"Lo lihat tadi?" tanya Meity, tersenyum penuh arti.
"Lihat apa?" sahut Rosa, acuh tak acuh. Ia sebenarnya paham apa yang dimaksud Meity, hanya saja ia tidak tertarik."Baiklah, gue jadi bingung pingin kenal Abang lo ... apa Mas Angga, ya?"Rosa menoyor kepala Meity yang duduk di sebelahnya. Saat itu, mereka sedang menikmati pemandangan Lembang di kafe strawberi. Sejenak melihat-lihat situasi di kafe tersebut.
"Kau, nih, jangan permainkan abangku, yak!" seru Rosa, pura-pura marah.
"Iya, iya, gue akan selalu setia." Meity merangkul Rosa. "Yok, ke kosan gue. Capek banget pengen tidur."Rosa pulang ke indekos Meity. Masih di sekitar Jatinangor, tetapi agak jauh dari kampus. Mereka beristirahat di kamar berukuran 3x3 meter tersebut.
Meity langsung tertidur pulas di ranjang bersprei serba pink itu. Rosa menggeleng, ia memperhatikan ponsel miliknya menunggu kabar dari Esa. Namun, hingga pukul 15.00WIB, Esa belum juga menghubunginya.
"Aduh, mau kutelpon khawatir masih wawancara sama Kak Susan," gumam Rosa, gelisah.
Rosa memutuskan menelepon Susan. Belum ada jawaban. Ia menunggu hingga suara sambungan telepon terdengar. Suara alto yang khas menjawab panggilan tersebut.
"Ada apa, Ros?" tanya Susan, kencang. Bukan karena marah, tetapi memang begitulah cara ia berbicara.
"Bang Esa sudah datang, Kak?" sahut Rosa, khawatir.
"Sudah pulang malah. Kenapa khawatir kali kau rupanya?" tukas Susan, ingin tahu."Ah, tak lah, Kak. Aku hanya mau tanya saja. Ya, sudah sampai nanti di kos."Rosa mematikan panggilannya. Ia segera mencari nama Esa di daftar buku telepon. Agak sedikit ragu karena ia merasa jengah saat harus menghubunginya terlebih dahulu.
Jari jemari Rosa menyentuh layar. Sambungan terhubung. Esa menjawab panggilan itu, "Halo, Rosa. Kamu kah itu? Saya baru saja tiba di kos, mau mengabari kamu ...."
Ucapan Esa terhenti. Membuat Rosa penasaran setengah mati. Terdengar dehaman dari ponselnya, Esa kembali berkata dengan gembira, "Saya diterima, Rosa. Nanti saya akan mengajakmu ke suatu tempat, ya!"
Rosa mengembuskan napas lega. Ia ikut bahagia atas keberhasilan Esa diterima bekerja. Ia berharap Esa dapat bekerja dengan baik dan betah di sana.
"Semoga betah, Bang. Sudah kenal baik juga sama Kak Susan, kan, ya," timpal Rosa sembari menatap Meity yang masih mengorok di kasurnya. "O, ya, Bang. Kau sudah pindah kos?"
"Hu'um, kenapa?"
"Tak apa, Bang." Rosa menatap Meity lagi sembari bergumam, "Lalu siapa yang ada di kamar Bang Esa.""Gimana, gimana?"Esa mendengar gumaman halus Rosa. Merasa penasaran karena ia mendengar namanya disebut.
Rosa menjawabnya, "Tak ada, Bang. O'ya, kau tak ada acara lagi nanti malam?"
"Tak ada. Memang kenapa?""Biar kutraktir sebagai perayaan diterimanya kau bekerja. Bagaimana?"Esa tertawa kecil. Ia agak malu. Sudah diberi pekerjaan, ditraktir pula. Dengan suara parau, ia berkata, "Baiklah, tapi nanti saya traktir dua kali, tiga kali, empat kali, mau?"
Rosa tertawa renyah, ia tersenyum bahagia. Sekitarnya sudah terlihat bunga-bunga bermekaran. Dengan malu-malu, ia berkata, "Baiklah, terserah kau lah, Bang."
"Nanti malam aku jemput ke kos, ya," ujar Esa, mengulum bibir menahan senyum karena perasaan bahagia yang berlipat-lipat.
***
Malam hari, udara dingin Jatinangor menerpa wajah dengan garis rahang tegas itu. Rosa menunggu kedatangan Esa di teras kos. Mereka akan makan malam bersama.
Di kejauhan, Jo mengamati Rosa. Ia mengamati setiap gerak-gerik Rosa di indekos tersebut. Kebiasaan sampai jadwal pulang kuliahnya ia mengetahui. Namun, kali ini berbeda, Rosa melakukan hal yang tidak biasa.
Jo berniat mendekatinya, tetapi seseorang datang membawakan setangkai mawar. Ia tertawa mengejek lelaki itu yang ternyata adalah Esa. Datang untuk menjemput Rosa.
Rosa menghampiri Esa. Ia menerima setangkai mawar yang berhasil dipetik Esa milik ibu kos di tempat indekosnya. Nyaris ketahuan tadi, tetapi ia berhasil lolos dari omelan panjang ibu kos tersebut.
"Maaf lama, tadi motornya ngadat," ucap Esa, semringah melihat Rosa dalam balutan gaun selutut yang sederhana. Namun, tampak anggun.
Rosa mengangguk mengerti, ia menjawab, "Tak apa, Bang. Ayo, keburu lapar nyah aku."
Esa tersenyum, mempersilakan Rosa untuk berjalan terlebih dahulu. Mereka berjalan menuju gerbang indekos. Keluar dari sana dan berjalan kaki menuju tempat makan favorit anak muda di Jatinangor.
Mereka duduk di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai. Sebuah meja kaca dan sofa membuat kafe itu menjadi pilihan untuk duduk-duduk santai, maupun mengobrol.
"Saya sebenarnya mau menunjukkan tempat kos baru tadi siang," ucap Esa, memecah kesunyian di antara mereka.
"Oh, malah jadinya pergi melamar kerja, ya, Bang?"
"Gak apa-apa, saya suka. Makasih, ya," sahut Esa, tersenyum. "Kamu mau pesan apa? Saya ngikut."Rosa tersenyum, ia membalik-balik buku menu di tangannya. Memandangi satu per satu foto yang menempel pada buku tersebut, ia mulai memilih makanan yang disukainya. Seorang pramusaji mendekat dan siap dengan catatan di tangannya untuk mencatat pesanan Rosa.
"Hmmm, pesan mi pangsit dua, jus alpukatnya dua, ya. Makasih!" ujar Rosa, kemudian menaruh kembali buku menu di meja.
"Katakan ada hal menarik tak di perusahaan Kak Susan?"
"Gak ada, cuma lihat wanita-wanita seksi dengan pakaian kerja ketatnya."Rosa menyengir tanda tidak suka, "Kenapa yang dilihatnya kayak gitu, Bang?"Esa tertawa lepas, "Kelihatan, kok, gak sengaja. Masa saya harus turup mata."Terimakasih sudah membaca cerita ini. Baca juga Elevator Game
"Ya, jangan kau dekati!" seru Rosa, membuat Esa tersenyum bahagia. "Kamu cemburu?""Ha-ha-ha! Tak lah, Bang. Mana pantas ...." Rosa mencari kata-kata yang pas sebagai alasan, tetapi ia tidak menemukannya. "Cemburu juga gak apa-apa. Saya mempunyai kejutan buat kamu nanti. Bersabarlah," ucap Esa, menciptakan rasa penasaran dalam diri Rosa. Rosa menunduk malu. Ia tidak bisa berkata-kata. Setidaknya ia masih bisa menjaga agar tidak terlalu bucin kepada Esa. "Aku menantikan, Bang," timpal Rosa dengan wajah merona. Mereka menikmati momen berdua saling mengenal satu sama lain. Bercerita banyak hal tentang perkuliahan Rosa, keluarga, dan abangnya, Anjun. Esa harus mengetahui tentang Anjun yang begitu melindungi Rosa. "Kau tahu abangku, tuh, tak akan membiarkan aku tinggal di Jawa kalau Bapak tidak mengizinkan," ungkap Rosa, "beruntung Bapak seorang yang terbuka akan hal baru, ia ingin aku meneruskan perkebunan jeruknya
Susan mengira bahwa Anjun hanya mencintai adiknya saja. Hubungan di antara mereka tidak boleh terjadi. Pada akhirnya, ia bertanya, "Kenapa?" "Aku berdosa kepadanya," sahut Anjun, tidak ada senyum. Mata Anjun menyimpan banyak sendu. Susan menepuk pundak Anjun dan berkata, "Cerita lah agar bebanmu ringan." "Lepas kita selesai kuliah, aku bertemu seorang gadis–""Gadis?""Iya, kenapa kau kaget begitu nyah. Apa kau pikir aku tak suka perempuan?""Bukan, bukan. Ayo, lanjutkan!" Anjun mulai bercerita. Selepas kuliah di Bandung, ia memang bertemu seorang wanita berdarah Batak, tetapi kelahiran Bandung. Mereka sempat bersama beberapa waktu. Hanya saja gadis itu memiliki penyakit bawaan sejak lahir. Di kala kondisi kritisnya, Anjun tidak datang karena terlalu sibuk bekerja di kantor pengacara, Bandung-Jakarta. Ada penyesalan setiap kali, ia mengingatnya. "Kau tahu, seumur hidup aku tak akan bisa melepaskannya," lirih Anjun, terce
Susan hanya bisa melongo. Mata besarnya mengerjap-kerjap tanda tidak percaya dengan apa yang diucapkan Anjun. Apa ia sedang bermimpi kali ini, Anjun mendadak berubah. "Kau tak sedang sakit, kan?" tanya Susan, takut-takut. Mencondongkan tubuhnya sedikit menjauhi Anjun. "Kau mau apa, sih? Tadi kau yang minta sekarang–""Oke, oke, jangan merepet. Ayo, kita menjadi kekasih," sahut Susan, akhirnya memutuskan menyetujui ajakan Anjun yang tiba-tiba. Lagipula usianya hampir tiga puluh tahun. Keluarhanya juga telah memaksanya untuk menikah. Namun, tidak ada pria lain yang menarik bagi Susan. Menurutnya, Anjun merupakan pria tepat untuk membantu dalam bisnis keluarganya. Pria lain yang dikenalnya hanya bisa menjadi pesuruh saja. Atau, memanfaatkan kekayaannya tanpa mau bersusah payah. Susan bukannya tidak menarik di mata pria, tetapi ia yang tidak tertarik dengan pria manapun selain Anjun. "Kau bantu aku awasi Rosa, ya," ujar Anjun, kembali mengambil
Jo hanya mengibas-kibaskan tangan akibat rokok tersebut. Ryo menoleh dan berkata, "Lo gak merokok?" "Gak, gue punya asma," kilah Jo, sedikit malu. Ia memang memiliki penyakit asma bawaan, tetapi tidak parah. Jo hanya tidak bisa menghisap barang yang bernama tembakau apa pun bentuknya. Ia tidak bisa melakukannya. Setiap kali diajarkan merokok oleh temannya, ia akan terbatuk-batuk hingga tidak bisa berhenti dan sesak napasnya kumat. "Parah memang kalau udah punya penyakit bawaan," ujar Ryo, membuka percakapan, "dikit, dikit sakit. Udah gitu kalau gak ngerokok diledekin gak jantan." Jo menunduk, memperhatikan sepatu kets mahalnya. Menurutnya, tidak merokok bukan masalah besar, karena ia punya segalanya. Harta, kedudukan, dan wanita mana saja pasti mau diajak olehnya. "Kau sudah dari tadi menunggu?" Keduanya menoleh saat mendengar suara sopran yang merdu itu berbicara. Ada pemandangan begitu indah di mata kedua lelaki, sesosok bidadari yan
Jo segera menyampirkan jaket pada bahu Rosa. Sontak saja Rosa terkejut karena ia datang tiba-tiba. Pria itu juga sama terkejutnya. "Anda siapa, ya?" tanya Jo, kasar. "Jo, dia pemilik kafe strawberi di mana aku magang," bisik Rosa, menarik kemeja Jo. "Ya, perkenalkan saya Anggara. Kamu siapanya Rosa?" tanya Angga sembari mengulurkan tangan untuk berjabatan. Jo tidak menyambut uluran tangan Angga. Tatapannya penuh permusuhan. Sudah cukup satu saja saingannya, yaitu Esa. Ia tidak akan membiarkan orang lain mendekati Rosa. "Saya calon kekasihnya," sahut Jo, yakin. Rosa membeliak, menatap wajah angkuh Jo. Ia tidak menyangka kalau Jo menyukainya juga. Mereka merupakan pariban yang tidak boleh menikah karena ikatan marga. "Oh, begitu. Masih calon, kan? Saya juga bisa menjadi calon suaminya mungkin," timpal Angga, tenang. Rosa lebih terkejut saat Angga mengatakannya. Ia kebingungan dengan perilaku dua lelaki yang baru saj
"Dia sudah tidur," ucap Susan, hati-hati. Meskipun suaranya sama sekali tidak lembut. Anjun berbalik. Ia tersenyum dan berkata, "Makasih, ya. Kau juga segera balik ke rumah sana. Aku mau segera ke Jakarta malam ini." "Kau tak istirahat dulu nyah?" tanya Susan, berusaha melembutkan suaranya. "Tak lah. Setelah urusan di Jakarta selesai aku langsung balik ke Berastagi, mengurus segala sesuatunya. Bisa kau menunggu?""Iya," sahut Susan, cepat. Susan sendiri bingung. Sebenarnya apa yang harus ia tunggu, keberadaan Anjun, kah? Atau, sesuatu yang lain. Ia tidak mau lagi berharap banyak seperti dahulu. Susan pernah menyimpan harapan kala gadis yang dicintai Anjun telah tiada, Anjun akan berpaling kepadanya. Namun, ia salah, Anjun malah menyalahkan dirinya sendiri. Juga menghindari hubungan baru dengan wanita lain. Rasanya amat perih melihat pria yang dicintai tidak memandangnya. Susan menyadari bahwa saat ini juga Anjun belum memandan
"Tentu saja. Saya sudah berjanji, 'kan?" Angga menyahuti Rosa sembari berjalan untuk membukakan pintu mobil sebelah kiri. Rosa menghampiri. Ia naik ke dalam mobil. Angga menutup pintu lalu berjalan ke pintu lainnya. Ia duduk di belakang kemudi, menyalakan stater mobil. Memutar kemudi sembari ia menoleh ke belakang untuk memundurkan mobil tersebut. Mobil melaju dengan kecepatan sedang melewati jembatan Surapati. Pemandangan kota Bandung di siang hari terlihat jelas. Rosa menikmati perjalanannya, menatap jendela yang dibuka setengah. "Kamu menyukainya?" tanya Angga sembari fokus menyetir "Ya, eh, apa? Menyukai apa?" sahut Rosa, ling-lung. Angga terkekeh-kekeh, "Kamu menyukai Bandung?" "Oh, iya, di sini sejuk. Banyak makanan enak, banyak teman dari berbagai daerah." "Apalagi?""Banyak lapangan pekerjaan juga.""Oh, iya, banyak usaha mikro di sini.""Tapi semuanya dikelola oleh orang di luar Bandung.""Tidak semua
Jo membiarkan Rosa terus berbicara. Mengoceh banyak hal kepadanya, ia tidak peduli yang penting Rosa tidak melihat Esa ada di kafe itu. Saat Rosa mengambil napas, Jo kembali bertanya. "Kamu yakin atasanmu itu naksir?" tanya Jo. Sementara dalam hatinya, ia berseru, "Cih! Hanya karena cantik, kamu jadi merasa semua orang menginginkanmu!" "Enggak yakin juga, sih. Kata Bang Anjun banyak lelaki yang suka mempermainkan perempuan terutama yang lugu dan polos.""Tepat. Dan kamu salah satunya!" seru Jo, masih di dalam pikirannya. Rosa kembali mengoceh tentang Anjun. Jo sangat penasaran tentang sosok abang yang dikatakan Rosa. Seperti apa sebenarnya Anjun, sehingga Rosa selalu bercerita tentangnya. "Jangan sampai kita ketahuan Abang lagi. Kemarin saja habis aku dimarahi!" seru Rosa, menggebu. "Kamu dimarahi? Karena apa?""Kau ajak jalan malam-malam, lah!""Oh, tapi kamu, kan, pulang sendiri.""Tetap saja aku dimarahi karena pulang malam."