Home / Romansa / Dear Secretary / Extra Part Terakhir

Share

Extra Part Terakhir

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-08-24 14:57:35

Sinar berdiri di samping Pras yang hanya terdiam di tepi kolam renang. Satu tangannya mengusap pelan di sepanjang punggung sang suami yang masih saja menatap lurus dan kosong.

“I feel you, Pras.” Sinar menghela bersamaan dengan Pras. Kemudian, ia kembali melanjutkan kalimatnya yang menggantung. “Dulu, waktu bunda masih ada. Hubunganku juga nggak baik sama beliau. Kalimat terakhir yang aku ucapin terakhir kali sama beliau …”

Wajah Sinar mulai memanas. Dadanya membuncah penuh dengan sesak tiba-tiba. “Aku benci sama bunda.”

Air mata itu tiba-tiba saja meleleh tanpa permisi. Bila ingat semua masa lalu dengan sang bunda, Sinar pasti tidak akan kuat menahan pilu dan sesal yang kembali menyeruak

Pras menoleh, sedikit menunduk menatap Sinar. Tangan kanan Pras terangkat, merangkul tubuh sang istri. Kepala Sinar otomatis terjatuh pada lengan Pras, sambil mengusap perut yang sudah sangat besar di kehamilan keempatnya.

Dan hanya tinggal hitungan hari, maka anak kelima Sinar akan lahir ke dunia.

Tiga hari yang lalu, Narendra Zamar ditemukan sudah terkapar di kamar mandi rumahnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan, bahwa pria itu terkena serangan jantung.

Ada sesak dan sesal yang begitu besar ketika Pras mengetahuinya. Sedari awal, ia memang tidak pernah menjalin hubungan secara emosional dengan ayah kandungnya itu. Namun, bagaimanapun juga, ada darah Narendra yang mengalir dalam tubuh Pras. Darah yang sama, yang membuat kakinya mendadak goyah saat mendengar sang ayah telah tiada.

“Ehm.”

Sebuah deheman kecil membuat Pras dan Sinar menoleh bersamaan. Melihat Lex berdiri tidak jauh dari mereka, Sinar pun mengusap punggung Pras dengan singkat.

“Aku ke dalam dulu,” ujar Sinar

“Nggak usah, Mbak,” ucap Lex segera. “Saya perlu sama kalian berdua.”

“Ada apa, Lex?” tanya Pras melepas rangkulannya di bahu Sinra. “Kenapa kamu perlu dengan Sinar juga?”

Tatapan Pras jatuh pada amplop putih yang berada di tangan Lex. Tanpa menunggu lagi, Pras menjulurkan tangannya dan menerima amplop tersebut.

Pras membaca kop surat yang tertera pada amplop terlebih dahulu, lalu mengangkat pelan kedua alisnya. “Firma Hukumnya Aury. Kenapa?”

“Senin depan, kalian berdua diminta datang ke Firma hukum Bu Aury.”

Pras segera membuka amplop dan kemudian membaca dengan teliti.

“Bu Aury, pengacara dari mendiang Pak Narendra Zamar,” lanjut Lex menjelaskan. “Dan kalian berdua diminta datang, dalam pembacaan surat wasiat dari beliau.”

“Surat wasiat?” Giliran kedua alis Sinar yang tersentak pelan. “Kok, kami harus hadir?”

Pras berdecak, melirik dengan tatapan datar setelah istrinya melontarkan pertanyaan tersebut. Kemudian, ia menunduk dan berbisik di telinga Sinar. “Kamu boleh berlagak bodoh di depanku, tapi jangan di depan orang. Pertanyaan seperti itu harusnya nggak perlu ditanyakan.”

Pras kembali menegakkan tubuh dan menggeleng. Menepuk bokong Sinar sedikit keras, lalu mengajak Lex untuk pergi ke perpustakaan. Meninggalkan sang istri yang mungkin saja sedang memakinya dalam hati.

Sinar tahu persis arti panggilan untuk pembacaan surat wasiat itu. Ada namanya dan Pras yang tertulis dalam surat tersebut, karena ayah kandung Pras telah mewariskan sesuatu untuk mereka berdua.

Namun, Sinar hanya tidak menduga jika Narendra melakukan hal tersebut. Ditambah, sejauh yang Sinar tahu, Narendra Zamar hanyalah seorang pensiunan anggota legislatif. Lalu, sebesar apa sebenarnya warisan yang ditinggalkan oleh pria itu?

~~~~~~~~~~

Semenjak masuk ke kantor Firma Hukum milik Aury. Tangan Sinar tidak lepas sedikitpun mengalung pada lengan Pras. Kalau saja ada borgol, mungkin saja Sinar akan lebih memilih menggunakannya agar sang suami tidak lepas ke mana-mana.

“Apa sebaiknya dasiku ini dilepas aja?” tanya Pras saat mereka berada di depan lift.

“Buat?”

“Buat ngikat aku sekalian?”

“Boleh.”

Pras menatap Sinar. “Serius?”

“Serius! Mau aku yang bukain?” tantang Sinar mengangkat dagunya tinggi menatap Pras. Kedua alisnya naik turun dengan bibir yang sengaja dimajukan untuk menggoda Pras.

“Ck, nggak usah.” Pras menuntun tubuh Sinar yang sudah terlihat terengah, saat membawa perut besarnya itu memasuki lift. “Nanti, kalau di rumah, kamu boleh ikat aku sepuasnya.”

“Ih! Itu, sih, maumu!”

Pras menekan tombol yang bertuliskan angka dua. Mereka memang hanya akan naik satu tingkat, karena kondisi Sinar yang tengah hamil tua. “Maumu juga begitu.”

Dengan cepat, lift melaju ke lantai dua dan mereka keluar bersamaan

“Nggak mau, ah, aku capek di atas mulu.”

“Tapi posisi itu lebih aman untuk sekarang.”

“Pagi, Pak Pras.”

Sinar mengeratkan pegangannya pada lengan Pras. Menggigit bibir atasnya sambil meneliti seorang gadis muda yang tersenyum manis pada suaminya. Gadis itu juga melempar senyumnya pada Sinar, tetapi hanya sekilas.

Karena itulah, Sinar langsung mencubit kecil lengan sang suami. Ia masih memiliki trauma tersendiri, dengan wanita-wanita yang mungkin saja ingin menggoda suaminya.

Terlebih-lebih, Pras adalah seorang pria dengan paket komplit. Tampan, kaya raya, ternama, dan terkenal royal pada siapa pun yang menuruti perintahnya.

“Silakan ikut saya,” pinta gadis itu membawa Pras dan Sinar ke sebuah ruang, yang hanya berisi sebuah meja panjang dan banyak kursi mengelilinginya.

“Bu Aury sedang ada tamu dan beliau minta Bapak dan Ibu menunggu sebentar. Permisi.”

Saat gadis itu keluar dan menutup pintunya. Sinar segera duduk dan melepaskan tangannya dari Pras. Menatap memicing, penuh rasa ingin tahu.

“Kok, cewek tadi, kenal sama kamu?” tanya Sinar memulai introgasinya.

“Dia pernah magang di firma hukumku.”

“Kok nggak pernah cerita?”

“Apa aku harus laporan, siapa-siapa yang keluar masuk ke kantorku setiap hari?”

“Kamu nggak ad—” Sinar berdiri, hampir melompat dari tempat duduknya.

Dengan mulut yang menganga, ia meremas erat kain yang berada di depan dada. Jantungnya seolah terhempas dan berdegup cepat tanpa aba-aba saat melihat pria tua yang membuka pintu ruang tersebut.

Tidak hanya Sinar yang cukup terkejut, Pras pun ikut merasakan hal yang sama.

“Pagi Mas Pras, Mbak Sinar.” Aury mengangguk formal untuk menyapa keduanya dan memaklumi reaksi sepasang suami istri tersebut. Oleh karena itu, ia segera memperkenalkan pria tua yang berdiri di sampingnya.

“Perkenalkan, beliau adalah Bapak Najendra Zamar. Saudara kembar dari mendiang Pak Narendra Zamar,” ujar Aury.

Detik itu juga bahu Sinar merosot dengan helaan lega. Wajar saja kalau Sinar mengira pria di depannya saat ini adalah mahkluk astral, karena wajahnya begitu mirip dengan ayah kandung Pras.

Pras dan Sinar bergantian menyambut uluran tangan dari saudara kembar Narendra, yang tersenyum ramah pada mereka.

Satu hal yang menjadi pertanyaan Pras, yakni kenapa ia sampai tidak mengetahui hal ini?

Najendra tertawa melihat ekspresi kedua Pras dan Sinar. “Kami kembar identik, jadi wajar kalau wajah saya dan ayahmu sangat mirip.”

Pras mengangguk paham. “Tapi, kenapa saya nggak pernah dengar kalau Pak Narendra punya saudara kembar?”

“Sebaiknya kita duduk dulu,” Najendra menghela setelah mendudukkan bokongnya dengan perlahan. “Maklum saya sudah tua, nggak tahan berdiri lama-lama.” Ia pun melanjutkan kekehannya, kemudian tersenyum. Bergantian menatap Sinar dan Pras. “Saya tinggal di Swiss selama ini. Dan yaaa, nggak banyak juga yang tahu kalau kami kembar, karena sejak kecil saya ikut ibu ke Swiss dan Narendra bersama ayah di Jakarta. Kedua orang tua kami bercerai saat kami masih kecil.”

Aury menyela dengan sopan, karena ia akan menghadiri persidangan dalam waktu dua jam ke depan. Arda, notaris yang datang bersama Aury dan Najendra akhirnya membuka suara untuk membacakan surat wasiat yang ditinggalkan oleh Narendra.

Surat tersebut menyatakan, seluruh aset, baik perusahaan ritel serta sejumlah departemen store yang berada di Indonesia akan menjadi milik Sinar dan Pras. Sedangkan, saham perusahaan yang didirikannya dengan Najendra akan beralih sepenuhnya pada saudara kembarnya itu.

Hati Pras semakin digerogoti rasa sesal yang begitu besar. Ia tidak pernah sekali pun mau bertemu sang ayah, ketika pria tua itu berkunjung ke kediaman Kaisar untuk menengok cucunya. Bahkan undangan makan siang pun hanya Sinar dan kedua anak kembarnya saja yang menghadiri. Pras benar-benar tidak ingin melihat seorang Narendra kala pria itu masih hidup karena sudah patah arang.

“Rendra sudah cerita semuanya dan dia benar-benar menyesal karena telah mengabaikanmu,” ucap Najendra setelah Aury dan Arda berpamitan meninggalkan ruangan. “Jadi, tolong maafkan dia.”

Najendra yang sedari tadi duduk di samping Pras, menepuk pelan bahu ponakannya itu. “Aku pergi dulu.”

“Pergi?”

“Ya! Pulang ke Swiss!” Najendra melihat arloji mahal di pergelangan tangannya sebentar, lalu mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kartu nama. “Kalian harus berkunjung ke sana. Saya sebenarnya ingin sekali bertemu dengan si kembar, tapi, lusa saya ada pertemuan forum ekonomi di Davos, jadi harus siap-siap dan beristirahat terlebih dahulu.”

Sinar dan Pras mengangguk paham bersamaan. Mereka menemani Najendra sampai pria tua memasuki mobil yang mengantarnya, lalu menghilang di tengah ramainya kemacetan kota.

“Jadi, gini rasanya jadi OKB?” gumam Sinar sembari berjalan ke mobil mereka. Tangannya masih saja mengalung erat pada lengan sang suami.

Lirikan Pras begitu tajam menatap Sinar yang terus saja mengusap perutnya.

“Apa yang kamu dapatkan selama ini masih kurang?” Pras menggeleng dan berdecak. “Dasar, mata duitan.”

“Makanya! Kamu harus kerja lebih keras lagi, untuk memenuhi kebutuhan istrimu yang matre ini!”

“Heh! Kamu it—”

“Pras!” Sinar tiba-tiba meremas lengan Pras dengan sangat keras. Ia berhenti melangkah. “Perutku mules, sama … basah.”

“Perutmu basah?”

“Bukan perutku, tapi …” Sinar mengarahkan telunjuknya ke bawah, setelah memukul lengan Pras. Rembesan air yang merambat perlahan dan pasti itu, baru saja membasahi sisi flat shoes yang dikenakannya.

Pras berjongkok, menatap kaki Sinar sesaat lalu mendongak. “Kenapa selalu lahir nggak tepat waktu?”

“Emang aku yang ngatur!” hardik Sinar. “Lagian ngapain malah jongkok! Ambil mobil sana!”

Pras menghela lalu berdiri. Tetap santai, karena sudah pernah melewati proses seperti ini. “Harusnya, tadi kita sama Pak Arkan,” sambil  meletakkan kedua telapak tangannya di perut Sinar. “Jangan lahir dulu, Boy. Tunggu sampai di rumah sakit.”

“Eh, kok boy? Kalau cewek gimana,” protes Sinar karena mereka memang belum tahu jenis kelaminnya.

“Laki-laki! " seru Pras yakin, karena ia sudah lebih dulu mengetahui hal tersebut . Pras bertanya langsung pada dokter kandungan Sinar, tanpa sepengetahuan sang istri. "Jadi, habis ini kita masih bisa bikin lagi. Kasihan Aya, nggak ada temannya.”

“Lima anak cukup!”

“Kita genapin jadi enam,” ucap Pras pergi menjauh untuk mengambil mobil. “Biar rame!”

“Praaas!”

💙💙💙💙💙💙💙

Last extra ya, Mba beb ter~💙

FYI lagi, sequel cerita ini berjudul "MY DEAREST CAHAYA" dan sudah tamat. 

Kisss banyak2 Mba beb ~~ Insya Allah kita ketemu di cerita selanjutnya ~

Kisseesss

💋💋💋💋

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (20)
goodnovel comment avatar
Liam
Lagi dong thor Anaknya pras am sinar jd digenapin gak
goodnovel comment avatar
Bhebril_
uuuuh akhirnya lega juga happy ending kisah Sinar cintanya ...walau berliku-liku jalannya ujung-ujungnya tetep mas Pras seorang cieeee
goodnovel comment avatar
Master Gito
bakal kangen sama sinar Pras sekeluarga... txs KK Thor ... sehat selalu... emmuuaachh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dear Secretary   Extra Part Terakhir

    Sinar berdiri di samping Pras yang hanya terdiam di tepi kolam renang. Satu tangannya mengusap pelan di sepanjang punggung sang suami yang masih saja menatap lurus dan kosong.“I feel you, Pras.” Sinar menghela bersamaan dengan Pras. Kemudian, ia kembali melanjutkan kalimatnya yang menggantung. “Dulu, waktu bunda masih ada. Hubunganku juga nggak baik sama beliau. Kalimat terakhir yang aku ucapin terakhir kali sama beliau …”Wajah Sinar mulai memanas. Dadanya membuncah penuh dengan sesak tiba-tiba. “Aku benci sama bunda.”Air mata itu tiba-tiba saja meleleh tanpa permisi. Bila ingat semua masa lalu dengan sang bunda, Sinar pasti tidak akan kuat menahan pilu dan sesal yang kembali menyeruakPras menoleh, sedikit menunduk menatap Sinar. Tangan kanan Pras terangkat, merangkul tubuh sang istri. Kepala Sinar otomatis terjatuh pada lengan Pras, sambil mengusap perut yang sudah sangat besar di kehamilan keempatnya.Dan hanya tinggal hitungan hari, maka anak kelima Sinar akan lahir ke dunia.Ti

  • Dear Secretary   Extra Part Lagi

    Sinar membuka pintu ruang perpustakaan lalu masuk. Berjalan ragu menghampiri Pras yang tengah serius menatap laptop. Memeluk lembut tubuh Pras dari belakang dan meletakkan dagunya di pundak Pras.“Mau minta apa?” tanya Pras tetap menatap serius pada laptopnya. Ia bahkan belum menatap istrinya sama sekali. Menurutnya, jika Sinar sudah bersikap seperti sekarang, pasti ada maunya.Sinar terkikik. Ia sudah kebal dengan sikap Pras yang terkadang bisa sangat dingin itu. Lantas, untuk sedikit mencairkan suasana, Sinar pun memberi kecupan lembut pada leher sang suami. “Ada ayahmu di luar.”“Dia ke sini lagi?” Pras tetap menatap layar laptopnya. “Mau ngapain?”“Beliau udah nggak punya siapa-siapa Pras, ayolah temui sebentar.” Sinar melepas pelukannya. Bergeser lalu duduk di pangkuan Pras. Mengalungkan satu tangan pada leher suaminya. “Ayahmu mau ngajak makan siang di luar, mau ya? Bawa Akhil sama Arsya. Mumpung Aya sama Asa nggak di rumah, jadi nggak repot bawa semuanya.”“Aku sibuk.”“Jahat,

  • Dear Secretary   Extra Part

    Balita yang sedang aktif-aktifnya berjalan itu, melepaskan diri dari sang bunda saat melihat sesuatu yang menarik. Melangkahkan kaki kecilnya begitu antusias, diantara padatnya lobi hotel.“Akhil!”Mendengar namanya dipanggil, Akhil justru mempercepat langkahnya. Tubuh kecilnya yang sesekali masih terhuyung itu, akhirnya berhenti mendadak. Jatuh terduduk setelah menabrak kaki seseorang.“Maaf, Pak,” ujar Sinar terburu, sedikit menunduk sungkan. “Anak saya lagi senang-senangnya jalan.”Baru saja Sinar hendak berjongkok untuk membawa Akhil berdiri, tetapi pria tua di depannya lebih dahulu mengangkat balita tersebut.“Nggak papa. Siapa tadi namanya?”“Akhil.” Sinar memasang senyum ramah. Mengingat-ingat, sepertinya ia pernah melihat pria tua tersebut.Namun, di mana?“Sepertinya, saya nggak asing sama Bapak,” ucap Sinar. “Pernah lihat di mana, ya.”“Di koran barangkali atau tivi.”Ah, ya!Wajar rasanya jika Sinar bertemu dengan pejabat atau pengusaha terkenal di lobi hotel berbintang.Nam

  • Dear Secretary   175~DS

    “Papi, papi, adek Aya gelak-gelak,” ujar Aya sambil menempelkan sisi wajahnya di perut sang bunda. “Dali tadi dak mau diyem. Bunda udah kasi maem tapi masi lapal kayakna. Dak bobo-bobo.”Sinar tergelak mendengar ocehan Aya. Putri kecilnya itu, selalu memiliki sesuatu yang membuat suasana rumah menjadi lebih hidup.“Ini memang bukan waktunya tidur,” ujar Pras sambil mengangkat Aya yang menempel pada perut Sinar. Kemudian, ia meletakkan gadis kecil itu di samping Asa yang sedang main play station seorang diri di karpet. “Mau berangkat sekarang?” tanya Sinar mengulurkan tangan pada Pras dan sang suami langsung menyambutnya. “Lima menit,” jawab Pras kemudian duduk di samping Sinar. “Lex baru datang. Biar dia ngopi du … mau apa lagi?” tanya Pras menatap datar pada Aya yang duduk di pangkuannya. Padahal, baru saja ia hendak berpamitan pada kedua calon bayi yang ada di perut Sinar, tetapi Aya tiba-tiba menyela. “Papi mau kerja, Ay,” ucap Sinar sambil mengacak rambut bergelombang Aya. “A

  • Dear Secretary   174~DS

    “Du-dua?” Eila menatap hasi USG yang diberikan oleh Pras. Melihat dua buah kantong janin yang ada di dalam sana. “I-ini ... kembar? Mami nggak salah, kan?”“Kembar,” jawab Pras untuk lebih meyakinkan sang mami. “Dan cuma dua.”Sinar reflek memukul lengan Pras. “Emang mau berapa? Enam?”Pras mengendik singkat. Sementara Eila langsung memeluk Sinar dengan erat. Menumpahkan kebahagiaan yang semakin bertambah di dalam keluarganya. Langkahnya untuk membawa Sinar masuk ke dalam hidup Pras ternyata tidak salah. Wanita itu ternyata mampu merubah banyak hal dan membuat hidup Pras semakin berwarna.Tentu tidak hanya Eila yang ikut berbahagia, Kaisar pun turut merasakan hal yang sama.“Mau apa?” Pras menahan kepala Bima yang mulai mendekat pada Sinar.“Ngasih selamatlah, Mas!”“Hm.” Pras bergeser segera. Berdiri di depan Sinar. Menjabat tangan Bima dengan segera. “Terima kasih. Sekarang kembali ke tempatmu.”Bima berdecih pelan. “Segitunya lo, Mas.”“Makanya nikah,” sindir Eila. “Bawa calonnya k

  • Dear Secretary   173~DS

    Tanpa berkata sepatah kata pun, Sinar mengangkat kerah kemeja suaminya. Ia membentangkan ujung dasi ke belakang leher, lalu menarik kedua sisinya ke depan. Dengan cekatan Sinar melilitkan kedua ujung itu sampai menjadi simpul yang rapi, kemudian menarik ujung dasi yang lebar ke bawah sambil menggeser simpulnya ke atas.Setelah selesai, Sinar kembali merapikan kerah kemeja tersebut. “Selesai.”Pras mencekal tangan Sinar yang hendak berbalik. Menariknya, hingga tubuh sang istri jatuh di pangkuannya yang sejak tadi duduk di tepi ranjang. “Aku mau ke persidangan, Nar. Bukan ke pesta atau klub malam. Jadi jangan merengut terus.” “Banyak ceweknya di sana, kan?” tanya Sinar dengan nada ketus.“Jelas.” jawab Pras. “Terus, habis itu kamu juga ada janji dengan Rista, kan?”“Betul!”“Ck! Aku nggak suka sama dia!” dengkus Sinar. “Bajunya ketat, roknya pendek. Kalau nggak ada aku, nanti kamu ditempel-tempelin sama dia!”“Ditempelin itu enak, anget! Seperti ini.” Pras memeluk erat tubuh Sinar y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status