Hujan mengguyur deras membasahi aspal parkiran Paper&Pixel, menciptakan genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya lampu jalan. Alma berdiri di bawah atap pendopo kecil, menatap jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 21.37. Taksi online-nya masih 15 menit lagi, jika dia beruntung. Tanpa kendaran pribadi, dia hanya bisa menunggu penuh harap ada taksi yang siap mengangkutnya.
"Nyari taksi jam segini emang susah, lo mau nunggu sampe keriput. Belum tentu ada," Gio muncul tiba-tiba di sampingnya, tangan menggenggam kunci mobil BMW seri 3 hitam. Rambut dia yang biasanya rapi kini basah kuyup, menempel di dahi. "Mau numpang nggak? Mumpung gue lagi baik dan berhubung kita searah." Alma mengerutkan kening. "Bentar, lo tau rumah gue?" "Bintaro, kan? Gue tinggal dekat Situ Pondok Aren."Alma hanya menatap horor Gio yang mengetahui banyak tentang dirinya, "Nggak perlu sok kuat. Hujan begini lo bisa sakit, Queen." goda Gio tak lupa senyuman jenakanya. Petir menggelegar di kejauhan. Suara kaget Alma membuat Gio terkekeh di dalam mobil. Alma mengetuk kaca mobil Gio menampilkan lelaki yang kini menunggu jawabannya, "Oke. Tapi gue duduk di belakang." ucapnya dan langsung membuka pintu belakang tanpa menunggu balasan. "Kayak taksi beneran aja, mobil gue ini. Dasar Copy Queen," gumam Gio. Pintu mobil tertutup, dia di sambut oleh kehangatan kabin yang nyaman. Aroma kopi arabika dan kayu putih khas Gio langsung memenuhi indra penciumannya. "Musik apa?" tanya Gio sambil menyalakan mesin dan pemutar musik di depannya. "Gue nggak peduli." Sahut Alma tanpa peduli lawan bicaranya, dia hanya butuh bersadar agar pikirannya bisa kembali tenang kembali. Gio berdecak kesal akan sikap acuh dari gadis itu, hingga lagu "Perfect" oleh Ed Sheeran mengalun pelan. Alma menyipitkan mata saat indra pendengarannya menangkap lagu tersebut, "Lo sengaja?" "Spotify shuffle," jawab Gio cepat, tapi telinganya memerah. "Lo masih kesel soal presentasi?" tanya Gio sambil menatap jalan di depan tapi tatapnya sesekali melihat Alma yang duduk di belakang. Alma menghela napas, "Gue cuma nggak suka dipermalukan di depan klien." "Malu?" Gio mengerem mendadak di lampu merah. "Alma, lo tuh brilian ketika nggak sibuk menyembunyikan diri di balik kesempurnaan." "Kenapa sih lo peduli?" Gio diam sejenak. "Karena—" Kata itu menggantung, sampai sebuah motor menerobos lampu merah. Gio membanting setir, tangan Alma refleks meraih bahunya tanpa sadar. Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Sementara, tangan Alma masih nyaman menempel di bahu Gio. Melalui kemeja basah itu, dia bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Lelaki itu menoleh, mata mereka bertemu di kaca spion. Dia berdehem menutupi kecanggungnya. Alma melihat spion dan arah tatap Gio, dengan cepat menarik tangannya. "Hampir celaka, kan! Lo kalo bawa mobil yang bener. Tapi itu motor juga, udah tau lagi di lampu merah main salip aja." Gio menghela napas, lalu mengeluarkan plester. "Berisik, ambil! Gue takutnya tangan atau jidat lo luka," "Nggak usah lebay," "Antisipasi, kan lo suka luka." Ucapnya santai dan kembali mengemudi, Alma terdiam tapi ada rasa hangat saat Gio mengatakannya. "Lo tau dari mana?" gugupnya Gio gemas sendiri melihat ekspresi Alma saat ini, "Observasi, Queen. Besok meeting jam sembilan, kan?" Alma terkejut. "Lo ingat jadwal gue?" "Ingat Queen, gue observasi." ujar Gio lagi, kali ini dengan senyuman yang lebar. Alma hanya bisa mengontrol detak jantungnya yang meronta. Tiba-tiba, HP Alma bergetar. Notifikasi masuk: "Meeting darurat besok pagi. Ada masalah besar dengan proyek Surya Kencana." - Bu Henny Alma mengerutkan kening. "Aneh, kenapa Bu Henny kirim sekarang juga—" Dia mengamati ekspresi Gio berubah yang aneh. Matanya yang biasanya santai tiba-tiba menjadi tajam, tangan yang sedang berkemudi mendadak gelisah. "Ada apa?" tanya Alma. Gio menghela napas dalam. "Gue harus kasih tau lo sesuatu tentang proyek itu." "Proyek Surya Kencana... sebenarnya adalah proyek terakhir gue di Singapura sebelum gue dipecat." Alma menatapnya, tidak percaya. "Apa?" "Ada insiden kebakaran. Gue... nggak bisa bilang ini sebelumnya." Tangannya yang biasanya stabil sekarang gemetar di atas kemudi. Alma melihat ke arah lengannya memperhatikan bekas luka kecil di pergelangan tangan Gio yang biasanya tersembunyi di balik jam tangannya. "Jadi selama ini... ketakutan lo saat latihan kebakaran kantor..." Gio mengangguk pelan. "Gue nggak mau orang lain tahu." Sebelum Alma bisa merespons, HP Gio berdering. Dari layar terlihat nama "Larasati Wijaya" — klien utama mereka dari Surya Kencana. Gio melihat Alma, matanya penuh permintaan maaf. "Gue harus terima ini." ucapnya sebelum meminggirkan mobil ke sisi jalan. Alma hanya bisa mengangguk, hatinya berdebar kencang, tidak yakin apa yang harus dipercayainya sekarang. Hujan masih mengguyur deras ketika Alma dan Gio duduk dalam keheningan yang tegang di dalam mobil BMW hitam itu. Suara hujan yang menghantam atap mobil seperti detak jantung Alma yang semakin kencang. Gio mengangkat telepon dari Larasati Wijaya, wajahnya berubah menjadi sangat serius. "Ibu Larasati," ucapnya dengan suara datar, profesional. Alma mencoba tidak mendengarkan, tetapi suara wanita di seberang telepon itu cukup keras hingga terdengar samar-samar. "Gio, apa benar kamu tidak memberi tahu mereka? Ini sudah keterlaluan!" Gio menutup matanya sejenak, seperti sedang mengumpulkan kesabaran. "Saya akan menyelesaikan ini, Bu. Tolong beri saya waktu." "Waktu? Proyek ini sudah di ujung tanduk! Jika mereka tahu kebenarannya—" "Saya mengerti," potong Gio dengan tegas. "Saya akan bertanggung jawab." Telepon berakhir dengan suara keras dari pihak Larasati. Gio meletakkan ponselnya perlahan, lalu menatap lurus ke depan, menghindari pandangan Alma. Dan kembali mengemudikan mobil miliknya. Alma merasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya. "Gio... apa yang sebenarnya terjadi?" Gio menghela napas panjang. "Gue nggak bisa bohong sama lo." --- Dua tahun yang lalu - Singapura, 3:42 PM Langit biru kehijauan di atas distrik bisnis Orchard Road tiba-tiba dipenuhi kepulan asap hitam yang menggumpal. Gio baru saja keluar dari gedung perkantoran megah tempatnya bekerja ketika alarm kebakaran mulai meraung-raung. "Evakuasi! Segera keluar dari gedung!" teriak petugas keamanan dengan wajah panik. Keringat dingin mengalir di pelipis Gio saat ia menatap ke atas. Asap tebal keluar dari jendela lantai 15—tepat di mana timnya sedang bekerja. Dadanya sesak ketika menyadari sesuatu. "Di mana Lina? Dia tadi bilang mau ambil dokumen di arsip!" teriak Rendra, koleganya, sambil menunjuk ke arah gedung. Tanpa pikir panjang, Gio menerobos barisan orang yang berhamburan keluar. Bau plastik terbakar langsung menusuk hidungnya ketika ia kembali masuk ke lobi. Suhu udara sudah naik drastis, membuat setiap tarikan napas terasa seperti menghirup api.Kopi Titik Koma, pukul 19.30 WIB. Hujan deras mengguyur kaca jendela kafe, menciptakan pola air yang terus berubah di permukaan kaca. Suasana kafe yang biasanya nyaman dengan aroma kopi robusta dan jazz lembut, hari ini terasa pengap bagi Alma. Jari-jarinya yang ramping mengetuk-ngetuk meja kayu solid dengan ritme tidak sabar, sementara di layar MacBook-nya terbuka presentasi klien yang deadline-nya tinggal 48 jam lagi. Pintu kaca kafe berderit dibuka, menghembuskan udara dingin dan bau tanah basah. Gio masuk dengan rambut ikal yang masih meneteskan air hujan, kemeja putihnya yang biasanya rapi kini lembap dan sedikit kusut di bagian lengan. Napasnya terengah ketika sampai di meja Alma, seperti baru berlari. "Maaf, meeting sama klien molor," ujarnya sambil meletakkan tas canvas hitamnya yang sudah basah di kursi sebelah. Matanya menghindari tatapan langsung Alma. Alma mengangkat alisnya yang sudah rapi dicukur, pandangannya tajam seperti laser. "Meeting? Tadi jam 5 sore gue lihat l
Lembur di Paper&Pixel selalu memiliki ritme khusus. Jam menunjukkan pukul 23.57, tiga menit menuju tengah malam. Tapi bagi Alma, waktu hanyalah angka yang terus bergerak tanpa arti khusus. Proyek terakhir mereka sudah diselesaikan seminggu lalu, namun kantor tetap menjadi tempat persinggahan favoritnya - mungkin karena di sini dia merasa paling hidup. Dia berjalan pelan menyusuri koridor yang sepi, kedua tangannya memegang dua kaleng teh tarik dingin. Ritual ini tanpa sadar terbentuk sejak proyek "Bare You" selesai - satu kaleng untuknya, satu untuk Gio. Dinginnya kaleng membuat telapak tangannya berkeringat, tapi tidak cukup untuk meredakan rasa penasaran yang menggelitiknya sejak melihat notifikasi grup bahwa Gio masih berada di kantor. "Apa yang lagi dia kerjain sampai larut?" Pintu ruang kerja Gio terbuka setengah. Dari celah itu, Alma bisa melihat posturnya yang membungkuk di atas meja, wajahnya diterangi cahaya lampu meja yang memancarkan warna kuning keemasan. Pensil di ta
Dua tahun yang lalu - Singapura, 3:42 PMGio memilih tangga darurat. Setiap lompatan tiga anak tangga membuat otot betisnya terbakar, tetapi teriakan minta tolong yang samar-samar terdengar di atasnya memacu langkahnya. Ketika mencapai lantai 12, asap sudah begitu pekat hingga ia harus merangkak. Kaca jendela di koridor pecah oleh panas, serpihannya berhamburan seperti hujan beling. "Tolong... ada yang..." Suara lemah itu berasal dari ruang arsip. Gio mendobrak pintu yang sudah setengah hangus. Di balik tumpukan rak yang roboh, Lina—asisten proyek mereka—terjebak dengan kaki tertimpa besi penyangga. Darah mengalir dari luka di dahinya. "Gio... dokumennya..." Lina menggapai-gapai ke arah tas laptop yang terjepit di bawah reruntuhan. "Lupakan itu! Ayo keluar!" Gio menarik besi penyangga dengan sekuat tenaga. Otot lengannya bergetar, urat lehernya menegang. Dengan satu hentakan terakhir, besi itu bergeser cukup untuk membebaskan kaki Lina. Dia mengangkat tubuh Lina yang lemas
Hujan mengguyur deras membasahi aspal parkiran Paper&Pixel, menciptakan genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya lampu jalan. Alma berdiri di bawah atap pendopo kecil, menatap jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 21.37. Taksi online-nya masih 15 menit lagi, jika dia beruntung. Tanpa kendaran pribadi, dia hanya bisa menunggu penuh harap ada taksi yang siap mengangkutnya. "Nyari taksi jam segini emang susah, lo mau nunggu sampe keriput. Belum tentu ada," Gio muncul tiba-tiba di sampingnya, tangan menggenggam kunci mobil BMW seri 3 hitam. Rambut dia yang biasanya rapi kini basah kuyup, menempel di dahi. "Mau numpang nggak? Mumpung gue lagi baik dan berhubung kita searah." Alma mengerutkan kening. "Bentar, lo tau rumah gue?" "Bintaro, kan? Gue tinggal dekat Situ Pondok Aren."Alma hanya menatap horor Gio yang mengetahui banyak tentang dirinya, "Nggak perlu sok kuat. Hujan begini lo bisa sakit, Queen." goda Gio tak lupa senyuman jenakanya. Petir menggelegar di kejauhan
Setelah kejadian Anya kemarin yang bisa Alma dan Gio atasi, gosip tentang mereka yang saling melindungi juga menjaga makin menyebar. Sesekali, banyak yang mendoakan mereka untuk segera jadian. Alma menatap layar laptopnya dengan mata berkaca-kaca. Presentasi untuk klien utama mereka, Surya Kencana Cosmetics, harusnya sudah final semalam. Tapi sekarang, di depan matanya, tagline andalannya yang berbunyi "Bare You: Real is Beautiful" telah berubah menjadi "Flawed is the New Perfect"—disertai foto close-up seorang model dengan bekas jerawat yang sengaja tidak di-retouch. "GIO ARDIAN!" teriaknya, suaranya menggelegar di seantero lantai 12. Beberapa rekan kerja langsung menoleh, termasuk Wina yang sedang mengantarkan dokumen. "Wah, perang dunia ketiga lagi nih," bisiknya pada Rian yang sedang asyik menggambar doodle di notepad. Gio mengangkat kepala dari sketsanya, kacamata aviator-nya melorot di hidung. "Hm?" ujarnya santai, seolah tidak menyadari amarah yang sedang meledak di d
Kantor kreatif Paper&Pixel di lantai 12 Gedung Sudirman Tower tampak lengang di sore hari. Hanya tersisa beberapa karyawan yang masih bertahan menghadapi deadline, termasuk Alma Raisa. Gadis berambut bob pendek itu duduk di meja kerjanya yang dipenuhi sticky notes warna-warni, sambil sesekali menyeruput teh tarik dingin yang mulai berkeringat di gelas kertas. Kucingnya, Wifi, mengintip dari foto screensaver laptop MacBook Pro-nya yang menampilkan dokumen presentasi setengah jadi. "Alma, lo masih hidup?" Rian, teman sekubikelnya, menyodorkan sebungkus martabak mini. "Makan dulu, ntar lo pingsan lagi kayak minggu lalu." Alma menggeleng, jarinya terus menari di atas keyboard. "Gue harus selesaiin presentasi buat Larasati Wijaya besok. Ini klien gede, Rian." Suara notifikasi email mengganggu konsentrasinya. Subject: Revisi Anggaran Project "Surya Kencana" – URGENT! From: Anya Listiana (Finance Dept) To: Tim Kreatif (CC: All Department) "Gio, maaf yaa~ budget cetak moodboar