Share

Bab 5. Keluarga Juga Menghancurkanku

*****

“Apa, kamu  ke sini cuma untuk menjemput Bima?” Bang Galih dan istrinya serempak berseru.

Aku mengangguk. “Terima kasih sudah merawat Bima selama ini.  Aku  tak akan melupakan budi dan jasa kalian,” ucapku menatap Bima. Bocah tujuh tahun itu tetap menunduk.

“Kau mau tinggal di mana? Kau mau memberi makan apa? Sudahlah! Tinggal di sini saja dulu!” Bang Galih meragukan keputusanku.

“Biar sajalah, Bang! Bara itu laki-laki. Masih muda lagi. Dia pasti bisa cari kerja.” Kak Rosa menyela.

“Iya, tapi dia baru saja bebas. Biarlah tinggal di sini dulu beberapa hari sampai dia kembali bisa beradaptasi dengan masyarakat. Menenangkan pikiran dulu, kalau sudah ada kerjaan yang tetap, baru  cari kontrakan.” Bang Galih berkeras.

Kulihat wajah Kak Rosa berubah masam. Bibir tipisnya bergerak-gerak, mungkin ingin membantah ucapan suaminya tapi takut terjadi perdebatan. Jelas sekali, dia tak senang bila aku tinggal menumpang di sini.

“Jangan kuatir, Bang. Kebetulan aku sudah punya kerjaan, kok. Ada teman yang langsung mengajak kerja  bangunan seperti dulu. Aku akan mencari kontrakan di dekat lokasi kerja,” ucapku berbohong.

“Tuh, kan! Bara udah dapat kerjaan,” Kak Rosa terlihat lega.

“Begitu, ya, sudah! Tapi makanlah kita dulu, baru kalian pergi dari sini,” usul Bang Galih. Kulihat wajah istrinya kembali cemberut.

“Tidak usah, masih tanggung juga untuk makan siang. Kami harus buru-buru cari rumah kontrakan, nanti keburu malam pula. Biar besok aku bisa langsung kerja,” tolakku cepat.

“Kalau begitu, Kakak akan mengambil pakaian Bima, sebentar!” Kak Rosa langsung bergerak pergi. Bang Galih akhirnya terdiam.

Kualihkan pandangan ke arah Bima, kudekati dia. Anak malangku itu tetap menunduk.  Kuulur tangan hendak memeluk. Namun, kembali kenyataan pahit yang kuterima. Dia melangkah mundur dua langkah. Tanganku mengambang di udara.

“Bima ini Papa, Nak. Papa rindu, boleh papa peluk, ya?” tanyaku menghiba. Dia membisu.

“Bima, Pak Tua pernah nunjukin sama kamu foto papa kamu di hape Pak Tua, kan? Nah, ini orangnya. Dia papa kamu, ayo, salim, lalu peluk!” Bang Galih ikut membujuk. (Pak Tua = panggilan untuk abang ayah kandung yang paling sulung)

“Oh, Abang sering nunjukin fotoku sama dia? Artinya, sejak awal aku datang tadi dia sudah tahu kalau aku adalah papanya?” lirihku  menahan perih. Bima ternyata sudah tahu kalau aku adalah papa kandungnya, tapi kenapa dia terlihat tidak senang. Bukankah harusnya dia gembira karena pembelanya sudah datang. Aku datang untuk membebaskannya dari omelan dan kekejaman istri Pamannya. Tempat dia terpaksa menumpang hidup selama ini.

“Bima! Kenapa diam saja? Begitu Pak Tua mengajarimu selama ini? Ayo, salim! Papamu kangen sama kamu!” Suara Bang Galih meninggi.

Bima sontak mengangkat wajah,  menatapku sekilas lalu mengulurkan tangan. Belum sempat kuraih tangannya, wajah kurus itu kembali menunduk.

“Nak,” ucapku meraih tubuhnya. Kupeluk erat.

“Ini pakaian Bima!” Kak Rosa meletakkan satu plastik kresek berukuran sedang di dekat kakiku.

Hanya segini?  Anakku ternyata hanya memiliki beberapa potong pakaian. Astaga? Ah, aku tak boleh menyalahkan siapapun. Aku yang salah. Aku yang seharusnya memenuhi semua kebutuhan anakku, bukan orang lain. Anakku masih hidup sja harusnya aku sudah  berterima kasih.

“Ini tas sekolahnya. Pakai Bima! Biar baju-bajumu Papamu yang bawa!” Kak Rosa memakaikan tas usang model ransel itu ke punggug anakku.

“Berangkatlah, kalau memang kalian tidak menunggu makan siang! Nanti buru-buru lagi cari rumah kontrakannya!” Perempuan itu mengusir kami secara halus.

“Iya, Kak. Ayo, Nak, kita berangkat.” Kuraih tangan Bima, namun segera di tepisnya.

“Bima, ikut papamu, ya! Kalau kangen sama  Kak Rara dan Bang Arman, kau boleh, kok, main ke sini lagi!” tukas Kak Rosa menyebut nama anak-anaknya. Kulihat matanya tajam mendelik pada anakku. Aku menangkap ada ancaman di situ.

“Ayo, Sayang,” bujukku sekali lagi meraih tangannya. Lagi-lagi ditepisnya.  Namun, kali ini dia tak menolak untuk pergi.  Dengan sangat terpaksa dia malah mendahului aku berjalan menuju pintu.

Segera kusalam Bang Galih dan istrinya yang kini berwajah sangat terang. Senyum semringah menghiasi bibirnya.

“Tunggu, Bara!” Bang Galing menghentikan langkahku. “Ini sedikit untuk makan menunggu kau gajian,” ucapnya menyelipkan selembar uang ke tanganku.  Kulihat wajah Kak Rosa kembali mengetat.

“Tidak usah, aku punya uang, kok, Bang! Teman temanku  memberiku santunan saat menjenguk  di penjara,” tolakku kembali terpaksa berbohong.

“Untuk tambahan kalau begitu!” Bang Galih tetap memaksa.

“Udahlah, Bang! Kita sudah membesarkan Bima saja sudah lebih dari cukuplah. Kalau dihitung-hitung,  berapa puluh juta sudah kita habis untuk membiayai Bima selama ini, coba! Masa Abang merasa kurang terus, sih bantuannya ke Bara!”

Deg!  Jantungku bergemuruh. Apa yang aku takutkan terjadi juga.  Kak Rosa mulai membangkit kebaikannya.

“Berapa puluh juta kau bilang?” Bang Galing meninggikan suaranya, melotot kepada istrinya.

“Iya, coba Abang hitung biaya hari-harinya selama satu hari itu, tiga kali makan, udah berapa? Belum lagi sabun, listrik, air, pakaiannya, belum lagi saat dia demm dan sakit kita membawanya berobat! Belum lagi tenagaku yang tak tidur karena menemani dia sampai pagi saat dia sakit. Itu sudah berlangsung selama lima tahun! Bisa Abang hitung sudah berapa juta itu semua, ha?” ketus Kak Rosa balas mendelik pada suaminya.

“Tutup mulutmu!” Bang Galih  membentak dengan wajah mulai merah padam.

“Abang bentak aku? Abang membentakku setelah sekian tahun aku membesarkan  anak adikmu ini? Dia lebih berharga bagimu dari pada aku, begitu? Pikir pakai otakmu, Bang!  Jangan sampai adikmu yang mantan nara pidana ini, rumah tangga kita berantakan!”

“Rosa!” teriak Bang Gilang melayangkan tamparan. Spontan kutahan.

“Apa? Mau nampar, tampar! Ini, tampar saja, hayo, tampar!” Kak Rosa malh menantang.

“Cukup, Kak, Bang! Tolong  jangan bertengkar karena aku dan anakku. Aku mohon! Aku tidak mau gara-gara aku rumah tangga kalian berantakan. Tolong, tenang kembali, ya!” ucapku menenangkan keduanya.

“Baguslah kalau kau sadar diri, Bara! Kau tahu, sebenarnya abangmu bersikap sok baik padamu itu hanya karena ingin menutupi hal yang sebenarnya! Bukan karena dia peduli padamu, tau kau?”

Kalimat Kak Rosa membuatku tercekat.

“Rosa! Tutup mulutmu!” Bang Galing terlihat memucat. Ada apa ini?

“Kenapa? Bara harus tahu yang sebenarnya!” Kak Rosa berkeras.

“Bara, sudah, kalian berangkat saja sekarang!” Bang Galih berusaha mengalihkan.

“Dengar, Bara! Saat kau di penjara, kami menjual satu-satunya harta  peninggalan ibu. Pertapakan yang di Diski itu, kau ingat? Atas kesepakatan keluarga, bagianmu diambil oleh Bang Galih, sebagai biaya hidup anakmu selama tinggal bersama kami. Nyatanya, uang itu dia hambur-hamburkan entah ke mana. Jadi, kau tidak punya bagian lagi!”

“Apa?” sergahku kaget.

****

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Hartati
ooh...ternyata !
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status