Share

2. Rasa yang tersembunyi

"Oh ya, kalo misalnya kamu ketemu kak Kanzo, lebih baik jangan disapa ya," peringat Kahlil.

Atha merasa aneh, lalu memutuskan untuk bertanya, "Kenapa?"

"Barangkali yang kamu temui itu sebenarnya adalah kak Kenzo. Mereka berdua mirip banget soalnya," terang Kahlil.

"Kembar, ya?" tebak Atha.

"Iya.. Kembar yang terlalu identik. Ga ada perbedaan sama sekali di tubuhnya. Kan biasanya pada anak kembar terdapat perbedaan, entah itu tahi lalat atau tanda lahir, tapi kak Kenzo dan kak Kanzo ga ada. Cuma sifatnya aja yang beda seratus delapan puluh derajat."

"Maksudnya?" Atha berusaha meraba maksud ucapan Kahlil.

"Kak Kanzo itu orangnya lemah lembut, penyayang dan care. Kalo kak Kenzo itu temperamen, keras dan mudah terpancing emosi. Kamu udah lihat mata kak Kanzo kan tadi?"

"Eh?"

Pertanyaan Kahlil membuat pipi Atha bersemu.

"Kalo kamu udah lihat, kamu bakal bisa bedain. Karena sorot mata kak Kanzo itu hangat, sedangkan kak Kenzo itu dingin, tajam gitu. Supaya ga bingung, bedain aja dari penampilannya," saran Kahlil.

"Apa bedanya?" tanya Atha semakin bingung.

"Kalo kak Kanzo itu sering pakai peci dan bersarung. Kak Kenzo lebih sering pakai kaos yang gambarnya norak dan celana jeans," jelas Kahlil, berharap Atha mengerti.

Atha mengangguk, tanda ia faham.

"Kahlil, dicariin Khodijah," lapor seorang anak berumur kurang lebih 9 tahun sembari menarik koko yang dipakai Kahlil.

"Bilangin nanti aku ke kamarnya," sahut Kahlil acuh.

"Siapa itu Khodijah?" tanya Atha penasaran.

"Adikku yang masih kecil, umurnya empat tahun," jawab Kahlil.

"Sebenarnya, kamu berapa bersaudara, sih?" tanya Atha yang ingin tahu.

"Kalo seibu cuma 5. Tapi kalo semuanya ada 18," bisik Kahlil menjawab.

Atha melotot kaget, "Banyak banget."

Kahlil terkekeh, ia terbiasa dengan tanggapan semacam itu yang ia dapat dari banyak orang ketika ia mengatakannya.

"Abi, ayahku punya tiga istri. Ibuku istri kedua. Sedangkan kak Kenzo dan kak Kanzo dari istri pertama. Ibunya jepang. Ibuku asli Arab. Dan istri ketiga dari Korea."

"Seru ya? Banyak keragaman!" seru Atha takjub, ia langsung membayangkan betapa ramai keluarga Kahlil dengan banyak perbedaan yang padu.

"Begitulah. Kadang kalau ada adik yang lahir, semua pada rebutan usul nama. Makanya ujung-ujungnya selalu ngikut nama sesuai daerah asal ibunya. Lucu gitu," ucap Kahlil terkikik.

"Kamu anak ke berapa?" tanya Atha lagi.

"Aku anak ketiga, kakak pertama ku udah nikah, begitupun kakak kedua ku. Adik ku yang pertama masih berumur sembilan tahun. Dan yang terakhir tadi, Khodijah, masih umur empat tahun," jelas Kahlil gamblang.

"Dan Kanzo?"

"Sepuluh bersaudara. Yang delapan kembar."

"Huoh.." sorak Atha, ia terperangah dan kembali membayangkan. 

"Iya," tutur Kahlil sembari mengangguk, "Kak Kenzo anak ke delapan dan kak Kanzo anak ke tujuh. Anak kesembilan anak pertama lahir tanpa saudara. Rasanya aneh gitu. Tapi sekarang dia ada di Jepang, ikut neneknya," lanjut Kahlil dengan pandangan mata menerawang.

"Terus anak yang kesepuluh?" 

"Meninggal sejak lahir. Ga tahu, tapi katanya ada peradangan paru-paru," jawab Kahlil, ia mengangkat bahunya ragu.

"Inna Lillahi W* Inna Ilaihi Roji'un," bisik Atha.

"Dan dari ibu ketiga, ada tiga adik. Semuanya masih kecil. Pertama umur lima tahun, yang kedua umur tiga tahun. Yang ketiga baru lahir beberapa hari lalu. Alhamdulillah.. Semuanya baik-baik aja," tandas Kahlil.

"Kita di mana?" Atha mengedarkan pandangannya ke langit-langit ruangan yang kira-kira setinggi enam meter, ukiran rumit berwarna keperakan dan keemasan menghiasi dinding marmer. Tampak indah, namun jika dibandingkan dengan rumahnya dahulu, ini semua tidak ada nilainya.

"Kita di balai pertemuan, kita ke ruang Bibi Maise dulu. Kita ambil kunci kamarmu," tutur Kahlil.

"Panti ini, satu orang satu kamar ya?" tanya Atha berseru takjub ketika melihat pintu-pintu berjejer rapi, tampak mewah sekaligus elegan.

"Ya, tapi mengingat umurmu yang sudah mulai dewasa mungkin kamu akan jadi pengurus selanjutnya di panti ini," jawab Kahlil dengan langkah kaki yang semakin cepat.

"Pengurus?" ulang Atha dengan dahi mengernyit, sedikit heran membayangkan bahwa ada remaja yang akan menjadi pengurus sebuah panti.

"Apa kamu berniat tinggal dipanti ini untuk sementara? Atau kau akan mengabdikan hidupmu untuk panti ini?" tanya Kahlil setelah memfokuskan tatapannya pada Atha.

"Aku tak tahu. Aku belum berpikir hingga ke situ." Atha menggeleng lemah.

"Aku tahu kamu akan mencintai panti ini. Semoga bahagia disini," ucap Kahlil yang langsung pergi tepat setelah pintu ruang bibi Maise terbuka.

"Kamu Atha bukan? Lidya mengatakan kamu akan sampai jam setengah lima, tapi kenapa telat setengah jam?" sapa Maise memeluk Atha dan merangkul pundaknya.

"Tadi ketemu kak Kanzo, dan ngobrol bentaran tadi di depan," jawab Atha polos.

"Terus kamu kesini diantar siapa? Sendirian?" tanya Maise celingak-celinguk, ke arah kanan dan kirinya.

"Kahlil, tapi dia langsung pergi waktu pintu ruangan bibi Maise terbuka," jawab Atha dengan telunjuk terarah ke lorong di mana ia terakhir kali melihat Kahlil.

Maise tertawa pelan, "Ah, ternyata anak itu. Dia tidak bicara apapun kepada mu kan?" tanya Maise.

"Dia bercerita tentang keluarganya, tidak lebih," sahut Atha dengan gelengan.

"Begitu," ucap Maise manggut-manggut, "Mari kuantar kamu kekamar mu, perjalanan dari Roma pasti melelahkan. Kamu boleh bercerita banyak padaku seusai kamu puas istirahat," ajak Maise.

"Tentu Bibi," balas Atha mengangguk kuat dan semangat.

"Anggap saja aku ibumu sendiri, Nak. Kamu mungkin kehilangan keluargamu, tapi kamu bisa menemukan keluarga baru disini."

Maise memeluk Atha erat.

Atha memejamkan matanya, meresap aura hangat yang penuh kasih sayang yang menguar dari pelukan Maise.

"Terimakasih banyak, Bibi."

"Sudah tugas ku, Nak.. Kamarmu di lantai tiga, tak masalah kan? Karena anak di bawah dua belas tahun ditempatkan di lantai dua." 

"Tak masalah, Bibi," jawab Atha tersenyum menenangkan.

"Dan disini tak ada lift seperti rumahmu dahulu," ucap Maise tersenyum kecil.

"Aku menyukai tempat ini dibanding rumahku, Bibi," sela Atha.

"Atha!" Panggilan dari Kanzo membuat Maise ikut menoleh.

"Ah, Bibi Maise Assalamu 'Alaikum," sapa Kanzo tersenyum pada Maise yang menatapnya penuh selidik.

"W*'laikum Salam. Sedang apa kau di sini Kanzo?"

Kanzo melebarkan senyumnya. "Tadi aku mencari Atha, karena aku meninggalkannya di lapangan samping, aku hanya takut dia tersesat bibi, mengingat ratusan ruang di panti ini ditata sedemikian rupa menyerupai labirin," cakap Kanzo tertawa.

"Bohong, kak Kanzo bohong, Bibi! Dia hanya ingin bertemu Atha. Dia tadi sudah menyuruhku untuk mengantarkan Atha kemari!" sorak Kahlil di ambang pintu.

"Diamlah Kahlil, ini bukan urusanmu!" balas Kanzo bersungut-sungut.

"Ya, ya, ya.. Terserah," decak Kahlil yang pergi keluar setelah mengedikkan bahunya.

"Jadi Bibi, boleh aku mengantarkan Atha ke kamarnya?" pinta Kanzo, meminta kunci yang dipegang Maise.

Maise tersenyum misterius "Kanzo, entah kenapa, kali ini aku enggan mengabulkan permintaanmu."

"Aku hanya menawarkan, Bibi," kilah Kanzo, tangannya bersendekap.

"Dan aku menolak tawaranmu," tekan Maise dengan senyum kecil.

"Baiklah, aku ikut kalian," ujar Kanzo yang menyerah.

"Sudah hampir Maghrib, Kanzo, kembalilah ke gedung putih. Kudengar Kenzo membuat ulah lagi," perintah Maise.

"Tapi ak-"

"Kak Kanzo pasti ga pernah ketinggalan takbir pertama sholat Maghrib, kan?" sela Atha, membuat wajah Kanzo masam.

"Baiklah aku kembali," lirih Kanzo.

"Kamu tidak menitipkan Atha padaku Kanzo?" tanya Maise tersenyum menggoda.

"Ah Bibi! Sudahlah!" seru Kanzo menahan senyum kemudian berlari keluar.

"Kak Kanzo kenapa sih, Bi?" tanya Atha, menatap Kanzo penuh tanda tanya.

Maise melirik Atha dan tersenyum penuh arti. "Dia tertarik padamu Atha."

"Bibi pasti bercanda, itu mustahil," sangkal Atha. Ia merasa geli dengan apa yang Maise ucapkan.

"Tunggu saja waktunya tiba," lirih Maise.

Atha mengernyit, menatap Maise yang malah melanjutkan langkahnya.

###

Sepoi angin menampar keras wajah Atha, membuatnya kembali ke dunia nyata. Senyum tipis mampir di bibirnya, ia masih ingat setiap detik pertama kali ia menginjakkan kakinya di panti ini. Terdapat rahasia rasa yang masih belum terungkap, dan mungkin, kini tertinggal diantara masa lalu.

Atha bangkit, waktunya kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status