Sinar membuka pintu ruang perpustakaan lalu masuk. Berjalan ragu menghampiri Pras yang tengah serius menatap laptop. Memeluk lembut tubuh Pras dari belakang dan meletakkan dagunya di pundak Pras.
“Mau minta apa?” tanya Pras tetap menatap serius pada laptopnya. Ia bahkan belum menatap istrinya sama sekali. Menurutnya, jika Sinar sudah bersikap seperti sekarang, pasti ada maunya.
Sinar terkikik. Ia sudah kebal dengan sikap Pras yang terkadang bisa sangat dingin itu. Lantas, untuk sedikit mencairkan suasana, Sinar pun memberi kecupan lembut pada leher sang suami.
“Ada ayahmu di luar.”
“Dia ke sini lagi?” Pras tetap menatap layar laptopnya. “Mau ngapain?”
“Beliau udah nggak punya siapa-siapa Pras, ayolah temui sebentar.” Sinar melepas pelukannya. Bergeser lalu duduk di pangkuan Pras. Mengalungkan satu tangan pada leher suaminya. “Ayahmu mau ngajak makan siang di luar, mau ya? Bawa Akhil sama Arsya. Mumpung Aya sama Asa nggak di rumah, jadi nggak repot bawa semuanya.”
“Aku sibuk.”
“Jahat, ih!” Sinar menepuk cepat dada Pras.
“Memangnya sejak kapan aku jadi orang baik?”
“Ngeselin!”
“Dari dulu.” Pras berdecak lalu mencuri satu kecupan di bibir Sinar yang tengah mengerucut itu. “Minggir, aku mau kerja! Kamu itu bisanya merusak konsentrasi.”
“Kamu itu juga!” Sinar kembal menepuk dada Pras. “Napain libur gini masih kerja!”
Pras menarik kedua tangannya dari laptop. Mengalung pada pinggang Sinar. “Mauku juga nggak kerja. Tapi ngamar seharian seperti Bima. Ck! Anak itu! Nggak lama aku suruh pindah dari sini.”
“Kenapa ujung-ujungnya jadi kesel sama Bima?” Sinar menusuk-nusuk dada Pras dengan telunjuknya. “Namanya juga pengantin baru. Jadi, mereka–”
“Mas …” Bima mendadak masuk ke dalam perpustakaan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Hm.” Pras menatap datar dan tetap mengalungkan kedua tangan pada tubuh Sinar.
“Bokap lo di depan.” Bima geleng-geleng melihat Sinar yang berada di pangkuan Pras. Keduanya bahkan tidak terusik sama sekali dengan kehadiran Bima.
“Suruh pulang!” seru Pras memberi perintah.
“Pras, ih!” Tangan Sinar lagi-lagi menepuk dada Pras. Kali ini lebih keras “Gitu-gitu, beliau juga ayah kamu.”
“Kenapa dia baru ingat sekarang?” tanya Pras mengalihkan tatapan datarnya pada Sinar. “Pergi ke mana dia kemarin-kemarin?
“Paling nggak, temui dia sekali, Mas,” sambar Bima. “Daripada lo nyesel, tau-tau besok orangnya udah nggak ada.”
“Bima!” hardik Sinar sambil melotot. “Kalau ngomong suka bener!”
“Kalian berdua, keluar,” usir Pras bertambah kesal dengan kekompakan Sinar dan Bima.
“Lo yang keluar, Je,” ujar Bima. “Temuin mertua lo.”
Dengan decakan sebal, Sinar beranjak dari pangkuan Pras lalu pergi keluar menemui Narendra.
Susah sekali ternyata merubah pendirian seorang Pras. Benar-benar tidak terlihat rasa empati maupun simpati sedikit pun, saat Sinar membahas tentang Narendra. Hati Pras seolah beku dan tetap bersikukuh dengan pendiriannya.
“Keluar kamar juga akhirnya,” sindir Pras kembali menatap laptopnya.
Bima tergelak santai, lalu duduk di hadapan Pras. “Gue mau pindah, tapi deket-deket sini aja.”
“Kenapa tiba-tiba mau pindah?”
“Yaelah Mas, gituan aja ditanya,” ujar Bima sambil memukul meja dengan semangat. “Gue pindah, biar bisa lebih bebas berekspresilah. Nggak cuma di kamar doang. Gue, kan, juga mau di dapur, di sofa, di meja makan dan di seluruh penjuru rumah.”
“Maruk.”
“Istri, istri gue! Halal gini!”
“Hm. Pindahlah! Cepat!”
Bima menopang wajah menatap Pras, berseringai kecil. “Eh, gue, kan, sudah iparan sama Je, terus, bentar lagi bakal iparan juga sama Pak Bintang.”
“Keluar,” titah Pras enggan mendengar ocehan Bima tentang Bintang.
“Gue lagi mikir.” Bima tetap melanjutkan ocehannya hanya untuk membuat Pras kesal. “Misal, suatu saat gue ngadain acara, gue pasti ngundang lo sama pak Bintang, kan? Nah! Mereka pasti ketemuan, kan! Ckckck! Kira-kira, hati lo aman, Mas?”
“Mau aku tambah kerjaanmu di Neteam?”
Bima beringsut mundur seketika. Terkekeh garing dan tidak lagi berani menyinggung hal tersebut.
“Sekarang, keluar!”
~~~~~~~~~~~~~~
Pras masuk ke kamar. Dengan sengaja, ia meletakkan sebuah map tepat di atas wajah Sinar yang sedang rebahan sambil bermain ponsel.
“Praaas!” Sinar menyingkirkan map di wajahnya. Melempar asal ke nakas.
“Suami datang itu disambut, bukan sibuk sama hape.” Pras menghempas bokongnya di samping Sinar. Memijat tengkuknya yang penat. “Bima aja langsung disambut sama istrinya.”
“Biasa itu, pengantin baru.” Sinar mencebik. Memiringkan tubuhnya memunggungi Pras. Masih sibuk dengan ponselnya. “Lagian, kamu tinggal bilang kalau minta disambit!”
Pras mengambil kembali map yang dibawanya. Meletakkannya di wajah Sinar. “Disambut, Nar!”
“Ihh, Pras, ih!” Sinar kembali menyingkirkan map tersebut dengan asal. “Mereka itu masih pengantin baru. Fokusnya masih satu-satu. Coba aja entar kalau udah punya buntut. Bima pasti jadi nomor sekian.”
“Oh, jadi, aku nomor berapa?” Pras membuka lilitan dasinya, masih setia duduk di tepi ranjang. Kakinya terangkat satu, menekuk di samping Sinar.
“Itung sendiri anakmu berapa. Nah, kamu yang urutan terakhir.”
Satu pukulan gemas langsung melayang pada bokong Sinar.
“Praaas!” Sinar berbalik pelan setelah meletakkan ponselnya begitu saja. Memberengut, lalu mencubit pelan paha suaminya itu.
“Ini!” Pras kembali meletakkan map yang disingkirkan Sinar di wajah sang istri. “Pak Praba bebas minggu depan.”
“Serius! Ayahku bebas minggu depan?” Sinar menyingkirkan map itu dan bangkit tiba-tiba lalu mengaduh. Memegang perut bagian bawahnya dengan meringis menahan nyeri.
“Kenapa?” Pras panik seketika. Menyentuh perut Sinar yang terasa keras. “Sakit? Kita ke dokter? Aku telpon Arkan, biar–”
“Cuma kram.” Sinar mendesis. Mengatur napas dengan amat perlahan dan kembali berbaring.
“Kram?” Pras masih saja khawatir. “Waktu hamil kembar nggak pernah begini. Jadi, kita ke dokter supa–”
“Nggak papa,” sela Sinar menyentuh lembut lengan Pras. “Waktu hamil Asa juga dulu gini. Sering kram.”
Sinar menepuk sisi ranjang yang kosong di sampingnya. Meminta Pras agar berbaring di sana.
“Sebentar.” Pras melepas jasnya terlebih dahulu. Melemparnya asal.
Setelah itu, barulah ia berbaring di samping Sinar. Mengeluarkan kemeja putihnya dari balik celana dan membuka kancing lengan panjangnya.
“Beneran nggak papa?” tanya Pras memastikan sambil mengusap perut sang istri. “Kita bisa ke dokter untuk memastikan semuanya. Aku nggak mau sampai kamu dan anakku ada masalah.”
“Nggak papa, Papiii.” Sinar berbaring miring, menatap Pras. Mengusap lembut sepanjang garis rahang sang suami yang terpahat sempurna. Entah mengapa, semakin bertambah usia, Pras justru semakin terlihat tampan. Semakin matang. “Kenapa ayahku bisa keluar minggu depan? Padahal masih setahun lagi masa tahanannya?”
“Yang jelas ada remisi dan aku ajukan pembebasan bersyarat.”
Sinar tersenyum lebar. Merapatkan diri lalu memeluk Pras. “Makasih.”
“Nggak ada yang gratis di dunia ini,” ujar Pras. “Bayar!”
Sinar terkekeh di pelukan Pras. Amat sangat mengerti dengan kata “bayar” yang diucapkan sang suami.
“Bayarnya entar malam, ya! Tunggu semuanya tidur!”
Pras mengeratkan pelukannya. “Beres!”
Sinar berdiri di samping Pras yang hanya terdiam di tepi kolam renang. Satu tangannya mengusap pelan di sepanjang punggung sang suami yang masih saja menatap lurus dan kosong.“I feel you, Pras.” Sinar menghela bersamaan dengan Pras. Kemudian, ia kembali melanjutkan kalimatnya yang menggantung. “Dulu, waktu bunda masih ada. Hubunganku juga nggak baik sama beliau. Kalimat terakhir yang aku ucapin terakhir kali sama beliau …”Wajah Sinar mulai memanas. Dadanya membuncah penuh dengan sesak tiba-tiba. “Aku benci sama bunda.”Air mata itu tiba-tiba saja meleleh tanpa permisi. Bila ingat semua masa lalu dengan sang bunda, Sinar pasti tidak akan kuat menahan pilu dan sesal yang kembali menyeruakPras menoleh, sedikit menunduk menatap Sinar. Tangan kanan Pras terangkat, merangkul tubuh sang istri. Kepala Sinar otomatis terjatuh pada lengan Pras, sambil mengusap perut yang sudah sangat besar di kehamilan keempatnya.Dan hanya tinggal hitungan hari, maka anak kelima Sinar akan lahir ke dunia.Ti
Sinar membuka pintu ruang perpustakaan lalu masuk. Berjalan ragu menghampiri Pras yang tengah serius menatap laptop. Memeluk lembut tubuh Pras dari belakang dan meletakkan dagunya di pundak Pras.“Mau minta apa?” tanya Pras tetap menatap serius pada laptopnya. Ia bahkan belum menatap istrinya sama sekali. Menurutnya, jika Sinar sudah bersikap seperti sekarang, pasti ada maunya.Sinar terkikik. Ia sudah kebal dengan sikap Pras yang terkadang bisa sangat dingin itu. Lantas, untuk sedikit mencairkan suasana, Sinar pun memberi kecupan lembut pada leher sang suami. “Ada ayahmu di luar.”“Dia ke sini lagi?” Pras tetap menatap layar laptopnya. “Mau ngapain?”“Beliau udah nggak punya siapa-siapa Pras, ayolah temui sebentar.” Sinar melepas pelukannya. Bergeser lalu duduk di pangkuan Pras. Mengalungkan satu tangan pada leher suaminya. “Ayahmu mau ngajak makan siang di luar, mau ya? Bawa Akhil sama Arsya. Mumpung Aya sama Asa nggak di rumah, jadi nggak repot bawa semuanya.”“Aku sibuk.”“Jahat,
Balita yang sedang aktif-aktifnya berjalan itu, melepaskan diri dari sang bunda saat melihat sesuatu yang menarik. Melangkahkan kaki kecilnya begitu antusias, diantara padatnya lobi hotel.“Akhil!”Mendengar namanya dipanggil, Akhil justru mempercepat langkahnya. Tubuh kecilnya yang sesekali masih terhuyung itu, akhirnya berhenti mendadak. Jatuh terduduk setelah menabrak kaki seseorang.“Maaf, Pak,” ujar Sinar terburu, sedikit menunduk sungkan. “Anak saya lagi senang-senangnya jalan.”Baru saja Sinar hendak berjongkok untuk membawa Akhil berdiri, tetapi pria tua di depannya lebih dahulu mengangkat balita tersebut.“Nggak papa. Siapa tadi namanya?”“Akhil.” Sinar memasang senyum ramah. Mengingat-ingat, sepertinya ia pernah melihat pria tua tersebut.Namun, di mana?“Sepertinya, saya nggak asing sama Bapak,” ucap Sinar. “Pernah lihat di mana, ya.”“Di koran barangkali atau tivi.”Ah, ya!Wajar rasanya jika Sinar bertemu dengan pejabat atau pengusaha terkenal di lobi hotel berbintang.Nam
“Papi, papi, adek Aya gelak-gelak,” ujar Aya sambil menempelkan sisi wajahnya di perut sang bunda. “Dali tadi dak mau diyem. Bunda udah kasi maem tapi masi lapal kayakna. Dak bobo-bobo.”Sinar tergelak mendengar ocehan Aya. Putri kecilnya itu, selalu memiliki sesuatu yang membuat suasana rumah menjadi lebih hidup.“Ini memang bukan waktunya tidur,” ujar Pras sambil mengangkat Aya yang menempel pada perut Sinar. Kemudian, ia meletakkan gadis kecil itu di samping Asa yang sedang main play station seorang diri di karpet. “Mau berangkat sekarang?” tanya Sinar mengulurkan tangan pada Pras dan sang suami langsung menyambutnya. “Lima menit,” jawab Pras kemudian duduk di samping Sinar. “Lex baru datang. Biar dia ngopi du … mau apa lagi?” tanya Pras menatap datar pada Aya yang duduk di pangkuannya. Padahal, baru saja ia hendak berpamitan pada kedua calon bayi yang ada di perut Sinar, tetapi Aya tiba-tiba menyela. “Papi mau kerja, Ay,” ucap Sinar sambil mengacak rambut bergelombang Aya. “A
“Du-dua?” Eila menatap hasi USG yang diberikan oleh Pras. Melihat dua buah kantong janin yang ada di dalam sana. “I-ini ... kembar? Mami nggak salah, kan?”“Kembar,” jawab Pras untuk lebih meyakinkan sang mami. “Dan cuma dua.”Sinar reflek memukul lengan Pras. “Emang mau berapa? Enam?”Pras mengendik singkat. Sementara Eila langsung memeluk Sinar dengan erat. Menumpahkan kebahagiaan yang semakin bertambah di dalam keluarganya. Langkahnya untuk membawa Sinar masuk ke dalam hidup Pras ternyata tidak salah. Wanita itu ternyata mampu merubah banyak hal dan membuat hidup Pras semakin berwarna.Tentu tidak hanya Eila yang ikut berbahagia, Kaisar pun turut merasakan hal yang sama.“Mau apa?” Pras menahan kepala Bima yang mulai mendekat pada Sinar.“Ngasih selamatlah, Mas!”“Hm.” Pras bergeser segera. Berdiri di depan Sinar. Menjabat tangan Bima dengan segera. “Terima kasih. Sekarang kembali ke tempatmu.”Bima berdecih pelan. “Segitunya lo, Mas.”“Makanya nikah,” sindir Eila. “Bawa calonnya k
Tanpa berkata sepatah kata pun, Sinar mengangkat kerah kemeja suaminya. Ia membentangkan ujung dasi ke belakang leher, lalu menarik kedua sisinya ke depan. Dengan cekatan Sinar melilitkan kedua ujung itu sampai menjadi simpul yang rapi, kemudian menarik ujung dasi yang lebar ke bawah sambil menggeser simpulnya ke atas.Setelah selesai, Sinar kembali merapikan kerah kemeja tersebut. “Selesai.”Pras mencekal tangan Sinar yang hendak berbalik. Menariknya, hingga tubuh sang istri jatuh di pangkuannya yang sejak tadi duduk di tepi ranjang. “Aku mau ke persidangan, Nar. Bukan ke pesta atau klub malam. Jadi jangan merengut terus.” “Banyak ceweknya di sana, kan?” tanya Sinar dengan nada ketus.“Jelas.” jawab Pras. “Terus, habis itu kamu juga ada janji dengan Rista, kan?”“Betul!”“Ck! Aku nggak suka sama dia!” dengkus Sinar. “Bajunya ketat, roknya pendek. Kalau nggak ada aku, nanti kamu ditempel-tempelin sama dia!”“Ditempelin itu enak, anget! Seperti ini.” Pras memeluk erat tubuh Sinar y