Beranda / Romansa / Daster Buat Istriku / Bab 7. WTS Penolong

Share

Bab 7. WTS Penolong

last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-14 09:26:58

****

“Bima, kau bisa bicara?” sergahku dengan suara bergetar. Dia menyipitkan kelopak mata, bingung dengan pertanyaanku.

“Maaf, kau diam saja sejak bertemu papa, papa kira kau b*su, Nak,” lanjutku mengusap kepalanya.

“Aku benci sama Papa. Kenapa lama sekali datangnya? Lukaku udah kering. Papa enggak enggak datang datang juga, kan?” cecarnya langsung menepis  tanganku.

“Luka?” tanyaku dengan dahi mengernyit.

“Hem. Aku mau ngadu sama Papa. Waktu itu  perutku berdarah. Kulitnya terkelupas.  Sampai lukanya kering, Papa gak pulang-pulang!”

“Perut kamu luka karena apa?”

Bima terdiam, hanya pandangannya yang menerawang.

“Boleh papa lihat, Sayang?” tanyaku  mencoba meraih tubuh kurusnya tepat di bagian perut.

“Jangan! Udah sembuh!”  Lagi-lagi dengan gerkan cepat Bima menepis tanganku. 

“Aku  benci sama Papa! Papa gak ada saat aku butuh Papa. Tapi, aku harus ikut Papa sekarang. Mak Tua bilang, jika Papa pulang, aku tak boleh lagi membuat dia susah. Aku harus pergi bersama Papa. Sebenarnya,  aku juga tidak mau ikut Papa. Nanti, kalau aku sudah kerja, aku akan pergi. Aku tidak akan menyusahkan siapapun lagi.”

“Bima?” Suaraku tertahan. Kalimat yang meluncur deras dari mulut anakku sungguh mengagetkan.

“Kenapa kita di sini? Kenapa tidak ke rumah Papa?”  cecarnya lagi. Aku bingung harus menjawab apa?

“Papa tidak punya rumah? Papa orang miskin? Seperti yang selalu dikatakan oleh Mak Tua? Baiklah, tinggal di sini juga tak apa. Ini lebih baik daripada di rumah Mak Tua. Aku mau kenc*ng, di mana kamar mandinya?” Dia mengedarkan pandangan.

“Kenc*ng di sana saja!”  Jariku menunjuk ke arah serumpun tanaman hias di dekat trotoar.

“Tidak ada kamar mandi, ya. Baiklah! Benar kata Mak Tua, Papa memang miskin!”  sungutnya lalu bangkit dan berjalan ke arah yang kutunjuk. Tak jauh, dia lalu membuang hajatnya di sana. Aku hanya mampu mengehela napas panjang. Aku harus bisa membuktikan pada Bima, bahwa aku bukan seorang papa pecundang. Aku akan bahagiakan dia.

**

Malam mulai larut, Bima sudah terlelap di sampingku. Kuselimuti tubuh kurus itu dengan sehelai sarung kumal. Satu-satunya kain sarung yang aku punya selama di penjara. Kupeluk tubuhnya perlahan, mencoba menghalangi hawa dingin yang mulai terasa menusuk tulang. Entah di menit ke berapa, akupun ikut terlelap.

“Ada petugas! Ada petugas! Lari! Cepat lari!” Suara teriakan itu mengagetkanku. Derap kaki berlarian terdengar riuh. Suasana yang tadi cukup lengang  berubah panik.

Aku sontak terduduk. Namun, hanya bengong tak berbuat apa-apa karena tak paham apa yang terjadi.

“Ayo, lari! Mau diangkut petugas, heh!” Seseorang menghentikan larinya, lalu melangkah mundur ke arahku. “Ayo, kenapa bengong! Kalian orang baru, ya?” tanyanya terlihat jengkel. Aku masih kebingungan. Entah apa maksudnya. Seorang laki-laki dewasa, temaram lampu jalanan membuatku kesulitan menerka usianya.

“Gendong anakmu! Ikuti aku, cepat!” perintahnya lalu meraih tas kain milikku.

Aku ikuti perintah itu, kugendong Bima lalu kusambar tas sekolah yang terletak di sebelah kepalanya. Aku berlari mengikuti gerakannya. Aku jauh ketinggalan, bobot tubuh Bima di dalam gendongan membuatku agak kesulitan. Hingga akhirnya aku kehilangan jejak. Entah ke mana perginya pria tadi.

Beberapa orang yang tadi berlarian bersembunyi di balik sebuah gedung. Aku ikut membaur bersama mereka.  Bima menggeliat di dalam gendonganku, lalu merosotkan tubuhnya.

“Kenapa kita lari dan sembunyi, Pa?” tanyanya mengucek mata.

“Sssst!” Seorang wanita meletkkan jari di bibirnya, memerintahkan anakku agar tak bersuara. 

Suara sepatu petugas terdengar berlarian  di balik gedung. Tak lama kemudian, hening. Mereka telah pergi.

“Aman! Petugas si*lan! Ganggu orang tidur saja!” Wanita yang di sampingku menggerutu. Yang lain mulai bubar. Mataku meneliti mereka satu per satu. Entah yang mana tadi menolong membawakan tas pakaianku.

Minimnya cahaya lampu jalan membuatku kesulitan, aku benar-benar telah kehilangan. Otakku segera berpikir kers. Pri tadi benar mau menolongku atau malah nyolong? Astaga! Aku benar-benar tertipu!  Bahkan di saat aku dilanda kesulitan parah seperti inuipun masih  saja ada orang tega mencuri dan menambah deritaku.

“Gawat, pakaian kita hilang semua, Bima!” keluhku menyenderkan tubuh di dinding gedung.

“Apa? Tas kita hilang?” Bima menatapku bingung.

“Hem. Kamu tunggu di sini, papa akan mencari pencuri tengik itu! Jangan ke mana-mana, dia pasti masih di sekitar sini.”  Tanpa menunggu jawaban, aku bergegas pergi. Satu persatu para tuna wisma itu kuperiksa. Semua tentengan mereka kuteliti. Itu membuat beberapa di antara mereka emosi. Bahkan dua tiga orang memaki, karena menganggap aku lancang.

Bahkan saat kujelaskan masalah yang tengah kuhadapi, mereka hanya tersenyum kecut.  Tak ada yang simpati, mereka justru menyalahkanku karena tak hati-hati.

Gontai aku kembali ke tempat Bima menunggu. Tempat itu sudah sepi, semua sudah pergi. Semoga Bima tidak ketakutan sendiri di sana. Setengah berlari aku menyusulnya.

Kuhela nafas lega. Dia masih di sana. Seseorang menemaninya. Kupercepat lariku.

“Bima!” panggilku dengan nafas memburu.

“Ketemu pencurinya?” Seseorang yang bersamanya menoleh ke arahku. Seorang wanita rupanya. Aroma parfum murahan menguar dari tubuhnya.  Baju kurang bahan yang dia kenakan, membuat siapa saja pasti paham apa profesinya. Kecuali Bima tentu saja.

“Tidak. Terima kasih sudah menemani anak saya, permisi! Ayo, Bima!” ucapku menarik lengan anak itu. Meski aku bingung, entah ke mana aku akan membawanya sekarang.

“Hey! Mau ke mana? Ini kota besar, Bung! Barusan barang Abang yang hilang! Sebentar lagi, bisa saja anak Abang yang diculik orang! Untung aku mau jagain! Orang tua, kok, teledor banget, sih!”

Sontak aku menoleh. Perempuan itu mencibir.  Jelas kilihat bibirnya yang bergincu tebal itu terangkat sebelah.

“Jaga ucapan kamu!” sergahku mendelik tajam.

“Kenapa? Abang tersinggung? Benar aku, kan?  Abang itu teledor!  Tapi sudahlah! Bukan urusanku juga!” ketusnya lalu melenggang pergi sambil melmbai-lambaikan tas sandangnya sambil berjalan.

“Eh, tapi aku kok , gak tega, ya, sama anak Abang? Aku ingat anakku. Kalau dia masih hidup, kayaknya seumuran anak Abang itu, deh!”  Perempuan itu membalikkan badan.

Aku tak peduli. Kuajak Bima terus berjalan.

“Eh, kalian mau ke mana? Kalian gak punya tempat tinggal, kan? Hatiku teriris saat tadi mendengar cerita anak Abang itu! Begini saja, Abang ikut aku! Kebetulan rumah yang kami sewa itu agak lapang! Rumah jelek, sih, tapi lumayan! Maklum rumah para pemulung. Masih bisa disekat  satu kamar lagi untuk kalian! Tapi, ya, itu, bayar sewanya urunan! Mau enggak?”

Kuhentikan langkah. Tawarannya cukup menggiurkan. Menyewa rumah bersama-sama, membayar secara urunan, bukankah itu artinya sewa rumah akan jauh lebih murah. 

“Ayo, ikut!” perintahnya, tak lagi menanyakan jawabanku.

Kuikuti meski masih  ragu,  aku tak punya pilihan lain sekarang.

****

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Daster Buat Istriku   Bab 95. Kukirim Video Mesum Itu ke nomor Kekasih Viona

    *****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert

  • Daster Buat Istriku   Bab 94.  Adik Iparku Gilai Suami Orang

    ****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima

  • Daster Buat Istriku   Bab 93. Rencanaku Melawan Viona

    *****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej

  • Daster Buat Istriku   Bab 92. Kejutan Maksiat Viona

    *****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k

  • Daster Buat Istriku   Bab 91. Asya Meminta Duluan

    POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,

  • Daster Buat Istriku   Bab 90. Kupinjam Suamimu, Kak Asya

    ****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status