Share

Big Brother

"Ya, jangan kau dekati!" seru Rosa, membuat Esa tersenyum bahagia.

"Kamu cemburu?" 

"Ha-ha-ha! Tak lah, Bang. Mana pantas ..

.." Rosa mencari kata-kata yang pas sebagai alasan, tetapi ia tidak menemukannya.

"Cemburu juga gak apa-apa. Saya mempunyai kejutan buat kamu nanti. Bersabarlah," ucap Esa, menciptakan rasa penasaran dalam diri Rosa.

Rosa menunduk malu. Ia tidak bisa berkata-kata. Setidaknya ia masih bisa menjaga agar tidak terlalu bucin kepada Esa. 

"Aku menantikan, Bang," timpal Rosa dengan wajah merona.

Mereka menikmati momen berdua saling mengenal satu sama lain. Bercerita banyak hal tentang perkuliahan Rosa, keluarga, dan abangnya, Anjun. Esa harus mengetahui tentang Anjun yang begitu melindungi Rosa. 

"Kau tahu abangku, tuh, tak akan membiarkan aku tinggal di Jawa kalau Bapak tidak mengizinkan," ungkap Rosa, "beruntung Bapak seorang yang terbuka akan hal baru, ia ingin aku meneruskan perkebunan jeruknya di Berastagi."

Esa tersenyum mendengar cerita Rosa. Ia tidak menyangka bila bertemu gadis yang kaya raya dari lahir. Walaupun kehidupan Esa juga bisa dibilang kaya, tetapi ia tidak dilahirkan kaya. Orang tuanya membuka perusahaan di Jakarta dan sukses saat ia berusia remaja. Hal itulah yang menyebabkan ia menjadi seorang yang pekerja keras. Baginya kekayaan bisa dicari. Ayahnya juga mengajarkannya untuk selalu berusaha dengan kakinya sendiri.

Sejak wisuda, Esa tidak lagi hidup dari uang keluarganya. Berusaha mencari pekerjaan untuk menghidupi kehidupannya sendiri. Uang indekos yang terbilang mahal yaitu dua juta sebulan, tidak sanggup lagi dibayarnya. Sehingga ia harus pindah mencari indekos yang jauh lebih murah.

Namun, semuanya menjadi begitu indah bagi Esa. Ia bisa begitu dekat dengan Rosa. Lebih mengenalnya dan berharap untuk menjadikannya kekasih. Ia hanya harus menunggu sebentar lagi, hingga waktunya tiba untuk memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Rosa.

"Kenapa kau diam saja, Bang?" tanya Rosa, mengernyit kebingungan.

"Teruskan, saya suka ceritamu," sahut Esa, tersenyum sembari memandangi wajah berahang tegas di hadapannya.

Kafe itu telah begitu sepi. Hanya ada mereka berdua di sana. Malam juga telah semakin larut. Namun, mereka masih ingin bercengkerama, saling mengenal satu sama lain. Menciptakan suasana romantis dengan sedikit humor garing yang dilontarkan oleh Esa.

"Kamu tahu Rosa? Tadi kulihat Kak Susan tersedak saat mewawancarai saya," ungkap Esa, menimbulkan penasaran di hati Rosa.

"Loh, memang kenapa?"

"Masa nanya gini, 'Kau sudah punya pacar?' lah, saya jawab, 'Tolong carikan Kak Susan, aku lom nemu yang kena di hati,' eh, saya dikeplak pake map."

Rosa tergelak mendengarkan penuturan dari Esa. Sejujurnya Esa sedikit berbohong kepada Rosa. Bukan itu yang ditanyakan oleh Susan. Hanya ia malu mengatakan kepada Rosa. 

Sebenarnya Esa diperingatkan oleh Susan untuk menjaga sikap kepada Rosa. Jika tidak, ia harus siap-siap menerima hukuman penjara akibat kelakuan yang menyakiti Rosa sekecil apa pun oleh Anjun. Ia telah mendengar cerita tentang abang yang sister complex dari Kak Susan. Namun, Esa merasa bahwa itu hanyalah bentuk kasih sayang seorang abang, tidak lebih.

Esa berpikir mungkin akan lebih baik bila ia menghadapi abangnya Rosa. Ia akan lebih bisa menjaga diri. Tidak lepas kendali dan tentu saja memikirkan masa depan. Rosa seorang anak kaya raya, tentu tidak sembarang orang yang boleh berhubungan dengannya.

"Bang, dari tadi melamun terus," ucap Rosa, mulai kelelahan berbicara.

"Mau pulang?" tanya Esa, Rosa mengangguk. "Ayo, ntar keburu Kak Susan pulang."

***

Satu minggu telah berlalu. Anjun datang berkunjung ke Bandung untuk mengurus hipotek perusahaan Susan. Ialah pengacara yang membantu mengurusi semua tentang permasalahan hukum di perusahaan tersebut.

Perusahaan Susan bergerak di bidang IT dan komunikasi. Membuat produk berupa software dan aplikasi online. Selain itu, Susan merambah dunia komunikasi dengan menerbitkan kartu perdana.

Seperti biasa, Anjun langsung ke kantor Susan sehabis mendarat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk sekedar duduk dan minum kopi. Jadwal yang dimilikinya amat padat. Banyak klien yang menunggu untuk ditangani kasusnya. Baik di Medan atau Jakarta.

"Kau tak istirahat dulu?" tanya Susan, keheranan melihat Anjun telah duduk di kursi tamu ruangan kerjanya.

"Tak perlu lah. Aku masih harus ke Jakarta. Ada pekerjaan besok, jadi malam nanti aku langsung terbang ke sana," sahut Anjun, wajahnya serius menatap kertas-kertas.

"Kau tak mau bertemu si Rosa, hah?" tukas Susan, mendaratkan bokongnya ke sofa di sebelah Anjun.

Anjun menoleh saat mendengar perkataan Susan. Ia mendengkus kasar, kemudian kembali fokus dengan kertas berisi berkas hipotek. Dengan wajah serius, ia berkata, "Dia baik-baik saja, kan? Dia tidak meneleponku seminggu belakangan, hanya ...."

Susan tersenyum penuh kemenangan, ia menjawab, "Dia baik-baik saja. Sehat dan bahagia malah. Kuharap kau pun melakukan hal yang sama."

Anjun kembali menoleh. Dahinya berkerut, bertanya-tanya dalam hati maksud ucapan Susan. Karena tidak menemukan jawaban dari wajah Susan, akhirnya ia bertanya, "Apa maksud kau?"

"Menikahlah, Anjun," ucap Susan, melembut. "Kau belum menemukan kekasih, kan?"

"Ha-ha-ha! Tak akan, aku tak akan bisa mencintai orang lain."

HannaH Ell3

Terimakasih telah membaca cerita ini. Baca juga cerita lainnya Elevator Game

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status