasa ingin mengejan. Kanaya kembali mengejan sesuai dengan aba-aba dokter Kirana. Tetapi seperti tadi, walau perutnya terus begerak tapi belum ada tanda-tanda sang jabang bayi akan keluar. Dokter Kirana dan ibunya terus menyemangati, saat Kanaya kembali mengejan berulang-ulang. Sekujur tubuhnya basah oleh berkeringat karena mengeluarkan begitu banyak tenaga. Kanaya merasa sangat lemas sekarang. 

"Ayo dorong lagi Kanaya. Jangan menyerah. Kepala bayimu sudah mulai terlihat. Dorong sekali lagi Kanaya." Kirana kembali memberi aba-aba. Kanaya yang sebenarnya sudah begitu lelah karena kehabisan tenaga, menjadi kembali bersemangat. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mendorong bayinya keluar.

"Arrghhh!" Kanaya berteriak sekuat tenaga. Namun perjuangannya sepertinya belum membuahkan hasil. Padahal ia merasa sudah berada di titik nadir kekuatannya. Ia merasa sudah tidak lagi memiliki tenaga.

"Saya sudah tidak kuat lagi, dok--dokter," guman Kanaya lemah. Sungguh ia benar-benar merasa tidak berdaya sekarang. 

"Berjuanglah, Naya. Ibu yakin kamu bisa melewati persalinan ini dengan baik. Kamu ingin Haikal bangga padamu bukan?" Gendis berusaha membakar semangat putrinya. Kanaya mengangguk lemah. 

"Kalau begitu, ayo berjuang lagi. Jika kamu bisa melalui semua ini dengan baik, maka kamu bisa melihat senyum anakmu sebentar lagi. Kamu 'kan Bunda yang kuat." Membayangkan kalau ia akan segera bisa memeluk buah hatinya, membuat semangat Kanaya bangkit lagi. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia kumpulkan, ia kembali mendorong sembari mengepalkan tangan. Dan keajaiban itu pun terjadi. Kanaya merasakan sesuatu keluar dari bawah tubuhnya, diikuti dengan sensasi panas di bawah tubuhnya. Sejurus kemudian suara tangis bayi menggema di ruangan bersalin. Alhamdullilah. Kanaya mendengar ibunya dan dokter Kirana mengucap syukur. Ia juga mengikuti walau dengan suara yang sudah sangat lemah sekali.

"Bayimu laki-laki dan tampan sekali, Nay." Ibunya memberitahu jenis kelamin bayinya, sementara dokter Kirana dan tim medis lainnya sibuk mengurusnya. Detik berikutnya ia tidak terlalu memperhatikan apapun yang dilakukan dokter Kirana dan juga tim medis yang sepertinya sedang mengeluarkan plasenta. Beberapa saat kemudian, dokter Kirana meletakkan bayinya yang masih dalam keadaan menangis di atas dadanya. Kanaya paham kalau sekarang adalah saatnya melakukan IMD. 

"Sebelum melakukan IMD. Biarkan bayimu beradaptasi terlebih dahulu dan mengenali dunia luar. Nikmati saja proses skin to skin ini, Nay," terang dokter Kirana. Kanaya mengangguk penuh rasa haru. Bayinya perlahan mulai nyaman dan berhenti menangis. Gerakan-gerakan kecil mulai dilakukan bayinya sembari mencari-cari ujung dadanya.

"Biarkan saja bayimu mencari dadamu dengan instingnya, Nay. Kamu nikmati saja prosesnya. Kejadian berikutnya terasa begitu menakjubkan bagi Kanaya. Ia menyaksikan bayinya mengulum ujung dadanya kuat dan mulai menyusu. Air matanya mengalir seiring air susunya yang mengucur deras. Anaknya telah lahir, sementara Haikal sendiri nasibnya entah seperti apa? Kanaya tidak tau

Komen (4)
goodnovel comment avatar
H n H
iya.. makanya pas baca ini. agak aneh.. kenapa cerita nya beda..
goodnovel comment avatar
Ziza Ziz S
aikkk..dh kenapa kanaya n haikal ada di sini? hmmmm kemurungan aku seketika mbak Thor
goodnovel comment avatar
lmuhadin jejo
Perasaan saya aja apa bab yang ini salah alamat??
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status