Share

Bab 6. Terlunta-lunta di Jalanan

*****

“Rosa, tutup mulutmu!” Bang Galih spontan mencengkram dan menghentak lengan istrinya.

“Kenapa, Bang! Bara harus tahu hal yang sebenarnya! Jangan nanti dia pikir masih ada bagiannya!” Kak Rosa berkeras.

“Tapi bukan sekarang saat yang tepat untuk memberitahu dia! Dia baru saja keluar dari penjara! Kau memang perempuan bermulut le –“

“Sudah, Bang! Cukup!” sergahku menghentikan pertengkaran mereka. 

“Bara, tolong jangan salah paham! Bisa abang jelaskan, jadi begini ….”

“Tak ada yang perlu dijelaskan. Aku sudah sangat paham. Di saat aku terpuruk, kalian malah mengambil kesempatan. Tapi, sudahlah. Aku ihklas kalian menjual tanah warisan itu meski tanpa sepengetahuanku! Aku juga ihklas Abang mengambil bagianku. Setidaknya aku tak merasa  berhutang budi lagi pada kalian karena telah merawat anakku selama lima tahun ini.  Terima kasih, permisi!”

Kuayunkan kaki dengan langkah panjang. Bima sudah menunggu di teras.

“Bara … Bara, tunggu! Abang akan mengantar kalian pakai mobil Abang!” Bang Galih mengejarku.

“Tak usah, Bang! Bima, ayo, Nak!” Kuraih lengan kecil anakku. Segera dia kibaskan, masih saja tak  mau bersahabat denganku. Biarlah, yang penting di mau ikut pergi bersamaku, meski itu karena perintah dan ancaman Kak Rosa. Selanjutnya, aku akan mengambil hatinya. Mungkin dia kecewa kenapa aku baru datang sekarang.

Matahari semakin tinggi. Sinarnya sedang terik-teriknya memanggang tubuhku dan badan kecil Bima. Jauh sudah kami berjalan meninggalkan rumah Bang Galih.  Wajah dekilnya sudah basah oleh peluh. Meski begitu langkahnya masih tegap melanjutkan langkah. Tak ada keluhan apalagi protes. Hingga detik ini, aku belum juga mendengar suaranya meski sepatah. Apakah anakku tak bisa berbicara? Tuhan, hukuman apa lagi  yang kau timpakan padaku ini? Tak apa, aku masih bersyukur setidaknya dia masih bernyawa.

“Kita bereteduh di sana, Nak!” titahku menunjuk sebuah warung di pinggir jalan. Kuambilkan dua buah air mineral yang dikemas dalam gelas berbahan plastik.  Kusodorkan selembar uang seribuan kepada pemilik warung.

“Minum, Nak!” ucapku menyerahkan sebuah untuk Bima. Dia langsung meneguk habis, sepertinya dia  benar-benar kehausan.

Hatiku kembali resah, entah ke mana dia akan kubawa sekarang. Untuk menyewa sebuah rumah kontrakan, jelas aku tak mampu. Hingga detik ini, belum juga kutemukan cara.

Tiba-tiba aku teringat kepada teman-teman yang dulu selalu mensuportku. Terutama Bang Ramli, orang yang selalu mengerti kesulitanku. Aku akan coba menghubunginya. Semoga ada jalan keluar untukku.  Segera kubuka tas kain yang kubawa dari penjara tadi. Sipir sempat memberi tahu kalau semua barang miliku ada di dalamnya.

Benar saja. Ponsel jadul milikku masih ada di situ. Kuraih benda yang hanya bisa memanggil dan mengirim pesan itu, lalu kucoba aktifkan. Tak ada tanda-tanda ponsel itu menyala. Sepertinya kehabisan daya. Semoga masih bisa digunakan.

“Boleh numpang ngecas, Bang?” tanyaku kepada pemilik warung.

“Boleh, sini aku caskan!”

Lima belas menit, ponselku sudah bisa menyala. Namun kembali masalah baru melanda. Kartunya sudah lama mati. Pemilik warung menunjuk warung ponsel di seberang jalan. Aku berpikir keras. Uang pemberian sipir tadi tinggal tiga puluh sembilan ribu. Kalau kuisikan pulsa, jumlahnya akan berkurang. Tetapi, ini penting.

“Tunggu di sini sebentar!” pamitku pada Bima.  Kuisi pulsa senilai sepuluh ribu, aku harus membayar dua belas ribu. Tak apa. Bukankah Bang Ramli akan memberi aku kerjaan? Begitu harapanku. Cepat-cepat aku kembali ke warung setelah pulsa terisi.

Segera kucari nomor Bang Ramli di daftar kontak, berharap dia belum ganti nomor.

“Halo, Bang, di mana posisi? Boleh bertemu?” tanyaku begitu lega  saat panggilanku tersambung.

“Hey, ini … ini … Bara? Kau sudah keluar dari penjara?” Kudengar suara Bang Ramli agak tercekat. Mungkin karena kaget.

“Iya, Bang. Aku baru saja bebas. Ini, Bang, boleh kita bertemu? Aku butuh kerjaan, Bang. Masih boleh gabung, kan?” tanyaku to the point.

“Oh, kerjaan, ya …. Wah, anggota sudah cukup pula ini, Bara. Maaf, ya! Lain kali, kalau ada lowongan aku pasti kabari.”

“Begitu, ya, Bang. Tidak apa-apa. Tapi saya mau bertemu, boleh, ya, Bang! Udah lama sekali tidak ngobrol dengan Abang juga teman-teman. Kalau boleh tahu, di mana lokasi, Bang? Biar saya menyusul ke situ.”

“Waduh, lokasinya agak jauh ini, Bara! Sebaiknya tak usahlah ke sini. Kita bertemu di hari free saja, nanti aku kabari, ya! Ok, ya, Bara! Kebetulan ada material masuk, sudah dulu, ya, sampai nanti!”

Telepon ditutup.

Deg! Perasaanku langsung syak. Kurasakan sikap dan nada suara Bang Ramli sangat berubah. Bukan seperti Bang Ramli yang pernah kukenal. Kutangkap kekhwatiran dari cara bicaranya. Entah apa yang dia pikirkan. Apakah dia khawatir aku akan mengemis padanya?

Aku tak boleh berprasangka. Mungkin  Bang Ramli memang sedang  sibuk dan benar tak ada  lowongan untukku.  Masih ada harapan. Bukankah aku masih menyimpan nomor teman-teman sesama kuli bangunan dulu?

Segera kutekan nomor mereka satu persatu. Namun, kekecewan kembali  kuterima. Tak satupun di antara mereka  yang  ramah dan hangat seperti dulu. Semuanya hanya menjawab salamku dengan basa-basi, lalu izin menutup telepon karena sedang sibuk kerja.

Tuhan, sempurna sudah hukuman ini? Tujuh tahun di dalam penjara telah aku lewati. Namun tidak sesakit ini. Apakah statusku yang mantan narapidana menjadi penyebabnya? Kenapa? Aku masuk penjara, toh mereka tahu sebabnya. Aku bukan pelaku kriminal. Iya, aku sempat melakukan tindak penganiayayaan. Tetapi itu untuk mengembalikan harga diriku yang diinjak-injak.

Apakah seorang mantan narapidana  berstatus rendah di masyarakat? Aku paham. Mereka menolak menerimaku, mungkin karena  takut terkena imbasnya. Ok, aku tak akan berharap pada siapapun lagi. Demi anakku Bima, aku akan bangkit. Aku pasti bisa.

**

“Bima, kamu makan!” titahku membuka sebungkus nasi campur.  Hanya satu agar bisa irit. Aku bisa menahan lapar. Bima tak boleh kelaparan.

Bocah tujuh tahun itu menatapku ragu.

“Ayo, atau papa suap?” tawarku. Segera dia menggeleng, lalu buru-buru menyantap makanan yang masih panas itu. Cacing-cacing di perutku menuntut jatah, tapi kuabaikan.

Kurebahkan tubuh di atas sehelai kertas kardus. Di sini, di bawah jembatan layang ini. Tempat sementara yang terpaksa kupilih untuk berteduh malam ini. Kupejamkan netra, mencoba menahan air mata agar tak tumpah, sesak  ini semakin mendera.

“Papa ….”

Aku terhenyak. Apakah aku salah dengar? Untuk pertama kalinya ada seseorang yang memanggilku dengan sebutan sakral itu. Sontak kutoleh ke arah Bima. Bola mata yang seolah hendak  melompat keluar sangkin kurusnya itu tengah menatapku. Diakah yang memanggilku tadi? Artinya dia bisa bisa bicara?

“Papa, ini bagian Papa, aku sudah kenyang!” ucapnya menyodorkan separuh makanannya.

Tuhan, terima kasih, ini adalah anugerah yang luar biasa.

*****

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status