Meski sedikit terlambat, kami berhasil mendatangi Kantor Camat. Ferdi sang koordinasi kecamatan sudah menunggu. Teman-teman dari berbagai desa juga sudah datang.
“Saya sangat menghargai kedatangan teman-teman di tempat ini. Saya mengerti beberapa kesulitan yang kita hadapi mengenai kendaraan dan lain sebagainya. Sebelum memulai, saya ingi memastikan perwakilan desa mana saja yang sudah hadir.”
Ferdi lalu mengambil secarik kertas dan membaca nama desa demi desa. Setiap nama desa yang dibacakan, maka perwakilan desa tersebut harus mengangkat tangan.
Ada beberapa desa yang belum hadir. Kemungkinan besar mereka juga menemui kendala yang sama seperti kami. Siapa yang tahu? Atau lebih parahnya, tidak ada transposrtasi yang bisa mereka gunakan.
“Untunglah kita bisa tiba tepat waktu, ah … benar-benar … sekarang aku menjadi kesal dengan pak tua itu!”
Farid menunjukkan senyum tipis. “Yang penting kita sudah tiba de
bgh"Nyari siapa sih?!" Muti sudah mulai kesal karena aku tak kunjung menjawab dengan segera.Aku bukannya tak ingin menjawab, hanya saja aku tak yakin Muti akan senang dengan jawabnnya."Itu ... pokoknya ada.""Joy ya?""Hm ....""Ngapain amat cariin Joy? Kek enggak ada kerjaan aja." Wajah Muti sudah terlihat tak senang."Aku hanya memastikan sesuatu. Ini tentang masa depan.""Buseeeet ... sebegitunya. Jadi penasaran aku ya ... ada apa dengan masa depan?"Tentu aku tak bisa mengatakannya. Biarlah itu menjadi rahasia besar untuk gadis ini. Muti juga tak perlu ikut campur dalam waktu ini."Apa dia juga tidak datang?""Mungkin terlambat. Aku sangat yakin ia akan terpilih sebagai perwakilan dari desanya. Sumpah, aku yakin seribu persen dah." Muti terlalu yakin dengan ucapannya.Mataku masih mencari-cari keberadaan Joy. Hanya ada dua kemungkinan besar untuk hal ini. Pertama, J
Akhirnya, aku bertemu dengan Joy. Ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk menyampaikan padanya untuk berhati-hati dan tak terlalu akrab dengan Bima. Oh ini gila sekali untuk dikatakan. Aku bahkan sempat ragu untuk mengatakannya. Apa ini benar atau tidak? Seseorang, siapa pun di sana tolong bantu aku.Joy menyambut kedatanganku dan juga Farid dengan sangat ramah. Setelah ia mempersilakan kami duduk di ruang tamu, ia menyediakan kudapan. Saat di sana juga, teman-teman satu poskonya menyambut kami. Itu memang tidak begitu lama karena setelahnya, mereka pergi dengan kegiatannya masing-masing."Tumben sekali kamu mau datang berkunjung di sini. Apa ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?" tanya Joy dengan penasaran. "Jangan bilang kamu gabut lalu menemuiku. Sumpah, itu akan jadi alasan yang sangat tidak masuk akal."Aku datang untuk menyelamatkanmu, Joy. Seandainya kamu tahu. Aku bahkan rela mengubah jalan cerita ini menjadi yang tak semestinya. K
Pagi-pagi sekali, Muti meneleponku. Firasatku sudah tidak enak. Itu masih jam setengah enam pagi. Nita yang mendengar ponselku berdering sedari tadi rupanya sudah berusaha membangunkanku. Mau bagaimana lagi, aku tipe orang yang akan tidur dengan sangat lelap.Dengan berat hati aku mengangkat telepon itu dan berharap bukan sebuah prank seperti yang suka dilakukan Muti padaku.“Halo,” sapaku seperti pada umumnya.Nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. Ibarat kapal yang masih terombang-ambing di lautan. Sejujurnya, aku ingin sekali menutup saja panggilan itu. Untungnya, tidak aku lakukan.Dari seberang sana aku bisa mendengar Muti sedang terisak. Aku semakin khawatir.“Mut …,” panggilku pelan.“Cintia kecelakaan tadi malam … hiks.” Muti berusaha menjelaskan dengan singkat sambil menahan tangisnya. Dari suaranya saja, aku bisa merasakan getaran emosi yang sangat kuat. Ini tentang Cintia, ga
Satu jam waktu yang diberikan Bu Nini. Ia tentu tak main-main dengan perkataannya. Siap atau tidak siap, kami harus tetap pergi sesuai waktu yang ditentukan. Kami juga hanya bisa pasrah kalau sekarang. Istilahnya harus banyak tahu diri di sini. Bu Nini sudah membantu kami menemukan kendaraan. Ya wajar saja bila ia menuntut hal lain.Seperti biasa, aku mencoba membiasakan diri dengan mandi air dingin. Pintu yang terbuat dari kain pun harus selalu aku awasi untuk berjaga-jaga dan mencegah hal yang tidak diinginkan. Coba bayangkan bila ada angin yang mengibarkannya begitu saja saat aku sedang telanjang, ah … rasanya aku tak sanggup lagi untuk tinggal di sini lebih lama.“Jangan masuk!” teriakku saat aku merasakan ada yang mendekati wilayah kamar mandi.Langkah kaki itu terdengar berhenti. “Oh, maaf … aku pikir tidak ada orang, soalnya terlalu sepi.”Aku menarik napasku dengan panjang. Syukur saja, Dito tidak lebih jauh m
“Hahaha, sudah! Kalian itu sedari tadi bertengkar hanya untuk hal yang sebenarnya tidak perlu!” Aku mencoba menghentikan segala perbacotan yang tidak perlu di antara kami.Tinggal dan hidup bersama orang lain memang tak mudah, bukan? Ada beberapa hal yang harus disesuaikan dan mungkin sedikit pertengkaran akan mewarnainya di awal. Mau bagaimana lagi, seperti itulah cara manusia bersosialisasi dengan sesama. Aku pada awalnya mungkin tak begitu suka dengan keadaan selama KKN. Tentu saja, karena hal ini sudah aku lalui dua kali.Seperti itulah hari-hari kami. Kalau tidak dipenuhi dengan drama antar anggota, pasti tentang Bu Nini. Meski begitu, hal ini akan menjadi satu episode terbaik dalam hidupku. Dito, Arka, Farid dan juga Nita. Mereka pasti akan aku ingat selama hidupku. Aku tak bisa begitu saja mengatakan aku kesal pada mereka, bukan? Mungkin benar ada hal yang membuatku terkadang kesal. Namun, aku juga tak bisa menutup mata bila ada hal yang bisa membuat
Akhirnya kami hanya saling memandang menertawai. Itu memang sedikit tegang pada awalnya, namun seperti biasa, berakhir dengan manis. Aku masih belum terbiasa dengan keadaan ini. Seolah tubuh dan jiwaku masih berada di sana, di lokasi KKN. Sesaat, aku menyesali sesuatu, meski semua itu hanya sebuah mimpi yang panjang. Joy dan semuanya. Banyak hal yang bisa aku lakukan atau … mengubahnya mungkin. “Mel … Amel!” Muti memanggil namaku dengan keras. Aku tahu, ia pasti sedang heran dengan tingkahku. “Mulai, deh … Cintia … kita harus lebih memperhatikan anak ini setidaknya sampai satu minggu. Lihat, mukanya kayak orang habis kesurupan.” “Heh! Jangan ngomong sembarangan, bisa? Enak aja! Siapa yang kesurupan?” Aku tidak terima dengan ucapan Muti langsung melayangkan protes. “Hihihi, syukurlah. Ah, Amel sudah kembali. Kalau
Tidak banyak kata yang akhirnya keluar. Kami bertiga sama-sama menyadari bila makan siang ini harus dihabiskan dengan tenang. Ah, aku sangat merindukan kebersamaan ini. Lalu, pikiranku kembali pada situasi KKN kami. Kebersamaan itu mungkin tidak akan lagi aku rasakan. Teman-teman satu posko yang sudah seperti saudara sendiri. Mungkin bisa kalau kami berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Lupakan saja, semuanya sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Pada akhirnya, rencana sematang apapun hanya akan jadi wacana. Muti sekali lagi ternyata memperhatikanku sejak tadi. Ya, bagai seorang ibu yang terus memperhatikan tindak-tanduk anaknya. Ia lalu segera mengomentari tentang apa yang sedang menjadi bahan pikiranku tadi. “Kamu itu, sementara makan bisa-bisanya ,menghayal. Astaga, Mel … sungguh, aku jadi takut ka
Dan benar saja. Setelah kami bertiga selesai makan dan beres-beres, Muti bahkan sudah siap dengan ponselnya. Sepertinya ia sudah mulai membuka sebuah aplikasi untuk mengantar kami ke Mall. Luar biasa sekali seorang Muti yang sangat bersemangat tentang semua ini. Aku hampir tidak mempercayai ini. Namun, ya … seperti itulah kenyataannya.“Serius Muti … kamu sudah memesan taxi online? Waow! Luar biasa sekali!” Itu bukan sebuah kekaguman tentu saja. “Aku bahkan belum mengganti pakaian dan bersiap-siap ….”“Ssstt! Tenang saja, masih ada lima belas menit sebelum ia sampai di sini,” ucap Muti dengan sangat santai sambil menunjukkan layar ponselnya.