Dua tahun yang lalu - Singapura, 3:42 PM
Gio memilih tangga darurat. Setiap lompatan tiga anak tangga membuat otot betisnya terbakar, tetapi teriakan minta tolong yang samar-samar terdengar di atasnya memacu langkahnya. Ketika mencapai lantai 12, asap sudah begitu pekat hingga ia harus merangkak. Kaca jendela di koridor pecah oleh panas, serpihannya berhamburan seperti hujan beling. "Tolong... ada yang..." Suara lemah itu berasal dari ruang arsip. Gio mendobrak pintu yang sudah setengah hangus. Di balik tumpukan rak yang roboh, Lina—asisten proyek mereka—terjebak dengan kaki tertimpa besi penyangga. Darah mengalir dari luka di dahinya. "Gio... dokumennya..." Lina menggapai-gapai ke arah tas laptop yang terjepit di bawah reruntuhan. "Lupakan itu! Ayo keluar!" Gio menarik besi penyangga dengan sekuat tenaga. Otot lengannya bergetar, urat lehernya menegang. Dengan satu hentakan terakhir, besi itu bergeser cukup untuk membebaskan kaki Lina. Dia mengangkat tubuh Lina yang lemas, tas laptop itu tiba-tiba meledak terkena percikan api. Desain struktural proyek Surya Kencana—hasil kerja enam bulan tim mereka—berubah menjadi abu dalam sekejap. *Boom!* Ledakan kecil dari ruang server membuat Gio terlempar. Pecahan kaca menghujam lengannya, tapi ia tetap erat memeluk Lina. Dengan sisa tenaga, ia menyeret mereka berdua menuju tangga darurat. Di lantai 8, regu penyelamat akhirnya menemukan mereka. Saat petugas membawa Lina yang sudah pingsan, Gio sempat melihat ke belakang. Seluruh koridor lantai 15 sudah menjadi lautan api, menghanguskan setiap kertas, setiap flashdisk, setiap backup data proyek yang seharusnya menjadi penyelamat mereka. "Proyek Surya Kencana dinyatakan gagal. PT. Arsitek Singapura memutus kontrak. Tim inti dikenakan sanksi." Pengumuman itu menghantam Gio lebih sakit daripada luka bakar di tangannya. Tapi yang lebih menyakitkan—tatapan kecewa Lina dari ranjang rumah sakit, kakinya yang harus diamputasi karena infeksi. "Kamu pahlawan yang menyelamatkan nyawaku," bisik Lina suatu sore, "tapi perusahaan butuh kambing hitam." Keesokan harinya, surat pemecatan datang bersama tagihan rumah sakit yang tidak ditanggung perusahaan. Gio menatap bekas luka di pergelangan tangannya—sebuah pengingat bahwa terkadang, keberanian harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. --- Kembali ke Masa Sekarang Hujan telah berhenti ketika Alma menyimak cerita Gio, saat mobil sampai di apartemen Alma, hujan masih turun deras. Gio mematikan mesin, menciptakan keheningan yang tiba-tiba terasa sangat pribadi di dalam kabin. "Terima kasih untuk tumpangannya," kata Alma sambil meraih tasnya. "Pesen gue, tetap percaya diri." Ucap Gio saat Alma hendak turun dari mobilnya. Alma tersenyum hangat, setelahnya dia melambaikan tangan ke lelaki di dalam mobil. Keesokkan hari, ruangan rapat tingkat 12 Paper&Pixel pagi itu penuh dengan ketegangan yang nyaris teraba. Bu Henny berdiri di depan proyektor dengan wajah seperti batu, menunjuk ke diagram struktural yang bermasalah. "Klien menemukan perbedaan 15% pada beban maksimal struktur ini," katanya dengan suara datar yang justru lebih menakutkan daripada teriakan. "Mereka mengancam akan menuntut kita atas kelalaian profesional." Alma merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Presentasi kemarin memang menggunakan data yang Gio berikan. Tapi saat ia menoleh ke arahnya, yang ia lihat adalah wajah seseorang yang sedang menghadapi hukuman mati. "Alma," suara Bu Henny memanggilnya seperti guntur. "Kamu yang menandatangani laporan final ini. Apa penjelasanmu?" Dada Alma sesak. Di sudut matanya, ia melihat jari Gio mengetuk-ngetuk meja dengan ritme panik. Ia tahu kebenaran akan menghancurkan karier Gio, tapi berbohong berarti mengorbankan integritas profesionalnya sendiri. Gio berdiri begitu tiba-tiba hingga kursinya terjatuh dengan suara keras. "Bu Henny, ini sepenuhnya kesalahan saya." Ruang rapat yang semula berisik kini senyap bagai kuburan. "Data yang kita gunakan adalah rekonstruksi dari ingatan saya tentang proyek aslinya di Singapura." Gio menarik napas dalam. "Dua tahun lalu, semua dokumen asli terbakar dalam insiden kebakaran yang... yang menyebabkan seorang kolega saya cacat permanen." Bu Henny perlahan duduk, wajahnya berubah pucat. "Kamu tidak pernah memberitahu hal ini." "Karena saya dipecat atas kejadian itu." Gio menatap lantai. "Saya takut jika kalian tahu, tidak ada yang akan mempercayai saya lagi." Di ujung ruangan, Pak Andi dari tim legal menghela napas berat. "Kau menyadari ini bisa dianggap sebagai penipuan profesional, bukan?" Alma tiba-tiba berdiri. "Tapi Gio menyelamatkan nyawa seseorang! Dan selama ini dia bekerja lebih keras dari siapa pun untuk memperbaiki kesalahannya!" Matahari sore menyinari jalan-jalan Jakarta yang masih basah ketika Alma dan Gio berjalan keluar dari gedung perkantoran. Setelah diskusi alot selama lima jam, keputusan akhir adalah memberikan penjelasan sejujurnya kepada klien dan mengajukan revisi desain. "Lo nggak perlu bela gue tadi," gumam Gio sambil menendang kerikil di jalan. Alma menghentikan langkahnya. "Gue nggak ngelakuin itu untuk lo. Tapi gue rasa karena hal itu benar." Ia menatap Gio dengan tajam. "Tapi lo harus berhenti lari dari masa lalu." Gio terdiam lama. "Gue nggak tahu caranya." "Mulailah dengan jenguk Lina," usul Alma. "Gue akan temani lo, kalo lo perlu gue." Tiga minggu kemudian, proyek Surya Kencana memasuki fase baru. Klien ternyata menghargai kejujuran mereka dan sepakat untuk melanjutkan kerja sama dengan revisi desain. Yang lebih mengejutkan, Bu Henny justru menawarkan Gio posisi kepala tim proyek khusus. Di meja kerjanya yang baru, Alma menemukan bingkai foto berisi gambar dirinya dengan Gio saat kunjungan mereka ke rumah Lina minggu lalu. Di balik bingkai itu, terselip catatan kecil: "Observasi terakhirku: lo lebih baik dari yang gue kira. Ayo minum teh, bukan hanya sebulan, tapi selamanya. -G" Senyum Alma merekah ketika melihat Gio dari balik pintu kantornya, mengangkat dua cangkir kopi dengan wajah yang lebih tenang daripada yang pernah ia lihat sebelumnya. Hujan mungkin akan datang lagi, tapi kali ini, mereka akan menghadapinya bersama.Lembur di Paper&Pixel selalu memiliki ritme khusus. Jam menunjukkan pukul 23.57, tiga menit menuju tengah malam. Tapi bagi Alma, waktu hanyalah angka yang terus bergerak tanpa arti khusus. Proyek terakhir mereka sudah diselesaikan seminggu lalu, namun kantor tetap menjadi tempat persinggahan favoritnya - mungkin karena di sini dia merasa paling hidup.Dia berjalan pelan menyusuri koridor yang sepi, kedua tangannya memegang dua kaleng teh tarik dingin. Ritual ini tanpa sadar terbentuk sejak proyek "Bare You" selesai - satu kaleng untuknya, satu untuk Gio. Dinginnya kaleng membuat telapak tangannya berkeringat, tapi tidak cukup untuk meredakan rasa penasaran yang menggelitiknya sejak melihat notifikasi grup bahwa Gio masih berada di kantor."Apa yang lagi dia kerjain sampai larut?"Pintu ruang kerja Gio terbuka setengah. Dari celah itu, Alma bisa melihat posturnya yang membungkuk di atas meja, wajahnya diterangi cahaya lampu meja yang memancarkan warna kuning keemasan. Pensil di tangann
Dua tahun yang lalu - Singapura, 3:42 PMGio memilih tangga darurat. Setiap lompatan tiga anak tangga membuat otot betisnya terbakar, tetapi teriakan minta tolong yang samar-samar terdengar di atasnya memacu langkahnya. Ketika mencapai lantai 12, asap sudah begitu pekat hingga ia harus merangkak. Kaca jendela di koridor pecah oleh panas, serpihannya berhamburan seperti hujan beling. "Tolong... ada yang..." Suara lemah itu berasal dari ruang arsip. Gio mendobrak pintu yang sudah setengah hangus. Di balik tumpukan rak yang roboh, Lina—asisten proyek mereka—terjebak dengan kaki tertimpa besi penyangga. Darah mengalir dari luka di dahinya. "Gio... dokumennya..." Lina menggapai-gapai ke arah tas laptop yang terjepit di bawah reruntuhan. "Lupakan itu! Ayo keluar!" Gio menarik besi penyangga dengan sekuat tenaga. Otot lengannya bergetar, urat lehernya menegang. Dengan satu hentakan terakhir, besi itu bergeser cukup untuk membebaskan kaki Lina. Dia mengangkat tubuh Lina yang lemas
Hujan mengguyur deras membasahi aspal parkiran Paper&Pixel, menciptakan genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya lampu jalan. Alma berdiri di bawah atap pendopo kecil, menatap jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 21.37. Taksi online-nya masih 15 menit lagi, jika dia beruntung. Tanpa kendaran pribadi, dia hanya bisa menunggu penuh harap ada taksi yang siap mengangkutnya. "Nyari taksi jam segini emang susah, lo mau nunggu sampe keriput. Belum tentu ada," Gio muncul tiba-tiba di sampingnya, tangan menggenggam kunci mobil BMW seri 3 hitam. Rambut dia yang biasanya rapi kini basah kuyup, menempel di dahi. "Mau numpang nggak? Mumpung gue lagi baik dan berhubung kita searah." Alma mengerutkan kening. "Bentar, lo tau rumah gue?" "Bintaro, kan? Gue tinggal dekat Situ Pondok Aren."Alma hanya menatap horor Gio yang mengetahui banyak tentang dirinya, "Nggak perlu sok kuat. Hujan begini lo bisa sakit, Queen." goda Gio tak lupa senyuman jenakanya. Petir menggelegar di kejauhan
Setelah kejadian Anya kemarin yang bisa Alma dan Gio atasi, gosip tentang mereka yang saling melindungi juga menjaga makin menyebar. Sesekali, banyak yang mendoakan mereka untuk segera jadian. Alma menatap layar laptopnya dengan mata berkaca-kaca. Presentasi untuk klien utama mereka, Surya Kencana Cosmetics, harusnya sudah final semalam. Tapi sekarang, di depan matanya, tagline andalannya yang berbunyi "Bare You: Real is Beautiful" telah berubah menjadi "Flawed is the New Perfect"—disertai foto close-up seorang model dengan bekas jerawat yang sengaja tidak di-retouch. "GIO ARDIAN!" teriaknya, suaranya menggelegar di seantero lantai 12. Beberapa rekan kerja langsung menoleh, termasuk Wina yang sedang mengantarkan dokumen. "Wah, perang dunia ketiga lagi nih," bisiknya pada Rian yang sedang asyik menggambar doodle di notepad. Gio mengangkat kepala dari sketsanya, kacamata aviator-nya melorot di hidung. "Hm?" ujarnya santai, seolah tidak menyadari amarah yang sedang meledak di d
Kantor kreatif Paper&Pixel di lantai 12 Gedung Sudirman Tower tampak lengang di sore hari. Hanya tersisa beberapa karyawan yang masih bertahan menghadapi deadline, termasuk Alma Raisa. Gadis berambut bob pendek itu duduk di meja kerjanya yang dipenuhi sticky notes warna-warni, sambil sesekali menyeruput teh tarik dingin yang mulai berkeringat di gelas kertas. Kucingnya, Wifi, mengintip dari foto screensaver laptop MacBook Pro-nya yang menampilkan dokumen presentasi setengah jadi. "Alma, lo masih hidup?" Rian, teman sekubikelnya, menyodorkan sebungkus martabak mini. "Makan dulu, ntar lo pingsan lagi kayak minggu lalu." Alma menggeleng, jarinya terus menari di atas keyboard. "Gue harus selesaiin presentasi buat Larasati Wijaya besok. Ini klien gede, Rian." Suara notifikasi email mengganggu konsentrasinya. Subject: Revisi Anggaran Project "Surya Kencana" – URGENT! From: Anya Listiana (Finance Dept) To: Tim Kreatif (CC: All Department) "Gio, maaf yaa~ budget cetak moodboar
"Nggak nyangka gue bisa bertahan meeting 12 jam sama si manusia energizer itu," gumamnya sambil membuka kunci. Di dalam, lampu menyala. Rian—sahabat sekaligus tetangga apartemennya—sudah duduk di sofa sambil memegang mangkuk mie instan. "Gue kira lo udah jadi korban pertama pembunuhan art director baru." sambutnya, mata menyipit melihat keadaan Alma. Alma melemparkan tasnya ke karpet. "Masih belum. Tapi besok mungkin." Rian mengangkat alis saat melihat senyum kecil di wajah Alma. "Wait. Lo... nggak benci dia?" "Gue benci caranya nyerobot ide orang. Tapi..." Alma menghela napas. "Konsepnya bagus. Lebih bagus dari yang gue susun seminggu." "Damn, jadi julukan 'DeadQueen' di grup WA beneran terjadi? Deadline bikin lo lunak?" Alma melemparkan bantal ke arahnya. "Diem lo. Besok kita presentasi ke Bu Henny."Saat masuk kamar, HP-nya bergetar. Notifikasi dari Gio: "Btw, gue baru inget. Lo punya alergi kacang kan? Jangan sentuh snack bowl di ruang meeting besok—gue liat ada ka