Share

De Crepusculum
De Crepusculum
Penulis: deaarmaya

1. Ketenangan

Atha berdiri dalam diam, ia masih betah menatap perbukitan hijau dibelakang panti. Harum udara setelah hujan membuatnya mampu meresap kedamaian yang dibalut keheningan penuh ketentraman, kesempatan langka yang tak akan ia dapatkan jika ia tidak berada di tempat ini. Panti asuhan, meskipun dipenuhi anak-anak kecil bermata jernih dan menyenangkan, tak akan pernah bisa menawarkan kedamaian semacam ini.

Atha memejamkan matanya, berusaha menghirup udara disekitarnya sebanyak-banyaknya. Hari Jum'at selalu menyenangkan baginya, karena hanya pada hari itulah ia bisa menyisihkan waktu untuk dirinya sendiri, menikmati indahnya alam bebas, meski tak seluas yang dipandang banyak orang.

 Mau bagaimana lagi, ia telah berjanji akan mengabdikan hidupnya untuk panti asuhan yang baru ia tempati 2 tahun terakhir ini. Panti asuhan yang langsung ia cintai ketika ia pertama kali melihatnya, panti asuhan yang terletak di pinggir kota kecil yang damai, Najma Amana.

Burung-burung merpati berwarna putih dan abu-abu terbang melintasinya, ia tahu milik siapa merpati-merpati itu. Sosok yang ia kagumi sekaligus ia hormati, meski terkadang membuatnya jengkel setengah mati.

Tatapan Atha mengikuti merpati-merpati tersebut, sayapnya yang tersibak indah membuat Atha tersenyum senang. Ia, mengakui, suara kepakan sayap burung-burung itu membuatnya sedikit merasa rindu pada tempat kelahirannya dulu. Sebuah negara yang jauh dari tempatnya sekarang berada. 

Namun, ingatannya lebih tertuju pada apa yang terjadi padanya saat pertama kali menginjakkan kakinya di tanah yang baginya penuh kedamaian ini.

###

Di suatu senja 2 tahun yang lalu..

Atha dengan penampilan barunya, mengenakan hijab lebar dan jubah panjang belarian di lapangan samping panti, ia begitu bahagia ketika menyaksikan banyak merpati bertengger di ranting pohon, dan memakan rempahan makanan di atas paving lapangan. Pemandangan yang biasa ia lihat saat ia di Roma dahulu.

Namun, sekarang berbeda. Ia seolah merasakan sensasi berbeda yang tak pernah ia dapatkan dahulu.

"Kamu anak baru dipanti ini?" Suara berat seorang lelaki menyapanya dari arah samping.

"Ah? Ya. Saya baru saja datang beberapa menit yang lalu," ucap Atha dengan wajah tertunduk. Ia berusaha untuk menampakkan rasa hormatnya pada siapa pun yang telah menghuni panti ini lebih awal darinya.

"Saya? Kamu terlalu kaku ya?" ucap lelaki itu diiringi tawa merdu, tawa yang membuat Atha merasa serba salah.

"Ma.. Maaf.." gagap Atha memutuskan untuk minta maaf, meski ia tak tahu di mana letak kesalahannya.

"Maaf? Maaf untuk apa?" tanya lelaki itu dengan senyum yang masih melekat di wajahnya, "Oh iya. Perkenalkan, namaku Kanzo Arata. Kamu?"

"Atha, Atha Jeremia," jawab Atha setelah menelan ludah sejenak, suara jernih yang khas itu membuat Atha merasa nyaman seketika. Lalu Atha memberanikan diri menatap lawan bicaranya, mengamati wajahnya, dan memutuskan untuk bertanya, "Dari namamu, maaf, apa kamu punya darah Jepang?" 

Atha merasa kurang sopan, tapi ia ingin tahu. Lelaki yang berdiri tenang di hadapannya kini berkulit amat putih meski tak seputih dirinya, tapi warna kulit lelaki ini terlalu mencolok jika disandingkan dengan warga negara ini.

"Ya." Kanzo mengangguk. "Ibuku orang Hiroshima. Dan bagaimana denganmu? It is clear that you are not native to this area," tebak Kanzo, "Kulitmu terlalu mencolok dan... matamu biru? Entah kenapa terlihat seperti ungu di penglihatanku," celoteh Kanzo. Ia terkekeh sembari mengelus seekor merpati putih yang sedari tadi memang ada di pelukannya. Tatapan matanya tak lepas dari Atha yang tampak begitu bersinar di bawah cahaya matahari senja.

"Kalau aku.. ibuku asli China, dan ayahku dari Roma. Sedangkan, mata ungu di penglihatanmu, mungkin karena mataku berwarna merah dan menggunakan lensa biru," terang Atha tersenyum tipis, beberapa orang yang mengenalnya sebelum ini kebanyakan juga menanyakan hal yang sama, dan ia terbiasa menggunakan jawaban yang sama.

"Merah? Kamu albino?" Mata Kanzo terbelalak akibat kaget. Ia tak menyangka akan menemukan albino secantik Atha 

Atha mengangguk mengiyakan, ia memamg albino seperti yang diduga Kanzo.

"Kak Kanzo!"

Dari arah kiri, seorang lelaki sepantaran mereka memanggil Kanzo sembari berlari kencang.

"Ada apa lagi?" ucap Kanzo sembari menatap malas lelaki itu, seolah-olah anak laki-laki yang tampak setahun atau 2 tahun lebih muda itu terbiasa merepotkannya.

"Kak Kenzo break the aquarium in the living room!" sorak anak laki-laki itu dengan raut jengkel yang tak bisa di sembunyikan. "Kenapa Kak Kanzo malah santai-santai di sini sih?" decak lelaki itu, lalu memalingkan wajahnya ke arah Atha dan menatap gadis albino itu dengan tajam. "Dan, kamu siapa? Aku belum pernah melihatmu," ucap lelaki itu.

Tatapan tajam yang Atha dapat dari lelaki itu membuat sedikit merasa takut.

"Sopan sedikit dong kalo bicara. Dia Atha, anak baru di panti ini," jelas Kanzo.

"Oh, kak Atha, namaku Kahlil," ucap Kahlil tersenyum, tatapan tajamnya sirna tergantikan sorot lembut.

Atha mengangguk, ia tak tahu harus berkata apa.

"Kak.. Kok malah ngelamun sih?! Urusin tuh kak Kenzo! Aku ga mau kepalaku bocor gara-gara vas bunga melayang, ya," oceh Kahlil sembari mendorong kakaknya ke arah belakang panti, yang memang ada sebuah bangunan terpisah.

Kahlil benar-benar parno jika Kenzo benar-benar lepas kendali dan melukai semua orang di sekitarnya. Kakaknya yang satu itu memang temperamental.

Kini tertinggal Atha sendiri yang tak tahu harus ke mana. Ia tak tahu pintu depan sebelah mana. Pasalnya bangunan panti terlalu besar dan ada banyak pintu berukuran besar di bangunannya.

Gaya bangunan yang tampak megah dan kuno, justru tampak antik karena sangat terawat. Atha berani bersaksi bahwa bangunan ini sudah didirikan sejak lama, dan pemiliknya amat rajin merawatnya. Atha tersenyum, ia yakin akan menemukan cerita indah yang tak ia dapatkan sebelumnya.

Selang 15 detik, Kahlil kembali. Sedangkan Atha masih berdiri di posisi yang sama sebelum ditinggalkan tadi.

"Kak Atha!" 

Atha mengamati Kahlil lekat, mencoba menaksir umur mereka, lalu menghela nafas ketika ia menduga bahwa mereka seumuran. "Looks like we're not that far apart in age, you can just call me Atha," pinta Atha

"Umur kakak berapa?" tanya Kahlil alih-alih menuruti apa yang Atha minta.

"Empat belas tahun, dan kamu?" sambut Atha dan bertanya balik.

"Masih empat belas. Sama," tutur Kahlil, nyengir kuda.

"Pintu depan mana, ya?" tanya Atha melongok ke seluruh bagian panti.

"Di panti ini ga ada pintu depan, yang ada malah pintu samping. Aku ga tahu kakek moyangku merintah siapa buat ngedesain ini panti." Kahlil tertawa ketika menjawabnya, ia merasa apa yang ia katakan amat lucu.

"Kakek moyang?" tanya Atha saat berusaha memahami maksud lain dari ucapan Kahlil.

"Kukira kak Kanzo udah ngasih tahu kamu, kakek moyang kami adalah pendiri panti ini. Udah sejak abad delapan belas sih, ga heran kalo bangunan ini terlihat udah kuno. Tapi masih tetep terawat kok. Selain itu, kakekku juga pendiri asrama dan sekolah lho," cerita Kahlil dengan senyum terkembang.

Atha menangkap nada bangga dalam ucapan Kahlil.

"Hebat ya," sanjung Atha terkesima. Atha tahu benar siapa pun yang bisa dan mampu membangun sebuah panti adalah sosok yang begitu mulia. Dan apa yang dikatakan Kahlil tadi? Asrama dan sekolah? Atha benar-benar ingin tahu bagaimana rupa kakek moyang yang nampaknya benar-benar dibanggakan oleh Kahlil tersebut.

Kahlil mengangguk sebagai tanggapan. Lalu menatap Atha serius ketika mengingat sesuatu yang harus ia beritahu pada anak baru di depannya ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status