“Kenapa kembali?” tanya Pras yang sudah berbaring nyaman di tempat tidur. “Aku bebaskan kamu untuk tidur di kamar anakmu.”Sinar berdecak. Mengunci pintu lalu beranjak ke tempat tidur. “Asa sama Aya dibawa tante Eila ke kamarnya.”“Mami,” ralat Sinar. “Bukan tante lagi.”“Ah, iya.” Sinar masuk ke dalam selimut yang sama dengan Pras. Namun, memberi jarak, karena semua masih terasa canggung. “Aku belum biasa.”“Diam dan jangan berisik,” titah Pras. “Aku sudah mau tidur.”Sinar berbaring miring menatap Pras. “Lampu tidurmu di nakas masih nyala. Emang kalau tidur nggak dimatiin?”“Bukan urusanmu.”“Ih!” Sinar mencubit kecil lengan Pras. “Jawab yang baik coba!”Pras menangkup wajah Sinar dan mendorongnya. “Diam, ak–”“Praaas!” Sinar menepis cepat telapak tangan pria itu dari wajahnya. “Aku sudah pake skincare! Jangan pegang-pegang muka.”“Berisik!” Pras meraih kabel yang menjuntai di sebelahnya, lalu mematikan lampu tidurnya. “Sekarang diam. Aku capek dengar ocehanmu.”Bukannya diam, Sinar
Elo menyesap kopi pahitnya yang masih mengepul dengan perlahan, lalu meletakkannya kembali di atas meja. Pandangannya tertuju pada Bintang yang duduk di seberangnya. Dua pria itu bertemu di kafe, hanya untuk satu alasan, yakni membahas Sinar.“Bima sudah cerita semuanya, termasuk kejadian di rumah sakit waktu itu.” Elo menghela panjang dan kesal sekaligus. “Andai waktu itu aku tetap balik sama Sinar, mungkin semua ini nggak bakal kejadian. Ck! Nyesal aku, Mas!”“Aku tau, aku yang salah.” Bintang mengembuskan napas berat.“Jelas salah!” todong Elo semakin kesal. “Kenapa juga sampai bawa-bawa hak asuh Aya? Repot, kan, jadinya?”“Aku nggak pernah bermaksud mau ambil hak asuh Aya,” ujar Bintang. “Itu semua … kamu nggak jadi aku, El.”Elo mengendik cuek. “Kita sudah nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Bu Eila sudah turun tangan dan tanggal sudah ditentukan. Ahh … berengsek!”“Bicaralah dengan Sinar,” ujar Bintang masih mencoba mencari jalan keluar. “Aku sudah angkat tangan.” Elo mendecak pelan
“Nggak usah ke toko, ya,” ujar Eila saat mobilnya berhenti di depan rumah Sinar. “Istirahat aja di rumah.”Sinar mengangguk saat menengok ke belakang. Menatap Pras yang tidak melihatnya, lalu beralih pada Eila. “Yang tadi itu … makasih, ya, Tan,” ucap Sinar dengan wajah yang masih sembab.Sepanjang jalan, ia tidak bisa menahan air matanya. Semua orang di dalam mobil hanya diam dan membiarkannya menghabiskan tangis yang seolah enggan mereda. “Dan makasih juga sudah diantar,” tambah Sinar. “Maaf kalau saya merepotkan.”“Tante nggak repot,” ujar Eila turut prihatin. “Sekarang keluar, masuk ke rumah, tidur. Dan, nanti kita bicara lagi kalau kamu sudah tenang.”Sinar mengangguk. “Saya permisi, ya, Tan. Sekali lagi, makasih.”Tanpa berpamitan pada Pras yang hanya menatap keluar jendela, Sinar keluar. Berdiri di depan pagar dan melambai pada mobil yang meninggalkannya.Sementara itu, Eila langsung menghela besar setelah meninggalkan rumah Sinar. “Jangan terlalu ikut campur dengan urusan o
“Gimana, Tan, terapinya?” tanya Sinar antusias saat melihat Eila lebih dulu keluar ruangan. “Pras mau datang aja, udah syukur banget, Nar,” jawab Eila. “Makasih, ya. Semoga aja ke depannya bisa ada progres. Apa pun itu.”“Saya yang harusnya berterima kasih.” Sinar kembali mengingat detik-detik di saat Pras menggeram menahan sakit kala itu. “Mau sebanyak apa pun itu, rasanya saya nggak bisa ngebayar utang budi saya ke mas Pras.”“Nggak usah terlalu dipikirkan,” ucap Eila mengusap lengan Sinar. “Tante minta doanya aja.”Sinar menatap ponselnya yang berdering singkat. Ia membaca pesan yang dikirimkan oleh Elo, tetapi tidak membalasnya,“Saya selalu doain mas Pras,” ujar Sinar masih merasa tidak enak hati pada Eila. “Semoga ada keajaiban dan dia bisa jalan seperti dulu.”“Amin.”“Tan, saya pamit ke toko dulu, ya,” ujar Sinar segera menyalami Eila. “Sudah ditunggu mas El di lobi.”“Oke, Tante juga bentar lagi pulang,” kata Eila. “Hati-hati, ya.”“Iya, Tan,” pamit Sinar lalu berlari kecil
Sinar terbatuk keras, memuntahkan air yang sempat tertelan saat Bima selesai melakukan kompresi dada dan napas buatan. Bibirnya yang semula membiru mulai berangsur pulih, rona pucat di wajahnya perlahan menghangat.Suasana yang semula diliputi kepanikan, sontak berubah jadi kelegaan. Napas panjang terdengar dari semua yang menyaksikan, seolah baru saja dilepaskan dari mimpi buruk.Lega. “Haaah … bego banget, sih, lo!” hardik Bima, menepuk pelan pipi Sinar. Antara kesal, panik, dan masih syok oleh ketakutan akan kehilangan wanita itu.Saat mendengar suara Pras berteriak, Bima tahu ada yang salah. Terlebih ketika ia tidak melihat Sinar berada di tempatnya. Bima segera berlari keluar, menatap kolam renang, dan langsung melompat ke dalamnya tanpa pikir panjang. “Lo itu nggak bisa berenang begooo!” Bima kembali meluapkan kekesalannya pada Sinar. “Ambil handuk!” titah Eila pada pelayan yang berada di sana. “Bathrobe atau apalah! Cepat!”Telunjuk Eila kemudian mengarah pada Irfan, perawat
“Tante, maaf kalau saya ngerepotin lagi,” ucap Sinar sebelum Eila membuka suara. Ia memang sudah membicarakan beberapa hal melalui telepon, tetapi tetap saja Sinar ingin memastikan semuanya. “Tapi, saya harap Tante nggak berubah pikiran.”Eila tersenyum kecil. Menunduk dan melepas gandengan Asa dari Sinar. “Mungkin bukan Tante yang berubah pikiran, tapi kamu. Pras itu makin keras kepala, jadi, kamu harus siap-siap makan hati kalau ngadapin dia.”“Saya sudah yakin.” Sinar mengangguk mantap. “Nggak akan berubah pikiran.”“Kalau begitu, ikut Tante ke belakang,” ajak Eila kemudian menggendong Asa. “Aya nggak diajak?”“Enggak.” Sinar menggeleng sambil mengeluarkan sebuah wadah plastik dari tas yang dibawanya. “Ada papanya ke rumah. Jadi–”“Aaasa!” Kaisar tersenyum lebar saat melihat Asa di gendongan Eila. “Ikut Opa ke depan ayo!”“Jangan ngerebut!” ujar Eila menepis tangan sang suami. “Kami mau ke belakang.”“Jangan bawa Asa nemui Pras,” ujar Kaisar akhirnya mengambil Asa dari tangan Eila.