Share

6. Buku diary

Atha menghela nafas pelan, dengan gerak pelan, ia melipat mukenanya dan meletakkannya di atas nakas samping kasur. Tangan kirinya merogoh bawah bantal dan menarik sebuah buku catatan dari sana. 

"Aku tahu segala tentangmu, dan kamu.. ga akan pernah bisa mengelaknya." 

Ucapan Kanzo di suatu hari terputar di ingatannya, membuat senyum kecil di wajah Atha timbul. Sejenak kemudian, ia menggeleng pelan, dan menatap buku catatannya dengan penuh arti.

'Kamu salah, Kak.. Kamu mungkin tahu segalanya tentangku, tapi itu hanya beberapa yang sengaja aku biarkan kamu tahu. Sampai kapan pun, kamu tidak akan tahu dengan apa yang tidak kuizinkan kamu mengetahuinya.' 

Wajah Kanzo yang memasang tampang songong terbayang.

Setelah beberapa saat memandang buku catatannya dengan penuh arti, Atha mengusap cover buku tersebut dengan lembut. Lalu membuka halaman pertama dengan perlahan. 

〝你 正在 思索 什么?〞

"Aku sedang memikirkan, hal yang sebenarnya harus aku lupakan wahai buku. Aku selalu memikirkan suatu hal yang seharusnya aku tinggalkan sejak saat itu, tapi kini aku malah semakin mendekapnya erat. Seolah aku tak bisa hidup tanpanya. Seolah dia adalah tumpuan hidupku, pusat tata suryaku, oksigenku."

Bayangan not nada, kertas usang dengan pena bulu di sampingnya, tergeletak di atas sebuah meja kusam menghinggapi pikirannya. Sebuah ruang musik, dengan piano antik yang terawat, biola tergeletak asal, gitar yang tergantung, harpa yang berdiri gagah, di sebuah bangunan megah merasuki ingatannya. 

Atha menggeleng pelan, berusaha mengenyahkan semua itu dari bayangannya. Baginya, masa lalu adalah bagian yang tak perlu ditengok, diingat cukup seperlunya saja. Namun, wajib dijadikan bahan pelajaran. Atha membaca baris selanjutnya, baris yang selalu membuatnya melontarkan jawaban berbeda. 

〝你 现在 正在 等 一个人 马?〞 

"Ya, aku menunggu seseorang yang selalu membuatku merasa ada, membuatku merasa bahagia. Dan bagaimana denganmu wahai buku? Apakah kau juga menunggu seseorang?" Jawabannya yang begitu spontan keluar tanpa berpikir matang juga membuatnya terkejut. Jawabannya kali ini benar-benar berbeda dari beberapa jawabannya sebelumnya yang biasanya serupa. 

Atha menutup matanya, lalu memejamkan telinganya untuk mendengar detak jantungnya sendiri yang berdetak seirama. Ia masih mencari maksud ucapannya sendiri, terdengar aneh memang, masa ia tak faham dengan arti ucapannya sendiri. Namun, memang begitulah kenyataannya. Ia masih mencari tahu, siapakah sosok yang sedang ditunggunya. Sosok yang dikatakannya mampu membuatnya bahagia, siapa? Atau malah ia tak akan menemukannya? 

Senyum getir tertoreh di wajah putihnya yang kini memerah, cahaya matahari menerobos sela-sela jendela yang tak tertutup rapat. Seandainya saja ia punya kekuatan untuk bangkit, ia pasti akan menutupnya rapat. Serapat mungkin, hingga angin sekencang apapun tak akan bisa membuat jendela itu terbuka sedikit pun. Ia memang menyukai cahaya matahari, tapi takdir tak pernah ingin ia menikmatinya. Melihat cahaya matahari muncul dari sela-sela jendela, membuatnya merasa sedikit... lega, entah kenapa. Sayangnya sekarang..

Ia sedang ingin menikmati kesendiriannya. Bersama gelap. 

Gemerisik daun yang bertabrakan karena tertiup angin terdengar, membuat alunan indah yang terdengar begitu berbeda di pendengaran orang yang mencintai seni. Seperti Atha, yang malah menerbangkan ingatannya ke kenangan beberapa tahun silam.

###

"Maaf Atha, aku telat menolongmu tadi," ucap Gretta sepupu Atha menangis penuh penyesalan disampingnya.

"Aku tak apa-apa Gretta, aku sudah biasa," tandas Atha menatap beberapa lebam di sikunya dan lututnya. "Mommy dan Daddy, ga bakal tahu tentang hal ini, jika saja mereka tahu pun, mungkin mereka juga tak kan peduli." 

"Kamu bicara apa sih, Atha?" sergah Gretta.

"Aku bicara fakta, Gretta, kamu ingat hari pertama kita masuk sekolah? Ketika aku jadi bahan bully, dan aku kembali ke rumah dengan tubuh memar, mereka sama sekali tidak mempermasalahkannya."

"Tapi Tha.."

"Dengan kamu, yang masih menghargai adanya aku disini, aku sudah sangat berterimakasih pada Tuhan," lirih Atha tersenyum manis.

Gretta ikut tersenyum mendengarnya.

"Jadi, apa kamu akan memutuskan ikut audisi menyanyi bulan depan? Miss Thompson sudah menunggu jawabanmu," ungkit Gretta.

Mendengar pertanyaan Gretta, Atha termenung. 

"Aku bisa aja ikut semua audisi Gretta. Entah menyanyi, menari ataupun memasak. Aku bisa, hanya saja.. Aku tak tahu bagaimana reaksi Mommy dan Daddy ketika mengetahuinya." 

Gretta meringis, ia ingat sekali paman dan bibinya sangat ketat pada pendidikan anak bungsunya. "Tapi miss Thompson akan sangat menyayangkan kebatalanmu mengikutinya. Kau tahu, Miss Bennett mengetahui bakat menarimu. Ia tanpa sengaja melihatmu menari balet di atap sekolah saat kau bersamaku kemarin lusa." 

"Aku tahu semua bakatku Gretta, kau tahu sendiri aku berhasil menerbitkan sembilan novel dalam satu tahun dan semuanya best seller. Aku mengarang lagu dan nada, tapi aku tak berani menyanyikannya. Kau mengejekku bodoh karena aku malah menyerahkan CD nya pada Sky, tapi dia lebih membutuhkan itu dariku. Lagi pula, itu semua tak penting untuk masa depanku." 

"Tak penting untuk masa depanku-tak penting untuk masa depanku-tak penting untuk masa depanku-tak penting untuk masa depanku-tak penting untuk masa depanku. Selalu itu yang kau katakan, kau tahu, aku tak suka kamu menggantungkan semua jalanmu pada orang tuamu dan meninggalkan semua mimpimu begitu saja," sahut Gretta berapi-api.

"Sudahlah Gretta, aku sedang tak ingin berdebat. Aku lelah," lirih Atha melirik jarum infusnya kemudian memilih terpejam, menghiraukan raut Gretta yang kecewa padanya.

###

Setetes air mengaliri pipinya, dalam diam ia merindukan Gretta. Merindukan kebersamaan yang dulu selalu Gretta usahakan bersamanya. 

Orang tuanya selalu menganggap, sekolah hanya tempat bersosialisasi, sebagai tempat memperluas kekuasaan, memberi tahu lebih banyak kepada banyak orang sehebat apa nama keluarganya. Tapi Atha tak peduli. Daddy-nya selalu berkata bahwa ia hanya perlu mempertekun les-lesnya, bukan fokus pada audisi atau apapun yang diselenggarakan oleh sekolahnya.

"Sekolahmu memang internasional, tapi tak ada gunanya untuk masa depanmu. Cukup patuhi apa yang daddy katakan, dan para guru les mu perintahkan. Karena lomba-lomba di sekolahmu hanya membuatmu dalam pertarungan dengan orang yang lemah, kamu pasti menang. Dan lomba-lomba seperti itu hanya membuang waktu."

Saat itu Atha hanya bisa menghela nafas sepelan mungkin, berusaha agar sang ayah tak tahu apa saja jenis kelelahan yang ia pendam. Sejak saat itu ia tahu kenapa daddy-nya tak pernah menyanjungnya atau bahkan menatapnya dengan pandangan bangga ketika ia meraih bintang pelajar, murid paling berprestasi, atau juara-juara lainnya. Yang daddy-nya tekankan hanya les-les yang bagi Atha cukup menguras emosinya.

Les bahasa ini, kemudian les bahasa itu, les piano, kemudian les biola, les balet, kemudian les dance, lalu les-les yang membuat Atha cukup tertekan. Tapi tidak sampai membuat kewarasannya hilang.

Lalu ingatannya berjalan menuju suatu memori baru. Suatu kenangan yang tak akan pernah ia lupakan sampai kapanpun. Karena saat itu adalah suatu awal ia menemukan jalannya sendiri.

###

"Kamu siapa?" Atha terkejut ketika mendapati sosok wanita berhijab lebar di belakangnya.

"Kamu pasti pernah melihatku sebelumnya. Aku Lidya Mahesa, dan akan menjadi teman dekatmu," tutur gadis itu dengan riang.

Atha cengo, "Teman dekat?" 

"Berhubung, orang tua kita adalah sahabat dekat, tak masalah bukan jika anak-anak mereka ikut menjadi sahabat dekat?" tanya Lidya tersenyum manis padanya. 

Detik itu pula Atha mengenal islam lebih jauh, mengenal siapa itu Siti Fathimah, Siti Aisyah, Siti Khodijah dan siapa itu Rasulullah SAW. Perkenalannya dengan Lidya Mahesa menumbuhkan rasa cinta kepada Islam. Dan pada saat kedua orang tuanya ditugaskan keluar negeri, ia meminta - lebih tepatnya memaksa - Lidya untuk menginap di rumahnya.

Malam itu, malam yang disebut Lidya dengan malam 21 Ramadhan, ia menguatkan hatinya untuk memeluk Islam, berlandaskan cinta dan keikhlasan.

"Seharusnya ada dua saksi untukmu, besok kita pergi ke rumahku, dan umi serta abi akan menjadi saksi atas hijrahmu," kata Lidya memeluk erat Atha setelah mengatakannya.

Keesokan harinya Atha menuju rumah Lidya, dan persaksiannya disahkan. Atha tersenyum bahagia setelahnya. Sangat bahagia. 

Orang tua Atha yang kembali sesuai jadwal, terkejut mendapati putri bungsunya berhijab dan berjubah. Atha dengan tenang menjawab bahwa ia telah berbeda keyakinan dengan meraka. Dan reaksi sang ayah sangat tak ia duga. 

Dengan langkah seribu, sang ayah menghampiri Atha dan menarik kuat-kuat ujung hijabnya, memang tidak cukup untuk membuat hijab yang Atha lingkarkan di kepalanya dengan erat terlepas, tapi membuat kepala Atha berdarah tertusuk jarum yang ia sematkan di puncak kepalanya.

Atha menahan tangis, sang ayah tetap tidak peduli dan melemparkannya ke ruang tengah, di mana patung salib berdiri kokoh.

Dengan suara sekeras guntur sang ayah memerintahkannya untuk bersujud pada patung tersebut, dan memohon maaf padanya.

"Atha menolak, Atha ga bodoh buat sujud ke patung mati!" bentak Atha saat itu. Bentakan Atha yang membuat sang ayah memberinya dua pilihan berat. 

"Pilihlah! Pergi dengan pengkhianatanmu pada kami, atau kembali pada kepercayaanmu," putus sang ayah.

Atha melirik ibunya yang terduduk lemah di atas lantai, lalu Atha tersenyum tipis.

"Atha pilih pergi, dan meninggalkan rumah ini," jawab Atha tegas, menimbulkan kekagetan luar biasa pada ibunya. 

"Kamu bukan bagian dari keluarga Dafandra lagi!" bentak sang ayah.

Atha terguncang sejenak sebelum kemudian ia berhasil menguasainya.

"Baik Daddy, Atha Jeremia Stasya Dafandra kalian telah mati!" sorak Atha lantang agar kedua orang tuanya faham bahwa ia sedang tak main-main. 

Atha mematung sejenak ketika mendengar raungan sang ibu, tapi ia memilih tak peduli. Atha membenarkan letak hijabnya lalu berlari keluar, pergi untuk selamanya, meninggalkan rumah yang telah menaunginya selama 14 tahun.

Air mata Atha mengalir tanpa henti ketika mengingatnya, ia mungkin tidak merindukan Daddy-nya, tapi ia sangat merindukan Mommy-nya.

Atha, dalam keadaan apa pun jika diperintah memilih antara ayah dan ibunya, dengan tanpa berpikir ia pasti memilih sang ibu. 

Sebelum mengenal Maise, Atha menobatkan Mei Han, ibu kandungnya sebagai manusia paling lembut dan penuh kasih sayang. Sang ibu selalu bersedia meluangkan waktunya untuk putri bungsunya yang tak pernah mendapatkan kasih sayang sang ayah, meski Atha sempat membencinya. Lantaran sang ibu tidak pernah membelanya di depan sang ayah.

Rumah berlantai empat, dengan kemewahan yang melekat di setiap sisinya, tidak selalu menimbulkan rasa lega dan bahagia. Nyatanya, Atha malah merasa dikekang dan dibelenggu. Dan setiap langkah kakinya keluar dari rumah itu, semakin membuatnya merasa bahwa naungannya selama ini adalah Sang Pencipta Alam Semesta, Allah Subhanahu W* Ta'ala.

*你 正在 思索 什么?: Nî zhèngzài sīsuö shènme? 

; Apa yang sedang kamu pikirkan? 

*你 现在 正在 等 一个人 马?: Nî xiánzài zhèngzài děng yī ge rén ma? 

; Apa kamu sedang menunggu seseorang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status