Rosanna Jung, gadis kelahiran Berastagi yang merantau ke Pulau Jawa. Menempuh pendidikan Fakultas Pertanian di Unpad Jatinangor, Bandung, Jawa Barat. Ia memiliki banyak prestasi. Namun, Rosanna belum pernah merasakan cinta. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Johansen Aritonang pariban dari Bandung yang tak pernah dikenalnya. Ia anak dari kakak lelaki tertua ibunya yang merantau ke Jawa dan menghilang tanpa kabar. Dengan gigih, Johansen mendekati Rosanna yang tidak tahu apa-apa tentang cinta, tetapi begitu mempertahankan apa yang diyakininya. Keyakinan yang ditanamkan oleh abangnya, Anjun Ananta Jung, sejak ia remaja. Selain itu, Rosanna dekat dengan seniornya di ukema fotografi bernama Esa Sandjaya, berasal dari Jakarta. Selama ini, Esa memendam rasa terhadap Rosa, tetapi urung diutarakan. Ia takut ditolak setelah mendengar rumor di antara mahasiswa di kampusnya. Esa yang akan lulus, memperhatikan Johansen yang begitu gencar mendekati Rosa, ia menjadi termotivasi untuk mengatakan perasaannya sebelum acara wisuda. Rosa terkejut dengan pengakuan Esa. Rosa begitu mengagumi seniornya itu. Dengan gembira, ia menerima perasaan Esa. Melihat hal itu, Johansen menjadi begitu kesal. Ia tak pernah kalah sebelumnya, apalagi masalah perempuan. Johansen berhasil merebut Rosa dari tangan Esa. Ia begitu bangga dengan pencapaiannya kali ini. Selayaknya tebu, abis manis sepah dibuang. Perangainya berubah. Semua sikap baik yang ditunjukkannya sebelumnya hanya tipuan sebagai upaya untuk mendapatkan Rosa. Rosa merasa tertipu. Ia menyesali semuanya. Sebenarnya apa yang terjadi dengannya sampai merasa tertipu? Bagaimana sifat Johansen sebenarnya? Apa yang terjadi dengan hubungan mereka kemudian? Bagaiman reaksi Esa saat Johansen merebut Rosa? Bagaimana nasib Rosa selanjutnya? Selamat membaca semoga suka.
Lihat lebih banyak"Wu Jian!"
Seorang anak perempuan berteriak memanggil nama sahabatnya yang baru saja memotong daging rusa. "Ada apa, Lin Guang?"
"Kupikir kau dapat babi lagi."
"Sudah kubilang kemarin, aku akan menangkap rusa."
"Kau sangat pemberani!"
Desa Liao terletak jauh dari pusat provinsi. Untuk bisa kemari hanya dengan menggunakan jalur darat. Di balik gunung, itulah alasannya. Medan yang ditempuh tidaklah mudah. Walau demikian, penduduk Desa ini telah merasa cukup. Pihak istana tidak pernah menengok tempat ini barang sekali.
Ada sebuah pemakaman di dekat pemukiman, tempat orang-orang yang dulu gugur dalam peperangan melawan Negara Cu. Kemenangan tidak dapat menghapuskan air mata bagi mereka yang ditinggalkan.
Lin Guang mampir ke sana terlebih dahulu, Wu Jian dengan bangga menunjukkan rusa kecil yang ia tangkap tadi. Sementara Lin Guang meletakkan persembahan di dekat batu nisan. Kedua Ayah mereka turut membela negara beberapa tahun lalu. Namun, keduanya merasa bangga dengan pencapaian itu. Ayah mereka adalah pahlawan, bukan?
"Nanti aku mampir ke rumahmu, Lin Guang. Ibuku baru pulang hari ini."
"Undang ibumu juga, Wu Jian! Kita akan makan besar!"
Matahari sudah terbenam. Kini Wu Jian dan ibunya berada di rumah Lin Guang untuk makan malam. Ibu Wu Jian bekerja di istana, hanya pulang sebulan sekali. Tadinya ingin mengajak Wu Jian sekalian ke sana, tetapi bocah itu menolaknya. Ibu Wu Jian tidak tahu apa alasannya, tapi ia juga tidak bisa memaksa.
"Maaf selalu merepotkanmu, Lin Li. Kuharap Wu Jian tidak membuat banyak masalah."
"Bicara apa kau, Wu Xing? Kita adalah keluarga." Lin Li, Ibu Lin Guang hanya tertawa. "Aku sudah menganggap Wu Jian seperti anakku sendiri."
Makan malam itu dipenuhi tawa. Wu Jian tertidur di pangkuan ibunya setelah mengisi perut. Wu Xing meminta izin pulang dan berterimakasih atas segala sesuatunya. Tanpa Lin Li, ia hanya akan terus mengkhawatirkan anaknya. Ia cukup terkejut ketika Lin Guang bercerita bahwa Wu Jian lah yang mendapatkan daging rusa.
"Semakin lama ia semakin mirip saja dengan Ayahnya." Puji Lin Li. Lin Guang sedang mencuci piring di belakang, tidak mendengar apa yang kedua ibu mereka bicarakan.
"Kau benar sekali. Semoga Dewa memberkatinya."
Besok pagi-pagi, Wu Xing harus kembali. Maka ia segera pamit pergi. Ia ingin bersama puteranya malam ini. Lin Li melihat ada yang tidak beres, muka temannya terlihat sedih.
"Ada apa, Wu Xing?"
"Ah, tidak. Besok aku harus pergi lagi. Meski aku ingin menghabiskan waktuku dengan Wu Jian lebih banyak lagi."
"Kau tidak mau bercerita padaku?"
" ... tidak ada yang perlu kau khawatirkan."
Setelah malam itu, ibu Wu Jian tidak pernah kembali lagi ke Desa Liao. Sembilan musim semi terlewati begitu saja tanpa disadari. Meski begitu, Wu Jian tidak pernah menanyakannya. Terkadang Lin Li memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada temannya. Sudah jelas Wu Xing menyembunyikan sesuatu. Harusnya ia memaksanya bercerita waktu itu agar tidak menyesal seperti ini.
"Ibu, aku mau ke sungai bersama Wu Jian."
"Hati-hati." Pesan Lin Li. Lin Guang sudah remaja sekarang, walau begitu ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya selama ada Wu Jian. Beberapa tahun ini anak itu semakin hebat saja. Ia belajar berburu dan terkadang ikut rombongan ketua desa saat ke hutan. Secara khusus, ia juga diajari seni berpedang.
Lama-lama ia memang semakin mirip dengan Ayahnya. Ayah Wu Jian adalah orang yang paling pandai dalam seni pedang di Desa Liao. Ayah Lin Guang adalah temannya, ia hanya bisa memakai panah. Keduanya dipanggil ketika perang diumumkan dahulu.
Betapa Lin Li merindukan kebersamaan mereka dahulu.
Ia melihat Lin Guang pergi sambil meneriakkan nama Wu Jian. Anak gadisnya juga sudah mulai besar. Pula, ada Wu Jian yang selalu berada di sisinya. Sampai kapan semua akan baik-baik saja seperti ini?
***
"Hati-hati, Lin Guang."
"Wu Jian, a-aku tidak bisa ... "
"Lin Guang, jangan khawatir."
Wu Jian menatap bocah perempuan di atas pohon. Entah ada angin apa hingga Lin Guang memutuskan memanjatnya. Sekarang ia tidak bisa turun. Wu Jian lantas merentangkan kedua tangan,
"Jatuh ke sini, Lin Guang."
"Tapi ... "
"Aku akan baik-baik saja."
Lin Guang mengangguk. Wu Jian itu kuat, jadi ia meyakinkan dirinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Perlahan, Lin Guang menjatuhkan diri dan menuju ke arah Wu Jian. Ia memejamkan mata karena takut membuat Wu Jian terluka.
"Lihat, tidak ada apa-apa."
Lin Guang membuka mata. Wu Jian yang tertimpa di bawahnya hanya tersenyum. Bernapas lega, perempuan itu memeluk Wu Jian.
Keduanya berjalan pulang sembari bergandengan tangan. Wu Jian lalu memberikan sebuah belati padanya.
"Kau bisa memiliki ini, Lin Guang. Gunakan saat kau dalam bahaya."
"Tapi, ini kan punyamu ... "
Wu Jian tertawa. "Aku punya banyak."
Lin Guang menatap belati itu. Terlihat tajam, ia harus berhati-hati saat menyimpannya. Ia berjanji akan selalu membawanya seperti yang telah dipesankan Wu Jian.
***
"Hahaha, Wu Jian! Jangan menggelitikiku!"
"Balasan kemarin karena sudah mengerjaiku."
Mandi bersama walau berbeda jenis kelamin adalah hal yang biasa di Desa ini. Wu Jian selalu pergi bersama Lin Guang setiap sore ke sungai Yang. Keduanya saling menggosok punggung satu sama lain.
Wu Jian lalu bercerita bahwa Ketua Desa sangat kejam ketika berlatih pedang tadi siang. Lin Guang hanya tertawa pelan. Keduanya mencipratkan air, bermain. Dari dulu mereka selalu bersama. Bahkan ketika Wu Jian berburu, terkadang ia mengajak Lin Guang.
Ada seekor panda mengintip dari balik rerimbunan bambu. Lin Guang menunjuk ke arahnya dan pandangannya diikuti oleh Wu Jian. Wu Jian hanya tersenyum kecil. "Kau tidak keberatan diintip panda itu?"
"Cobalah bercermin, Wu Jian."
"Sudah. Aku ini tampan. Akui saja."
Lin Guang berbalik menghadapnya dan menyipratkan air.
***
Wu Jian tidak pernah menanyakan ibunya. Bahkan setelah bertahun-tahun tidak lagi kembali ke Desa. Ia pikir itu hal yang wajar, pihak istana pasti punya banyak kesibukan. Ibunya tidak pulang karena bekerja untuk negara. Sesuatu yang membuatnya bangga. Suatu hari, ia juga ingin bisa berkontribusi seperti itu.
Di rumah Wu Jian, tidak ada siapapun selain dirinya. Kebetulan saja ia dan Lin Guang adalah tetangga. Sehingga ia tak terlalu merasa sendirian. Hanya ada sedikit perabotan di rumah. Wu Jian bahkan sudah lupa wajah ibunya seperti apa. Tidak ada sesuatu seperti lukisan potret di desa ini, hanya pihak istana yang memilikinya. Walau begitu, Wu Jian tidak apa-apa.
Sekembalinya dari sungai, ia membersihkan rumah seperti biasa. Saat malam, Lin Guang selalu mengetuk pintu rumahnya dan mengajaknya makan malam bersama di rumahnya. Wu Jian tidak bisa menolak karena senyuman Lin Guang begitu memikatnya. Ia biarkan Lin Guang meraih tangannya dan membawanya.
Belakangan ini, Wu Jian memikirkan bahwa Lin Guang adalah perempuan yang cantik. Mungkin karena ia sudah menjadi seorang remaja, atau karena menghabiskan waktu terlalu banyak dengan Lin Guang. Mana pun itu, tidak terlalu penting sekarang. Wu Jian hanya ingin Lin Guang selalu berada dalam hari-hari dan langkah kakinya.
Keesokan hari, mereka pergi membantu memanen padi di sawah milik Ketua Desa. Terkadang sedikit bermain dengan menangkap belut yang muncul hingga terpeleset karena tidak berhati-hati.
"Kotor kau, Wu Jian."
"Hehe. Bantu aku berdiri, Lin Guang."
***
Desa Liao sedang dilanda musibah ketika Wu Jian telah dewasa. Beberapa bulan terakhir, panen selalu gagal. Cuaca juga menjadi tidak menentu hingga menyulitkan para petani. Akibatnya stok makanan menipis dan warga terpaksa harus menghemat. Hasil buruan di hutan pun tidak menjamin karena cuaca. Banyak hewan berpindah, menuju tempat tinggal baru akibat keringnya rerumputan di Desa ini.
Wu Jian dan Lin Guang sedang berada di padang rumput sore ini, menatap langit ditemani embusan angin yang terasa panas.
"Wu Jian, bagaimana caranya menjadi kaya?"
"Aku tidak tahu."
"Kemarin ia telah berbohong, bilang sudah makan, padahal belum. Tapi ia malah menyuruhku makan."
Wu Jian merangkulnya. "Kita akan bisa melalui ini."
"Aku sudah tidak tahan melihat ibuku seperti itu, Wu Jian. Badannya makin kurus setiap aku melihatnya."
Lin Guang berbeda dengannya. Ia dibesarkan oleh ibunya seorang diri, karena itu ikatan di antara mereka sangat kuat. Wu Jian tidak pernah memikirkan hal seperti itu karena selalu sendirian. Namun ia tidak akan membiarkan temannya bersedih. Perlahan, ia menggenggam tangan perempuan di sebelahnya.
"Ada aku, Lin Guang."
***
"Kalian jangan gegabah. Pergi ke kota sangat sulit, aku tidak bisa memberikan izin."
Wu Jian meminta izin kepada Ketua Desa agar diperbolehkan pergi melewati gunung dan menuju kota yang berjarak satu minggu perjalanan dengan jalan kaki dari tempat ini. Desa Liao memang terasingkan, Wu Jian sendiri baru mengetahuinya tiga tahun lalu. Meski begitu, mereka tidak pernah mengalami kesulitan dan menerima keadaan.
"Apa Anda ingin membiarkan semua orang di desa ini mati?"
"Terakhir kali ibumu mengatakan hal yang sama, tapi ia tidak kembali. Wu Jian, aku tidak mau kehilanganmu juga."
"Anda tahu apa yang terjadi pada ibu saya?"
Ketua Desa menggeleng pelan. Wu Jian menunduk, memikirkan apakah ada jalan lain ... tapi ia tidak bisa menemukannya. Satu-satunya cara agar selamat adalah dengan meminta bantuan dari istana. Wu Jian telah mempersiapkan diri bila terjadi
sesuatu di jalan."Sekali ini saja, ketua. Anda memang telah mengajari saya banyak hal, saya akan selalu berhutang budi pada Anda. Tapi saya tidak bisa menuruti Anda kali ini."
Wu Jian pergi dari sana. Meninggalkan Ketua Desa yang menatapnya dengan sendu.
***
"Perjalanan ke kota? Aku ikut!"
"Eh? Tidak, tidak. Aku cerita ini padamu supaya kau menunggu di sini. Lagipula kasihan bila ibumu sendirian, Lin Guang."
Wu Jian tidak mau Lin Guang terlibat bahaya bila bersamanya. Memang Lin Guang bisa sedikit bertarung, tapi Wu Jian sendiri tidak bisa menjamin keselamatannya. Banyak orang yang pasti lebih hebat darinya di luar sana.
"Aku juga ingin melakukan sesuatu, Wu Jian. Aku tidak mau diam saja."
***
Pada akhirnya, karena Lin Guang yang keras kepala, Wu Jian mengizinkannya. Mereka pergi saat subuh, menyusuri jalan berbatu dengan kaki telanjang. Wu Jian membawa sebuah pedang untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun, ia tidak boleh lengah.
Di hari ke-empat, Lin Guang tidak sengaja jatuh dan menyebabkan kakinya berdarah. Wu Jian segera mencari sungai terdekat untuk membersihkan kakinya. Lin Guang menatap Wu Jian lama, hingga pemuda itu menyadari.
"Ada apa, Lin Guang?"
"Apa kau punya mimpi, Wu Jian?"
"Tentu saja. Memangnya kau tidak?"
"Aku ingin jadi kaya. Tidak akan kusia-siakan kesempatan bila itu datang padaku."
Wu Jian terkekeh, masih membersihkan kaki Lin Guang. Kaki perempuan itu sangat ramping dan lembut. Wu Jian bahkan tidak keberatan bila harus seperti ini selamanya. Pikirannya hanya dipenuhi Lin Guang sekarang. Lelaki yang simpel.
Meski luka telah dibersihkan, mereka tetap harus mencari obat. Selama tiga hari, Wu Jian menggendong Lin Guang di punggungnya hingga akhirnya mereka tiba di kota. Perjalanan ke istana butuh waktu tiga hari lagi dengan kereta, tapi keselamatan Lin Guang adalah yang paling penting. Wu Jian berkeliling mencari obat dengan harga paling murah. Mereka harus berhemat karena uang yang dibawa pun tidak cukup banyak, itulah mengapa.
Lin Guang agak merasa tidak enak karena merepotkan Wu Jian. Sedari dulu memang seperti itu. Ketika ia tidak bisa turun dari pohon, Wu Jian menolongnya. Saat terpeleset di sawah, Wu Jian juga lah yang mengulurkan tangan padanya. Sewaktu ia tersesat sampai malam, hanya pemuda itu yang berhasil menemukannya. Lalu membawanya kembali sembari menenangkan Lin Guang yang menangis.
Bahkan saat ini, Wu Jian masih saja membantunya.
Lin Guang merasa selalu membebaninya. Ia pun ingin mengurangi hal itu dengan mengikuti perjalanan ini. Tetapi ia hanyalah beban. Dia tidak ingin terus seperti ini. Suatu saat, ia berjanji akan membalas kebaikan Wu Jian padanya. Hanya Wu Jian yang ia punya setelah ibunya, sudah bagaikan keluarganya sendiri.
Lin Guang diturunkan, Wu Jian telah mendapat obat. Maka ia oleskan ke area yang terluka di kaki perempuan itu. Karena sedang berada di depan kios, Wu Jian tidak sadar bahwa itu juga merupakan jalan.
"Kalian, minggir! Kaisar akan lewat kemari!" seru seseorang dari kejauhan. Wu Jian sedikit terlambat hingga ia bisa melihat rombongan Kaisar mendekat.
"Tunggu, Kaisar, kenapa Anda turun?"
Seseorang berpakaian bagus turun dari kereta tandu, lalu menuju ke arah Wu Jian dan Lin Guang. Apa mereka akan mendapatkan hukuman? Beberapa orang meneriakkan 'Kaisar!' padanya. Jadi dia adalah Kaisar negeri ini sekarang? Baru saja Wu Jian hendak memberikan penghormatan, Kaisar menunjuk pada Lin Guang.
Saat itulah, Wu Jian tahu bahwa mimpinya telah sirna.
"Baiklah. Asal kau jujur sama Abang." Anjun mengalah. Ia pun tidak tega melihat adiknya menangis hingga tergugu seperti itu. Rosa mengangguk. Ia mulai bercerita. Di mulai dari dua tahun yang lalu. Rosa telah menjalin hubungan bersama Johansen selama dua tahun. Jo berhasil merebut hati Rosa dengan perlakuan yang amat manis. Selama dua tahun itu, Jo bersikap lembut dan perhatian. Hingga malam kelulusan, Jo datang menemui Rosa. Ia mengajaknya ke villa milik ayahnya di Lembang. Di villa itulah semua berawal, Rosa menyerahkan mahkotanya yang paling berharga kepada Jo. Ia begitu yakin bahwa Jo mencintainya. Bahkan, Jo berjanji akan menikahinya setelah ia memperoleh pekerjaan tetap. Setelah acara wisuda, ia merasa malu kepada ayah dan ibunya. Bahkan, tidak berani menatap wajah abangnnya. Ia meminta izin kepada orang tuanya untuk bekerja selama dua tahun sebagai pengalaman. Sebenarnya, Rosa hanya beralasan saja. Ia malu untuk menghadapi kedua orang tuanya. Jika mereka sampai mengetahui k
"Haaah! Dokter kandungan?" "Iya, kamu sedang hamil. Hanya saja saya tidak dapat memastikan, kecuali kamu mau mengetesnya dengan alat tes kehamilan. Atau, kamu mau mengatakan kapan terakhir kali kamu menstruasi." Rosa bersemu merah. Merasa jengah karena harus bercerita kepada dokter laki-laki di depannya. Ia juga tidak ingin aibnya dibuka kepada orang yang tidak dikenal. Melihat reaksi Rosa, dokter tersebut tidak memaksa. Ia memberikan resep, lalu berkata, "Istirahat dan makan yang cukup, ya." "Terima kasih, Dok," sahut Rosa, menunduk malu. Rosa bersyukur dokter tersebut memahami situasi, tanpa memaksanya untuk bercerita. Ia benar-benar kalut saat itu. Bingung dengan situasi yang menimpanya. "Kenapa harus sekarang? Kenapa harus hadir di saat hubungan kami mulai renggang?" Rosa menangis dalam hati. Rosa menyadari bahwa itu kesalahannya. Ia t
Rosa sama sekali tidak punya janji dengan Jo hari itu. Hubungan mereka yang baru dua hari tidak terlalu banyak berkomunikasi karena Rosa yang agak sibuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula dengan Jo yang bertekat untuk segera lulus kuliah. Jo sudah menunggak dua tahun selama kuliah di Jakarta. Seharusnya, ia sudah lulus. Hanya saja, akibat perbuatannya selama mengikuti balap liar bersama teman satu geng, membuatnya harus menerima untuk diskors bahkan dikeluarkan. Jo tidak ingin itu terulang kembali. "Jalan ke club, yuk. Kamu sudah terlalu banyak belajar.""Gak mau, Jo. Di sana berisik banget," keluh Rosa, menolak ajakan Jo. "Ya, udah. Ke kafe seberang kampus aja. Gimana?""Baiklah. Ayo, berangkat sekarang." Rosa dan Jo semakin lama semakin dekat. Hubungan mereka sangat romantis di awal. Hingga keduanya lulus bersama dan mulai bekerja di bidang masing-masing. *** "Kamu keterlaluan, Jo!" pekik Rosa, penuh amarah dan kese
"Aduh, ngapa pulak dia kasih-kasih aku barang ini?" "Mana gue tau. Tanya sendiri sana masih di bawah orangnya, tuh." Meity sibuk menghabiskan sarapan Rosa."Kau tidak ke kampus?" Meity menggeleng dengan mulut penuh. Pipinya menjadi gembul akibat makanan yang dikunyah. Acuh tak acuh walau Rosa telah mendelik kesal. "Ya, sudah. Kau tinggal di kos dulu. Aku mau ke kampus mengejar ketinggal," ucap Rosa sembari membereskan beberapa buku yang harus dibawanya. "Lo udah baikan emangnya?""Udah, kok, bye ...." ***Rosa berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Ia tidak menyadari ada seseorang yang mengikuti langkahnya sedari menginjakkan kaki di depan gerbang universitas. Orang itu ialah Jo. Jo berjalan mendekat dan menepuk pundak Rosa. Ia berkata, "Kenceng banget jalannya." Rosa menoleh dan melambatkan langkahnya. Ia menekan perasaannya sehingga dapat menampilkan wajah biasa. Bahkan tersenyum ramah kepada Jo. "Eh, k
Selama satu minggu Rosa meringkuk di kamarnya. Esa mencarinya ke mana-mana, di kampus tidak ada, di indekos diusir. Meity terus menemani Rosa. Terkadang Susan datang untuk menjenguk dan menanyakan keadaan Rosa. Rosa benar-benar tidak ingin ditemui oleh siapa pun, terutama Esa. Anjun berulang kali menelepon yang juga tidak dijawab. Ia meminta tolong kepada Susan untuk melihat keadaan Rosa dan menghajar lelaki yang telah menyakiti hati adiknya itu. *** "Sumpah, Kak. Aku gak melakukan hal itu." Esa ditanyai oleh Susan di ruangan kantornya. "Lalu apa ini?!" Susan melemparkan foto-foto ke wajah Esa. Esa terperangah mendapati foto-foto tersebut. Ia sama sekali tidak pernah pergi dengan wanita yang ada di dalam foto. Ia mengamati gadis itu dengan seksama. Mata Esa melebar saat melihat siapa wanita yang ada dalam foto. Ia memandang wajah murka Susan, susah payah untuk mengendalikan ketakutannya. "Bu–bukankah dia, Milia?" "Ya, dia Milia
Telah hampir enam bulan Rosa berhubungan dengan Esa. Jo masih mendekati dengan berbagai cara. Juga rencananya telah tersusun matang. "Ros, nanti pulang jam berapa?" tanya Jo saat melihat Rosa melintasi lapangan basket dan ia mengejarnya. "Hmmm jam tiga sudah di kosan. Kenapa pulak rupanya?""Tak apa. Sekarang mau ke mana?""Ke kantin lah, mau makan siang. Kau tak makan siang?" Jo menggeleng. Lalu tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya. Rosa merasa jengah. Bibir ranumnya cemberut. Dengan sebal, ia pergi tanpa pamit lagi kepada Jo. Jo menyeringai menatap punggung Rosa melalui sudut matanya. Ia akan melancarkan rencana untuk memisahkan Rosa dan Esa. Membuat Esa dibenci oleh Rosa dan gadis Batak itu akan menjadi miliknya. *** Malam hari Rosa menerima sebuah paket tanpa nama. Setahunya, ia sama sekali tidak belanja online. Keluarga di Berastagi juga tidak mengabarinya tentang paket. Rosa penasaran dengan isi paket yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen