***** “Tante, Stev udah sembuh?” Suara putraku kembali terdengar. “Maafkan Bima, ya, Tante, Bima gak sengaja bikin Stev berdarah. Stev tadi ludahin bekal siang Bima, katanya itu makanan gong-gong. Bima, kan, lapar. Makanya Bima pukul dia, kena hidungnya. Stev gak mau minta maaf, dia malah pukul Bima lagi. Makanya Bima pukul lagi. Maaf, ya, Tante,” tuturnya sambil menunduk di depan perempuan itu. Hatiku terasa perih. Bima kembali menceritakan peristiwa tadi siang di sekolahnya. Sudut mataku menghangat. Tak bisa kubayangkan seperti apa sakitnya hati anakku saat temannya mengatakan kalau bekal makan siangnya adalah makanan anjing. Aku bahkan tak bisa memberi dia bekal yang lebih layak. Aku salah. Papa berjanji Bima, esok pagi akan papa berikan kau bekal makan siang yang lebih layak, Nak. Aku membatin, pikirnku berkecamuk. Suasana hening, bahkan Ninda tak berkata apa-apa. Mungkin hatinya juga terenyuh mendengar penuturan darah dagingnya. “Jangan marahin papa juga, ya, Tante! P
**** “Kalau begitu, bersiaplah untuk kehilangan anakmu! Juga kehilangan pekerjaan barumu di kantor! Aku tak akan pernah membiarkan kau hidup tenang. Tidak level sama sekali bagiku, jika harus sekantor dengan seorang mantan nara pidana sepertimu. Bekas suami pertama istriku lagi. Aku akan mengeluarkanmu dari kantor besar itu dengan caraku, hem?” ancamnya disertai kekeh kecil. “Begitu?” sergahku dengan tak kalah sinis. Sebuah garis tak kalah angkuh kutarik dari salah satu sudut bibir. Senyum sinis penuh kengkuhan. “Bukankah hal itu juga berlaku padaku? Aku juga bisa mengeluarkanmu dari kantor besar itu dengan caraku, hem?” sergahku mengembalikan tantangannya. Tentu saja kalimatku sangat mengagetkannya. “Kau?” Sepasang suami istri mesum itu saling tatap, lalu mereka tertawa sumbang. Sepertinya Ninda sudah lupa rasa sakit dan perih di sleutuh wajah dan tubuhnya. “Kenapa? Kau tak menyangka?” sinisku tersenyum kecut, kembali menatap Reno. “Tidak, aku hanya tak bisa pikir, bagaima
**** “Lho, Mbak Viona enggak lihat apa gimana penampilan dia! Liat juga dengan seksama rumah kumuh yang dia sewa ini, Mbak! Lantai tanah, kamar dari bilik kardus, letaknya juga di areal rawa-rawa gini, kan? Ini lumayan, karena enggak ada hujan, Mbak! Kalau hujan dikit aja, tempat ini terendam air. Bayangin deh, gimana mereka tidur di atas genangan air! Trus, liat deh, penampilan dia, Mbak! Dekil, kotor, jorok, kumis dan jambang tak terawat, bauk lagi. Persis kayak pemulung di kolong jembatan. Mbak Viona enggak malu jalan bareng dia ke pusat perbelanjaan?” Viona mengeryitkan dahi, kedua alisnya saling menaut. Aku hanya mampu menghela nafas panjang. Hinaan Ninda sudah kelewatan. Rasanya aku sudah tak sabar. Ingin kuremas saja mulut lemasnya itu. Tetapi, aku tak mau mencari perkara. Jika itu kulakukan, maka dia dan suaminya bisa saja mengirim aku kembali ke penjara seperti waktu itu. Sudahlah, aku harus memaksa diri untuk tetap bersabar. “Saran saya, sih, Mbak Vi, Mbak usul aja s
*** “Mas Reno, ya? Ok, akan saya pertimbangkan, ya,” ucap Viona memberi harapan. Gadis itu melebarkan senyum kepada Reno. Sang pria membalas dengan tak kalah hangat. Tatapan mereka beradu, saling mengunci untuk sekian waktu. Kutangkap sesuatu di antara mereka semakin jelas. Seperti ada … ah, sudahlah, itu bukan urusanku. “Terima kasih, Mbak Vi!” ucap Reno diiringi tatapan teramat teduh. Ninda melebarkan senyum yang merekah di bibirnya. Dasar perempuan bodoh. Sedikitpun dia tak paham, kalau apa yang pernah dia lakukan dulu padaku, saat ini tengah dilakukan oleh Viona dan Reno pula padanya. Sepertinya karma atas perselingkuhannya dulu, telah terpampang di depan mataya. Namun, dia telah dibutakan oleh harta. Kasihan kamu, Ninda! Tolong panjang umurlah! Aku ingin menyaksikan kau lebih menderita saat kau melihat Bima, anakku, yang akan membalas semua perbuatanmu! “Aku pulang duluan, ya! Aku akan paksa Papa buat batalin rencananya pada pria itu, lalu usulin Mas Reno saja yang naik
***** “Bu Guru bilang kalau papa sebenarnya keren?” tanyaku mengulang kalimatnya barusan. Hey, kenapa aku begitu bersemangat saat dia menyebut nama bu gurunya? Eh, kenapa pula aku penasaran. Bukankah biasa saja kalaupun seorang guru memuji orang tua siswanya? Bukankah itu salah satu cara para guru untuk menanamkan rasa cinta seorang anak kepada orang tuanya? Dasar aku ini. “Iya, Pa. Bu guru pernah bilang begitu. Kata Bu guru… kata Bu guru ….” Kalimat Bima tersendat. Wajahnya bahkan kian menunduk. “Apa kata Bu gurumu?” tanyaku makin penasaran. “Maaf, Pa. Sebetulnya Bu guru meminta Bima agar menyuruh Papa pangkas rambut, cukur kumis dan jambang Papa. Katanya biar bersih. Papa sebenarnya tampan, katanya, kalau mau lebih bersih sedikit. Jadi, teman-teman Bima di sekolah, enggak akan ngejek Bima lagi, karena punya papa dekil, kotor, dan brewokan kayak gelandangan. Maafin Bu guru, Pa! Maafin Bima juga karena gak berani menyampaikan pesan Bu guru sama Papa.” Aku tercekat. Benar yang
***** “Kita berangkat sekarang, ayo, masuk mobil!” perintah Pak Alatas lalu berjalan menuju sebuah Alphard hitam, mobil miliknya. Aku menuruti perintah. Berjalan menjejeri langkah sang direktur utama. “Kamu … kamu, beneran Mas Bara yang tadi malam? Atau, tadi malam sebenarnya aku salah orang? Yang aku datangi tadi malam bukan Mas Bara yang ini, ya? Maaf, apakah tadi malam kita ada bertemu?” cecar Viona masih tak percaya. Gadis itu berjalan di sampingku. Sesekali kulirik dia karena aku juga ikut bingung dengan sikapnya. Kedua netra cantiknya tak lekang menatap wajahku. “Sebelah sini, Pak Bara!” perintah Karmin membukakan pintu samping sebelah kiri mobil mewah Pak Alatas untukku. Di kabin tengah. Sementara Pak Alatas sudah masuk dari pintu samping sebelah kanan. “Lho, saya duduk di belakang saja,” tukasku menolak. Sungguh aku merasa sangat sungkan duduk sebangku dan berada di dalam kabin yang sama dengan sang Big Bos. Jangankan untuk duduk, bernafas saja aku sangat takut b
**** “Putri Bapak?” “Ya, mereka sebaya. Awalnya juga Viona tak merespon, tapi dengan kegigihan, putriku barhasil membujuk dan mengembalikan semangat hidup Viona. Mungkin Viona merasa punya teman yang cocok, ada orang yang paham dia. Ada teman yang bisa dia jadikan sandaran. Seminggu kemudian Viona sudah mau keluar kamar, seminggu lagi mau ke sekolah dan mau kembali berinteraksi seperti biasa.” “Kasihan Mbak Viona.” “Ya, itu sebab, aku memintamu agar bisa sabar menghadapi dia. Jiwanya agak labil. Tidak seperti kita. Butuh selalu bimbingan dan arahan. Trauma yang dia alami dulu, kata psikiaternya bersifat permanen. Tidak bisa sepenuhnya hilang.” “Ya, Pak.” “Karena dia juga akhirnya aku menikahi Maya. Viona yang memaksa. Padahal Maya sebenarnya tak mau menikah lagi setelah pengalaman pernikahan keduanya. Tetapi Viona mengamuk dan kembali tidak normal bila Maya menolak. Jelas aku juga merasa tidak enak. Seorang supir, diangkat menjadi Direktur. Bagaimana perasaanmu sekarang, beg
**** “Kamu gagal, kan?” sergah Mas Reno tiba-tiba mendorong tubuhku. Rangkulanku terlepas paksa. Ini sungguh mengagetkan. Seumur hubungan terlarang kami, belum pernah sekalipun dia berbuat sekasar ini. “Mas? Kamu kenapa? Berantem sama istri kamu, ya? Kok, aku yang jadi sasarannya, sih?” protesku menatapnya bingung. “Ninda baik-baik saja, ini tidak ada hubungannya dengan istriku!” ketusnya masih dengan wajah ditekuk. Bahkan, aku bisa melihat kemarahan di sorot matanya. Dia marah kenapa? “Trus, aku salah apa?” tanyaku tak mengerti. “Kau gagal, kan, Vi? Kenapa kau gagal menghalangi laki-laki bodoh itu masuk ke perusahaan ini? Kenapa kau tak bisa memaksa papamu untuk membatalkan niatnya mengangkat gelandangan itu menjadi pendampingnya? Kenapa kau tak menghalangi keberangkatan mereka menemui client dari Jakarta itu? Kenapa kau malah terpana saat melihat laki-laki bangsat itu datang dengan penampilan barunya? Kenapa, hah, kenapa?” tanyanya bertubi-tubi. Oh, jadi itu masalahnya. Ak