*****
“Apa, kamu ke sini cuma untuk menjemput Bima?” Bang Galih dan istrinya serempak berseru.
Aku mengangguk. “Terima kasih sudah merawat Bima selama ini. Aku tak akan melupakan budi dan jasa kalian,” ucapku menatap Bima. Bocah tujuh tahun itu tetap menunduk.
“Kau mau tinggal di mana? Kau mau memberi makan apa? Sudahlah! Tinggal di sini saja dulu!” Bang Galih meragukan keputusanku.
“Biar sajalah, Bang! Bara itu laki-laki. Masih muda lagi. Dia pasti bisa cari kerja.” Kak Rosa menyela.
“Iya, tapi dia baru saja bebas. Biarlah tinggal di sini dulu beberapa hari sampai dia kembali bisa beradaptasi dengan masyarakat. Menenangkan pikiran dulu, kalau sudah ada kerjaan yang tetap, baru cari kontrakan.” Bang Galih berkeras.
Kulihat wajah Kak Rosa berubah masam. Bibir tipisnya bergerak-gerak, mungkin ingin membantah ucapan suaminya tapi takut terjadi perdebatan. Jelas sekali, dia tak senang bila aku tinggal menumpang di sini.
“Jangan kuatir, Bang. Kebetulan aku sudah punya kerjaan, kok. Ada teman yang langsung mengajak kerja bangunan seperti dulu. Aku akan mencari kontrakan di dekat lokasi kerja,” ucapku berbohong.
“Tuh, kan! Bara udah dapat kerjaan,” Kak Rosa terlihat lega.
“Begitu, ya, sudah! Tapi makanlah kita dulu, baru kalian pergi dari sini,” usul Bang Galih. Kulihat wajah istrinya kembali cemberut.
“Tidak usah, masih tanggung juga untuk makan siang. Kami harus buru-buru cari rumah kontrakan, nanti keburu malam pula. Biar besok aku bisa langsung kerja,” tolakku cepat.
“Kalau begitu, Kakak akan mengambil pakaian Bima, sebentar!” Kak Rosa langsung bergerak pergi. Bang Galih akhirnya terdiam.
Kualihkan pandangan ke arah Bima, kudekati dia. Anak malangku itu tetap menunduk. Kuulur tangan hendak memeluk. Namun, kembali kenyataan pahit yang kuterima. Dia melangkah mundur dua langkah. Tanganku mengambang di udara.
“Bima ini Papa, Nak. Papa rindu, boleh papa peluk, ya?” tanyaku menghiba. Dia membisu.
“Bima, Pak Tua pernah nunjukin sama kamu foto papa kamu di hape Pak Tua, kan? Nah, ini orangnya. Dia papa kamu, ayo, salim, lalu peluk!” Bang Galih ikut membujuk. (Pak Tua = panggilan untuk abang ayah kandung yang paling sulung)
“Oh, Abang sering nunjukin fotoku sama dia? Artinya, sejak awal aku datang tadi dia sudah tahu kalau aku adalah papanya?” lirihku menahan perih. Bima ternyata sudah tahu kalau aku adalah papa kandungnya, tapi kenapa dia terlihat tidak senang. Bukankah harusnya dia gembira karena pembelanya sudah datang. Aku datang untuk membebaskannya dari omelan dan kekejaman istri Pamannya. Tempat dia terpaksa menumpang hidup selama ini.
“Bima! Kenapa diam saja? Begitu Pak Tua mengajarimu selama ini? Ayo, salim! Papamu kangen sama kamu!” Suara Bang Galih meninggi.
Bima sontak mengangkat wajah, menatapku sekilas lalu mengulurkan tangan. Belum sempat kuraih tangannya, wajah kurus itu kembali menunduk.
“Nak,” ucapku meraih tubuhnya. Kupeluk erat.
“Ini pakaian Bima!” Kak Rosa meletakkan satu plastik kresek berukuran sedang di dekat kakiku.
Hanya segini? Anakku ternyata hanya memiliki beberapa potong pakaian. Astaga? Ah, aku tak boleh menyalahkan siapapun. Aku yang salah. Aku yang seharusnya memenuhi semua kebutuhan anakku, bukan orang lain. Anakku masih hidup sja harusnya aku sudah berterima kasih.
“Ini tas sekolahnya. Pakai Bima! Biar baju-bajumu Papamu yang bawa!” Kak Rosa memakaikan tas usang model ransel itu ke punggug anakku.
“Berangkatlah, kalau memang kalian tidak menunggu makan siang! Nanti buru-buru lagi cari rumah kontrakannya!” Perempuan itu mengusir kami secara halus.
“Iya, Kak. Ayo, Nak, kita berangkat.” Kuraih tangan Bima, namun segera di tepisnya.
“Bima, ikut papamu, ya! Kalau kangen sama Kak Rara dan Bang Arman, kau boleh, kok, main ke sini lagi!” tukas Kak Rosa menyebut nama anak-anaknya. Kulihat matanya tajam mendelik pada anakku. Aku menangkap ada ancaman di situ.
“Ayo, Sayang,” bujukku sekali lagi meraih tangannya. Lagi-lagi ditepisnya. Namun, kali ini dia tak menolak untuk pergi. Dengan sangat terpaksa dia malah mendahului aku berjalan menuju pintu.
Segera kusalam Bang Galih dan istrinya yang kini berwajah sangat terang. Senyum semringah menghiasi bibirnya.
“Tunggu, Bara!” Bang Galing menghentikan langkahku. “Ini sedikit untuk makan menunggu kau gajian,” ucapnya menyelipkan selembar uang ke tanganku. Kulihat wajah Kak Rosa kembali mengetat.
“Tidak usah, aku punya uang, kok, Bang! Teman temanku memberiku santunan saat menjenguk di penjara,” tolakku kembali terpaksa berbohong.
“Untuk tambahan kalau begitu!” Bang Galih tetap memaksa.
“Udahlah, Bang! Kita sudah membesarkan Bima saja sudah lebih dari cukuplah. Kalau dihitung-hitung, berapa puluh juta sudah kita habis untuk membiayai Bima selama ini, coba! Masa Abang merasa kurang terus, sih bantuannya ke Bara!”
Deg! Jantungku bergemuruh. Apa yang aku takutkan terjadi juga. Kak Rosa mulai membangkit kebaikannya.
“Berapa puluh juta kau bilang?” Bang Galing meninggikan suaranya, melotot kepada istrinya.
“Iya, coba Abang hitung biaya hari-harinya selama satu hari itu, tiga kali makan, udah berapa? Belum lagi sabun, listrik, air, pakaiannya, belum lagi saat dia demm dan sakit kita membawanya berobat! Belum lagi tenagaku yang tak tidur karena menemani dia sampai pagi saat dia sakit. Itu sudah berlangsung selama lima tahun! Bisa Abang hitung sudah berapa juta itu semua, ha?” ketus Kak Rosa balas mendelik pada suaminya.
“Tutup mulutmu!” Bang Galih membentak dengan wajah mulai merah padam.
“Abang bentak aku? Abang membentakku setelah sekian tahun aku membesarkan anak adikmu ini? Dia lebih berharga bagimu dari pada aku, begitu? Pikir pakai otakmu, Bang! Jangan sampai adikmu yang mantan nara pidana ini, rumah tangga kita berantakan!”
“Rosa!” teriak Bang Gilang melayangkan tamparan. Spontan kutahan.
“Apa? Mau nampar, tampar! Ini, tampar saja, hayo, tampar!” Kak Rosa malh menantang.
“Cukup, Kak, Bang! Tolong jangan bertengkar karena aku dan anakku. Aku mohon! Aku tidak mau gara-gara aku rumah tangga kalian berantakan. Tolong, tenang kembali, ya!” ucapku menenangkan keduanya.
“Baguslah kalau kau sadar diri, Bara! Kau tahu, sebenarnya abangmu bersikap sok baik padamu itu hanya karena ingin menutupi hal yang sebenarnya! Bukan karena dia peduli padamu, tau kau?”
Kalimat Kak Rosa membuatku tercekat.
“Rosa! Tutup mulutmu!” Bang Galing terlihat memucat. Ada apa ini?
“Kenapa? Bara harus tahu yang sebenarnya!” Kak Rosa berkeras.
“Bara, sudah, kalian berangkat saja sekarang!” Bang Galih berusaha mengalihkan.
“Dengar, Bara! Saat kau di penjara, kami menjual satu-satunya harta peninggalan ibu. Pertapakan yang di Diski itu, kau ingat? Atas kesepakatan keluarga, bagianmu diambil oleh Bang Galih, sebagai biaya hidup anakmu selama tinggal bersama kami. Nyatanya, uang itu dia hambur-hamburkan entah ke mana. Jadi, kau tidak punya bagian lagi!”
“Apa?” sergahku kaget.
****
Bersambung
***** “Rosa, tutup mulutmu!” Bang Galih spontan mencengkram dan menghentak lengan istrinya. “Kenapa, Bang! Bara harus tahu hal yang sebenarnya! Jangan nanti dia pikir masih ada bagiannya!” Kak Rosa berkeras. “Tapi bukan sekarang saat yang tepat untuk memberitahu dia! Dia baru saja keluar dari penjara! Kau memang perempuan bermulut le –“ “Sudah, Bang! Cukup!” sergahku menghentikan pertengkaran mereka. “Bara, tolong jangan salah paham! Bisa abang jelaskan, jadi begini ….” “Tak ada yang perlu dijelaskan. Aku sudah sangat paham. Di saat aku terpuruk, kalian malah mengambil kesempatan. Tapi, sudahlah. Aku ihklas kalian menjual tanah warisan itu meski tanpa sepengetahuanku! Aku juga ihklas Abang mengambil bagianku. Setidaknya aku tak merasa berhutang budi lagi pada kalian karena telah merawat anakku selama lima tahun ini. Terima kasih, permisi!” Kuayunkan kaki dengan langkah panjang. Bima sudah menunggu di teras. “Bara … Bara, tunggu! Abang akan mengantar kalian pakai mobil Abang
**** “Bima, kau bisa bicara?” sergahku dengan suara bergetar. Dia menyipitkan kelopak mata, bingung dengan pertanyaanku. “Maaf, kau diam saja sejak bertemu papa, papa kira kau b*su, Nak,” lanjutku mengusap kepalanya. “Aku benci sama Papa. Kenapa lama sekali datangnya? Lukaku udah kering. Papa enggak enggak datang datang juga, kan?” cecarnya langsung menepis tanganku. “Luka?” tanyaku dengan dahi mengernyit. “Hem. Aku mau ngadu sama Papa. Waktu itu perutku berdarah. Kulitnya terkelupas. Sampai lukanya kering, Papa gak pulang-pulang!” “Perut kamu luka karena apa?” Bima terdiam, hanya pandangannya yang menerawang. “Boleh papa lihat, Sayang?” tanyaku mencoba meraih tubuh kurusnya tepat di bagian perut. “Jangan! Udah sembuh!” Lagi-lagi dengan gerkan cepat Bima menepis tanganku. “Aku benci sama Papa! Papa gak ada saat aku butuh Papa. Tapi, aku harus ikut Papa sekarang. Mak Tua bilang, jika Papa pulang, aku tak boleh lagi membuat dia susah. Aku harus pergi bersama Papa. Seben
“Masuk!” perempuan berbaju seronok itu melebarkan pintu. Tanpa menunggu kami masuk dia langsung menuju salah satu bilik. Sebuah ruangan yang sengaja disekat dengan karton bekas kardus.Kuedarkan pandangan ke dalam rumah. Rumah? Apakah pantas ini disebut rumah? Gubuk, itu lebih tepatnya. Bangunan berukuran kira-kira lima kali sepuluh meter itu berdinding papan yang sudah keropos, berlantai tanah, dan beratap seng yang sudah lapuk. Bahkan bias cahaya bintang mampu menerobos ke dalam rumah, pertanda atap itu sudah bocor di mana mana.Di dalam sana ada tiga bilik yang semuanya hanya berdinding karton bekas kardus. Tak tega rasanya menempatkan Bima tinggal di tempat sekumuh ini. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Daripada terlunta-lunta di jalanan, berlindung di gubuk ini masih jauh lebih baik.Begini rasanya menjadi orang yang terbuang. Seperti gelandangan yang tak punya sanak keluarga. Percuma punya sanak saudara. Mereka mlu punya saudara seperti aku yang mantan narapidana. Arrrrgh
Tidak, aku harus mencari pekerjaan lain yang lebih terhormat. Aku memutuskan.“Ikut enggak? Kami mau berangkat ini. Kalau ikut, ayo! Kamu boleh pinjam pakaian saya. Kata Asri baju-baju kalian dicuri orang, ya?” Pria yang bernama Harjo menawarkan jasa.“Tidak dulu, Bang. Aku akan coba cari kerjaan lain dulu,” jawabku tetap sopan.“Baiklah. Semoga dapat, ya! Kami berangkat duluan.”Aku mengangguk. Segera aku bangkit menuju kamar mandi. Aku harus membersihkan diri dan terlihat rapi untuk mencari pekerjaan nanti.“Pa, Bima mau sekolah hari ini. Udah seminggu enggak diijinin sekolah oleh Mak Tua. Katanya karena Bima sakit, padahal enggak,” tutur Bima menyusulku ke kamar mandi.“Iya, nanti Papa antar ke sekolah kamu, ayo sekalian mandi!”Buru-buru kami menyiapkan diri. Beruntung tas sekolah Bima tidak ikut dilarikan pencuri tadi malam. Seragam sekolah dan buku Bima ada di dalam. Setelah pamit kepada Bu Hindun, kami langsung pergi. Asri sepertinya juga sudaah pergi, entah ke mana. Mungkin
“Kamu?” Ninda menatapku tak percaya. Kedua bola mata bagus itu membola.Cantik, perempuan ini terlihat makin cantik saja. Penampilannya bak wanita sosialita. Tak kalah dengan para istri konglomerat. Busana mewah, perhiasan mahal, parfum berkelas dan cara bicara yang arogant. Dia istriku, dulu. Sekarang sudah tak ada rasa. Yang ada hanya sakit hati yang masih meradang di dalam dada. Bukan karena masih cinta, tetapi karena pengkhianatannya membuatku terjerat di dalam penjara dan tercampak pada kehidupan yang begini sakitnya.“Abang udah keluar dari penjara?” tanyanya sambil menepis-nepis ujung gaun mewahnya bekas kutabrak tadi. Sepertinya dia begitu jijik karena sempat bersentuhan dengan pakaianku yang lusuh, kumal, dan kwalitas rendah.“Selamat ya! Em, anak Abang apa kabar? Eh, tapi ngapain Abang di sini? Ini sekolah mahal, lho. Sekolah untuk anak-anak orang terkaya dan terpandang di kota ini. Khusus untuk anak-anak kelas atas. Gak mungkin, kan, abang menyekolahkan anak abang di sini
****Aku terpana, begini wujud perempuan bersuara lembut itu rupanya. Cantik, anggun, tenang, dan begitu mempesona. Kukira selama ini, Ninda adalah perempuan paling cantik. Ternyata, Ninda justru tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita ini. Dan aku telah membuatnya tersinggung.“Saya minta maaf, saya tidak tau kalau itu pemberian dari Bu Guru. Saya pikir dari orang asing. Sekali lagi, maaf!” ucapku penuh penyesalan.“Baik, Pak. Tolong simpan nomor saya, ya. Kalau ada apa-apa dengan Bima, Bapak telpon saja saya! Kalau begitu, saya duluan, ya! Bima, jangan lupa pe-er nya, ya, Sayang! Sampai jumpa besok, daaah!”Wanita itu membelai kepala Bima sekali lagi, lalu berjalan ke sebuah mobil yang terparikir tak jauh dari situ. *Pagi ini Bima bangun dengan penuh semangat. Sepertinya dia sangat menyukai sekolah barunya. Atau Bu Guru barunya, entahlah. Tak ada rasa minder terbaca di wajahnya. Aku masih meringkuk di bilik kardus yang sudah dibuatkan oleh ayah Asri untuk kamar kami
****“Jadi, Abang mau pulangin sertifikat itu?” tanya Asri menyerahkan semangkuk bubur nasi kepadaku.“Iya,” sahutku langsung menyendokkan makanan berair itu ke mulutku. Tak ada rasa, hanya segenggam beras dimasak dengan air yang banyak lalu dibubuhi sedikit garam. Lumayan, bisa untuk mengganjal perut hingga siang.“Ini bekal makan siang kamu, Bima.” Asri sudah mengisi sebuah wadah bertutup yang terbuat dari bahan plastik.“Bik, ada wadah lain, enggak?” Bima melirikku seperti menahan rasa takut. Itu karena aku melarangnya untuk protes apapun yang diberikan Asri padanya.“Kenapa dengan wadah itu?” Benar saja, plototan mataku langsung terarah padanya.“Eeem, enggak apa-apa, Pa.” Bima langsung menunduk. Sedikitpun aku tak menyangka kalau perkara wadah itu akan menjadi penyebab masalah besar di sekolahnya kemudian.*“Rajin belajar! Patuh kepada Ibu Guru!” titahku, kuusap kepala Bima sekali lagi sebelum dia masuk ke sekolahnya. “Siap, Pa!” ucapnya meletakkan tangan di pelipis, lal
****“Sudah, Pak. Bahkan saya dan semua orang di rumah ikut mencarinya. Tapi, kami tidak menemukannya, Pak.” Salah satu pria yang mengiring di belakangnya menjawab. Mereka mungkin anak buahnya.“Hancur kita kalau benar dokumen itu hilang. Itu satu-satunya bukti kepemilikan perusahaan. Para pemegang saham akan ragu untuk berinvestasi, bahkan dana yang sudah mereka setor akan mereka tarik kembali, jika aku tak bisa menunjukkan sertifikat asli itu! Aku yakin aku sudah membawanya, aku menaruhnya di dalam tas kerja, lalu kusimpan di lemari cabinet di ruanganku. Tak mungkin aku khilaf!” Pria itu terlihat sangat tegang dan gelisah.Tak ada sahutan. Mereka berhenti di depan sebuah mobil yang terlihat paling mewah. Sebuah Alphard berwarna hitam. Salah seorang langsung mengambil posisi di belakang stir, dan seorang lagi membuka pintu mobil buat pria berjas itu.“Ke mana, Pak?” Yang di belakang stir bertanya.“Menemui Dokter Frans. Aku harus diberi suntikan. Kepalaku rasanya mau pecah! Dadak