Pagi ini aku menyeruput mimpi indah, berbagi pandangan semu dengan seseorang di balik telepon. Beberapa kata menjadi pengingat satu sama lain. Aku masih tidak menyangka telah bersama dengannya untuk waktu yang tak terduga.
Padahal, dulu kelam hidupku tak terarah. Kemudian kembali bersemi karena dirinya. Dialah penanda halaman dan bait-bait dalam buku yang tidak setebal kisah Romeo atau pun Juliet. Dialah awal dari kisahku dimulai.
Obrolan kami menjadi obralan kenang saat aku memulai untuk mengingat dan mengenang kenangan lama. Bagaimana aku bisa jatuh dalam pelukannya dan kini malah bersembunyi di balik kapas putih dingin yang menyelemuti jalanan raya. Bagaimana pada akhirnya aku bisa tenggelam dalam lukisan senja berpadu wangi musim gugur yang menenangkan.
Sempat terbersit bahwa itu semua karena izin dan kuasa Allah dan kegigihannya dalam memperjuangkan diriku dan masa depan hari ini.
***
Mungkin ini akan menjadi awal yang membosankan, jika aku memulai kisah ini dengan sebuah ramalan cuaca dan sebagainya.
Tapi, memang benar. Cuaca hari itu sangat indah, sehingga membuatku ingin berlarian di bukit penuh permen yang selalu muncul saat mimpi datang.
Kala itu, selama berada di tempat ini, aku tak tahu lagi bagaimana caranya untuk mengatakan atau pun mengungkapkan masalah dan segala rasa ini. Kurasa, hati pun sudah terlalu larut dalam kebersamaan di tempat ini.
Mereka berdua, kusebut saja namanya Riski dan Indra. Keduanya adalah bagian dari perjalanan masa mudaku yang menyenangkan. Keduanya pun telah mampu dan berhasil mengalihkan dunia remajaku yang sempat tragis karena sesuatu hal.
Ke sini, biar kubisikkan sebuah kisah. Sebenarnya kisah ini sama saja seperti kisah remaja biasa. Aku tumbuh menghadapi kehidupan yang tak sebening air. Melewati hari-hari membosankan, sampai pada akhirnya mereka pun mengubahnya.
Hanya saja ada pesan tersirat yang ingin kukatakan. Sebuah pesan mengandung kenangan. Sebuah rasa mengandung cinta yang entah bagaimana harus kumulai awalan kisah ini.
***
Seingatku, hari itu datang terlambat sih. Para murid bahkan sudah memulai aktivitas belajarnya. Di papan tulis berwarna biru, satu paragraf sudah diisi dengan lima baris kalimat berisi tulisan Arab.
Sebenarnya, pelajaran Bahasa Arab yang sedang dijelaskan oleh guru berkerudung hijau tosca itu, bukan lagi merupakan pelajaran yang baru bagiku dan itu membuatku bisa saja sedikit bersikap santai saat mendekati pintu atau bahkan kepedean, tapi ternyata malah malu-malu.
Kupegang tangan bibiku, erat-erat. Semakin dekat menuju dalamnya ruang, yang sesungguhnya tak ingin kulihat lagi. Lelah, sungguh melelahkan. Genggaman tangan dan senyuman teduh bibi, membuatku berani untuk melangkah maju menuju ruangan yang entah seperti apa para manusia di dalamnya. Aku tersenyum, sedikit canggung.
Namun, setelah diantarkan ke depan pintu kelas oleh bibi, dan pada akhirnya aku benar-benar menginjak lantai kelas. Tiba-tiba saja semuanya mulai terasa aneh.
Entah aku yang gede rasa, atau memang seperti itulah yang terjadi. Sepertinya, kini semua mata orang yang berada dalam kelas, langsung melirik kaku ke arah kami berdua.
Beberapa murid-murid mulai memandangiku dengan wajah serius, seolah bertanya siapa diriku ini? Terlihat pula beberapa di antaranya adalah teman masa SMP kemarin, lebih tepatnya adik-adik kelasku dulu.
Itulah yang membuat tubuh kecil ini sedikit, oh tidak, bahkan sangat canggung saat berada di sini, tempat yang asing karena aku tak begitu mengenal para penghuninya.
Saat terdiam dengan segala pemikiran abstrak dalam benakku, aku pun disapa oleh guru cantik itu. Beliau segera mempersilakanku untuk duduk di bangku terdepan dan kemudian menyapa bibiku yang hendak pergi melepaskanku.
Sebenarnya duduk paling depan adalah kesukaanku. Hanya saja, kali ini benar-benar terasa sedikit aneh. Aku pun harus duduk di sebelah anak laki-laki, tentu saja ini sedikit membuatku kurang nyaman. Ditambah lagi, dia tampak tak acuh dan entah menganggap orang di sampingnya ini ada atau tidak.
Ini bukan sebuah cerita yang bisa diabaikan begitu saja, ada kisah dan rahasia yang tercipta diantara anak-anak muda yang sedang merajut asa. Jujur saat itulah aku mulai mengenal sosok baru teman masa putih abu-abu.
Oh ya, sebut saja aku Nana, kisah ini merupakan inspirasi berharga dalam hidupku sendiri. Ini hanya sepenggal cerita masa putih abu-abu yang tak pernah bisa selesai. Karena kisahku akan abadi dalam ingatan.
Sebuah cerita dan kenangan yang terjadi ... karena ... mereka.
***
Guru di depan sana, memintaku segera duduk. Aku berjalan perlahan-lahan menuju bangku yang ditunjuk oleh Bu guru, tempat yang dipilihkan ini tidak sepenuhnya buruk sih. Seperti kataku sebelumnya aku juga sangat suka duduk di bangku depan, jadi, aku akan mencoba untuk menikmati saja sebagai murid baru di tempat ini.
Sayangnya, rekan sebangku saat ini bukanlah teman perempuan dan tampaknya dia tak begitu ramah. Dia adalah seorang anak laki-laki yang sedari tadi sibuk mencatat dan asik dengan dunianya sendiri, bahkan terasa begitu dingin.
Seorang laki-laki, lawan jenisku. Dan aku, adalah orang yang tak suka duduk sebangku dengan lawan jenis. Menurutku, lelaki takkan pernah mengerti perempuan dan hal itu sangat menyebalkan.
Sesekali dia melirik ke arahku, tatapan kami pun sesekali beradu ragu dan yang pasti bukan karena dia terpana dengan tampang wajahku yang standar ini. Semua bisa menebak dengan pasti apa yang ada di pikirannya, pastilah sesuatu yang mencela, seperti, Siapa dia? Jelek sekali.
Lirikkannya tampak kaku, wajahnya diam tak berekspresi, sepertinya dia anak pendiam. Syukurlah, setidaknya dia takkan menggangguku.
Setelah beberapa detik, aku mulai merasa nyaman duduk di sebelahnya, karena dia itu bukan seperti anak dari bangku sebelah, yang sedari tadi terus-menerus merecokiku dengan kata hai, hai dan hai lagi.
Kok dia santai banget sih? Pikirku sejenak, sesekali melirik ke sebelah kiri. Hidung tegasnya, cukup menarik. Namun, sebisa mungkin aku menghindari kontak mata. Malu.
Aku terus memperhatikan papan tulis, juga melihat dan menyimak ucapan Bu guru. Rasanya benar-benar aneh, karena datang menginterupsi di tengah-tengah pelajaran, lalu belajar bersama seolah kami sudah akrab.
"Mau pinjam buku?" bisik laki-laki di sebelahku tiba-tiba, suaranya terdengar lumayan keren sih.
"Ah, tidak apa-apa! Masih bisa kususul sendiri kok! Terima kasih," tolakku, lalu mengheningkan suasana di antara kami.
Kriiik!
Jangkrik terasa menghantui kami berdua, aku memang tak terlalu biasa bicara dengan anak laki-laki. Lalu, hening.
Aku kembali memperhatikan materi baru dari guru yang tak begitu asing. Ibu Lisa adalah guru pindahan dari sekolah lama.
Sebelumnya aku tinggal di asrama sekolah khusus wanita, jadi suasana ini agak sedikit ... sedikit tidak biasa dan ah, betapa sulitnya aku menggambarkan suasananya. Pokoknya, aku terus-terusan merasa canggung dan tidak nyaman.
"Oh ya, sebelum jam pelajaran Ibu selesai, tolong siswi baru tadi untuk berdiri dan memperkenalkan dirinya ya?" Bu Lisa nama guru bahasa Arab memecah benakku. Seolah-olah kami tak saling mengenal, dia tersenyum manis. Ah, dia ini ....
"Iya, Bu! Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, hai semuanya ... perkenalkan nama saya Nana Rahayu--"
"Iya, kamu siswa yang berhenti karena sakit tahun lalu 'kan? Dan belum sempat mengikuti materi saya?" selanya membeberkan masa laluku.
Tunggu? Apa maksudnya? Aku terdiam sesaat, mejanya diketuk pelan seolah meminta jiwa yang melayang kembali ke ragaku. Aku pun hanya tersenyum saat melihatnya.
"Silakan?" lanjutnya.
Bagaimana aku harus menanggapi sebuah masa lalu palsu, yang entah kenapa bisa terucap dari bibirnya?
"I-i iya, Bu!" Aku setuju saja.
Padahal tahun lalu aku duduk di posisi yang sama, menerima materi darinya, di sekolah yang berbeda. Sekolah yang tidak pernah aku selesaikan. Sekolah dengan kenangan buruk.
"Ya sudah, silakan pinjam buku dan tanyakan kepada temanmu jika ada yang belum dipahami ya," ungkapnya ramah.
Bu Lisa menatap tajam menggunakan mata sipitnya, aku mendadak merinding dengan tatapan itu. Entah apa yang kini ada dalam pikirannya? Andai saja aku bisa membaca pikirannya itu, pasti takkan setegang ini.
***
Bersambung
***
Selamat membaca, terima kasih.
Di sekolah baru ini, semua siswinya berhijab. Peraturan sekolahnya memang begini, meskipun bukan sekolah agama, peraturannya adalah mengenakan hijab untuk yang muslim dan seragam sopan untuk non muslim.Tentu saja, hal ini membuat gadis sederhana sepertiku cukup nyaman berada di tempat ini. Aku akan lanjutkan tentang hal menarik yang terjadi di Minggu pertama saat aku masuk sekolah.***Pada pagi yang terik, aku sudah bersiap dan menunggu bibi untuk mengantar ke sekolah. Kebetulan, dia akan berangkat ke kantor dan arah kantornya selalu searah dengan sekolahku. Kami selalu berangkat bersama sejak aku masih duduk di bangku SMP dulu.Kali ini tak boleh terlambat! Batinku memberi semangat pada diri sendiri.Syukurlah, pagi ini rasa sakit tak menimpa dan membuatku aman-aman saja untuk datang ke sekolah; sekolah baru yang kuharap jauh lebih baik dari sekolah sebelumnya. Karena biasanya, aku sering sakit-sakitan. Mak
Setelah pemilihan ketua kelas berakhir, terpilihlah sang gadis yang katanya paling popular dari kelas kami. Dia menjadi ketua kelas, gadis berhijab manis berbadan agak sedikit tebal. Dia menang dengan hasil voting 12 suara dari 25 siswa, aku sebut saja namanya Icha.Nah, jika ada ketua kelas, tentu ada wakilnya bukan? Bagaimana dengan wakil ketua kelas? Siapa yang terpilih? Tentu saja, anak laki-laki yang duduk di sebelahku pada waktu hari pertama lah yang menjadi wakil ketua kelas.Entah orang seperti apa yang sudah memilih orang dengan penampilan seperti dia? Dengan baju kemeja putih yang rapih, tapi bagian dalamnya berwarna merah yang menerawang jelas. Dia mendapatkan voting sebanyak 8 suara, cukup banyak untuk menjadikannya wakil ketua kelas.Lalu, Yani? Jangan tanya bagaimana reaksinya! Dia cemberut tidak keruan, karena suara yang didapatkannya sangat sedikit. Bibirnya yang dikulum, membuat teman sekelas tampak tidak nyaman. Ada
Aku masih tidak menyangka atas apa yang dilihat tadi."Ii-iitu, itu lagi ngapain? Kalian berdua jagain orang pacaran ya? Dosa tahu! Istighfar!" kataku pada si rambut mangkok masih ngos-ngosan bercampur gagap; hah kenapa begini?"Heee! Siapa juga yang jagain orang pacaran? Saya itu cuma jagain pintu dari orang-orang polos seperti kamu! Orang-orang imut yang takut dosa," jawabnya tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya. Sambil menepuk pundak rekan sejawat, si dahi lebar yang lagi menunduk menahan tawanya. Lalu keduanya pun sekali lagi tertawa bersama-sama.Enak banget ya, ketawain aku?Ngeeekk ....Suara kursi yang didorong menghentikan tawa si rambut mangkok. Tiba-tiba, saja anak perempuan yang tadi kulihat berlari ke luar kelas, melewati kami bertiga yang terdiam di depan kelas. Malu, aku yakin itu juga sedang menyerangnya.Tapi, mengingat kelakuannya barusan. Aku malah berpikiran, sudah lari ke mana ras
Lagi-lagi aku jatuh sakit, sudah dua hari ini aku melewatkan banyak tugas dan ada banyak pelajaran yang menumpuk, serta harus dikejar.Akhir-akhir ini badanku memang terasa tidak enak lagi dan sedikit demam. Aku hanya bisa menghabiskan waktu belajar dan mengulangi materi yang kuterima selama hampir satu bulan. Sambil sesekali menonton Drama Korea dan Anime Jepang kesukaanku.***Setelah dua hari izin sakit, surat sakit pun akan jatuh tempo dan lagi-lagi dengan sedikit memaksa, besoknya aku memutuskan akan pergi ke sekolah dengan kondisi yang belum terlalu stabil.Entah kenapa sakitku harus sering datang tiba-tiba? Padahal di hari-hari sebelumnya, tak ada masalah apa pun yang bisa mengancam pertahanan tubuhku. Mungkinkah tubuhku kaget dengan berbagai tugas yang kuterima?Mungkin saja aku terlalu terkejut sebelumnya, terkejut dengan keanehan orang-orang di sekolah, serta terkejut akan hal ini dan itu. Atau memang penyakit ini sudah m
Setelah menyentuhku, orang itu kini sedang berdiri tepat di sisi meja, dia menghalangiku untuk duduk. Aku menatapnya kesal, cemberut tak jelas dengan sikapnya barusan. Aku melangkah, tapi masih dicegat olehnya."Kita belum kenalan secara resmi ‘kan?" ucapnya malu-malu. Apa ini? Apa yang coba dia lakukan?"Hah? Oh iya, saya tahu kamu kok! Riski sudah jelaskan semua tentang kamu!" ungkapku tiba-tiba percaya diri, dengan nada sedikit kesal."Riski?" tanyanya bersandar ke meja. “Dia bilang apa aja ke kamu? Bukan yang aneh-aneh kan?” lanjutnya menatapku lekat."Iya, soal ini dan itu …,” jawabku bergerak ke sisi kanan hendak menjauhinya.“Mau ke mana sih?” tanyanya langsung saja memegang tanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang hangat, atau tanganku yang sudah membeku.Deg.Rasanya aneh saat dia men
Saat bertemu dengan Sisi sahabat lamaku, aku pun curhat tentang berbagai hal yang kutemui di sekolah ini termasuk masalah Yani. Semua kuceritakan kepada Sisi, tanpa merahasiakan apapun darinya."Terus kenapa tidak mau? Kalau gini pasti udah jadi asistennya sekretaris kelas, bukan sekadar teman yang siap disindir melulu tiap hari," tanya Sisi menanggapi curhatanku."Malas ah ... asisten? Tak mau lah diriku! Hehehe. Kalau kumpul-kumpul seperti itu yang ada bukannya belajar, Sisi … malah bercanda, gosip atau pacaran. Mending nggak usah lah!" jelasku."Iya sih, betul juga!""Oh ya, kamu belum beritahu apa-apa ke teman sekelasku ‘kan?" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu."Tentang itu? Tenang aja, hanya teman-teman kita yang tahu. Kepala sekolah juga sudah minta teman-teman kelas sebelas untuk pura-pura tahu siapa itu Nana Rahayu. Kan ada si Pak Bos juga tuh!" bisiknya.
Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg
Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida