****Aku terpana, begini wujud perempuan bersuara lembut itu rupanya. Cantik, anggun, tenang, dan begitu mempesona. Kukira selama ini, Ninda adalah perempuan paling cantik. Ternyata, Ninda justru tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita ini. Dan aku telah membuatnya tersinggung.“Saya minta maaf, saya tidak tau kalau itu pemberian dari Bu Guru. Saya pikir dari orang asing. Sekali lagi, maaf!” ucapku penuh penyesalan.“Baik, Pak. Tolong simpan nomor saya, ya. Kalau ada apa-apa dengan Bima, Bapak telpon saja saya! Kalau begitu, saya duluan, ya! Bima, jangan lupa pe-er nya, ya, Sayang! Sampai jumpa besok, daaah!”Wanita itu membelai kepala Bima sekali lagi, lalu berjalan ke sebuah mobil yang terparikir tak jauh dari situ. *Pagi ini Bima bangun dengan penuh semangat. Sepertinya dia sangat menyukai sekolah barunya. Atau Bu Guru barunya, entahlah. Tak ada rasa minder terbaca di wajahnya. Aku masih meringkuk di bilik kardus yang sudah dibuatkan oleh ayah Asri untuk kamar kami
****“Jadi, Abang mau pulangin sertifikat itu?” tanya Asri menyerahkan semangkuk bubur nasi kepadaku.“Iya,” sahutku langsung menyendokkan makanan berair itu ke mulutku. Tak ada rasa, hanya segenggam beras dimasak dengan air yang banyak lalu dibubuhi sedikit garam. Lumayan, bisa untuk mengganjal perut hingga siang.“Ini bekal makan siang kamu, Bima.” Asri sudah mengisi sebuah wadah bertutup yang terbuat dari bahan plastik.“Bik, ada wadah lain, enggak?” Bima melirikku seperti menahan rasa takut. Itu karena aku melarangnya untuk protes apapun yang diberikan Asri padanya.“Kenapa dengan wadah itu?” Benar saja, plototan mataku langsung terarah padanya.“Eeem, enggak apa-apa, Pa.” Bima langsung menunduk. Sedikitpun aku tak menyangka kalau perkara wadah itu akan menjadi penyebab masalah besar di sekolahnya kemudian.*“Rajin belajar! Patuh kepada Ibu Guru!” titahku, kuusap kepala Bima sekali lagi sebelum dia masuk ke sekolahnya. “Siap, Pa!” ucapnya meletakkan tangan di pelipis, lal
****“Sudah, Pak. Bahkan saya dan semua orang di rumah ikut mencarinya. Tapi, kami tidak menemukannya, Pak.” Salah satu pria yang mengiring di belakangnya menjawab. Mereka mungkin anak buahnya.“Hancur kita kalau benar dokumen itu hilang. Itu satu-satunya bukti kepemilikan perusahaan. Para pemegang saham akan ragu untuk berinvestasi, bahkan dana yang sudah mereka setor akan mereka tarik kembali, jika aku tak bisa menunjukkan sertifikat asli itu! Aku yakin aku sudah membawanya, aku menaruhnya di dalam tas kerja, lalu kusimpan di lemari cabinet di ruanganku. Tak mungkin aku khilaf!” Pria itu terlihat sangat tegang dan gelisah.Tak ada sahutan. Mereka berhenti di depan sebuah mobil yang terlihat paling mewah. Sebuah Alphard berwarna hitam. Salah seorang langsung mengambil posisi di belakang stir, dan seorang lagi membuka pintu mobil buat pria berjas itu.“Ke mana, Pak?” Yang di belakang stir bertanya.“Menemui Dokter Frans. Aku harus diberi suntikan. Kepalaku rasanya mau pecah! Dadak
****Emosiku mengacaukan akal sehatku. Aku akan meremas mulut perempuan sial itu. Namun, langkahku terhenti demi melihat seorang ibu guru yang langsung bertindak melindungi Bima. Wanita cantik bersahaja, Bu Guru Asya.“Cukup, Bu! Ibu menyakiti dia!” katanya memeluk Bima seraya melepas tangan Ninda dari telinga anakku. Bu Guru Asya mengusap usap kepala Bima dengan penuh kasih sayang. “Eee … eeh! Kamu! Kamu dipecat! Berani kamu melawan saya, ya! Kamu adalah guru pertama yang akan dipecat! Sebentar, aku akan telpon suamiku agar dia lapor sama atasannya, pemilik sekolah ini! Awas kau! Detik ini juga kau akan kehilangan pekerjaanmu!” ancam Ninda seraya mengeluarkan ponsel dari tasnya.“Tolong tenang, dulu, Bu Ninda! Jangan emosi. Kita bicarakan ini baik-baik! Orang tua anak ini juga sudah dalam perjalanan ke sini! Tolong Ibu bersabar, ya! Toh, Steven sudah kita tangani. Darahnya hanya sedikit, kok. Dia baik-baik saja.” Seorang guru laki-laki berusaha menenangkan Ninda.“Bapak juga kep
*** “Pak Dirut? Bapak ke sini? Pasti Bapak ke sini karena sudah mendengar berita kelalaian para guru dan kepala sekolah ini, kan, Pak?” Ninda menghampiri Pak Alatas. “Saya ke sini karena pria ini, Bu Ninda. Saya punya urusan dengannya yang belum selesai,” jawab Pria berdasi itu menoleh ke arahku. Jantungku berdegup tak karuan. Kini aku tahu, ternyata sekolah elit ini milik Pak Alatas. Matilah aku. Pria ini sepertinya akan memaki dan menuduhku mencuri dokumen itu di sini. Di hadapan Ninda. Ya, Tuhan … jangan sampai itu terjadi. Aku akan sangat malu, harga diriku akan hancur lebur. “Oh, iya, Pak Dir. Gelandangan ini telah melakukan kesalahan besar. Dia mengajari anaknya bertindak kriminal di sekolah ini. Anaknya itu sudah menganiaya anak saya. Dia membuat hidung dan bibir anak saya berdarah, Pak,” adu Ninda menunjuk aku dan Bima. Aku terperangah. Terbuat dari apa hati perempuan ini? Bagaimana bisa dia tak luluh, padahal sudah tahu kalau Bima adalah anak kandungnya. “Sebetulnya
**** “Hem,” sahut Reno mengalihkan tatapan dari wajah Bima ke wajahku. Tatapan kamu bertemu. “Kamu? Bukannya kamu Bara? Hey, Sayang! Ini mantan suami kamu, kan? Bukannya dia di dalam penjara?” cecarnya. Kedua matanya membulat sempurna. Semua yang ada di ruangan itu ikut terkejut. Bu Asya menatapku tak percaya. “Iya, Mas! Dia udah mendekam di penjara selama ini. Tapi di enggak kapok juga. Kita beri pelajaran aja lagi. Kirim lagi aja dia ke penjara, sekalian sak anaknya itu, Mas! Stev akan terancam kalau mereka masih berkeliaran. Sepertinya dia dendam sama aku, Mas! Belum move on, jadi anak kita dia jadikan sasaran.” tutur Ninda malah semakin memantapkan hasutan. “Kalian semua lalai menjaga anakku! Dan gelandangan ini! Mantan narapidana ini! Kenapa kalian bisa menerima anaknya untuk bersekolah di sini, hah? Kalian semua akan aku pecat!” Reno mengancam. Suaranya terdengar kencang dan mengelegar. “Gak bisa, Mas. Pak Alatas tadi udah ke sini. Dia malah mengangkat Bang Bara menjadi
**** “Karena pilihan saya adalah kamu! Semoga saya tidak salah pilih.” “Pi – pilihan untuk apa?” “Tak perlu kamu tahu itu! Yang jelas, aku mau kau dampingi aku, pelajari cara memimpin perusahaan ini!” “A-apa?” “Kamu masih muda? Meskipun kamu duda, tak masalah bagiku. Maaf, sejujurnya, anak buahku sudah menyelidiki siapa kau sebenarnya. Aku memerintahkan orangku untuk mencari tahu siapa kau sebenarnya. Dalam tempo setengah jam aku dapat semua info itu hingga yang sekecil-kecilnya. Dan, jujur, kau memenuhi standart yang aku inginkan. Tolong jangan tolak permintaanku!” “Sa-saya belum paham!” “Ya, tak perlu kau paham smeuanya sekarang!” “Oh.” “Kamu pulang, istirahatlah! Besok pagi, jam setengah delapan kita bertemu di sini!” “Ta-tapi?” “Pekerjaanku masih sangat banyak! Kita bertemu besok!” Aku tercekat. Kalimat terakhir sang Dirut adalah perintah agar aku segera keluar. ** “Abang, ada perempuan di luar nyarii Abang! Bangun!” Aku tersentak. Asri masuk ke dalam bilik kar
**** “Bang!” Perempuan itu terperangah. Mungkin dia tak menduga kalimat-kalimat yang keluar dari bibirku. Begitu datar, dingin, namun menikam. “Begitu menderitakah anak kita? Aku sedih mendengarnya. Andai saja aku tak meninggalkannya bersama Abang.” “Tidak ada hubungannya denganmu!” “Abang yang salah!” Perempuan itu tiba-tiba menyergah. Spontan kutoleh aku menatap tepat di manik matanya. Bahkan setelah semua kejadian ini dia masih menganggap aku yang bersalah. Dia benar-benar tak punya otk untuk berfikir. “Kenapa Abang menukar dia dengan perpisahan kita, coba?” ucapnya dengan ekspresi penuh penyesalan. “Apa maksudmu?” tanyaku menatapnya mkin tajam. “Iya, waktu itu Abang, kan yang menukar Bima dengan perpisahan kita? Abang mau talak aku asal aku meninggalkan dia bersama Abang! Padahal Abang tak mampu merawatnya! Abang malah meninggalkannya dengan orang lain selama Abang di penjara. Aku bahkan bisa menunutut Abang karena menelantarkan anak aku!” cicitnya semakin memojokkanku.