Felix Nicholas Prasetya!
Hah! Gue pengen ngejadukin kepala gue di tembok aja tiap inget namanya. Bagaimana bisa dengan mudahnya pria itu membuat hidup gue jungkir balik hanya dalam waktu seminggu ini.
Shit!
Kalau waktu bisa diputar kembali, gue pengen kembali ke satu minggu yang lalu. Dimana tawaran pekerjaan menggiurkan dari bos gue yang terhormat itu bisa gue tolak mentah-mentah. Tapi bagaimana lagi, demi uang! Demi rencana pernikahan yang amat sangat gue idam-idamkan selama ini.
“Tania, ada proyek besar di Bali. Kamu bakalan dapat bonus besar jika bersedia saya tugaskan di sana selama lebih kurang dua minggu.”
OKe!
Tanpa pikir panjang, gue meng-iya-kan tawaran itu. Gue pikir asyik kali ya, bisa kerja sambil liburan. Menikmati deburan ombak tiap hari di pinggir pantai Kuta. Berjemur, travelling, makan-makan, dan sebagainya. Apalagi gue dapet fasiltas kamar hotel bintang lima, gretongan pula dari kantor. Siapa coba yang enggak mau dapet durian runtuh macem itu.
Dan enggak tau-nya!
Begitulah. Gue ternyata masuk kandang buaya.
*****
Enggak tau, gue emang udah enggak suka begitu aja sama pria bernama Felix itu sejak pertemuan pertama kami. Tatapan matanya itu loh, gue tahu itu tatapan mata buaya, bukan Cuma sekedar tatapan mata seorang atasan pada bawahannya. Kalian tahu, gue rishi. Gue paling enggak suka sama tatapan mata kayak begitu. Pengen gue culek aja matanya.
Belum lagi sama tatapan mata ular betina alias sekertarisnya yang sinis banget sama gue gara-gara Felix sering diam-diam curi pandang sama gue. Jadilah gue serba salah. Pengen banget proyek ini segera berakhir, gue bisa cepetan balik ke Jakarta dan enggak ketemu pria bernama Felix itu untuk selamanya.
Bisa dikatakan pekerjaan gue sebenarnya enak sih. Dia yang punya proyek membangun sebuah gedung hotel berbintang lima di salah satu tempat di pulau dewata ini. Sedangkan gue bertugas di bagian desain. Memberikan masukan-masukan pada Felix tentang segala macam desain untuk hotel yang digadang-gadang akan menjadi hotel terbaik daerah sini.
Mungkin pekerjaan ini memang akan terasa sangat menyenangkan jika gue dikelilingi sama orang-orang menyenangkan. Tapi bagaimana lagi, gue diapit sama raja buaya dan ratu ular. Engap, bawaannya pengen lari dan segera pulang.
Untuk kali pertama dalam hidup gue, kenapa gue kangen sama kubikel di kantor. Meskipun ruang pandang gue terbatas dan seharian tanpa udara segar, namun setidaknya gue bebas dari mata-mata hewan pemangsa ini.
*****
Gue sama Altan bisa dikatakan sebagai salah satu pasangan tidak harmonis di dunia. Sering kami beradu arguman hanya untuk masalah-masalah kecil yang sebenarnya terlalu aneh jika diributkan. Contohnya tempat makan yang musti kita datangi untuk makan siang. Jika kami tidak membahasnya terlebih dahulu sebelum berangkat, dipastikan kami tidak akan jadi makan siang karena beradu argument. Bagaimana lagi, kalian tahu kan kalau model wanita selalu bilang’terserah’ setiap ditanya mau makan apa. Sedangkan pria hobi sekali menawarkan makanan-makanan berat berkalori dan berlemak tinggi agar bisa membantu perut mereka tetap kenyang sampai jam makan berikutnya.
“Sialan!” umpat gue kesal. Membanting ponsel gue begitu saja ke atas meja sampai soft case-nya terlepas dari tempatnya. Untung saja ponselnya enggak ikutan ambyar.
Gue paling benci bertengkar jarak jauh seperti ini. telepon sama sekali tidak akan bisa menyelesaikan masalah, apalagi untuk manusia keras kepala macam gue dan juga Altan
Sebenarnya Altan sama sekali enggak mengijinkan gue menerima tawaran proyek ini apalagi sampai ke Bali. Dia bilang gue terlalu ambisius dan mementingkan uang. Akh, gue ngelakuin ini demi pesta pernikahan gue nanti. Gue enggak mau pesta yang biasa saja. Jika bisa gue ingin menjadikan satu hari itu sebagai dunia gue sendiri. Berdandan dengan begitu cantiknya, dan mengadakan pesta dengan meriahnya. Jadi wajar dong, kalau untuk beberapa bulan ini gue bakalan kerja mengumpulkan uang mirip orang gila demi impian gue menjadi ratu terbaik dalam sehari.
Setelah membanting handphone, gue pikir perasaan gue lebih baik. Bergegas gue membuka lemari pakaian, dan mengambil salah satu pakaian tersexy gue di sana. Memoleskan make-up tipis, karena pada dasarnya kata temen-temen gue dan menurut gue juga sih, wajah gue udah bagus meskipun enggak di make-up. Gue ambil curling iron, lantas mencatok rambut cokelat tua gue dan terakhir gue pakai stiletto berwarna senada dengan dress peach gue
Hal yang paling menggembirakan ketika hati lo lagi suntuk adalah dengan membuat lo enggak inget apa-apa tentang semua penyebab kesuntukan itu.
****
Daripada ikut bergabung di lantai dansa, gue memilih untuk duduk ‘kalem’ aja di meja sambil menyesap sedikit demi sedikit martini. Gue enggak peduli hiruk pikuk yang terjadi di sekeliling gue, selama gue nyaman, ya sudah, gue enggak mau ngelakuin apa-apa. Lagipula baru kali ini gue pergi ke club sendirian, biasanya gue ditemeni temen-temen kantor yang juga pengen menghilangkan suntuk seperti gue.
“Excuse me……” Sebuah suara menginterupsi.
Gue menoleh seketika dan mendapati seorang pria bertubuh tinggi, berkulit putih tengah tersenyum kearah gue. Tangannya juga memeang segelas minuman, tapi gue enggak tahu itu apa.
“Ya?” jawab gue.
“Boleh ikut gabung?” tanyanya. “Mejanya penuh semua.”
Gue mengedarkan pandangan ke sekeliling sebelum menjawab. Malam minggu, dan semua meja tampak penuh. Meskipun gue ragu niatan dia untuk duduk hanyalah karena perihal meja penuh, tapi yasudahlah….lagipula agak canggung juga duduk di sini sendirian.
“Sure. Silakan.” Gue mengedik kearah kursi kosong di samping gue, dan tanpa basa-basi lagi pria bertubuh jangkung itu langsung duduk di sebelah gue.
“Nama gue Stefan.” Tiba-tiba saja pria bernama Stefan itu mengulurkan tangannya kearah gue.
Gue tersenyum, membalas uluran tangan itu.
“Tania.” Jawab gue. Singkat, padat dan jelas.
“Sendirian?” Stefan menenggak minumannya.
“Yeah. Gue di sini karena urusan bisnis.”
“Wow, sama dong. Dari mana?”
Manusia di samping gue ini apa memang berkata jujur, atau hanya sebagian dari tak-tik kecilnya untuk ngedeketin gue? Dia memang cakep sih, tapi not my type. Kalua ditanya alasanannya apa, jujur gue enggak tahu. Gue lebih suka cowok-cowok rasa local gitu. Dengan dagu tegas, alis tebal dan sorot mata yang tajam. Mirip-mirip Felix gitu.
Wait!
Kenapa gue ngomongin dia? Ralat, mirip Altan maksud gue. Tunangan gue!
“Jakarta.” Jawab gue pada akhirnya. “Lo?”
Stefan tampak berfikir. “Gue bisa dikatakan kaum nomaden masa kini. Kadang gue kerja di Jakarta, namun dua bulan kemudian gue udah bisa pindang ke Surabaya, makasar, atau tempat-tempat lainnya…”
Tukang kredit? Kekah gue dalam hati.
Dan akhirnya, kami terlibat pembicaraan ringan. Ngalor-ngidul tidak jelas. Sampai gue ngerasa mata gue tiba-tiba semakin berat untuk terbuka, kepala gue semakin pening dan badan gue tiba-tiba terasa panas. Gue yakin ini bukan pengaruh alcohol. Rasanya berbeda karena bagian sensitive gue tiba-tiba berdenyut hebat, seakan meminta untuk sesuatu yang lebih intim dan juga panas.
Sialan! Apa yang udah Stefan kasih di minuman gue diam-diam?
*****
Felix.Dunia memang sempit.Itu menurut gue. Meskipun tak seluas pulau jawa, namun gue yakin jika Bali punya banyak tempat clubbing, tapi kenapa dari sekian kelab yang gue pilih, gue tetep ketemu sama gadis itu di sini?Tania Larasati.Nama yang sudah nggak asing bagi gue semenjak bertahun-tahun lalu. Ya…meskipun dia enggak ingat sama sekali sama gue. Bahkan mungkin dia baru dengar nama gue sekarang.Gue enggak maksa sih dia inget sama gue, tapi setidaknya perlakukan gue layaknya pria yang lain. Dia selalu memasang muka judes dan ketus sama gue. Entahlah, gue juga enggak tahu apa masalahnya. Padahal gue ganteng, ramah dan selalu berusaha untuk memberi perhatian sama dia. Tapi kenapa dia selalu menjaga jarak?Gue baru saja menenggak soda gue, ketika mata gue berhenti pada sosok Tania yang duduk beberapa meja dari gue. Dia pernah bilang kalau datang ke Bali sendirian, tapi kenapa sekarang dia justru bersama seorang pria? Kelihatan asyik
Tania.“Tania!” Sebuah suara mengagetkan gue yang lagi sibuk dengan kerta-kertas di meja. Ada banyak sekali pekerjaan yang belum rampung hari ini dan gue harus segera menyelesaikannya agar tidak terpancang lembur.Gue mendongak, dan mendapati wanita ular, ralat! Maksud gue Jessi tengah berdiri dengan pandangan menyebalkannya kearah gue.“Iya?” gue mencoba tersenyum semanis mungkin, meskipun gue tau senyum gue nggak bakalan dia balas.Gue enggak tau masalahnya apa, namun semenjak gue datang, dia sudah memperlihatkan mimik wajah tidak sukanya sama gue. Awalnya gue mengira jika Jessi memang memiliki tampang dan karakter antagonis seperti itu, tapi nyatanya dia bisa bersikap baik dan pengertian pada orang lain.“Lukisan yang kamu bilang mau dikirim dari Ubud mana?” dia berjalan ke meja gue sambil bersidekap. Tak ada senyum sama sekali di wajahnya—as usual!“Lukisan?” Dengan tergesa gue raih k
Felix.Gue hampir saja meninggalkan meja kerja untuk pulang ke rumah, ketika pintu ruangan gue berderit perlahan lalu menyembul wajah Tania dari balik sana. Wajahnya dingin seperti biasa, dan tanpa senyum sedikitpun. Khas Tania jika bertatap muka sama gue.“Ada apa Tania?” gue kembali duduk. Menggeser kursi gue untuk lebih mendekat ke meja.Sedangkan dia tampak tenang. Berjalan pelan kearah gue.“Gue mau pamitan.” Jawabnya datar ketika kami saling berhadapan. Akh, dia juga tidak ada inisiatif untuk sekedar duduk dan basa-basi sebentar sama gue. “Udah hampir tiga minggu gue di sini, dan pekerjaan gue udah selesai.”Gue tercenung beberapa saat. Gue lupa kalau pekerjaan dia sudah rampung, dengan baik pula. gue rasa gue bakal kehilangan semangat gue dalam bekerja kalau dia enggak ada. Meskipun terdengar lucu, gue sering menatap dia diam-diam dari balik kaca jendela ruang kerja gue yang terhubung dengan meja kerjanya.
2 bulan kemudian.“Tania……!” seseorang berlari-lari kecil ke arah gue dengan senyumannya yang terbuka lebar.Gue membalas senyuman itu lantas melambai kecil dan langsung memeluknya dengan erat ketika ia sampai di depan gue.Namanya Rani, sahabat gue sewaktu SMA. Dulu waktu sekolah, kami sahabat dekat, sebangku lagi. Namun sewaktu kuliah, kami berpisah. Dia mengikuti mamanya ke Surabaya sedangkan gue masih betah-betah aja tinggal di Jakarta.“Enggak nyangka ya, delapan tahun kita enggak ketemu.” Komentar gue ketika kita sudah duduk di bangku kami masing-masing.Seorang waiters datang membawa sebuah buku menu. Karena tak ingin diinterupsi terlalu lama, akhirnya kami memilih langsung memesan. Virgin mojito buat gue, dan stroberi punch untuk Rani.“Lo tambah cantik aja sih Nia?” Rani tertawa ke arah gue. Tawa yang sama dengan delapan tahun lalu, bedanya kini Rani terlihat lebih dewasa dan lebih a
Pernikahan!Biasanya gue selalu merasa iri setiap kali dapat undangan atau datang ke pesta pernikahan. Setiap melihat gelak tawa bahagia dari pasangan pengantin, keluarga dan kolega. Melihat dekorasi-dekorasi yang indah serta cantiknya souvenir-souvenir. Wanita mana yang bisa menahan dirinya untuk tidak mengatakan ‘pengen’ di dalam hati?Namun mungkin kali ini gue nggak bakalan ngiri lagi, justru merasa ikut bahagia ketika sahabat baik gue waktu SMA menikah. Karena satu bulan lagi giliran gue yang akan tampil secantik dan seanggun itu bersama lelaki yang gue cintai.gue memang butuh kesabaran ekstra nungguin Altan ngelamar gue. Kami pacaran lebih dari lima tahun, dan setiap hari gue selalu berharap dia bakalan ngelamar gue. Dan akhirnya tepat di tahun ke lima dia ngajakin gue nikah setelah gue berkali-kali ngasih kode sama dia buat ngelamar. Sama sekali enggak romantic sih, Cuma makan malam biasa di sebuah restoran. Tanpa kejutan bahkan cincinnya pun
Felix.Gue udah ngebayangin dari semalem gimana ekspresi Tania waktu ngelihat gue di acara pernikahan Rangga.Seminggu yang lalu sahabat baik gue waktu SMA itu ngehubungi gue dan minta gue buat jadi pendamping di acara pernikahannya. meskipun gue memang masih sering ketemu sama Rangga namun gue cukup terkejut mendengar rencananya, sebab pria itu tak pernah membicarakan masalah pernikahan di depan gue. gue pikir, dia sama kayak gue atau bahkan pria modern lain di luar sana, yang beranggapan bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang musti dijadikan kewajiban. Namun ternyata, dia pria yang cukup bertanggung jawab dengan hubungannya, dan gue salut akan hal itu.Semalaman, gue nyaris enggak bisa tidur. Bukan karena pernikahan Rangga, melainkan pengen banget lihat ekspresi Tania waktu ngelihat gue. Rangga memang bilang kalau Rani bakalan mengundang Tania karena ia adalah sahabat baik dari gadis itu.Dan terbukti!Ekspresi terkejut campur salah tingkat
Tania.Lagu dari Giselle—cara melupakanmu mengalun lembut dari dalam mobil hitam yang kini gue tumpangi. Di depan kami, wiper tampak naik turun dengan teratur. Menghalau tetesan hujan yang turun dengan deras di bumi.“Kedinginan ya?” Felix membuka suara. Tangannya terulur menekan tombol AC untuk menurunkan suhu di dalam mobil yang lumayan dingin. karena gue hanya memakai dress out of shoulders, jadi suhu AC ini terlalu menggigit buat gue.“Sayangnya gue enggak bawa selimut.” Dia kembali bercicit yang hanya gue balas dengan lirikan saja.Sejak dalam perjalanan tadi, dia terus mengoceh tentang berbagai hal. Mulai dari hotel di Bali yang mulai beroperasi sampai dengan pernikahan Rangga dan Rani yang begitu mengejutkan. Sedangkan gue sejak tadi hanya menjawab ham-hem saja dan bahkan tak menanggapi sama sekali. Gue pengen segera sampai rumah. Tapi kenapa justru rasanya lama sekali ya?Perjalanan kami mulus-mulus saja membel
Felix.Gue menggeliat bangun dan melirik jam yang tergantung di dinding. Pukul sepuluh pagi. Astaga, waktu berjalan cepat sekali padahal satu jam lagi gue mesti datang menemui klien di lantai bawah. Sebenarnya mata gue masih begitu berat karena hampir semalaman gue tidak tidur menunggu mobil derek.Mobil derek tersebut tiba pukul setengah empat pagi, setelah gue berjuang mati-matian menahan kantuk di dalam mobil. Sudah ngantuk, dingin pula karena satu-satunya jas gue udah dibawa pulang Tania.Gue meraba-raba nakas lantas menemukan ponsel gue disana. Gue harap sudah ada pesan masuk dari Tania yang mengatakan bahwa dia sudah sampai rumah dengan selamat. Namun nihil! Selain beberapa SMS spam, gue nggak dapet pesan apapun.Sedikit kecewa, namun gue enggak menyerah. Jika dia enggak kasih kabar gue, setidaknya gue yang bakalan menanyakan keadaannya. Boleh khan?‘Sudah sampai rumah belum?’Terkirim……Dengan