Malam semakin larut, tetapi aku tidak juga bisa tidur, sehingga aku pun terbangun kembali dan duduk di atas kasur sembari menatap ke arah jendela yang sengaja kubuka.
Bulan tampak bersinar terang di luar, tetapi cahayanya yang lembut tidak bisa memberiku ketenangan.
Bahkan aku tidak menyadari pipi yang basah selama beberapa menit. Dan begitu lelehan air mata jatuh ke lengan, barulah aku mengusap semua jejak tangis yang tidak ingin kubiarkan bertahan lama di pelupuk.
Kepalaku melirik ke arah ponsel yang terletak di atas meja, namun sekuat tenaga aku mengenyahkan keinginan untuk meraihnya.
Buat apa? Menghubungi Gavin tengah malam dan menangis hanya untuk diabaikan? Atau mungkin saja dia mengangkat panggilan dan aku mendengar suara feminim yang sedang menghangatkan ranjangnya di seberang.
Mengingat kemungkinan terakhir, hatiku merasa sakit tiba-tiba, dan tanpa sadar aku meremas dada lalu menepuk-nepuknya pelan.
“Kau bahkan tidak peduli,&r
Aku mematut diri di depan cermin dengan tidak minat, padahal bila diperhatikan sekilas, kecantikanku sangat paripurna, tanpa cela dan … sempurna.Sayang sekali, tidak ada teman dansa yang akan menghabiskan malam bersama. Dan dapat kubayangkan nantinya aku hanya akan jadi pajangan di sudut ruangan, menatap ke arah teman-temanku yang berputar di lantai bersama pasangan masing-masing, sedangkan wajah mereka tampak berbinar bahagia.“Krista?” panggil Ibu dari luar kamar yang membuat senyum tidak tulusku luntur seketika.Mendengar kekhawatiran dari nada suaranya, aku tahu bahwa Ibu pasti ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi, dan di mana pria berstelan necis yang seharusnya mengetuk daun pintu sejak sejam lalu, karena jelas sekali acara Prom Night akan dimulai tidak lama lagi, tetapi tidak seorang pria pun datang ke rumah.Aku bahkan sudah tidak peduli, dan jika memang terlambat, aku hanya akan pasrah.“Krista?”
Begitu lama aku berputar-putar di sekitar Denver, hingga akhirnya mobilku berhenti tepat di depan Klub GC.Begitu berhenti, aku pun memutuskan untuk tetap berdiam di dalam sembari melirik ke sekitar.Entah apa yang sedang kucari, karena yang kuikuti adalah kata hati begitu melewati jalanan Denver, sehingga tanpa sadar membawaku ke sini.Setelah menarik napas dalam-dalam, aku memutuskan untuk segera pergi dan pulang saja ke rumah, tetapi suara ketukan di pintu jendela membuatku terlonjak seketika.Dengan cepat kepalaku mengarah ke sumber suara, dan perasaan lega membanjiri saat mendapati ternyata Mason yang berada di luar.“Ada apa kau mengetuk?” tanyaku begitu menurunkan kaca jendela.Dia tersenyum dan mengisyaratkan dengan tiga jari dari tangan kanan agar aku keluar.Begitu berada di luar mobil, dia langsung mencecarku dengan pertanyaan bertubi-tubi.“Bukankah ini hari besarmu? Mengapa kau ada di
Suara seseorang sedang melakukan percakapan membuatku terjaga.Kelopak mataku membuka dengan berat, dan kepalaku menoleh pelan ke arah sumber suara, yang ternyata berasal dari sosok laki-laki yang tidak ingin kulihat atau sebut namanya lagi.Kini, dia berdiri menyamping, sedang fokus pandangan ada pada pemandangan di luar jendela.Sepertinya dia masih memakai baju yang tadi, karena penampilannya masih belum berubah. Yang hilang hanyalah dasi, dan tampaknya kancing baju bagian atas terbuka sedikit, memamerkan kulit indah yang sedikit berkilau ditimpa remang-remang lampu jalanan, juga memberikan sedikit pencahayaan pada wajahnya yang terlihat kaku.Aku berusaha menutup mata kembali dan berharap ini semua hanya mimpi, namun berapa kali pun mencoba, sosok itu masih berdiri di tempat semula.Kali ini aku mendengarkan apa yang sedang dia bicarakan dengan orang di ujung panggilan.“Dia masih belum bangun,” ucapnya dengan berbisik pelan.
Setibanya di rumah, Ayah pun membukakan pintu, dan matanya langsung tertuju ke arah parkiran, namun dia tidak menemukan siapa-siapa di sana.Kembali dia mengarahkan matanya padaku, dan dari balik pandangannya yang teduh, aku dapat membaca sebuah pertanyaan; ‘Di mana dia?’Yang kuyakini Ayah pasti sudah mendengar kemana saja aku semalaman.“Aku lelah,” kataku dengan suara serak karena nyeri menahan tangis yang menolak untuk tumpah sejak tadi.Mendengar ucapanku yang memiliki dua makna, Ayah pun membalas dengan senyuman lemah, dan setelahnya dia mempersilahkanku untuk masuk ke dalam rumah dengan membukakan pintu lebar-lebar.“Apa kau sudah makan?” tanya Ayah begitu aku berajalan hendak ke kamar.Mendengar nada khawatir yang kentara, ingin rasanya aku berbalik dan memeluk Ayah, tetapi aku tidak ingin terlihat lemah.“Tidak,” jawabku lagi, enggan memulai percakapan.Dapat kurasakan ma
*Tiga Setengah Tahun Kemudian*Udara pagi di Kota Boston berembus dingin, hingga membuat beberapa mahasiswa yang keluar dari asrama merapatkan jaket masing-masing. Termasuk pula gadis bertubuh petit dengan wajah cantik yang mengalihkan beberapa fokus para mahasiswa ketika melewatinya. Rambut blonde strawberry gadis itu berayun seirama dengan langkahnya yang anggun saat melewati beberapa kerumunan mahasiswa laki-laki di dekat parkiran.Salah satu dari mahasiswa di sana sampai terpaku, sehingga teman di sebelahnya harus menepuk bahu pria tersebut untuk menyadarkan dari pesona seorang Krista Reid, si dewi kampus, yang menjadi incaran banyak pria di universitas.“Kau lihat, bagaimana mungkin aku bisa mengalihkan mata dari makhluk Tuhan yang sesempurna itu,” gumam pria berambut auburn itu.“Wajahnya memang sempurna, tetapi kelakukannya …”Seketika kumpulan itu pun hening dan serentak mereka menarik napas panjang.&l
Suara musik dari loudspeaker di dekat tangga mengisi seluruh ruangan mansion yang berada tidak jauh dari pinggiran Kota Boston. Rumah besar itu dipadati mahasiswa dan beberapa undangan yang Krista yakini masih usia SMA.Orang-orang di sana tampak menikmati musik dan pasangan dansa di hadapan, namun ternyata Krista tidak memiliki perasaan yang sama.Gadis itu tampak bosan setengah mati di sudut ruangan. Berkali-kali dia menghela napas dengan segelas minuman di tangan, sedang matanya menyapu seluruh kepala yang berada di lantai dansa, namun dia tidak memiliki keinginan untuk bergabung di sana.“Kupikir kau tidak akan datang,” ucap Evan yang datang belakangan.Krista hanya mengangkat bahu sembari melirik ke arah Linda yang kini kembali dalam pelukan kekasihnya, Adrian. Kedua lengan kekar dari pemain football dengan posisi bek itu tampak seakan melahap tubuh Linda yang mungil, membuat Krista penasaran bagaimana mereka melakukan sesi panas di atas
Baru saja Krista membuka pintu kamar besok paginya, saat dia menemukan buket bunga mawar yang kemarin dibuang ke tong sampah berada di bawah pintu. Pandangan gadis itu langsung tertuju pada buket tersebut.Ada dorongan untuk memijak bunga-bunga itu sampai hancur dengan sepatu hak tinggi yang dipakai, ketika tiba-tiba dia melihat sebuah kartu ucapan menyembul keluar dari setangkai mawar di tengah-tengah rangkaian.Kakinya kembali ke posisi berdiri, dan gadis itu pun mengurungkan niat untuk menginjak-injak benda tidak berdosa tersebut.“Kenapa kau masih di sana? Apa kau lupa sesuatu?” tanya Linda yang tetap berbaring di kasur.Seketika Krista tersadar dan matanya berkedip-kedip, mengusir lamunan akan siapa pengirim bunga tersebut, dan dia pun berdehem sebelum akhirnya menjawab.“Tidak apa-apa,” ujarnya sembari mengambil bunga yang tergeletak di lantai.Dia membungkuk sedikit dan memungut bunga itu dengan tidak minat.
Ketika lelehan air mata itu mulai bergulir jatuh, jemari pria di hadapan Krista pun mengusap lembut pipi yang mulai basah, tetapi dengan cepat kepala gadis itu berputar menjauhi sentuhan, sehingga jemari-jemari tidak berdosa itu menggantung di udara sebelum akhirnya kembali ke sisi tubuh pria tersebut.“Mau apa kau ke sini?” Gadis dua puluh satu tahun itu mendelik tajam dan dengan cepat bergerak menjauhi pria yang mulai menyesaki ruang privasi.Mata biru pria itu memperhatikan kegelisahan Krista dengan pandangan tidak biasa.“Aku ingin melihatmu,” ucap pria itu pelan.Dia hendak menyentuh lagi wajah gadis di hadapan, tetapi Krista memilih untuk mundur beberapa langkah hingga mereka berjarak.Ujung bibir pria itu berkedut menahan senyuman, dan dengan sangat pelan dia pun bergumam lebih pada dirinya sendiri; “Tiga tahun kita tidak pernah berjumpa.”Mendapati ada kesedihan bergelayut di bawah mata pria di had