****
“Bima, kau bisa bicara?” sergahku dengan suara bergetar. Dia menyipitkan kelopak mata, bingung dengan pertanyaanku.
“Maaf, kau diam saja sejak bertemu papa, papa kira kau b*su, Nak,” lanjutku mengusap kepalanya.
“Aku benci sama Papa. Kenapa lama sekali datangnya? Lukaku udah kering. Papa enggak enggak datang datang juga, kan?” cecarnya langsung menepis tanganku.
“Luka?” tanyaku dengan dahi mengernyit.
“Hem. Aku mau ngadu sama Papa. Waktu itu perutku berdarah. Kulitnya terkelupas. Sampai lukanya kering, Papa gak pulang-pulang!”
“Perut kamu luka karena apa?”
Bima terdiam, hanya pandangannya yang menerawang.
“Boleh papa lihat, Sayang?” tanyaku mencoba meraih tubuh kurusnya tepat di bagian perut.
“Jangan! Udah sembuh!” Lagi-lagi dengan gerkan cepat Bima menepis tanganku.
“Aku benci sama Papa! Papa gak ada saat aku butuh Papa. Tapi, aku harus ikut Papa sekarang. Mak Tua bilang, jika Papa pulang, aku tak boleh lagi membuat dia susah. Aku harus pergi bersama Papa. Sebenarnya, aku juga tidak mau ikut Papa. Nanti, kalau aku sudah kerja, aku akan pergi. Aku tidak akan menyusahkan siapapun lagi.”
“Bima?” Suaraku tertahan. Kalimat yang meluncur deras dari mulut anakku sungguh mengagetkan.
“Kenapa kita di sini? Kenapa tidak ke rumah Papa?” cecarnya lagi. Aku bingung harus menjawab apa?
“Papa tidak punya rumah? Papa orang miskin? Seperti yang selalu dikatakan oleh Mak Tua? Baiklah, tinggal di sini juga tak apa. Ini lebih baik daripada di rumah Mak Tua. Aku mau kenc*ng, di mana kamar mandinya?” Dia mengedarkan pandangan.
“Kenc*ng di sana saja!” Jariku menunjuk ke arah serumpun tanaman hias di dekat trotoar.
“Tidak ada kamar mandi, ya. Baiklah! Benar kata Mak Tua, Papa memang miskin!” sungutnya lalu bangkit dan berjalan ke arah yang kutunjuk. Tak jauh, dia lalu membuang hajatnya di sana. Aku hanya mampu mengehela napas panjang. Aku harus bisa membuktikan pada Bima, bahwa aku bukan seorang papa pecundang. Aku akan bahagiakan dia.
**
Malam mulai larut, Bima sudah terlelap di sampingku. Kuselimuti tubuh kurus itu dengan sehelai sarung kumal. Satu-satunya kain sarung yang aku punya selama di penjara. Kupeluk tubuhnya perlahan, mencoba menghalangi hawa dingin yang mulai terasa menusuk tulang. Entah di menit ke berapa, akupun ikut terlelap.
“Ada petugas! Ada petugas! Lari! Cepat lari!” Suara teriakan itu mengagetkanku. Derap kaki berlarian terdengar riuh. Suasana yang tadi cukup lengang berubah panik.
Aku sontak terduduk. Namun, hanya bengong tak berbuat apa-apa karena tak paham apa yang terjadi.
“Ayo, lari! Mau diangkut petugas, heh!” Seseorang menghentikan larinya, lalu melangkah mundur ke arahku. “Ayo, kenapa bengong! Kalian orang baru, ya?” tanyanya terlihat jengkel. Aku masih kebingungan. Entah apa maksudnya. Seorang laki-laki dewasa, temaram lampu jalanan membuatku kesulitan menerka usianya.
“Gendong anakmu! Ikuti aku, cepat!” perintahnya lalu meraih tas kain milikku.
Aku ikuti perintah itu, kugendong Bima lalu kusambar tas sekolah yang terletak di sebelah kepalanya. Aku berlari mengikuti gerakannya. Aku jauh ketinggalan, bobot tubuh Bima di dalam gendongan membuatku agak kesulitan. Hingga akhirnya aku kehilangan jejak. Entah ke mana perginya pria tadi.
Beberapa orang yang tadi berlarian bersembunyi di balik sebuah gedung. Aku ikut membaur bersama mereka. Bima menggeliat di dalam gendonganku, lalu merosotkan tubuhnya.
“Kenapa kita lari dan sembunyi, Pa?” tanyanya mengucek mata.
“Sssst!” Seorang wanita meletkkan jari di bibirnya, memerintahkan anakku agar tak bersuara.
Suara sepatu petugas terdengar berlarian di balik gedung. Tak lama kemudian, hening. Mereka telah pergi.
“Aman! Petugas si*lan! Ganggu orang tidur saja!” Wanita yang di sampingku menggerutu. Yang lain mulai bubar. Mataku meneliti mereka satu per satu. Entah yang mana tadi menolong membawakan tas pakaianku.
Minimnya cahaya lampu jalan membuatku kesulitan, aku benar-benar telah kehilangan. Otakku segera berpikir kers. Pri tadi benar mau menolongku atau malah nyolong? Astaga! Aku benar-benar tertipu! Bahkan di saat aku dilanda kesulitan parah seperti inuipun masih saja ada orang tega mencuri dan menambah deritaku.
“Gawat, pakaian kita hilang semua, Bima!” keluhku menyenderkan tubuh di dinding gedung.
“Apa? Tas kita hilang?” Bima menatapku bingung.
“Hem. Kamu tunggu di sini, papa akan mencari pencuri tengik itu! Jangan ke mana-mana, dia pasti masih di sekitar sini.” Tanpa menunggu jawaban, aku bergegas pergi. Satu persatu para tuna wisma itu kuperiksa. Semua tentengan mereka kuteliti. Itu membuat beberapa di antara mereka emosi. Bahkan dua tiga orang memaki, karena menganggap aku lancang.
Bahkan saat kujelaskan masalah yang tengah kuhadapi, mereka hanya tersenyum kecut. Tak ada yang simpati, mereka justru menyalahkanku karena tak hati-hati.
Gontai aku kembali ke tempat Bima menunggu. Tempat itu sudah sepi, semua sudah pergi. Semoga Bima tidak ketakutan sendiri di sana. Setengah berlari aku menyusulnya.
Kuhela nafas lega. Dia masih di sana. Seseorang menemaninya. Kupercepat lariku.
“Bima!” panggilku dengan nafas memburu.
“Ketemu pencurinya?” Seseorang yang bersamanya menoleh ke arahku. Seorang wanita rupanya. Aroma parfum murahan menguar dari tubuhnya. Baju kurang bahan yang dia kenakan, membuat siapa saja pasti paham apa profesinya. Kecuali Bima tentu saja.
“Tidak. Terima kasih sudah menemani anak saya, permisi! Ayo, Bima!” ucapku menarik lengan anak itu. Meski aku bingung, entah ke mana aku akan membawanya sekarang.
“Hey! Mau ke mana? Ini kota besar, Bung! Barusan barang Abang yang hilang! Sebentar lagi, bisa saja anak Abang yang diculik orang! Untung aku mau jagain! Orang tua, kok, teledor banget, sih!”
Sontak aku menoleh. Perempuan itu mencibir. Jelas kilihat bibirnya yang bergincu tebal itu terangkat sebelah.
“Jaga ucapan kamu!” sergahku mendelik tajam.
“Kenapa? Abang tersinggung? Benar aku, kan? Abang itu teledor! Tapi sudahlah! Bukan urusanku juga!” ketusnya lalu melenggang pergi sambil melmbai-lambaikan tas sandangnya sambil berjalan.
“Eh, tapi aku kok , gak tega, ya, sama anak Abang? Aku ingat anakku. Kalau dia masih hidup, kayaknya seumuran anak Abang itu, deh!” Perempuan itu membalikkan badan.
Aku tak peduli. Kuajak Bima terus berjalan.
“Eh, kalian mau ke mana? Kalian gak punya tempat tinggal, kan? Hatiku teriris saat tadi mendengar cerita anak Abang itu! Begini saja, Abang ikut aku! Kebetulan rumah yang kami sewa itu agak lapang! Rumah jelek, sih, tapi lumayan! Maklum rumah para pemulung. Masih bisa disekat satu kamar lagi untuk kalian! Tapi, ya, itu, bayar sewanya urunan! Mau enggak?”
Kuhentikan langkah. Tawarannya cukup menggiurkan. Menyewa rumah bersama-sama, membayar secara urunan, bukankah itu artinya sewa rumah akan jauh lebih murah.
“Ayo, ikut!” perintahnya, tak lagi menanyakan jawabanku.
Kuikuti meski masih ragu, aku tak punya pilihan lain sekarang.
****
Bersambung
“Masuk!” perempuan berbaju seronok itu melebarkan pintu. Tanpa menunggu kami masuk dia langsung menuju salah satu bilik. Sebuah ruangan yang sengaja disekat dengan karton bekas kardus.Kuedarkan pandangan ke dalam rumah. Rumah? Apakah pantas ini disebut rumah? Gubuk, itu lebih tepatnya. Bangunan berukuran kira-kira lima kali sepuluh meter itu berdinding papan yang sudah keropos, berlantai tanah, dan beratap seng yang sudah lapuk. Bahkan bias cahaya bintang mampu menerobos ke dalam rumah, pertanda atap itu sudah bocor di mana mana.Di dalam sana ada tiga bilik yang semuanya hanya berdinding karton bekas kardus. Tak tega rasanya menempatkan Bima tinggal di tempat sekumuh ini. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Daripada terlunta-lunta di jalanan, berlindung di gubuk ini masih jauh lebih baik.Begini rasanya menjadi orang yang terbuang. Seperti gelandangan yang tak punya sanak keluarga. Percuma punya sanak saudara. Mereka mlu punya saudara seperti aku yang mantan narapidana. Arrrrgh
Tidak, aku harus mencari pekerjaan lain yang lebih terhormat. Aku memutuskan.“Ikut enggak? Kami mau berangkat ini. Kalau ikut, ayo! Kamu boleh pinjam pakaian saya. Kata Asri baju-baju kalian dicuri orang, ya?” Pria yang bernama Harjo menawarkan jasa.“Tidak dulu, Bang. Aku akan coba cari kerjaan lain dulu,” jawabku tetap sopan.“Baiklah. Semoga dapat, ya! Kami berangkat duluan.”Aku mengangguk. Segera aku bangkit menuju kamar mandi. Aku harus membersihkan diri dan terlihat rapi untuk mencari pekerjaan nanti.“Pa, Bima mau sekolah hari ini. Udah seminggu enggak diijinin sekolah oleh Mak Tua. Katanya karena Bima sakit, padahal enggak,” tutur Bima menyusulku ke kamar mandi.“Iya, nanti Papa antar ke sekolah kamu, ayo sekalian mandi!”Buru-buru kami menyiapkan diri. Beruntung tas sekolah Bima tidak ikut dilarikan pencuri tadi malam. Seragam sekolah dan buku Bima ada di dalam. Setelah pamit kepada Bu Hindun, kami langsung pergi. Asri sepertinya juga sudaah pergi, entah ke mana. Mungkin
“Kamu?” Ninda menatapku tak percaya. Kedua bola mata bagus itu membola.Cantik, perempuan ini terlihat makin cantik saja. Penampilannya bak wanita sosialita. Tak kalah dengan para istri konglomerat. Busana mewah, perhiasan mahal, parfum berkelas dan cara bicara yang arogant. Dia istriku, dulu. Sekarang sudah tak ada rasa. Yang ada hanya sakit hati yang masih meradang di dalam dada. Bukan karena masih cinta, tetapi karena pengkhianatannya membuatku terjerat di dalam penjara dan tercampak pada kehidupan yang begini sakitnya.“Abang udah keluar dari penjara?” tanyanya sambil menepis-nepis ujung gaun mewahnya bekas kutabrak tadi. Sepertinya dia begitu jijik karena sempat bersentuhan dengan pakaianku yang lusuh, kumal, dan kwalitas rendah.“Selamat ya! Em, anak Abang apa kabar? Eh, tapi ngapain Abang di sini? Ini sekolah mahal, lho. Sekolah untuk anak-anak orang terkaya dan terpandang di kota ini. Khusus untuk anak-anak kelas atas. Gak mungkin, kan, abang menyekolahkan anak abang di sini
****Aku terpana, begini wujud perempuan bersuara lembut itu rupanya. Cantik, anggun, tenang, dan begitu mempesona. Kukira selama ini, Ninda adalah perempuan paling cantik. Ternyata, Ninda justru tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita ini. Dan aku telah membuatnya tersinggung.“Saya minta maaf, saya tidak tau kalau itu pemberian dari Bu Guru. Saya pikir dari orang asing. Sekali lagi, maaf!” ucapku penuh penyesalan.“Baik, Pak. Tolong simpan nomor saya, ya. Kalau ada apa-apa dengan Bima, Bapak telpon saja saya! Kalau begitu, saya duluan, ya! Bima, jangan lupa pe-er nya, ya, Sayang! Sampai jumpa besok, daaah!”Wanita itu membelai kepala Bima sekali lagi, lalu berjalan ke sebuah mobil yang terparikir tak jauh dari situ. *Pagi ini Bima bangun dengan penuh semangat. Sepertinya dia sangat menyukai sekolah barunya. Atau Bu Guru barunya, entahlah. Tak ada rasa minder terbaca di wajahnya. Aku masih meringkuk di bilik kardus yang sudah dibuatkan oleh ayah Asri untuk kamar kami
****“Jadi, Abang mau pulangin sertifikat itu?” tanya Asri menyerahkan semangkuk bubur nasi kepadaku.“Iya,” sahutku langsung menyendokkan makanan berair itu ke mulutku. Tak ada rasa, hanya segenggam beras dimasak dengan air yang banyak lalu dibubuhi sedikit garam. Lumayan, bisa untuk mengganjal perut hingga siang.“Ini bekal makan siang kamu, Bima.” Asri sudah mengisi sebuah wadah bertutup yang terbuat dari bahan plastik.“Bik, ada wadah lain, enggak?” Bima melirikku seperti menahan rasa takut. Itu karena aku melarangnya untuk protes apapun yang diberikan Asri padanya.“Kenapa dengan wadah itu?” Benar saja, plototan mataku langsung terarah padanya.“Eeem, enggak apa-apa, Pa.” Bima langsung menunduk. Sedikitpun aku tak menyangka kalau perkara wadah itu akan menjadi penyebab masalah besar di sekolahnya kemudian.*“Rajin belajar! Patuh kepada Ibu Guru!” titahku, kuusap kepala Bima sekali lagi sebelum dia masuk ke sekolahnya. “Siap, Pa!” ucapnya meletakkan tangan di pelipis, lal
****“Sudah, Pak. Bahkan saya dan semua orang di rumah ikut mencarinya. Tapi, kami tidak menemukannya, Pak.” Salah satu pria yang mengiring di belakangnya menjawab. Mereka mungkin anak buahnya.“Hancur kita kalau benar dokumen itu hilang. Itu satu-satunya bukti kepemilikan perusahaan. Para pemegang saham akan ragu untuk berinvestasi, bahkan dana yang sudah mereka setor akan mereka tarik kembali, jika aku tak bisa menunjukkan sertifikat asli itu! Aku yakin aku sudah membawanya, aku menaruhnya di dalam tas kerja, lalu kusimpan di lemari cabinet di ruanganku. Tak mungkin aku khilaf!” Pria itu terlihat sangat tegang dan gelisah.Tak ada sahutan. Mereka berhenti di depan sebuah mobil yang terlihat paling mewah. Sebuah Alphard berwarna hitam. Salah seorang langsung mengambil posisi di belakang stir, dan seorang lagi membuka pintu mobil buat pria berjas itu.“Ke mana, Pak?” Yang di belakang stir bertanya.“Menemui Dokter Frans. Aku harus diberi suntikan. Kepalaku rasanya mau pecah! Dadak
****Emosiku mengacaukan akal sehatku. Aku akan meremas mulut perempuan sial itu. Namun, langkahku terhenti demi melihat seorang ibu guru yang langsung bertindak melindungi Bima. Wanita cantik bersahaja, Bu Guru Asya.“Cukup, Bu! Ibu menyakiti dia!” katanya memeluk Bima seraya melepas tangan Ninda dari telinga anakku. Bu Guru Asya mengusap usap kepala Bima dengan penuh kasih sayang. “Eee … eeh! Kamu! Kamu dipecat! Berani kamu melawan saya, ya! Kamu adalah guru pertama yang akan dipecat! Sebentar, aku akan telpon suamiku agar dia lapor sama atasannya, pemilik sekolah ini! Awas kau! Detik ini juga kau akan kehilangan pekerjaanmu!” ancam Ninda seraya mengeluarkan ponsel dari tasnya.“Tolong tenang, dulu, Bu Ninda! Jangan emosi. Kita bicarakan ini baik-baik! Orang tua anak ini juga sudah dalam perjalanan ke sini! Tolong Ibu bersabar, ya! Toh, Steven sudah kita tangani. Darahnya hanya sedikit, kok. Dia baik-baik saja.” Seorang guru laki-laki berusaha menenangkan Ninda.“Bapak juga kep
*** “Pak Dirut? Bapak ke sini? Pasti Bapak ke sini karena sudah mendengar berita kelalaian para guru dan kepala sekolah ini, kan, Pak?” Ninda menghampiri Pak Alatas. “Saya ke sini karena pria ini, Bu Ninda. Saya punya urusan dengannya yang belum selesai,” jawab Pria berdasi itu menoleh ke arahku. Jantungku berdegup tak karuan. Kini aku tahu, ternyata sekolah elit ini milik Pak Alatas. Matilah aku. Pria ini sepertinya akan memaki dan menuduhku mencuri dokumen itu di sini. Di hadapan Ninda. Ya, Tuhan … jangan sampai itu terjadi. Aku akan sangat malu, harga diriku akan hancur lebur. “Oh, iya, Pak Dir. Gelandangan ini telah melakukan kesalahan besar. Dia mengajari anaknya bertindak kriminal di sekolah ini. Anaknya itu sudah menganiaya anak saya. Dia membuat hidung dan bibir anak saya berdarah, Pak,” adu Ninda menunjuk aku dan Bima. Aku terperangah. Terbuat dari apa hati perempuan ini? Bagaimana bisa dia tak luluh, padahal sudah tahu kalau Bima adalah anak kandungnya. “Sebetulnya