Home / Romansa / Dead&Queen / Bab 6 : Di balik hujan

Share

Bab 6 : Di balik hujan

Author: Ucyl_16
last update Last Updated: 2025-07-09 22:56:22

Hujan mengguyur deras membasahi aspal parkiran Paper&Pixel, menciptakan genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya lampu jalan. Alma berdiri di bawah atap pendopo kecil, menatap jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 21.37. Taksi online-nya masih 15 menit lagi, jika dia beruntung. Tanpa kendaran pribadi, dia hanya bisa menunggu penuh harap ada taksi yang siap mengangkutnya.

"Nyari taksi jam segini emang susah, lo mau nunggu sampe keriput. Belum tentu ada,"

Gio muncul tiba-tiba di sampingnya, tangan menggenggam kunci mobil BMW seri 3 hitam. Rambut dia yang biasanya rapi kini basah kuyup, menempel di dahi.

"Mau numpang nggak? Mumpung gue lagi baik dan berhubung kita searah."

Alma mengerutkan kening. "Bentar, lo tau rumah gue?"

"Bintaro, kan? Gue tinggal dekat Situ Pondok Aren."Alma hanya menatap horor Gio yang mengetahui banyak tentang dirinya, "Nggak perlu sok kuat. Hujan begini lo bisa sakit, Queen." goda Gio tak lupa senyuman jenakanya.

Petir menggelegar di kejauhan. Suara kaget Alma membuat Gio terkekeh di dalam mobil. Alma mengetuk kaca mobil Gio menampilkan lelaki yang kini menunggu jawabannya, "Oke. Tapi gue duduk di belakang." ucapnya dan langsung membuka pintu belakang tanpa menunggu balasan.

"Kayak taksi beneran aja, mobil gue ini. Dasar Copy Queen," gumam Gio.

Pintu mobil tertutup, dia di sambut oleh kehangatan kabin yang nyaman. Aroma kopi arabika dan kayu putih khas Gio langsung memenuhi indra penciumannya.

"Musik apa?" tanya Gio sambil menyalakan mesin dan pemutar musik di depannya.

"Gue nggak peduli." Sahut Alma tanpa peduli lawan bicaranya, dia hanya butuh bersadar agar pikirannya bisa kembali tenang kembali.

Gio berdecak kesal akan sikap acuh dari gadis itu, hingga lagu "Perfect" oleh Ed Sheeran mengalun pelan.

Alma menyipitkan mata saat indra pendengarannya menangkap lagu tersebut, "Lo sengaja?"

"Spotify shuffle," jawab Gio cepat, tapi telinganya memerah.

"Lo masih kesel soal presentasi?" tanya Gio sambil menatap jalan di depan tapi tatapnya sesekali melihat Alma yang duduk di belakang.

Alma menghela napas, "Gue cuma nggak suka dipermalukan di depan klien."

"Malu?" Gio mengerem mendadak di lampu merah. "Alma, lo tuh brilian ketika nggak sibuk menyembunyikan diri di balik kesempurnaan."

"Kenapa sih lo peduli?"

Gio diam sejenak. "Karena—"

Kata itu menggantung, sampai sebuah motor menerobos lampu merah. Gio membanting setir, tangan Alma refleks meraih bahunya tanpa sadar. Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Sementara, tangan Alma masih nyaman menempel di bahu Gio. Melalui kemeja basah itu, dia bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Lelaki itu menoleh, mata mereka bertemu di kaca spion. Dia berdehem menutupi kecanggungnya.

Alma melihat spion dan arah tatap Gio, dengan cepat menarik tangannya. "Hampir celaka, kan! Lo kalo bawa mobil yang bener. Tapi itu motor juga, udah tau lagi di lampu merah main salip aja."

Gio menghela napas, lalu mengeluarkan plester. "Berisik, ambil! Gue takutnya tangan atau jidat lo luka,"

"Nggak usah lebay,"

"Antisipasi, kan lo suka luka." Ucapnya santai dan kembali mengemudi, Alma terdiam tapi ada rasa hangat saat Gio mengatakannya.

"Lo tau dari mana?" gugupnya

Gio gemas sendiri melihat ekspresi Alma saat ini, "Observasi, Queen. Besok meeting jam sembilan, kan?"

Alma terkejut. "Lo ingat jadwal gue?"

"Ingat Queen, gue observasi." ujar Gio lagi, kali ini dengan senyuman yang lebar. Alma hanya bisa mengontrol detak jantungnya yang meronta.

Tiba-tiba, HP Alma bergetar. Notifikasi masuk: "Meeting darurat besok pagi. Ada masalah besar dengan proyek Surya Kencana." - Bu Henny

Alma mengerutkan kening. "Aneh, kenapa Bu Henny kirim sekarang juga—"

Dia mengamati ekspresi Gio berubah yang aneh. Matanya yang biasanya santai tiba-tiba menjadi tajam, tangan yang sedang berkemudi mendadak gelisah.

"Ada apa?" tanya Alma.

Gio menghela napas dalam. "Gue harus kasih tau lo sesuatu tentang proyek itu."

"Proyek Surya Kencana... sebenarnya adalah proyek terakhir gue di Singapura sebelum gue dipecat."

Alma menatapnya, tidak percaya. "Apa?"

"Ada insiden kebakaran. Gue... nggak bisa bilang ini sebelumnya." Tangannya yang biasanya stabil sekarang gemetar di atas kemudi.

Alma melihat ke arah lengannya memperhatikan bekas luka kecil di pergelangan tangan Gio yang biasanya tersembunyi di balik jam tangannya.

"Jadi selama ini... ketakutan lo saat latihan kebakaran kantor..."

Gio mengangguk pelan. "Gue nggak mau orang lain tahu."

Sebelum Alma bisa merespons, HP Gio berdering. Dari layar terlihat nama "Larasati Wijaya" — klien utama mereka dari Surya Kencana.

Gio melihat Alma, matanya penuh permintaan maaf. "Gue harus terima ini." ucapnya sebelum meminggirkan mobil ke sisi jalan.

Alma hanya bisa mengangguk, hatinya berdebar kencang, tidak yakin apa yang harus dipercayainya sekarang.

Hujan masih mengguyur deras ketika Alma dan Gio duduk dalam keheningan yang tegang di dalam mobil BMW hitam itu. Suara hujan yang menghantam atap mobil seperti detak jantung Alma yang semakin kencang.

Gio mengangkat telepon dari Larasati Wijaya, wajahnya berubah menjadi sangat serius. "Ibu Larasati," ucapnya dengan suara datar, profesional.

Alma mencoba tidak mendengarkan, tetapi suara wanita di seberang telepon itu cukup keras hingga terdengar samar-samar.

"Gio, apa benar kamu tidak memberi tahu mereka? Ini sudah keterlaluan!"

Gio menutup matanya sejenak, seperti sedang mengumpulkan kesabaran. "Saya akan menyelesaikan ini, Bu. Tolong beri saya waktu."

"Waktu? Proyek ini sudah di ujung tanduk! Jika mereka tahu kebenarannya—"

"Saya mengerti," potong Gio dengan tegas. "Saya akan bertanggung jawab."

Telepon berakhir dengan suara keras dari pihak Larasati. Gio meletakkan ponselnya perlahan, lalu menatap lurus ke depan, menghindari pandangan Alma. Dan kembali mengemudikan mobil miliknya. Alma merasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya. "Gio... apa yang sebenarnya terjadi?"

Gio menghela napas panjang. "Gue nggak bisa bohong sama lo."

---

Dua tahun yang lalu - Singapura, 3:42 PM

Langit biru kehijauan di atas distrik bisnis Orchard Road tiba-tiba dipenuhi kepulan asap hitam yang menggumpal. Gio baru saja keluar dari gedung perkantoran megah tempatnya bekerja ketika alarm kebakaran mulai meraung-raung.

"Evakuasi! Segera keluar dari gedung!" teriak petugas keamanan dengan wajah panik.

Keringat dingin mengalir di pelipis Gio saat ia menatap ke atas. Asap tebal keluar dari jendela lantai 15—tepat di mana timnya sedang bekerja. Dadanya sesak ketika menyadari sesuatu.

"Di mana Lina? Dia tadi bilang mau ambil dokumen di arsip!" teriak Rendra, koleganya, sambil menunjuk ke arah gedung.

Tanpa pikir panjang, Gio menerobos barisan orang yang berhamburan keluar. Bau plastik terbakar langsung menusuk hidungnya ketika ia kembali masuk ke lobi. Suhu udara sudah naik drastis, membuat setiap tarikan napas terasa seperti menghirup api.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dead&Queen   Bab 94 : Baris pertama kode untuk Skala

    File terbuka.Dan di dalamnya — deretan log asli dari proyek besar yang selama ini mereka dituduh memanipulasi. Waktu, tanda tangan digital, serta bukti perintah langsung dari akun manajer senior... milik Reina.Rian menatap layar itu lama. Setiap baris terasa seperti letupan kecil yang membakar semua kebohongan yang selama ini membungkus mereka.“Dia bohongin semua orang…” gumamnya.Suara sendiri terdengar asing di ruang sempit itu.Ia membuka tab baru, menulis pesan cepat ke Gio.“Gi, lu belum tidur kan?”“Dapet kiriman aneh dari server lama. Kayaknya dari Revan.”Balasan Gio datang cepat.“Beneran Revan?”“Ya. File-nya tentang laporan 2019. Reina yang tanda tangan asli.”Hening beberapa detik, lalu balasan muncul“Kalo itu valid, berarti ini tiket kita balik ke atas. Jangan buka lebih banyak dulu, tunggu gue besok.”Rian mengangguk sendiri. Tapi matanya tetap terpaku ke layar. Ia tahu Gio benar, tapi rasa penasaran di dadanya lebih besar daripada rasa takutnya.Ia klik file terakhi

  • Dead&Queen    Bab 93 : Revan?

    Rian memutus koneksi, mencabut kabel LAN dan router. Ruangan seketika hening lagi, hanya ada bunyi hujan dan napas mereka yang berat.Alma menatap mereka berdua. “Udah gak ada jalan balik, kan?”Gio menatap balik, kemudian tersenyum samar — lelah, tapi yakin.“Udah nggak ada. Tapi buat pertama kalinya… gue nggak takut.”Rian menatap keduanya, lalu berkata lirih, “Kalo mereka mau datang malam ini, kita tunggu aja. Kita gak kabur.”Alma tersenyum kecil, menatap dua orang di depannya.“Gue gak nyangka bisa sejauh ini bareng kalian.”“Belum selesai, Al,” balas Gio. “Besok pagi, dunia baru aja mulai baca cerita kita.”Malam makin larut. Di luar, sirene samar terdengar di kejauhan. Tapi di dalam gudang itu, tiga orang yang dulu dianggap pecundang kini sudah menulis ulang sejarah mereka sendiri — dengan keberanian dan sedikit keputusasaan yang sama besar.***Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Langit berwarna abu pucat, seperti kertas yang sudah terlalu sering ditulisi kata-kata kemarahan.

  • Dead&Queen   Bab 92 : Buat Bu Henny

    Hening.Detak jam di dinding terasa terlalu keras.Reina menatapnya lama, lalu tertawa kecil — tawa yang tidak terdengar seperti manusia lepas beban, tapi seperti pisau ditarik dari sarungnya.“Jadi kamu kehilangan barang sebesar jempol, Ega?”“Dia mungkin sempat buang sebelum—”“Jangan kasih alasan.” Suaranya dingin, datar, tapi cukup tajam untuk membuat Ega menunduk.“Flashdisk itu satu-satunya hal yang bisa muter balik semua narasi yang udah saya bangun selama dua tahun.”Ia berdiri, berjalan ke arah jendela besar yang menatap kota. Lampu-lampu malam berpendar di kaca, dan wajahnya memantul di sana — bayangan seorang wanita yang sudah terlalu jauh untuk mundur.“Kalo mereka dapet itu… semua yang saya bangun bakal runtuh.”Ia menatap pantulan dirinya sendiri, lalu melanjutkan pelan, “Dan saya nggak akan biarkan itu terjadi.”Ega menatapnya dari belakang. “Mau saya lacak, Mbak?”Reina menoleh, matanya dingin. “Kamu pikir mereka bodoh? Flashdisk itu pasti udah di tangan orang yang mer

  • Dead&Queen   Bab 91 : Flashdisk dari Bu Henny

    Ia keluar ruangan dengan senyum sinis.Begitu pintu tertutup, Bu Henny langsung bergerak cepat. Ia membuka laci bawah meja, mengambil flashdisk kecil berwarna perak — salinan terakhir dari log manipulasi. Dengan tangan gemetar, ia menaruhnya di dalam dompet, lalu mengganti kartu ID-nya dengan ID tamu supaya tidak terdeteksi keluar tanpa izin.Kalau aku ketahuan sekarang, semuanya selesai.Di lorong, lampu-lampu menyala redup. Ia berjalan cepat, menyusuri jalur belakang menuju lift servis. Namun baru beberapa langkah, suara walkie-talkie terdengar di ujung koridor.“Target menuju sisi timur, lantai empat.”Darahnya berhenti mengalir sesaat.Jadi mereka udah tahu.Ia menunduk, menahan napas, lalu masuk ke ruang arsip tua yang pintunya sedikit terbuka. Dari balik rak penuh debu, ia bisa melihat dua petugas keamanan berjalan cepat melewati lorong.“Perintah dari Bu Reina langsung. Kalo ketemu, amankan komputernya,” kata salah satu dengan suara rendah.Bu Henny menunggu sampai langkah mere

  • Dead&Queen   Bab 90 : Buktikan

    Rian menatap layar ponselnya beberapa saat, lalu menghembuskan napas berat.Matanya jatuh ke papan tulis di dinding kamar. Tulisan besar BALAS yang dulu ia tempel kini mulai memudar warnanya. Ia tersenyum miring. “Kayaknya waktu buat nulis ulang kata itu udah datang.”Dengan spidol hitam, ia mencoret tulisan lama dan menggantinya dengan satu kata baru:BUKTIKAN.Di luar, hujan belum berhenti. Tapi kali ini, bagi Rian, suara hujan bukan ancaman — melainkan irama dari pertempuran yang akhirnya mulai seimbang.***Gudang itu kecil dan berdebu, terletak di sisi belakang gedung lama perusahaan — tempat dulu mereka sering numpuk barang promosi yang sudah tidak terpakai.Sekarang, tempat itu jadi ruang aman sementara. Cahaya matahari menembus jendela pecah, memantul di udara penuh debu. Gio datang paling awal, membawa thermos kopi dan map kecil. Tidak lama, suara langkah tergesa terdengar.Rian muncul duluan, wajahnya letih tapi matanya masih menyala.Alma datang beberapa menit setelahnya, m

  • Dead&Queen   Bab 89 : Bantuan H

    Beberapa menit kemudian, layar CCTV di ruang server memperlihatkan aktivitas aneh. Seseorang dari lantai dua memasukkan flashdisk dan mengakses jaringan eksternal. Reina yang sedang duduk di ruangannya menatap layar itu, lalu menyipitkan mata. “Jadi begitu caramu, Bu Henny?” katanya pelan. “Kau pikir aku nggak lihat?”***Sore itu, langit tampak gelap padahal belum pukul enam. Awan tebal menggantung, udara lembap, dan suara motor hujan-hujanan di luar kos terdengar seperti gema jauh. Alma baru saja menutup laptop ketika suara ketukan pintu terdengar.Tok-tok-tok.“Iya, bentar!”Begitu membuka pintu, seorang kurir berdiri di depan, mantel plastiknya masih menetes air.“Permisi, ini ada kiriman buat Mbak Alma Raisa.”Alma mengerutkan kening. “Dari siapa, ya?”Kurir itu menggeleng. “Nggak ada pengirim, cuma alamatnya aja. Katanya urgent.”Ia menerima amplop kecil berwarna cokelat muda, tipis, seperti amplop nota kantor. Di depannya tertulis rapi dengan pulpen biru:Untuk: Alma Raisa – Sk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status