Share

4. Bibi Maise

"Apa aku terlihat begitu mencolok?"

Atha menatap Kanzo meminta jawaban, di negaranya dahulu ia selalu direndahkan, tak punya teman dan selalu sendirian. Alasan kenapa ia lebih suka tempat ini, hangat dan penuh kasih sayang serta kepedulian. Maise terharu ketika Atha bercerita tentang perasaannya. 

"Ya.. Kulitmu yang putih itu terutama, apalagi aku yang punya darah Jepang saja kalah putih. Padahal disekolah aku juga mencolok." Kanzo terkekeh menjaabatkan fakta. Ia tak bisa membayangkan jika Atha sekolah di tempat yang sama dengannya, ia berpikir bagaimana tatapan semua murid kepada Atha yang tampak begitu unik dan cantik.

"Sama dong, di sekolahku dulu, aku juga gitu. Malah lebih parah lagi. Karena dapat sanjungan dari guru yang terkenal killer, aku dijauhi teman sekelas, bahkan jadi bahan bully-an," curhat Atha, ia tersenyum ketika mengingat itu semua. 

"Mereka cuma iri," ujar Kanzo terbahak.

"Aku faham kok," sahut Atha tertawa. 

Mereka terus berbincang tanpa sadar Maise mengamati mereka sedari tadi.

###

Suara lenguh pelan membuat lamunan Maise kembali buyar, ia menatap Atha yang meringkuk lemah di atas ranjangnya. Maise menyibak selimut yang membalut tubuh Atha perlahan. Dan meringis kecil melihat kaki kanan Atha diperban. 

"Atha, bangun, Nak! Sudah jam delapan," bisik Maise pelan 

Atha melotot kaget, "Hah? Sudah pagi?!" 

Atha langsung berusaha bangkit, yang akibat ketergesaannya kakinya menyandung ujung tiang kasur. "Aduh! Astaghfirullah!" jerit Atha meringis.

"Masih malam nak, kamu duduk dulu. Sedari sore kamu belum makan." Maise membantu Atha duduk, kemudian menumpuk beberapa bantal di kepala ranjang agar Atha bisa bersandar nyaman. 

"Makasih, Bi, bisa Bibi keluar dulu? Aku akan sholat." Atha tersenyum sopan. Terdengar tidak sopan memang, mengusir orang yang telah menunggu ia siuman, tapi ia benar-benar tak ingin telat melakukan ibadahnya.

"Boleh, Bibi keluar dulu. Nanti kalo sudah selesai, panggil Bibi ya." Maise mengelus puncak kepala Atha lalu bangkit untuk keluar kamar. Tapi tarikan ditangan kanannya membuat laju tubuhnya berhenti.

"Maaf sudah merepotkan, Bibi," lirih Atha menunduk sungkan.

"Hey, kamu mengatakan demikian seolah aku orang lain bagimu. Ingat, aku ini keluargamu, Nak. Tak ada istilah merepotkan dalam kekeluargaan. Jika kamu merasa merepotkanku, bukankah setiap hari aku selalu merepotkanmu?"

Atha mengernyit, tak faham. 

Maise kembali duduk.

"Aku berniat mengambil sendiri cat kayu yang ada di gudang, kamu kasihan dan berniat mengambilkannya untukku. Kamu memang selamat sampai sekembalimu, tapi kamu tak selamat dari ceramah Kanzo, dan membuatmu harus bersabar sekuat mungkin karena kamu sedang puasa. Bukankah itu termasuk merepotkan?" ungkap Maise dan kembali duduk dan menggenggam tangan Atha penuh kehangatan. 

"Tapi aku ikhlas melakukannya, Bibi," sanggah Atha 

"Begitu pun aku yang ikhlas melakukan ini Atha," sahut Maise tersenyum. Ia selalu nyaman ketika berbicara dengan Atha yang selalu bersikap sopan pada siapa pun.

"Tapi Bibi tak seharusnya merepotkan diri Bibi dengan seperti ini." Atha tersenyum tak enak, apalagi setelah mendapati mangkuk berisi sup yang selalu ia sukai terletak manis di atas meja. Atha tahu, Maise pasti merepotkan dirinya untuk membuat seporsi sup hanya untuknya, padahal Atha akan memakan apa pun yang divawakan Maise untuknya.

"Aku tak merasa repot Atha." Maise mengibaskan tangannya di udara, berusaha membuat Atha santai. "Oh iya, Kanzo menitipkan salam padamu, dia bilang jangan manja."

Wajah Atha memuram seketika, ia tak tahu kenapa amarahnya selalu mudah terpancing jika berurusan dengan Kanzo. "Apakah menurut bibi aku manja?" tanya Atha tak terima.

"Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya menyampaikan amanah, itu saja," sangkal Maise tergelak, ia jadi mengingat raut wajah Kanzo yang tampak jahil ketika mengatakannya.

"Dia selalu menjengkelkan," gerutu Atha.

"Dia menyukaimu Atha, sudah kubilang dari dulu," ungkit Maise.

Ucapan Maise membuat pipinya bersemu. Tadi tidak lama, "Aku tidak peduli, Bibi, bagiku dia sangat menjengkelkan. Titik. Dia keras kepala, sok heroik, dan usil. Dia selalu suka membuat darahku naik," serbu Atha yang membuat Maise semakin tergelak.

"Dia keras kepala untuk menjagamu Atha, dan tentang sok heroik.. Bukankah dia memang selalu menyelamatkanmu dari berbagai musibah yang menimpamu? Lalu, tentang usil.. Dia suka melihat wajah cemberutmu. Katanya kamu lucu.." 

"Lucu? Aku juga akan menganggapnya lucu jika memakai topeng barongsai dan terperosok di lubang penuh lumpur," balas Atha, ia jelas merasakan kepalanya memanas. 

"Hargai dia Atha, asal kau tahu saja.. dia selalu mengikutimu, terang-terangan maupun diam-diam hanya untuk menjagamu dari segala bahaya. Kau ingat dulu, saat kau bertengkar dengannya lalu lari ke belakang gedung putih dan entah kenapa lensamu hilang sebelah? Bukan Amaira yang menemukannya, melainkan Kanzo. Dia mencarinya hingga malam dan menemukannya tergeletak di atas daun yang gugur, yang syukurnya tak terlalu kotor." 

"Aku akan menyebutkannya satu per satu, kalau kamu merasa sudah cukup, hentikan ucapanku. Kanzo pernah menarik tubuhmu agar merapat ke sisinya agar tidak kejatuhan tangga besi yang kebetulan tersenggol Zayn, kamu marah pada Kanzo karena kamu mengiranya seenak jidat memelukmu. Kamu bahkan tidak mengacuhkan suara keras dari tangga yang ambruk, dan lebih memilih mengomel habis-habisan pada Kanzo. Kanzo pernah menarik pasminamu agar tidak tersangkut kawat berkarat yang ada pada gerbang, dan kamu malah mengaktifkan mode silent selama tiga hari padanya. Kamu juga pernah marah pada Kanzo karena dia melarangmu membantu Arabella merapikan perpustakaan, tanpa kamu tahu, kamu dahulu pernah hampir tertimpa puluhan buku jika saja Kanzo tak mejadikan tubuhnya tameng untuk melindungimu. Kanzo pernah berlari ke arahmu yang sedang berdiri di atas kursi untuk menempelkan balon-balon di dinding ketika acara ulang tahun Khodijah yang ke-lima, kamu akan jatuh jika saja saat itu Kanzo tidak memegangi kursi yang kamu naiki. Kamu pernah salah menaiki tangga yang rapuh ketika di gudang, kamu memarahi Kanzo karena kamu menganggapnya menggodamu dengan menggenggam tanganmu erat. Kamu tahu bahwa menyentuh sosok yang bukan mahram menimbulkan dosa, tapi dia tetap melakukannya untuk melindungimu. Kamu pernah mengambil makanan merpati dan berniat memberi makan merpati-merpati milik Kanzo, dan kamu marah karena Kanzo melarangmu. Tanpa sepengetahuanmu, yang kamu ambil bukan makanan merpati tapi ikan koi. Kanzo-"

"Cukup Bi, berhenti sampai di sini," potong Atha sembari memegangi kepalanya, ia malu, ia merasa kalah. Detik itu juga, pening melanda kepala Atha.

"Kamu tak apa-apa, Nak?" Maise langsung cemas ketika Atha terpejam sembari memegangi kepalanya erat-erat.

Atha diam, tak mengangguk, juga tak menggeleng. 

"Atha, aku akan memanggil dokter," putus Maise berdiri. 

"Tidak, Bibi, aku baik-baik saja. Anggaplah otakku yang kurang beres," tolak Atha memaksakan tawanya.

"Aku akan panggil dokter, setelah itu aku baru bisa tenang," kekeuh Maise 

"Bibi, kubilang aku baik-baik saja. Aku akan sholat dan memakan sup yang Bibi bawa. Terimakasih, Bibi boleh kembali, sekarang sudah jam sembilan kurang lima menit," usir Atha secara halus.

"Atha.. Aku tak yakin dengan ekspresimu itu," tolak Maise, ia jelas khawatir dengan Atha.

Atha berkeras, "Bibi, memanggil dokter hanya membuang waktu. Lagi pula aku sudah baik-baik saja.." 

"Untuk malam ini aku mengalah padamu, Nak. Panggil Sheryl dikamar sebelah jika kamu butuh sesuatu. Assalamu Alaikum.." 

Maise menutup pintu kamar setelah Atha membalas salamnya dengan suara pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status