Share

5. Dunia malam Kenzo

Atha kembali sendirian lagi. Menatap bulan yang menggantung di langit malam malah membuat dadanya semakin berdenyut perih, perih untuk alasan yang tidak jelas. Sesak yang terlalu abstrak untuk dijabarkan.

Di telinganya, bergema suara-suara yang berasal dari ingatannya. Semua berputar dan terulang secara acak, membuat Atha merasa lelah.

"Kamu sukanya marah-marah terus sih kalo sama aku. Coba sama Kahlil pasti cuma disenyumin terus pergi," protes Kanzo ketika ia mendelik menatap Kanzo yang menarik ujung pasminanya.

Di lain waktu, Kanzo malah berkelakar ketika ia memarahinya di gudang. "Marah aja, aku malah senang kalo kamu marah. Itu artinya aku berhasil melindungimu, dan yang aku lindungi adalah Atha yang asli, bukan samaran jin atau siluman."

"Aku cuma mau bantu, ini tugas lelaki. Kamu kenapa sih semarah ini?" tanya Kanzo tersenyum masam, ketika dirinya melotot pada Kanzo yang menarik meja kayu yang cukup berat dari dorongannya.

"Aku cuma iseng, takutnya kamu jatuh. Apalagi kamu ga punya bakat alami untuk menyeimbangkan tubuh secara spontan. Maaf kalo malah bikin kaget," ceplos Kanzo nyengir, saat ia menanyakan kenapa Kanzo menarik kain jubah bagian punggungnya ketika memberi makan ikan koi di kolam samping gedung putih. 

"Anggap aja aku dewi fortunamu, eh? Tapi dewi fortuna kan cewek, ya?" canda Kanzo terbahak, di suatu hari ketika ia mengatakan padanya kalau ia jengah dengan tingkah konyol Kanzo.

"Ganti nama aja deh, Tha. Atha itu terlalu anggun buat kamu yang cerewet dan mudah terpancing emosi," celetuk Kanzo ketika ia mengomel karena telat menyadari bahwa cairan yang ia bawa adalah sabun cuci piring alih-alih pembersih kaca seperti yang ia kira.

Atha membuyarkan lamunannya yang tak berguna dan bangkit sebelum kemudian tertatih berjalan ke arah kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Setelah sholat, Atha meraih mangkuk sup yang telah mendingin. Tapi bagaimana pun keadaan buburnya, di lidah Atha, rasanya tetap enak. Mungkin karena ia sedikit tak enak badan jadi ia merasa tak nikmat saat menelannya.

Atha berusaha menggerakkan kakinya perlahan, namun rasa nyeri semakin terasa, seraya mengucap istighfar berulang kali Atha menepuk kakinya pelan. 

"Cobaan, ga boleh mengeluh. Wajib sabar biar pahalanya ga dikurangi sama Allah."

Ucapan Kanzo sepulang dari klinik terngiang, membuatnya tersenyum tipis dan menebalkan rasa sabarnya.

"Mungkin kamu akan kesulitan berjalan untuk beberapa minggu ke depan. Untung saja kamu segera dibawa kemari, sehingga bisa lebih cepat diurut dan diberi salep. Telat sedikit saja bisa saja terjadi pembengkakan."

Ucapan dokter di klinik terbayang lagi, membuat rasa bersalah Atha semakin mendalam. Ia bertekad untuk meminta maaf pada Kanzo esok hari.

Atha memejamkan matanya perlahan, posisi tubuhnya masih duduk dan bersandar pada bantal-bantal yang disusun oleh Maise, tangannya juga masih memegang mangkuk yang isinya tersisa sedikit. Biasanya ia selalu menghabiskan sup yang dibuat langsung oleh Maise, tapi mungkin karena sakit, nafsu makannya jadi berkurang.

[{}{}{}]

"Lah, Kak Kanzo belum tidur? Kenapa? Obat nyamuknya habis?" Kahlil heran mendapati kakaknya masih hidup di jam sepuluh malam.

"Kamu sendiri ngapain malam-malam belum tidur? Bocah harus tidur sebelum jam sembilan," celetuk Kanzo malas menjawab.

"Ngomongnya seolah kita beda sepuluh tahun aja," goda Kahlil yang langsung tertawa, lalu duduk di sofa, tepat di depan kakaknya. 

"Aku mikirin Atha," ungkap Kanzo mengaku, pandangannya menerawang. Tanpa diminta ia mengatakan terlebih dahulu alasan ia belum tidur di jam selarut ini. 

"Sudah kudugong," decak Kahlil dengan raut wajah bisa "Jangan terlalu dipikirin, Kak, otak juga butuh refreshing," saran Kahlil.

"Seandainya aja tadi aku ga muroja'ah disana, pasti Atha ga bakal kaya gini sekarang," rutuk Kanzo penuh penyesalan.

"Kak Kanzo ini kenapa, sih? Yang dorong Atha sampe jatuh itu kakak?" tanya Kahlil yang bingung.

"Aku hafal kebiasaan Atha di Jum'at sore, pergi ke belakang gedung putih dan diem di sana sampe beberapa waktu. Aku ngikutin dia ke sana, sampe aku bosan. Dan untungnya aku bawa si Aswid-" 

"Aswid?" potong Kahlil bingung.

"Lupa lagi, merpati hitamku yang gelap itu lho," ucap Kanzo berdecak.

"Oh, ya." Kahlil mengangguk mengerti, 'lagian, merpati aja dikasih nama!' batin Kahlil.

"Aku kirim dia ke Atha, tapi Atha malah meluk dia sama ngoceh-ngoceh sendiri. Akhirnya, aku baca surat Ar-Rahman. Awalnya, aku bisa lihat waktu pertama kali dengar suaraku langkahnya berhenti. Tapi aku tetep baca, sampe kakinya nginjak batu licin, dan apesnya di sana pas di tanah yang ga rata dan banyak akar-akar liar yang tumbuh. Atha ga bisa berdiri, aku angkat sampe sebelah gedung putih dan dia malah minta turun. Awalnya sih kami debat karena dia kekeuh minta langsung ke kamarnya, tapi aku yang takut dia ada apa-apa maksa dia buat periksa di klinik. Untungnya tepat waktu. Bu Kyara bilang kalo telat sedikit aja bisa kena pembengkakan," jelas Kanzo di akhiri helaan nafas. 

"Kak Kanzo pasti lega." Kahlil tersenyum, ia lega mendengar Atha baik-baik saja.

"Aku ga bisa lega buat sementara ini, aku ga tahu sekarang dia baik-baik aja atau malah butuh sesuatu," ketus Kanzo, tangannya mengepal.

"Bibi Maise pasti udah ke kamarnya, Kak Kanzo tenang aja deh. Karena kalo aku jadi bibi Maise, aku buatin sup dan kirim ke kamar Atha," sahut Kahlil dengan nada riang.

Kanzo berdecak sebal. "Kenapa kamu ngomong perihal sup sih?!" 

"Apa masalahnya? Kan aku bilang seandainya aku di posisi bibi Maise?!" ucap Kahlil memasang tampang polos.

"Aku jadi pengen sup nih!" ujar Kanzo berdecak jengkel. 

"Lah, bodo amat," sahut Kahlil terbahak lalu berlalu, meninggalkan Kanzo sendiri bersama tekad akan segera tidur karena besok ia akan mengunjungi Atha dan memastikan keadaannya.

[{}{}{}]

Seorang kawan menepuk pundak Kenzo yang sedari tadi terdiam, entah apa yang memenuhi kepalanya. "Ken? Elo beneran ga jadi lawan Hilary? Bukannya elo kesini buat ngabisin tuh kunyuk?" 

"Gue ga mood buat balapan, suruh Genta atau Seza buat gantiin, gih," perintah Kenzo sembari menatap area balapan yang tak rapi lalu mendengus.

Sang kawan yang telah pergi membuatnya leluasa menemukan waktunya untuk sendiri. Para gadis dengan baju kekurangan bahan melintas dihadapannya, melontarkan cuitan menggoda dan senyum percaya diri, bahwa dirinya paling cantik sedunia. Kenzo memalingkan tatapnya ke arah lain, arah yang hanya ia lihat sendiri. 

"Kalo kamu emang Muslim, kamu ga boleh minum arak, berjudi, bersetubuh dengan yang bukan mahram. Dunia hanya tempat singgah untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya, agar dapat kekenyangan diakhirat!" 

Kenzo merutuk kesal ketika ucapan sang guru terputar di memorinya. Ia benci petuah semacam itu. 

Islam terlalu mengikatnya, membelenggunya dan membuatnya tenggelam dalam lautan kesengsaraan. Kenapa tidak boleh meminum arak? Toh, hanya dengan itu ia bisa merasakan semuanya ringan tanpa beban, hanya dengan itu ia bisa mereguk kebebasan memilih hidup. 

Dan berjudi? Kenapa diharamkan? Baginya judi adalah sebuah permainan seru yang amat menantang. Di permainan itu ia menemukan kegembiraan meski sarat dengan kehilangan. 

Dan free sex? Juga diberi tanda silang hitam? Kenapa? Jika cara menikmati dunia dengan cara itu adalah yang paling nikmat dan menyenangkan, kenapa dilarang? 

Tuhan, ga pengen hamba-hamba-Nya berbahagia didunia. 

"Malem ini lo ngelamun mulu Ken? Kenapa? Masalah rumah jangan dipikirin lah," seloroh Seza yang baru saja turun dari motor besarnya menghampiri Kenzo yang duduk diam.

"Ga papa, lagi ga mood doang," sahut Kenzo lesu.

"Labil amat lo! Mood swing segala," goda Seza terbahak.

"Umur gue masih tujuh belas, Bro, emang elo yang udah tua," cibir Kenzo. 

"Elo ngomongnya seolah gue lahir seratus windu lebih awal dari pada elo," kelit Seza, kemudian terbahak lagi, ia dan kawan-kawannya sudah terbiasa dengan sifat Kenzo. 

"Lahir di keluarga ningrat tak menjanjikan hidup bahagia."

Kata-kata semacam itu sering terlontar dari mulut Kenzo ketika para kawan memuji keberuntungannya yang lahir di keluarga yang terhormat. Dan Genta mengakui bahwa apa yang dikatakan Kanzo benar. 

###

"Gue jadi elo pasti ngerasa beruntung, Ken. Ga seharusnya elo malah makin bejat seolah ga punya didikan ketat. Kita kaya gini karena kita ga punya tempat kembali, sedangkan elo punya. Elo termasuk beruntung." Begitulah tutur Dianne. Gadis yang mengagumi Kenzo itu buka suara ketika suatu hari melihat Kenzo memukul batang pohon berkali-kali hingga tangannya berdarah. 

"Atau elo aja yang jadi anaknya abi?" sarkas Kenzo yang sudah lelah menghadapi tekanan keluarganya. 

"Jangan gara-gara sakit hati elo sama Kanzo, elo ngerusak masa depan elo, Ken," lirih Dianne tersenyum miris.

"Sekali lagi elo nyebut nama dia, jangan pernah berharap bisa ngobrol sama gue lagi," ancam Kanzo. Tatapan tajam Kenzo layangkan pada gadis di sampingnya.

###

Mengingat hal itu, Seza melirik Kenzo yang tatapannya kosong, senyum iba terukir di wajah tampannya.

"Elo mau balik? Atau..."

"Balik, gue balik aja," sahut Kenzo 

"Oke, kalo butuh apa-apa, elo bisa hubungi gue." Seza menepuk pundak Kenzo pelan lalu bangkit dan menghampiri kerumunan kawan-kawannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status