*****
“Rosa, tutup mulutmu!” Bang Galih spontan mencengkram dan menghentak lengan istrinya.
“Kenapa, Bang! Bara harus tahu hal yang sebenarnya! Jangan nanti dia pikir masih ada bagiannya!” Kak Rosa berkeras.
“Tapi bukan sekarang saat yang tepat untuk memberitahu dia! Dia baru saja keluar dari penjara! Kau memang perempuan bermulut le –“
“Sudah, Bang! Cukup!” sergahku menghentikan pertengkaran mereka.
“Bara, tolong jangan salah paham! Bisa abang jelaskan, jadi begini ….”
“Tak ada yang perlu dijelaskan. Aku sudah sangat paham. Di saat aku terpuruk, kalian malah mengambil kesempatan. Tapi, sudahlah. Aku ihklas kalian menjual tanah warisan itu meski tanpa sepengetahuanku! Aku juga ihklas Abang mengambil bagianku. Setidaknya aku tak merasa berhutang budi lagi pada kalian karena telah merawat anakku selama lima tahun ini. Terima kasih, permisi!”
Kuayunkan kaki dengan langkah panjang. Bima sudah menunggu di teras.
“Bara … Bara, tunggu! Abang akan mengantar kalian pakai mobil Abang!” Bang Galih mengejarku.
“Tak usah, Bang! Bima, ayo, Nak!” Kuraih lengan kecil anakku. Segera dia kibaskan, masih saja tak mau bersahabat denganku. Biarlah, yang penting di mau ikut pergi bersamaku, meski itu karena perintah dan ancaman Kak Rosa. Selanjutnya, aku akan mengambil hatinya. Mungkin dia kecewa kenapa aku baru datang sekarang.
Matahari semakin tinggi. Sinarnya sedang terik-teriknya memanggang tubuhku dan badan kecil Bima. Jauh sudah kami berjalan meninggalkan rumah Bang Galih. Wajah dekilnya sudah basah oleh peluh. Meski begitu langkahnya masih tegap melanjutkan langkah. Tak ada keluhan apalagi protes. Hingga detik ini, aku belum juga mendengar suaranya meski sepatah. Apakah anakku tak bisa berbicara? Tuhan, hukuman apa lagi yang kau timpakan padaku ini? Tak apa, aku masih bersyukur setidaknya dia masih bernyawa.
“Kita bereteduh di sana, Nak!” titahku menunjuk sebuah warung di pinggir jalan. Kuambilkan dua buah air mineral yang dikemas dalam gelas berbahan plastik. Kusodorkan selembar uang seribuan kepada pemilik warung.
“Minum, Nak!” ucapku menyerahkan sebuah untuk Bima. Dia langsung meneguk habis, sepertinya dia benar-benar kehausan.
Hatiku kembali resah, entah ke mana dia akan kubawa sekarang. Untuk menyewa sebuah rumah kontrakan, jelas aku tak mampu. Hingga detik ini, belum juga kutemukan cara.
Tiba-tiba aku teringat kepada teman-teman yang dulu selalu mensuportku. Terutama Bang Ramli, orang yang selalu mengerti kesulitanku. Aku akan coba menghubunginya. Semoga ada jalan keluar untukku. Segera kubuka tas kain yang kubawa dari penjara tadi. Sipir sempat memberi tahu kalau semua barang miliku ada di dalamnya.
Benar saja. Ponsel jadul milikku masih ada di situ. Kuraih benda yang hanya bisa memanggil dan mengirim pesan itu, lalu kucoba aktifkan. Tak ada tanda-tanda ponsel itu menyala. Sepertinya kehabisan daya. Semoga masih bisa digunakan.
“Boleh numpang ngecas, Bang?” tanyaku kepada pemilik warung.
“Boleh, sini aku caskan!”
Lima belas menit, ponselku sudah bisa menyala. Namun kembali masalah baru melanda. Kartunya sudah lama mati. Pemilik warung menunjuk warung ponsel di seberang jalan. Aku berpikir keras. Uang pemberian sipir tadi tinggal tiga puluh sembilan ribu. Kalau kuisikan pulsa, jumlahnya akan berkurang. Tetapi, ini penting.
“Tunggu di sini sebentar!” pamitku pada Bima. Kuisi pulsa senilai sepuluh ribu, aku harus membayar dua belas ribu. Tak apa. Bukankah Bang Ramli akan memberi aku kerjaan? Begitu harapanku. Cepat-cepat aku kembali ke warung setelah pulsa terisi.
Segera kucari nomor Bang Ramli di daftar kontak, berharap dia belum ganti nomor.
“Halo, Bang, di mana posisi? Boleh bertemu?” tanyaku begitu lega saat panggilanku tersambung.
“Hey, ini … ini … Bara? Kau sudah keluar dari penjara?” Kudengar suara Bang Ramli agak tercekat. Mungkin karena kaget.
“Iya, Bang. Aku baru saja bebas. Ini, Bang, boleh kita bertemu? Aku butuh kerjaan, Bang. Masih boleh gabung, kan?” tanyaku to the point.
“Oh, kerjaan, ya …. Wah, anggota sudah cukup pula ini, Bara. Maaf, ya! Lain kali, kalau ada lowongan aku pasti kabari.”
“Begitu, ya, Bang. Tidak apa-apa. Tapi saya mau bertemu, boleh, ya, Bang! Udah lama sekali tidak ngobrol dengan Abang juga teman-teman. Kalau boleh tahu, di mana lokasi, Bang? Biar saya menyusul ke situ.”
“Waduh, lokasinya agak jauh ini, Bara! Sebaiknya tak usahlah ke sini. Kita bertemu di hari free saja, nanti aku kabari, ya! Ok, ya, Bara! Kebetulan ada material masuk, sudah dulu, ya, sampai nanti!”
Telepon ditutup.
Deg! Perasaanku langsung syak. Kurasakan sikap dan nada suara Bang Ramli sangat berubah. Bukan seperti Bang Ramli yang pernah kukenal. Kutangkap kekhwatiran dari cara bicaranya. Entah apa yang dia pikirkan. Apakah dia khawatir aku akan mengemis padanya?
Aku tak boleh berprasangka. Mungkin Bang Ramli memang sedang sibuk dan benar tak ada lowongan untukku. Masih ada harapan. Bukankah aku masih menyimpan nomor teman-teman sesama kuli bangunan dulu?
Segera kutekan nomor mereka satu persatu. Namun, kekecewan kembali kuterima. Tak satupun di antara mereka yang ramah dan hangat seperti dulu. Semuanya hanya menjawab salamku dengan basa-basi, lalu izin menutup telepon karena sedang sibuk kerja.
Tuhan, sempurna sudah hukuman ini? Tujuh tahun di dalam penjara telah aku lewati. Namun tidak sesakit ini. Apakah statusku yang mantan narapidana menjadi penyebabnya? Kenapa? Aku masuk penjara, toh mereka tahu sebabnya. Aku bukan pelaku kriminal. Iya, aku sempat melakukan tindak penganiayayaan. Tetapi itu untuk mengembalikan harga diriku yang diinjak-injak.
Apakah seorang mantan narapidana berstatus rendah di masyarakat? Aku paham. Mereka menolak menerimaku, mungkin karena takut terkena imbasnya. Ok, aku tak akan berharap pada siapapun lagi. Demi anakku Bima, aku akan bangkit. Aku pasti bisa.
**
“Bima, kamu makan!” titahku membuka sebungkus nasi campur. Hanya satu agar bisa irit. Aku bisa menahan lapar. Bima tak boleh kelaparan.
Bocah tujuh tahun itu menatapku ragu.
“Ayo, atau papa suap?” tawarku. Segera dia menggeleng, lalu buru-buru menyantap makanan yang masih panas itu. Cacing-cacing di perutku menuntut jatah, tapi kuabaikan.
Kurebahkan tubuh di atas sehelai kertas kardus. Di sini, di bawah jembatan layang ini. Tempat sementara yang terpaksa kupilih untuk berteduh malam ini. Kupejamkan netra, mencoba menahan air mata agar tak tumpah, sesak ini semakin mendera.
“Papa ….”
Aku terhenyak. Apakah aku salah dengar? Untuk pertama kalinya ada seseorang yang memanggilku dengan sebutan sakral itu. Sontak kutoleh ke arah Bima. Bola mata yang seolah hendak melompat keluar sangkin kurusnya itu tengah menatapku. Diakah yang memanggilku tadi? Artinya dia bisa bisa bicara?
“Papa, ini bagian Papa, aku sudah kenyang!” ucapnya menyodorkan separuh makanannya.
Tuhan, terima kasih, ini adalah anugerah yang luar biasa.
*****
Bersambung
**** “Bima, kau bisa bicara?” sergahku dengan suara bergetar. Dia menyipitkan kelopak mata, bingung dengan pertanyaanku. “Maaf, kau diam saja sejak bertemu papa, papa kira kau b*su, Nak,” lanjutku mengusap kepalanya. “Aku benci sama Papa. Kenapa lama sekali datangnya? Lukaku udah kering. Papa enggak enggak datang datang juga, kan?” cecarnya langsung menepis tanganku. “Luka?” tanyaku dengan dahi mengernyit. “Hem. Aku mau ngadu sama Papa. Waktu itu perutku berdarah. Kulitnya terkelupas. Sampai lukanya kering, Papa gak pulang-pulang!” “Perut kamu luka karena apa?” Bima terdiam, hanya pandangannya yang menerawang. “Boleh papa lihat, Sayang?” tanyaku mencoba meraih tubuh kurusnya tepat di bagian perut. “Jangan! Udah sembuh!” Lagi-lagi dengan gerkan cepat Bima menepis tanganku. “Aku benci sama Papa! Papa gak ada saat aku butuh Papa. Tapi, aku harus ikut Papa sekarang. Mak Tua bilang, jika Papa pulang, aku tak boleh lagi membuat dia susah. Aku harus pergi bersama Papa. Seben
“Masuk!” perempuan berbaju seronok itu melebarkan pintu. Tanpa menunggu kami masuk dia langsung menuju salah satu bilik. Sebuah ruangan yang sengaja disekat dengan karton bekas kardus.Kuedarkan pandangan ke dalam rumah. Rumah? Apakah pantas ini disebut rumah? Gubuk, itu lebih tepatnya. Bangunan berukuran kira-kira lima kali sepuluh meter itu berdinding papan yang sudah keropos, berlantai tanah, dan beratap seng yang sudah lapuk. Bahkan bias cahaya bintang mampu menerobos ke dalam rumah, pertanda atap itu sudah bocor di mana mana.Di dalam sana ada tiga bilik yang semuanya hanya berdinding karton bekas kardus. Tak tega rasanya menempatkan Bima tinggal di tempat sekumuh ini. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Daripada terlunta-lunta di jalanan, berlindung di gubuk ini masih jauh lebih baik.Begini rasanya menjadi orang yang terbuang. Seperti gelandangan yang tak punya sanak keluarga. Percuma punya sanak saudara. Mereka mlu punya saudara seperti aku yang mantan narapidana. Arrrrgh
Tidak, aku harus mencari pekerjaan lain yang lebih terhormat. Aku memutuskan.“Ikut enggak? Kami mau berangkat ini. Kalau ikut, ayo! Kamu boleh pinjam pakaian saya. Kata Asri baju-baju kalian dicuri orang, ya?” Pria yang bernama Harjo menawarkan jasa.“Tidak dulu, Bang. Aku akan coba cari kerjaan lain dulu,” jawabku tetap sopan.“Baiklah. Semoga dapat, ya! Kami berangkat duluan.”Aku mengangguk. Segera aku bangkit menuju kamar mandi. Aku harus membersihkan diri dan terlihat rapi untuk mencari pekerjaan nanti.“Pa, Bima mau sekolah hari ini. Udah seminggu enggak diijinin sekolah oleh Mak Tua. Katanya karena Bima sakit, padahal enggak,” tutur Bima menyusulku ke kamar mandi.“Iya, nanti Papa antar ke sekolah kamu, ayo sekalian mandi!”Buru-buru kami menyiapkan diri. Beruntung tas sekolah Bima tidak ikut dilarikan pencuri tadi malam. Seragam sekolah dan buku Bima ada di dalam. Setelah pamit kepada Bu Hindun, kami langsung pergi. Asri sepertinya juga sudaah pergi, entah ke mana. Mungkin
“Kamu?” Ninda menatapku tak percaya. Kedua bola mata bagus itu membola.Cantik, perempuan ini terlihat makin cantik saja. Penampilannya bak wanita sosialita. Tak kalah dengan para istri konglomerat. Busana mewah, perhiasan mahal, parfum berkelas dan cara bicara yang arogant. Dia istriku, dulu. Sekarang sudah tak ada rasa. Yang ada hanya sakit hati yang masih meradang di dalam dada. Bukan karena masih cinta, tetapi karena pengkhianatannya membuatku terjerat di dalam penjara dan tercampak pada kehidupan yang begini sakitnya.“Abang udah keluar dari penjara?” tanyanya sambil menepis-nepis ujung gaun mewahnya bekas kutabrak tadi. Sepertinya dia begitu jijik karena sempat bersentuhan dengan pakaianku yang lusuh, kumal, dan kwalitas rendah.“Selamat ya! Em, anak Abang apa kabar? Eh, tapi ngapain Abang di sini? Ini sekolah mahal, lho. Sekolah untuk anak-anak orang terkaya dan terpandang di kota ini. Khusus untuk anak-anak kelas atas. Gak mungkin, kan, abang menyekolahkan anak abang di sini
****Aku terpana, begini wujud perempuan bersuara lembut itu rupanya. Cantik, anggun, tenang, dan begitu mempesona. Kukira selama ini, Ninda adalah perempuan paling cantik. Ternyata, Ninda justru tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita ini. Dan aku telah membuatnya tersinggung.“Saya minta maaf, saya tidak tau kalau itu pemberian dari Bu Guru. Saya pikir dari orang asing. Sekali lagi, maaf!” ucapku penuh penyesalan.“Baik, Pak. Tolong simpan nomor saya, ya. Kalau ada apa-apa dengan Bima, Bapak telpon saja saya! Kalau begitu, saya duluan, ya! Bima, jangan lupa pe-er nya, ya, Sayang! Sampai jumpa besok, daaah!”Wanita itu membelai kepala Bima sekali lagi, lalu berjalan ke sebuah mobil yang terparikir tak jauh dari situ. *Pagi ini Bima bangun dengan penuh semangat. Sepertinya dia sangat menyukai sekolah barunya. Atau Bu Guru barunya, entahlah. Tak ada rasa minder terbaca di wajahnya. Aku masih meringkuk di bilik kardus yang sudah dibuatkan oleh ayah Asri untuk kamar kami
****“Jadi, Abang mau pulangin sertifikat itu?” tanya Asri menyerahkan semangkuk bubur nasi kepadaku.“Iya,” sahutku langsung menyendokkan makanan berair itu ke mulutku. Tak ada rasa, hanya segenggam beras dimasak dengan air yang banyak lalu dibubuhi sedikit garam. Lumayan, bisa untuk mengganjal perut hingga siang.“Ini bekal makan siang kamu, Bima.” Asri sudah mengisi sebuah wadah bertutup yang terbuat dari bahan plastik.“Bik, ada wadah lain, enggak?” Bima melirikku seperti menahan rasa takut. Itu karena aku melarangnya untuk protes apapun yang diberikan Asri padanya.“Kenapa dengan wadah itu?” Benar saja, plototan mataku langsung terarah padanya.“Eeem, enggak apa-apa, Pa.” Bima langsung menunduk. Sedikitpun aku tak menyangka kalau perkara wadah itu akan menjadi penyebab masalah besar di sekolahnya kemudian.*“Rajin belajar! Patuh kepada Ibu Guru!” titahku, kuusap kepala Bima sekali lagi sebelum dia masuk ke sekolahnya. “Siap, Pa!” ucapnya meletakkan tangan di pelipis, lal
****“Sudah, Pak. Bahkan saya dan semua orang di rumah ikut mencarinya. Tapi, kami tidak menemukannya, Pak.” Salah satu pria yang mengiring di belakangnya menjawab. Mereka mungkin anak buahnya.“Hancur kita kalau benar dokumen itu hilang. Itu satu-satunya bukti kepemilikan perusahaan. Para pemegang saham akan ragu untuk berinvestasi, bahkan dana yang sudah mereka setor akan mereka tarik kembali, jika aku tak bisa menunjukkan sertifikat asli itu! Aku yakin aku sudah membawanya, aku menaruhnya di dalam tas kerja, lalu kusimpan di lemari cabinet di ruanganku. Tak mungkin aku khilaf!” Pria itu terlihat sangat tegang dan gelisah.Tak ada sahutan. Mereka berhenti di depan sebuah mobil yang terlihat paling mewah. Sebuah Alphard berwarna hitam. Salah seorang langsung mengambil posisi di belakang stir, dan seorang lagi membuka pintu mobil buat pria berjas itu.“Ke mana, Pak?” Yang di belakang stir bertanya.“Menemui Dokter Frans. Aku harus diberi suntikan. Kepalaku rasanya mau pecah! Dadak
****Emosiku mengacaukan akal sehatku. Aku akan meremas mulut perempuan sial itu. Namun, langkahku terhenti demi melihat seorang ibu guru yang langsung bertindak melindungi Bima. Wanita cantik bersahaja, Bu Guru Asya.“Cukup, Bu! Ibu menyakiti dia!” katanya memeluk Bima seraya melepas tangan Ninda dari telinga anakku. Bu Guru Asya mengusap usap kepala Bima dengan penuh kasih sayang. “Eee … eeh! Kamu! Kamu dipecat! Berani kamu melawan saya, ya! Kamu adalah guru pertama yang akan dipecat! Sebentar, aku akan telpon suamiku agar dia lapor sama atasannya, pemilik sekolah ini! Awas kau! Detik ini juga kau akan kehilangan pekerjaanmu!” ancam Ninda seraya mengeluarkan ponsel dari tasnya.“Tolong tenang, dulu, Bu Ninda! Jangan emosi. Kita bicarakan ini baik-baik! Orang tua anak ini juga sudah dalam perjalanan ke sini! Tolong Ibu bersabar, ya! Toh, Steven sudah kita tangani. Darahnya hanya sedikit, kok. Dia baik-baik saja.” Seorang guru laki-laki berusaha menenangkan Ninda.“Bapak juga kep