Balita yang sedang aktif-aktifnya berjalan itu, melepaskan diri dari sang bunda saat melihat sesuatu yang menarik. Melangkahkan kaki kecilnya begitu antusias, diantara padatnya lobi hotel.
“Akhil!”
Mendengar namanya dipanggil, Akhil justru mempercepat langkahnya. Tubuh kecilnya yang sesekali masih terhuyung itu, akhirnya berhenti mendadak. Jatuh terduduk setelah menabrak kaki seseorang.
“Maaf, Pak,” ujar Sinar terburu, sedikit menunduk sungkan. “Anak saya lagi senang-senangnya jalan.”
Baru saja Sinar hendak berjongkok untuk membawa Akhil berdiri, tetapi pria tua di depannya lebih dahulu mengangkat balita tersebut.
“Nggak papa. Siapa tadi namanya?”
“Akhil.” Sinar memasang senyum ramah. Mengingat-ingat, sepertinya ia pernah melihat pria tua tersebut.
Namun, di mana?
“Sepertinya, saya nggak asing sama Bapak,” ucap Sinar. “Pernah lihat di mana, ya.”
“Di koran barangkali atau tivi.”
Ah, ya!
Wajar rasanya jika Sinar bertemu dengan pejabat atau pengusaha terkenal di lobi hotel berbintang.
Namun, tatapan Sinar beralih cepat ketika Pras tiba-tiba merampas Akhil dari pria tua itu. Tidak hanya Akhil, tetapi sejurus kemudian tubuhnya tertarik cepat. Pras tahu-tahu sudah menggenggam erat pergelangan tangannya dan membawa Sinar pergi tanpa aba-aba.
Meninggalkan pria tua yang pandangannya tiba-tiba terlihat kosong.
Entah mengapa, Sinar merasa ada yang tidak beres.
“Pras, kamu nggak sopan! Aku lagi ngobrol–”
“Nggak perlu,” putus Pras berjalan menghampiri Elo. Pria itu tengah menjaga Arsya yang sudah tertidur di stroller. “Kamu nggak perlu ngobrol dengan orang seperti dia. Dan, jauhi orang itu!”
“Tapi kenapa?” buru Sinar tidak mengerti. Ia kembali menatap pria tua yang berjalan pelan menuju pintu keluar. “Emang bapak tadi itu siapa?”
“Bukan siapa-siapa dan jangan tanya lagi.” Pras menatap Asa yang berada di gendongan Elo dan sudah mengantuk. “Asa ikut Papi ke atas atau pulang ke rumah Ayah? Aya barusan pulang dibawa sama mama Vio.”
Asa melihat Pras, Sinar dan kedua adiknya bergantian. Kemudian, ia menggeleng, karena Aya tidak bersama mereka. Adik perempuannya itu sudah tertidur lebih dulu, karena itulah, Violet membawa Aya ke rumahnya.
“Asa ikut Ayah,” jawabnya lalu menyandarkan kepala di bahu Elo.
“Aku bawa Asa dulu kalau gitu,” pamit Elo lalu segera pergi menuju pintu basement setelah menghadiri resepsi mewah Bima.
“Ayo ke atas,” ajak Pras meletakkan Akhil di stroller lalu mendorongnya menuju lift.
Kali ini, Sinar memilih diam. Melihat ekspresi Pras yang masih mengeras itu, Sinar tidak membantah. Ada waktunya ia bisa bercanda dan mengelak hanya untuk menggoda Pras. Namun, tidak kali ini. Wajah Pras seolah menahan sebuah emosi yang tidak bisa ia lepas.
Sesampainya di kamar hotel yang memang disediakan untuk keluarga, Sinar segera menidurkan Akhil. Setelah selesai, Sinar pergi ke kamar sebelah yang terhubung dengan connecting door.
Pras sudah terlihat berbaring lelah. Tuxedo, dasi, sepatu, dan ikat pinggang pria itu sudah tergeletak di lantai begitu saja.
Dengan perlahan, Sinar berbaring di samping Pras, memeluknya. Memberi waktu sejenak untuk mereka meresapi kebersamaan yang cukup senyap itu.
“Pras ...”
“Hm?”
“Bapak yang tadi ... siapa?” tanya Sinar hati-hati. “Aku, kok, kayak pernah lihat.”
“Narendra Zamar.”
“Ooo.” Sinar membulatkan mulutnya. Meski cukup terkejut, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. “Bukannya dia … ayah kamu?”
“Hm.”
Sinar menggeser posisinya. Menyatukan kedua telapak tangan di dada Pras, lalu meletakkan dagunya di sana. Memandang sang suami.
“Itu artinya, dia kakeknya si kembar,” lanjut Sinar pelan.
“Karena kamu sudah tau, jadi, lebih baik jauhi dia,” titah Pras. “Akhil dan Arsya juga. Bawa jauh dari orang itu.”
“Tapi, Pras—"
“Dia nggak pernah nganggap aku ada. Jadi, kita juga nggak perlu anggap dia ada.”
“Tapi Pras, apa kamu gak pengen bicara la—”
“Nggak.” Pras mulai menatap kesal pada Sinar. “Jangan cerewet dan berisik.”
“Yah, gimana dong?” Sinar bangkit, duduk di tepi ranjang. Melihat Pras melalui bahunya. “Kan, aku sudah pernah bilang, kamu akan terjebak dengan keberisikanku seumur hidup.”
Saat ini Sinar sudah kebal jika mendengar ucapan Pras yang tajam dan dingin. Kalimat dengan intonasi seperti itu, hanya akan memantul dari telinganya. Tidak akan pernah mau Sinar tanggapi dengan serius.
“Ayo mandi.” Pras ikut bangki, duduk di samping Sinar. “Kamu bisa berisik sepuasmu di kamar mandi.”
“Ihh!” Sinar memukul paha Pras. “Nggak ingat aku lagi hamil muda! Nggak boleh capek-capek dulu.”
Karena hal itu pulalah, Pras membawa Sinar dari pesta pernikahan Bima yang belum selesai. Ia tidak ingin sang istri terlalu lelah jika harus berada di ballroom hingga larut malam.
Pras mengusap kasar wajahnya. Ia tidak bisa protes akan hal yang satu itu, karena dokter memang sudah mewanti-wanti hal tersebut.
“Oke, cuma mandi,” ujar Pras pada akhirnya.
“Beneran mandi? Nggak pake plus plus?” Sinar menyipitkan mata.
“Kalau kamu yang minta, aku mana bisa nolak.”
Sinar meraih tangan Pras, berdiri lalu menarik sang suami. “Ayo kita mandi, nggak pake lama!”
~~~~~~~~~~~~~~~
Pras memasuki kamar, setelah memastikan ke empat bocah yang semakin aktif sudah bersama pengasuhnya masing-masing. Menggeleng pelan, saat melihat Sinar kembali terlelap di tempat tidur. Istrinya itu baru menyelesaikan sarapannya dan langsung pergi ke kamar setelah berpamitan pada keempat anaknya.
Pras berbaring miring di samping Sinar. Memandang wajah cantik sang istri dengan pipi yang mulai membulat. Telunjuk Pras terangkat, menusuk-nusuk pipi Sinar karena gemas sendiri melihatnya.
“Praaas ...” Sinar merengek, tetapi tidak membuka mata. Dari aroma tubuhnya saja, ia sudah tahu jika Praslah yang saat ini tengah mengganggu tidurnya.
“Bangun! Ini masih pagi.”
“Anakmu pengen tidur,” ucap Sinar berbalik memunggungi sang suami. “Jangan diganggu!”
“Anakku, bukan bundanya.” Pras merapatkan tubuhnya memeluk Sinar dari belakang.
“Bundanya juga ngantuuuk.” Sinar merengek, karena bibir Pras tidak bisa diam. Berjalan disepanjang lehernya bagian belakangnya.
“Bintang mau nikah.” Pras tersenyum tipis dan masih mengecup leher Sinar tanpa henti. “Bagaimana kalau kita kasih tiket. Bulan madu.”
Sinar akhirnya membuka mata. Cukup terkejut, tetapi ikut berbahagia karena ia juga mengenal calon istri pria itu. Meski masih ada luka dan nyeri yang tersisa, tetapi Sinar sudah bisa mengikhlaskan semuanya.
Kehidupannya bersama Pras saat ini sudah sangat bahagia dan sempurna menurut versinya. Jadi, Sinar tidak lagi meminta lebih atas semua nikmat yang telah dilimpahkan padanya hingga saat ini.
“Hmm, terserah,” jawab Sinar. “Asal jangan pake duitku sama motong uang bulananku.”
Pras melepas tawa singkat. “Wah! Ternyata, kamu bisa sepelit itu sama Bintang.”
“Aku bukan pelit, tapi perhitungan,” ralat Sinar berbalik menatap Pras, lalu mendorong tubuh sang suami. “Udah pergi sanaaa. Aku mau tidur.”
Bukannya pergi, Pras justru bangkit dengan cepat. Berada di atas tubuh Sinar.
“Sudah dua hari ini aku ‘nganggur’,” ujar Pras sambil membuka kaosnya. Melemparnya ke sembarang arah. “Jadi, mumpung libur dan anak-anak sudah sama pengasuhnya, kita bisa main sebentar.”
Ada rasa lega tersendiri di hati Pras, saat mendengar kabar Bintang akan menikah dari Bima. Karena itulah, pagi ini mood-nya benar-benar cerah.
“Aku ngantuk, lagian masih pagi gini. Entar malem aja.”
“Kamu kapan nggak ngantuknya?”
Di kehamilan yang sekarang, Sinar memang selalu mengantuk di pagi hari seperti sekarang. Matanya selalu saja berat dan ingin cepat-cepat kembali ke kamar setelah menyelesaikan sarapannya.
“Jadi, kita main sebentar, habis it—"
“Pras!”
Sinar spontan mendorong dada Pras begitu keras, saat mendengar suara Eila yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu. Tubuh Pras sampai jatuh terjengkang di lantai dan Sinar buru-buru bangkit merapikan pakaiannya.
“Mami!” Pras menggeram. Duduk di lantai menatap Eila. “Kenapa nggak ketuk pintu dulu?” Pras menjambak rambutnya, frustasi.
Eila kekehan. “Lain kali dikunci dulu pintunya, untung Mami yang masuk, kalau Asa atau Aya? Tambah repot, kan, jadinya.”
Eila segera masuk dengan terburu. Duduk di tepi ranjang, bersebrangan dengan Pras yang masih duduk di lantai. Jika bukan perihal serius, ia tidak akan membuka pintu kamar Pras tanpa mengetuknya lebih dulu.
“Ada tamu di luar.” Eila menarik napas begitu dalam. Ia memilih menyampaikan hal ini secara langsung pada Pras dan Sinar. “Narendra Zamar.”
Pras meraup pelan wajahnya. “Suruh dia pulang.”
“Kok, gitu?” Sambar Sinar. “Coba ditemui dulu. Kan, dia itu—"
“Dia nggak pernah anggap aku ada.” Pras lalu menatap Eila. “Mau apa dia ke sini, Mi? Apa mau minta bantuan hukum? Dia butuh pengacara?”
“Aa … temuilah dia dulu, Pras,” bujuk Eila. “Bagaimanapun juga, dia itu ayah kamu. Dan … Mami baru dengar dari papi, kalau anaknya, Harris, baru aja mengalami kecelakaan di Swiss. Dan mereka sekeluarga meninggal di tempat.”
“Nggak ada hubungannya sama aku.” Pras bangkit lalu beranjak ke kamar mandi, tanpa mau mendengar apa pun lagi perihal ayah kandungnya. Meninggalkan Eila dan Sinar yang masih berada di atas tempat tidur.
Eila berdecak kecil. Namun, wajar rasanya melihat Pras bersikap seperti itu dengan ayah kandungnya. Kalau Harris tidak meninggal, kemungkinan besar Narendra Zamar tidak akan menginjakkan kakinya ke rumah Kaisar untuk bertemu Pras.
Eila merasa, pria tua itu pasti sangat menyesal karena pernah tidak mengakui Pras sebagai anaknya dahulu kala.
“Nar, Mami minta kamu yang temui ayahnya Pras, ya?” mohon Eila.
“Tapi, Mi.” Sinar menatap pintu kamar mandi yang baru tertutup. “Mas Pras pernah bilang, jangan pernah dekat sama Pak Narendra itu. Entar kalau dia marah, gimana?”
“Pras mana bisa marah sama kamu.” Eila tersenyum tipis. “Apalagi kamu hamil. Jadi, temui dulu mertuamu di depan sana dan tanya apa maunya. Sekalian kenalan. Karena kamu istrinya, jadi, lebih baik kalau kamu yang tahu maksud kedatangan dia ke sini. Setelah itu, bicaralah dengan Pras, dari hati, ke hati.”
Sinar berdiri di samping Pras yang hanya terdiam di tepi kolam renang. Satu tangannya mengusap pelan di sepanjang punggung sang suami yang masih saja menatap lurus dan kosong.“I feel you, Pras.” Sinar menghela bersamaan dengan Pras. Kemudian, ia kembali melanjutkan kalimatnya yang menggantung. “Dulu, waktu bunda masih ada. Hubunganku juga nggak baik sama beliau. Kalimat terakhir yang aku ucapin terakhir kali sama beliau …”Wajah Sinar mulai memanas. Dadanya membuncah penuh dengan sesak tiba-tiba. “Aku benci sama bunda.”Air mata itu tiba-tiba saja meleleh tanpa permisi. Bila ingat semua masa lalu dengan sang bunda, Sinar pasti tidak akan kuat menahan pilu dan sesal yang kembali menyeruakPras menoleh, sedikit menunduk menatap Sinar. Tangan kanan Pras terangkat, merangkul tubuh sang istri. Kepala Sinar otomatis terjatuh pada lengan Pras, sambil mengusap perut yang sudah sangat besar di kehamilan keempatnya.Dan hanya tinggal hitungan hari, maka anak kelima Sinar akan lahir ke dunia.Ti
Sinar membuka pintu ruang perpustakaan lalu masuk. Berjalan ragu menghampiri Pras yang tengah serius menatap laptop. Memeluk lembut tubuh Pras dari belakang dan meletakkan dagunya di pundak Pras.“Mau minta apa?” tanya Pras tetap menatap serius pada laptopnya. Ia bahkan belum menatap istrinya sama sekali. Menurutnya, jika Sinar sudah bersikap seperti sekarang, pasti ada maunya.Sinar terkikik. Ia sudah kebal dengan sikap Pras yang terkadang bisa sangat dingin itu. Lantas, untuk sedikit mencairkan suasana, Sinar pun memberi kecupan lembut pada leher sang suami. “Ada ayahmu di luar.”“Dia ke sini lagi?” Pras tetap menatap layar laptopnya. “Mau ngapain?”“Beliau udah nggak punya siapa-siapa Pras, ayolah temui sebentar.” Sinar melepas pelukannya. Bergeser lalu duduk di pangkuan Pras. Mengalungkan satu tangan pada leher suaminya. “Ayahmu mau ngajak makan siang di luar, mau ya? Bawa Akhil sama Arsya. Mumpung Aya sama Asa nggak di rumah, jadi nggak repot bawa semuanya.”“Aku sibuk.”“Jahat,
Balita yang sedang aktif-aktifnya berjalan itu, melepaskan diri dari sang bunda saat melihat sesuatu yang menarik. Melangkahkan kaki kecilnya begitu antusias, diantara padatnya lobi hotel.“Akhil!”Mendengar namanya dipanggil, Akhil justru mempercepat langkahnya. Tubuh kecilnya yang sesekali masih terhuyung itu, akhirnya berhenti mendadak. Jatuh terduduk setelah menabrak kaki seseorang.“Maaf, Pak,” ujar Sinar terburu, sedikit menunduk sungkan. “Anak saya lagi senang-senangnya jalan.”Baru saja Sinar hendak berjongkok untuk membawa Akhil berdiri, tetapi pria tua di depannya lebih dahulu mengangkat balita tersebut.“Nggak papa. Siapa tadi namanya?”“Akhil.” Sinar memasang senyum ramah. Mengingat-ingat, sepertinya ia pernah melihat pria tua tersebut.Namun, di mana?“Sepertinya, saya nggak asing sama Bapak,” ucap Sinar. “Pernah lihat di mana, ya.”“Di koran barangkali atau tivi.”Ah, ya!Wajar rasanya jika Sinar bertemu dengan pejabat atau pengusaha terkenal di lobi hotel berbintang.Nam
“Papi, papi, adek Aya gelak-gelak,” ujar Aya sambil menempelkan sisi wajahnya di perut sang bunda. “Dali tadi dak mau diyem. Bunda udah kasi maem tapi masi lapal kayakna. Dak bobo-bobo.”Sinar tergelak mendengar ocehan Aya. Putri kecilnya itu, selalu memiliki sesuatu yang membuat suasana rumah menjadi lebih hidup.“Ini memang bukan waktunya tidur,” ujar Pras sambil mengangkat Aya yang menempel pada perut Sinar. Kemudian, ia meletakkan gadis kecil itu di samping Asa yang sedang main play station seorang diri di karpet. “Mau berangkat sekarang?” tanya Sinar mengulurkan tangan pada Pras dan sang suami langsung menyambutnya. “Lima menit,” jawab Pras kemudian duduk di samping Sinar. “Lex baru datang. Biar dia ngopi du … mau apa lagi?” tanya Pras menatap datar pada Aya yang duduk di pangkuannya. Padahal, baru saja ia hendak berpamitan pada kedua calon bayi yang ada di perut Sinar, tetapi Aya tiba-tiba menyela. “Papi mau kerja, Ay,” ucap Sinar sambil mengacak rambut bergelombang Aya. “A
“Du-dua?” Eila menatap hasi USG yang diberikan oleh Pras. Melihat dua buah kantong janin yang ada di dalam sana. “I-ini ... kembar? Mami nggak salah, kan?”“Kembar,” jawab Pras untuk lebih meyakinkan sang mami. “Dan cuma dua.”Sinar reflek memukul lengan Pras. “Emang mau berapa? Enam?”Pras mengendik singkat. Sementara Eila langsung memeluk Sinar dengan erat. Menumpahkan kebahagiaan yang semakin bertambah di dalam keluarganya. Langkahnya untuk membawa Sinar masuk ke dalam hidup Pras ternyata tidak salah. Wanita itu ternyata mampu merubah banyak hal dan membuat hidup Pras semakin berwarna.Tentu tidak hanya Eila yang ikut berbahagia, Kaisar pun turut merasakan hal yang sama.“Mau apa?” Pras menahan kepala Bima yang mulai mendekat pada Sinar.“Ngasih selamatlah, Mas!”“Hm.” Pras bergeser segera. Berdiri di depan Sinar. Menjabat tangan Bima dengan segera. “Terima kasih. Sekarang kembali ke tempatmu.”Bima berdecih pelan. “Segitunya lo, Mas.”“Makanya nikah,” sindir Eila. “Bawa calonnya k
Tanpa berkata sepatah kata pun, Sinar mengangkat kerah kemeja suaminya. Ia membentangkan ujung dasi ke belakang leher, lalu menarik kedua sisinya ke depan. Dengan cekatan Sinar melilitkan kedua ujung itu sampai menjadi simpul yang rapi, kemudian menarik ujung dasi yang lebar ke bawah sambil menggeser simpulnya ke atas.Setelah selesai, Sinar kembali merapikan kerah kemeja tersebut. “Selesai.”Pras mencekal tangan Sinar yang hendak berbalik. Menariknya, hingga tubuh sang istri jatuh di pangkuannya yang sejak tadi duduk di tepi ranjang. “Aku mau ke persidangan, Nar. Bukan ke pesta atau klub malam. Jadi jangan merengut terus.” “Banyak ceweknya di sana, kan?” tanya Sinar dengan nada ketus.“Jelas.” jawab Pras. “Terus, habis itu kamu juga ada janji dengan Rista, kan?”“Betul!”“Ck! Aku nggak suka sama dia!” dengkus Sinar. “Bajunya ketat, roknya pendek. Kalau nggak ada aku, nanti kamu ditempel-tempelin sama dia!”“Ditempelin itu enak, anget! Seperti ini.” Pras memeluk erat tubuh Sinar y