"Kok, kayaknya seneng banget lo?" tanya Meity, kebingungan dengan sikap Rosa. Tadi di kelas mengeluh, ditinggal sebentar wajahnya sudah terlihat bunga-bunga. Namun, itu hanya khayalan Meity saja.
"Iya, tadi Esa datang menemuiku," sahut Rosa, senyum-senyum sendiri.
"Sejak jalan dengan Esa, lo jadi suka ketawa sendiri," ejek Meity, membuat Rosa menimpuk sahabatnya dengan kertas fotokopi yang dipegangnya.
"Aku hanya merasa bahagia tak boleh?" dengkus Rosa, mendelik kesal.
Meity tidak menjawab. Ia hanya mesam-mesem menggoda Rosa yang mulai salah tingkah. Sembari menyeruput minumannya, ia menatap wajah Rosa yang memerah.
Rosa segera menghabiskan makan siangnya. Ia masih bersungut, "Ayo, abis ini aku mau cari tempat magang!"
"Ciee, marah ...." Meity menyenggol bahu Rosa.
"Mana ada nyah, Mei. Seriuslah sikit," keluh Rosa, mengambil tas ranselnya dan beranjak.
Rosa berjalan mendahului Meity keluar dari kantin. Meity meneguk jus miliknya yang masih setengah, kemudian berlari mengejar Rosa. Ia berteriak heboh, "Weeei! Tunggu!"
"Kau heboh kali, aku malu dilihati orang tau!" decak Rosa, melirik sahabatnya yang telah menyejajarkan langkah mereka.
"Iya, maaf. Jadi, kita mau magang di mana?" Meity membuka-buka surat kabar Bandung. Mencari-cari perusahaan yang kira-kira menerima murid magang.
Rosa mengambil surat kabar itu, lalu membuangnya ke tempat sampah. Meity melongo melihat kelakuan sahabatnya. Namun, ia tetap mengikuti langkah tegap Rosa keluar dari gerbang kampus.
Mereka menunggu busway yang menuju ke Lembang di halte terdekat. Meity celingukan mencari sesuatu. Rosa mengerutkan dahi, terheran-heran dengan sikap Meity.
"Kau cari apa?" tanya Rosa, mencari tidak sabar.
"Gue lagi nyari busway lah, lama banget, sih. Mana siang ini matahari terik lagi," keluh Meity, semakin aneh.
"Nanti juga kelihatan, tak usah nyah kau cari!" seru Rosa, semakin kebingungan.
Meity malah terkekeh-kekeh. Ia menggaruk rambut cokelat panjangnya yang tidak gatal. Akhirnya, ia berkata, "Kita mau ke mana, sih?"
"Kau, nih ...." Rosa menghela napas panjang. "Kita mau ke Lembang di sana ada perkebunan teh atau strawberry. Coba melamar ke sana."
"Oh, oke!"
"Kujitak pulak kepala kau!""Maaf, deh. Memangnya kita gak bisa melamar ke perusahaan. Kerja di kantoran?""Kenapa pulak kau mendaftar ke jurusan pertanian?""Terpaksa!""Alamak, gila pulak kau, nih. Biar terpaksa pun orang tua sudah bayar uang cukup banyak."Meity hanya mengangguk, kemudian tersenyum manis. Kulit hitamnya yang terawat menambah manis senyumannya. Ia kembali melongok untuk melihat busway yang melintas di jalan raya.
Rosa menahan tubuh Meity, ia memekik, "Awas, kena pulak kepala kau kesambar nanti!"
Meity hanya tersenyum, membuat kesal Rosa dengan tingkah konyol Meity. Akhirnya, busway berhenti di depan mereka. Segera masuk dan duduk bersebelahan. Beruntung busway kosong.
Mereka turun di halte Surapati dan naik angkot menuju Lembang. Agak berdesakan, tapi bagi Rosa perjalanan itu menyenangkan. Ia bisa saja meminta mobil pribadi kepada Anjun, pasti langsung dibelikan. Namun, ia ingin hidup mandiri tanpa fasilitas dari orang tua dan abangnya. Hanya saja, mereka tidak melepaskannya begitu saja.
Uang terus mengalir ke rekeningnya, khawatir adik kesayangan Anjun itu kelaparan di Bandung. Rosa berulang kali meminta orang tua dan abangnya untuk menjatah uang bulanannya. Namun, tidak didengarkan.
Sementara lamunan Rosa buyar, mereka telah tiba di perkebunan strawberi. Rosa membayar ongkos angkutan mereka berdua. Setidaknya, ia mambantu Meity meminimalkan pengeluarannya selama di Bandung. Seringkali ia membantu membayari akomodasi bila ada tugas ke luar ruangan.
"Waw, keren!" pekik Meity, ia berjalan melengang masuk ke sebuah kafe strawberi.
"Kau mau ke mana? Kita ke kebunnya bukan mau ngafe." Rosa menarik tas bahu Meity, hingga tubuh kecilnya terseret.
"Sabar napa, Ros?" keluh Meity, membenahi tas bahunya yang nyaris putus akibat tarikan sekuat tenaga dari Rosa.
Mereka menemui pemilik perkebunan strawberi. Pemilik perkebunan beserta kafe strawberi itu bernama Anggara, bukan asli orang Bandung. Ia berasal dari Jakarta berdarah Jawa.
Pria dewasa berusia tiga puluh tahun itu menyambut Meity dan Rosa. Rosa menyatakan niatnya untuk magang di tempat itu sebagai tugas untuk kuliah kerja nyata. Angga menyetujui niat Rosa. Mereka akan bertugas di kebun strawberi.
Tugas mereka tidak sulit. Akan ada jadwal shift untuk memeriksa setiap tanaman strawberi. Memberi pupuk dan menyetel penyiram otomatis.
"Kalian bisa mulai bekerja besok. Ada sedikit tambahan salary bila mampu meningkatkan jumlah panen pada strawberinya. Atau, membunuh hama tanpa pestisida," ungkap Angga, tersenyum ramah.
"Terima kasih, Mas Angga," ucap Meity, mulai cari perhatian.
Rosa mendelik ke arah Meity untuk menjaga imej. Ia tidak mau merasa malu di hari mereka melamar pekerjaan. Angga hanya mengangguk.
Pria berambut hitam klimis yang diberi minyak rambut itu memasukkan tangannya ke dalam saku saat berbicara dengan Meity dan Rosa. Sikapnya ramah, tetapi tidak banyak berkomentar. Menjelaskan hal yang benar-benar penting. Sisanya ia menyerahkan semua kepada Meity dan Rosa.
"Terima kasih, Pak. Besok kami akan datang tepat waktu menyesuaikan jadwal perkuliahan dengan shift kerja," kata Rosa, sopan.
"Panggil mas saja. Jangan bapak, saya belum bapak-bapak," sahut Angga, menatap wajah Rosa tanpa berkedip.
Meity mengulum bibir, menahan senyum. Ia sudah tahu. Siapa saja yang melihat Rosa akan langsung tertarik pada pandangan pertama.
To be continue
Terima kasih telah membaca cerita ini. Baca juga Elevator Game. Kisah misterius tentang pembunuhan di elevator.
"Lo lihat tadi?" tanya Meity, tersenyum penuh arti."Lihat apa?" sahut Rosa, acuh tak acuh. Ia sebenarnya paham apa yang dimaksud Meity, hanya saja ia tidak tertarik."Baiklah, gue jadi bingung pingin kenal Abang lo ... apa Mas Angga, ya?" Rosa menoyor kepala Meity yang duduk di sebelahnya. Saat itu, mereka sedang menikmati pemandangan Lembang di kafe strawberi. Sejenak melihat-lihat situasi di kafe tersebut. "Kau, nih, jangan permainkan abangku, yak!" seru Rosa, pura-pura marah."Iya, iya, gue akan selalu setia." Meity merangkul Rosa. "Yok, ke kosan gue. Capek banget pengen tidur." Rosa pulang ke indekos Meity. Masih di sekitar Jatinangor, tetapi agak jauh dari kampus. Mereka beristirahat di kamar berukuran 3x3 meter tersebut. Meity langsung tertidur pulas di ranjang bersprei serba pink itu. Rosa menggeleng, ia memperhatikan ponsel miliknya menunggu kabar dari Esa. Namun, hingga pukul 15.00WIB, Esa belum juga menghubunginya. "A
"Ya, jangan kau dekati!" seru Rosa, membuat Esa tersenyum bahagia. "Kamu cemburu?""Ha-ha-ha! Tak lah, Bang. Mana pantas ...." Rosa mencari kata-kata yang pas sebagai alasan, tetapi ia tidak menemukannya. "Cemburu juga gak apa-apa. Saya mempunyai kejutan buat kamu nanti. Bersabarlah," ucap Esa, menciptakan rasa penasaran dalam diri Rosa. Rosa menunduk malu. Ia tidak bisa berkata-kata. Setidaknya ia masih bisa menjaga agar tidak terlalu bucin kepada Esa. "Aku menantikan, Bang," timpal Rosa dengan wajah merona. Mereka menikmati momen berdua saling mengenal satu sama lain. Bercerita banyak hal tentang perkuliahan Rosa, keluarga, dan abangnya, Anjun. Esa harus mengetahui tentang Anjun yang begitu melindungi Rosa. "Kau tahu abangku, tuh, tak akan membiarkan aku tinggal di Jawa kalau Bapak tidak mengizinkan," ungkap Rosa, "beruntung Bapak seorang yang terbuka akan hal baru, ia ingin aku meneruskan perkebunan jeruknya
Susan mengira bahwa Anjun hanya mencintai adiknya saja. Hubungan di antara mereka tidak boleh terjadi. Pada akhirnya, ia bertanya, "Kenapa?" "Aku berdosa kepadanya," sahut Anjun, tidak ada senyum. Mata Anjun menyimpan banyak sendu. Susan menepuk pundak Anjun dan berkata, "Cerita lah agar bebanmu ringan." "Lepas kita selesai kuliah, aku bertemu seorang gadis–""Gadis?""Iya, kenapa kau kaget begitu nyah. Apa kau pikir aku tak suka perempuan?""Bukan, bukan. Ayo, lanjutkan!" Anjun mulai bercerita. Selepas kuliah di Bandung, ia memang bertemu seorang wanita berdarah Batak, tetapi kelahiran Bandung. Mereka sempat bersama beberapa waktu. Hanya saja gadis itu memiliki penyakit bawaan sejak lahir. Di kala kondisi kritisnya, Anjun tidak datang karena terlalu sibuk bekerja di kantor pengacara, Bandung-Jakarta. Ada penyesalan setiap kali, ia mengingatnya. "Kau tahu, seumur hidup aku tak akan bisa melepaskannya," lirih Anjun, terce
Susan hanya bisa melongo. Mata besarnya mengerjap-kerjap tanda tidak percaya dengan apa yang diucapkan Anjun. Apa ia sedang bermimpi kali ini, Anjun mendadak berubah. "Kau tak sedang sakit, kan?" tanya Susan, takut-takut. Mencondongkan tubuhnya sedikit menjauhi Anjun. "Kau mau apa, sih? Tadi kau yang minta sekarang–""Oke, oke, jangan merepet. Ayo, kita menjadi kekasih," sahut Susan, akhirnya memutuskan menyetujui ajakan Anjun yang tiba-tiba. Lagipula usianya hampir tiga puluh tahun. Keluarhanya juga telah memaksanya untuk menikah. Namun, tidak ada pria lain yang menarik bagi Susan. Menurutnya, Anjun merupakan pria tepat untuk membantu dalam bisnis keluarganya. Pria lain yang dikenalnya hanya bisa menjadi pesuruh saja. Atau, memanfaatkan kekayaannya tanpa mau bersusah payah. Susan bukannya tidak menarik di mata pria, tetapi ia yang tidak tertarik dengan pria manapun selain Anjun. "Kau bantu aku awasi Rosa, ya," ujar Anjun, kembali mengambil
Jo hanya mengibas-kibaskan tangan akibat rokok tersebut. Ryo menoleh dan berkata, "Lo gak merokok?" "Gak, gue punya asma," kilah Jo, sedikit malu. Ia memang memiliki penyakit asma bawaan, tetapi tidak parah. Jo hanya tidak bisa menghisap barang yang bernama tembakau apa pun bentuknya. Ia tidak bisa melakukannya. Setiap kali diajarkan merokok oleh temannya, ia akan terbatuk-batuk hingga tidak bisa berhenti dan sesak napasnya kumat. "Parah memang kalau udah punya penyakit bawaan," ujar Ryo, membuka percakapan, "dikit, dikit sakit. Udah gitu kalau gak ngerokok diledekin gak jantan." Jo menunduk, memperhatikan sepatu kets mahalnya. Menurutnya, tidak merokok bukan masalah besar, karena ia punya segalanya. Harta, kedudukan, dan wanita mana saja pasti mau diajak olehnya. "Kau sudah dari tadi menunggu?" Keduanya menoleh saat mendengar suara sopran yang merdu itu berbicara. Ada pemandangan begitu indah di mata kedua lelaki, sesosok bidadari yan
Jo segera menyampirkan jaket pada bahu Rosa. Sontak saja Rosa terkejut karena ia datang tiba-tiba. Pria itu juga sama terkejutnya. "Anda siapa, ya?" tanya Jo, kasar. "Jo, dia pemilik kafe strawberi di mana aku magang," bisik Rosa, menarik kemeja Jo. "Ya, perkenalkan saya Anggara. Kamu siapanya Rosa?" tanya Angga sembari mengulurkan tangan untuk berjabatan. Jo tidak menyambut uluran tangan Angga. Tatapannya penuh permusuhan. Sudah cukup satu saja saingannya, yaitu Esa. Ia tidak akan membiarkan orang lain mendekati Rosa. "Saya calon kekasihnya," sahut Jo, yakin. Rosa membeliak, menatap wajah angkuh Jo. Ia tidak menyangka kalau Jo menyukainya juga. Mereka merupakan pariban yang tidak boleh menikah karena ikatan marga. "Oh, begitu. Masih calon, kan? Saya juga bisa menjadi calon suaminya mungkin," timpal Angga, tenang. Rosa lebih terkejut saat Angga mengatakannya. Ia kebingungan dengan perilaku dua lelaki yang baru saj
"Dia sudah tidur," ucap Susan, hati-hati. Meskipun suaranya sama sekali tidak lembut. Anjun berbalik. Ia tersenyum dan berkata, "Makasih, ya. Kau juga segera balik ke rumah sana. Aku mau segera ke Jakarta malam ini." "Kau tak istirahat dulu nyah?" tanya Susan, berusaha melembutkan suaranya. "Tak lah. Setelah urusan di Jakarta selesai aku langsung balik ke Berastagi, mengurus segala sesuatunya. Bisa kau menunggu?""Iya," sahut Susan, cepat. Susan sendiri bingung. Sebenarnya apa yang harus ia tunggu, keberadaan Anjun, kah? Atau, sesuatu yang lain. Ia tidak mau lagi berharap banyak seperti dahulu. Susan pernah menyimpan harapan kala gadis yang dicintai Anjun telah tiada, Anjun akan berpaling kepadanya. Namun, ia salah, Anjun malah menyalahkan dirinya sendiri. Juga menghindari hubungan baru dengan wanita lain. Rasanya amat perih melihat pria yang dicintai tidak memandangnya. Susan menyadari bahwa saat ini juga Anjun belum memandan
"Tentu saja. Saya sudah berjanji, 'kan?" Angga menyahuti Rosa sembari berjalan untuk membukakan pintu mobil sebelah kiri. Rosa menghampiri. Ia naik ke dalam mobil. Angga menutup pintu lalu berjalan ke pintu lainnya. Ia duduk di belakang kemudi, menyalakan stater mobil. Memutar kemudi sembari ia menoleh ke belakang untuk memundurkan mobil tersebut. Mobil melaju dengan kecepatan sedang melewati jembatan Surapati. Pemandangan kota Bandung di siang hari terlihat jelas. Rosa menikmati perjalanannya, menatap jendela yang dibuka setengah. "Kamu menyukainya?" tanya Angga sembari fokus menyetir "Ya, eh, apa? Menyukai apa?" sahut Rosa, ling-lung. Angga terkekeh-kekeh, "Kamu menyukai Bandung?" "Oh, iya, di sini sejuk. Banyak makanan enak, banyak teman dari berbagai daerah." "Apalagi?""Banyak lapangan pekerjaan juga.""Oh, iya, banyak usaha mikro di sini.""Tapi semuanya dikelola oleh orang di luar Bandung.""Tidak semua