Share

Bab 7. WTS Penolong

****

“Bima, kau bisa bicara?” sergahku dengan suara bergetar. Dia menyipitkan kelopak mata, bingung dengan pertanyaanku.

“Maaf, kau diam saja sejak bertemu papa, papa kira kau b*su, Nak,” lanjutku mengusap kepalanya.

“Aku benci sama Papa. Kenapa lama sekali datangnya? Lukaku udah kering. Papa enggak enggak datang datang juga, kan?” cecarnya langsung menepis  tanganku.

“Luka?” tanyaku dengan dahi mengernyit.

“Hem. Aku mau ngadu sama Papa. Waktu itu  perutku berdarah. Kulitnya terkelupas.  Sampai lukanya kering, Papa gak pulang-pulang!”

“Perut kamu luka karena apa?”

Bima terdiam, hanya pandangannya yang menerawang.

“Boleh papa lihat, Sayang?” tanyaku  mencoba meraih tubuh kurusnya tepat di bagian perut.

“Jangan! Udah sembuh!”  Lagi-lagi dengan gerkan cepat Bima menepis tanganku. 

“Aku  benci sama Papa! Papa gak ada saat aku butuh Papa. Tapi, aku harus ikut Papa sekarang. Mak Tua bilang, jika Papa pulang, aku tak boleh lagi membuat dia susah. Aku harus pergi bersama Papa. Sebenarnya,  aku juga tidak mau ikut Papa. Nanti, kalau aku sudah kerja, aku akan pergi. Aku tidak akan menyusahkan siapapun lagi.”

“Bima?” Suaraku tertahan. Kalimat yang meluncur deras dari mulut anakku sungguh mengagetkan.

“Kenapa kita di sini? Kenapa tidak ke rumah Papa?”  cecarnya lagi. Aku bingung harus menjawab apa?

“Papa tidak punya rumah? Papa orang miskin? Seperti yang selalu dikatakan oleh Mak Tua? Baiklah, tinggal di sini juga tak apa. Ini lebih baik daripada di rumah Mak Tua. Aku mau kenc*ng, di mana kamar mandinya?” Dia mengedarkan pandangan.

“Kenc*ng di sana saja!”  Jariku menunjuk ke arah serumpun tanaman hias di dekat trotoar.

“Tidak ada kamar mandi, ya. Baiklah! Benar kata Mak Tua, Papa memang miskin!”  sungutnya lalu bangkit dan berjalan ke arah yang kutunjuk. Tak jauh, dia lalu membuang hajatnya di sana. Aku hanya mampu mengehela napas panjang. Aku harus bisa membuktikan pada Bima, bahwa aku bukan seorang papa pecundang. Aku akan bahagiakan dia.

**

Malam mulai larut, Bima sudah terlelap di sampingku. Kuselimuti tubuh kurus itu dengan sehelai sarung kumal. Satu-satunya kain sarung yang aku punya selama di penjara. Kupeluk tubuhnya perlahan, mencoba menghalangi hawa dingin yang mulai terasa menusuk tulang. Entah di menit ke berapa, akupun ikut terlelap.

“Ada petugas! Ada petugas! Lari! Cepat lari!” Suara teriakan itu mengagetkanku. Derap kaki berlarian terdengar riuh. Suasana yang tadi cukup lengang  berubah panik.

Aku sontak terduduk. Namun, hanya bengong tak berbuat apa-apa karena tak paham apa yang terjadi.

“Ayo, lari! Mau diangkut petugas, heh!” Seseorang menghentikan larinya, lalu melangkah mundur ke arahku. “Ayo, kenapa bengong! Kalian orang baru, ya?” tanyanya terlihat jengkel. Aku masih kebingungan. Entah apa maksudnya. Seorang laki-laki dewasa, temaram lampu jalanan membuatku kesulitan menerka usianya.

“Gendong anakmu! Ikuti aku, cepat!” perintahnya lalu meraih tas kain milikku.

Aku ikuti perintah itu, kugendong Bima lalu kusambar tas sekolah yang terletak di sebelah kepalanya. Aku berlari mengikuti gerakannya. Aku jauh ketinggalan, bobot tubuh Bima di dalam gendongan membuatku agak kesulitan. Hingga akhirnya aku kehilangan jejak. Entah ke mana perginya pria tadi.

Beberapa orang yang tadi berlarian bersembunyi di balik sebuah gedung. Aku ikut membaur bersama mereka.  Bima menggeliat di dalam gendonganku, lalu merosotkan tubuhnya.

“Kenapa kita lari dan sembunyi, Pa?” tanyanya mengucek mata.

“Sssst!” Seorang wanita meletkkan jari di bibirnya, memerintahkan anakku agar tak bersuara. 

Suara sepatu petugas terdengar berlarian  di balik gedung. Tak lama kemudian, hening. Mereka telah pergi.

“Aman! Petugas si*lan! Ganggu orang tidur saja!” Wanita yang di sampingku menggerutu. Yang lain mulai bubar. Mataku meneliti mereka satu per satu. Entah yang mana tadi menolong membawakan tas pakaianku.

Minimnya cahaya lampu jalan membuatku kesulitan, aku benar-benar telah kehilangan. Otakku segera berpikir kers. Pri tadi benar mau menolongku atau malah nyolong? Astaga! Aku benar-benar tertipu!  Bahkan di saat aku dilanda kesulitan parah seperti inuipun masih  saja ada orang tega mencuri dan menambah deritaku.

“Gawat, pakaian kita hilang semua, Bima!” keluhku menyenderkan tubuh di dinding gedung.

“Apa? Tas kita hilang?” Bima menatapku bingung.

“Hem. Kamu tunggu di sini, papa akan mencari pencuri tengik itu! Jangan ke mana-mana, dia pasti masih di sekitar sini.”  Tanpa menunggu jawaban, aku bergegas pergi. Satu persatu para tuna wisma itu kuperiksa. Semua tentengan mereka kuteliti. Itu membuat beberapa di antara mereka emosi. Bahkan dua tiga orang memaki, karena menganggap aku lancang.

Bahkan saat kujelaskan masalah yang tengah kuhadapi, mereka hanya tersenyum kecut.  Tak ada yang simpati, mereka justru menyalahkanku karena tak hati-hati.

Gontai aku kembali ke tempat Bima menunggu. Tempat itu sudah sepi, semua sudah pergi. Semoga Bima tidak ketakutan sendiri di sana. Setengah berlari aku menyusulnya.

Kuhela nafas lega. Dia masih di sana. Seseorang menemaninya. Kupercepat lariku.

“Bima!” panggilku dengan nafas memburu.

“Ketemu pencurinya?” Seseorang yang bersamanya menoleh ke arahku. Seorang wanita rupanya. Aroma parfum murahan menguar dari tubuhnya.  Baju kurang bahan yang dia kenakan, membuat siapa saja pasti paham apa profesinya. Kecuali Bima tentu saja.

“Tidak. Terima kasih sudah menemani anak saya, permisi! Ayo, Bima!” ucapku menarik lengan anak itu. Meski aku bingung, entah ke mana aku akan membawanya sekarang.

“Hey! Mau ke mana? Ini kota besar, Bung! Barusan barang Abang yang hilang! Sebentar lagi, bisa saja anak Abang yang diculik orang! Untung aku mau jagain! Orang tua, kok, teledor banget, sih!”

Sontak aku menoleh. Perempuan itu mencibir.  Jelas kilihat bibirnya yang bergincu tebal itu terangkat sebelah.

“Jaga ucapan kamu!” sergahku mendelik tajam.

“Kenapa? Abang tersinggung? Benar aku, kan?  Abang itu teledor!  Tapi sudahlah! Bukan urusanku juga!” ketusnya lalu melenggang pergi sambil melmbai-lambaikan tas sandangnya sambil berjalan.

“Eh, tapi aku kok , gak tega, ya, sama anak Abang? Aku ingat anakku. Kalau dia masih hidup, kayaknya seumuran anak Abang itu, deh!”  Perempuan itu membalikkan badan.

Aku tak peduli. Kuajak Bima terus berjalan.

“Eh, kalian mau ke mana? Kalian gak punya tempat tinggal, kan? Hatiku teriris saat tadi mendengar cerita anak Abang itu! Begini saja, Abang ikut aku! Kebetulan rumah yang kami sewa itu agak lapang! Rumah jelek, sih, tapi lumayan! Maklum rumah para pemulung. Masih bisa disekat  satu kamar lagi untuk kalian! Tapi, ya, itu, bayar sewanya urunan! Mau enggak?”

Kuhentikan langkah. Tawarannya cukup menggiurkan. Menyewa rumah bersama-sama, membayar secara urunan, bukankah itu artinya sewa rumah akan jauh lebih murah. 

“Ayo, ikut!” perintahnya, tak lagi menanyakan jawabanku.

Kuikuti meski masih  ragu,  aku tak punya pilihan lain sekarang.

****

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status