Share

Death Plague
Death Plague
Author: Kaz the Winter

Konser terbesar

Tahun 2076 teknologi dan ilmu pengetahuan telah berkembang dengan cepat. Semua pekerjaan mengandalkan internet. Berhitung, berdagang, atau bersekolah. Tidak ada lagi pekerjaan yang terlalu susah atau menguras tenaga. Anak-anak tak perlu lagi berangkat ke sekolah, bahkan bangunan sekolah hampir tidak pernah ditemukan lagi, kecuali di daerah kumuh tempat orang-orang yang terbuang dari masyarakat tinggal. Sekolah kuno yang masih menggunakan buku fisik.

Kehidupan sosial masyarakat telah banyak berubah. Hidup mereka serba gelamor. Tentunya itu bagi sebagian orang, karena sisanya hanyalah pengangguran atau penjahat. Jika dihitung-hitung memang hampir tidak ada yang bekerja secara jujur.

Berkembangnya teknologi berarti semakin sempurnanya kecerdasan buatan. Para ilmuwan berhasil menciptakan AI tercanggih yang kemudian dimasukkan ke dalam program robot dan komputer. Kecerdasan yang bahkan bisa menyaingi otak manusia.

Robot-robot itu sudah bukan lagi mesin yang bergerak dengan kaku. Tampilan mereka sudah mendekati sempurna. Tutur kata dan bahasanya pun sangat fasih. Jika tidak teliti, mereka akan terlihat seperti manusia biasa.

Manusia tidak lagi dibutuhkan sebagai pembantu atau pelayan. Peran mereka sudah digantikan oleh robot yang umumnya dirancang sebagai wanita cantik.

Di antara robot-robot itu, yang paling terkenal adalah Ellie. Ia tidak hanya memiliki kecerdasan buatan paling sempurna, tetapi juga dipercaya memiliki sensor rasa sakit, sehingga bisa merasakan apa yang dirasakan oleh manusia. Satu-satunya humanoid sempurna yang berhasil diciptakan oleh seorang ilmuwan setengah gila bernama Edward Fuller, setelah kehilangan putrinya yang juga bernama Ellie. Hanya saja robot Ellie memiliki singkatan E.O.A.E di belakang namanya. Tidak ada yang tahu apa kepanjangan dari E.O.A.E.

Edward sendiri ditemukan meninggal dunia setelah karya terbesarnya, Ellie E.O.A.E tercipta.

Ellie adalah robot sekaligus penyanyi idol yang diidolakan oleh banyak orang di seluruh dunia, dari tua sampai muda. Setiap orang selalu menantikan penampilannya. 

Hari ini, ia akan tampil di stadion Rungrado May Day di Pyongyang, Korea Utara, stadion terbesar di dunia sejak dulu. Sekarang bahkan lebih besar lagi. Jika dulu hanya dapat menampung 114.000 orang maka sekarang dapat menampung sampai satu juta orang.

Penampilannya kali ini untuk mempromosikan produk parfum terbaru bernama End Spray. "Parfum yang wanginya bisa membawamu sampai ke surga" begitulah semboyan perusahaan itu. Tidak ada yang tahu siapa pemilik perusahaan tersebut, tetapi siapapun orangnya pastilah dia sangat kaya, karena dapat menyewa idol termahal. Tidak hanya sampai di situ, semua orang dari berbagai penjuru dunia boleh menonton konser tanpa harus membeli tiket. Gratis.

Konser terbesar sepanjang zaman.

Di depan pintu rumah berlantai dua, tampak seorang perempuan muda berwajah cantik dengan bibir merah sedang menggerutu. Mengenakan kacamata hitam. Pakaiannya sangat rapi dan bagus. Ia segera membunyikan bel beberapa kali dengan wajah marah.

Tak berselang lama pintu itu pun terbuka. Tampak seorang perempuan yang lebih muda darinya berdiri di sana, memperlihatkan senyuman termanisnya.

"Eh, Kak Shinta, Kakak pasti ingin bertemu dengan Kak Argo, kan?"

"Ya, di mana dia sekarang, Meina?" tanya perempuan bernama Shinta itu masih dengan ekspresi kesal.

"Dia masih tidur."

"Apa? Dia masih tidur?"

Gigi geligi Shinta berkertak-kertuk. Ia memasuki rumah dengan kedua tangan dikepalkan. Wajahnya tampak merah padam, pertanda marah besar.

"Fufufu, pasti bakal seru nih," gumam Meina seraya membuntuti Shinta dari belakang.

Shinta mengetuk pintu kamar di lantai dua dengan keras sambil berteriak-teriak. "Woi, Argo! Bangun! Apa kau sudah lupa dengan janjimu?"

Sementara itu di dalam kamar, Argo terperanjat bangun. Lalu menggosok-gosok kedua matanya. Ia segera berdiri dan berjalan dengan limbung menghampiri pintu. Kepalanya terasa pusing karena dibangunkan secara tiba-tiba.

"Iya, iya, aku sudah bangun," jawabnya seraya membuka pintu. "Ada apa sih, Shin? Pagi-pagi begini sudah bikin ribut?"

"Pagi apanya? Ini sudah tengah hari!" semprot Shinta.

"Oh, kau benar," kata Argo seraya menatap jam tangannya dengan wajah tenang-tenang saja.

"Kau tidak lupa dengan janjimu kemarin, kan?" Shinta menatap Argo lekat-lekat.

"Eh … janji? Janji apa ya?" Argo mengerutkan keningnya.

"Huh, ya ampun, kau ini selalu saja seperti ini!" Shinta menghela napas. "Kemarin kau berjanji akan menemaniku menonton konsernya Ellie."

"Iya, tenang saja, aku ingat, kok." Mulutnya memang berkata begitu tetapi di dalam hatinya ia mengeluh, 'Ck, kenapa kemarin aku menyetujuinya, sih!'

"Baguslah, tapi apa kau ingat, kapan konsernya mulai?"

"Hemm, kalau tidak salah, hari ini pukul tiga sore."

"Dan sekarang pukul berapa?"

Argo segera melihat jam tangannya lagi. "Pukul satu lebih empat puluh menit."

"Kita sudah terlambat, bodoh!" Shinta menarik kerah baju Argo dan mengguncangnya.

"Tenanglah! Kalau naik kereta Super Lightning kau akan sampai dalam sejam."

Shinta segera melepaskan kerah baju Argo.

"Itu memang benar, tapi tiketnya sangat mahal! Lima juta! Memangnya kau mau membelikanku tiket untuk kita berdua?" ujarnya.

"Tidak mau, kau beli saja sendiri untuk dirimu sendiri, terus pergi ke konser itu sendirian saja. Aku punya pekerjaan yang jauh lebih penting daripada menonton konser membosankan itu."

"Huh, kau ini pacar macam apa sih!" Shinta menghela napas. "Untung aku cinta, jika tidak, sudah lama aku meninggalkanmu, dasar es batu!"

Ia merutuk tiada henti seperti biasa, setiap Argo tidak menuruti keinginannya. Hanya akan berhenti mengoceh saat kemauannya dituruti.

Diam-diam Argo membuka gadget untuk melihat sisa saldo rekeningnya. Jumlahnya tiga puluh juta. Bukan nominal yang besar di zaman yang serba maju dan serba mahal ini, hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari saja. Ia membuang napasnya, kemudian berkata. "Baiklah, baiklah, aku akan membelikan tiketnya!"

Seketika wajah masam Shinta berubah menjadi ceria. Ia segera memeluk pacarnya. "Ah, kau memang pacar yang terbaik, aku tidak salah memilihmu."

"Iya, sudah! Cepat lepaskan aku! Konsernya akan segera dimulai, kan?"

"Baiklah, ayo berangkat!" kata Shinta seraya menarik tangan Argo.

Di balik dinding kamar mandi dekat tangga, mereka berpapasan dengan Meina yang segera menyembunyikan kamera ke belakang punggungnya. Ia terlihat sangat gugup.

"A-aku tidak merekam kalian, aku hanya mau ke kamar mandi," kata Meina salah tingkah.

"Lupakan soal itu!" kata Shinta seraya tersenyum manis. "Kau mau ikut menonton konser Ellie bersama kami?"

"Benarkah? Aku boleh ikut?" Meina menatap wajah kakaknya dengan sorot mata penuh harap.

Argo menghela napasnya. "Huh, iya, kau boleh ikut, tapi kau harus menghapus rekaman itu!"

"Oke, aku akan menghapusnya nanti."

Mereka segera pergi ke stasiun kereta Super Kilat yang kecepatannya mencapai 1 km/menit. Dengan kereta Super Kilat, mengelilingi dunia tak lagi membutuhkan waktu berbulan-bulan. Namun, bagaimana bisa? Apakah kereta ini bisa mengapung di atas air? Tentu saja tidak! Kereta ini bisa berkeliling ke seluruh dunia karena jaringan relnya telah dibangun di seluruh bawah laut. Namun, hanya orang-orang kaya yang dapat menikmati kecepatannya.

Setelah membeli karcis, Argo beserta Shinta dan Meina segera menaiki kereta. Bagian dalam kereta itu tampak berkelas. Orang-orang berjas hitam duduk di kursi-kursi yang saling berhadapan, membicarakan bisnis dengan bisik-bisik. Di hadapan mereka sudah tersedia makanan mewah.

Mereka menikmati pemandangan bawah laut melalui jendela kereta, di sepanjang jalan.

Sesampainya di Korea Utara, suasana di sana sangat ramai seperti yang telah diperkirakan. Banyak orang menongkrong di tepi-tepi jalan dan di depan toko. Kapasitas stadion Rungrado sepertinya sudah penuh. Penjaga gerbangnya tidak mengizinkan siapapun untuk masuk lagi, sehingga terpaksa mereka menonton dari layar monitor yang sengaja dipasang di gedung-gedung.

"Tuh, kan, semua ini gara-gara kamu! Kita jadi kehabisan tempat!" gerutu Shinta dengan bibir manyun.

"Berisik! Aku sudah membuang banyak uang tabunganku hanya untukmu, jadi jangan banyak mengeluh!"

"Huh, ya sudah, apa boleh buat."

"Woah, jadi inikah Korea Utara." Mata Meina jelalatan, terkagum-kagum. Ia belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. 

Semua tempat direkamnya dengan kamera yang tak pernah lepas dari tangannya itu.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 15:00. Konser akan segera dimulai saat Ellie beserta anggota idolnya naik ke atas panggung. Siapapun yang melihatnya akan terpesona oleh kecantikannya dan tingkah lakunya yang agak centil, benar-benar humanoid yang sempurna.

Konser berlangsung hingga tengah malam. Ellie membawakan lagu-lagu yang terkesan sedikit kelam dan berbumbu kesedihan pada penampilannya kali ini, mungkin karena suasana hatinya sedang tidak baik. Namun, itu alasan yang tidak masuk akal, karena ia adalah robot, tidak mungkin punya hati.

Di penghujung acara, para staf membagikan sebotol parfum gratis kepada para penonton, tak terkecuali yang berada di luar stadion. Semua orang dapat, tanpa terkecuali.

"Teman-teman!" teriak Ellie dari atas panggung. "Apakah kalian semua sudah mendapatkan hadiahnya?"

Seketika para penontonnya balas berteriak dengan kompak. "Ya!"

"Kalau begitu, sekarang aku akan membawakan lagu terakhir untuk kalian!"

Sontak para penonton bersorak-sorai. Musik segera dimainkan dan Ellie pun mulai bernyanyi, diikuti oleh penontonnya.

Acara konser segera berakhir saat jarum jam telah menunjukkan pukul 01:30.

"Oke, ayo kita pulang!" kata Argo seraya berjalan lebih dulu.

"Hah, kenapa kita tidak menginap di hotel dulu?" tanya Shinta yang terlihat sangat mengantuk.

"Jangan konyol! Uangku hanya tinggal sedikit lagi! Hanya cukup untuk mengantarkan kita pulang dengan pesawat."

"Ugh, ya sudah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status