Share

Ghosting

Sudah seminggu berlalu. Rosa tidak melihat Esa di mana-mana, baik di kampus, Ukema, maupun sekitar Jatinangor. Ia juga tidak bisa dihubungi. Panggilannya tidak diangkat.

"Kenapa rasanya seperti dipe-ha-pe nyah aku, Mei?" keluh Rosa, suatu hari saat sedang di ruang kelas.

"Isssh, mungkin doi lagi sibuk. Katanya lagi cari kerja, 'kan?"

"Cari kerja tapi hape tak diangkat pun," rengek Rosa, memperlihatkan ponsel canggih miliknya.

Meity merangkul pundak Rosa. Ia berbisik, "Lo, tuh, cakep. Mending lo jadian aja sama yang lain. Ngapain coba nungguin Bang Esa yang gak jelas."

"Hidih, mana bisa. Aku udah suka sama dia sejak awal masuk ukema tau," sanggah Rosa, mendelik marah.

"Iya, deh. Bucin! Ha-ha-ha!" Meity tertawa keras. Tiba-tiba tersedak karena dosen masuk ke ruangan yang masih kosong tersebut.

"Loh, pada ke mana ini?" 

"Anu, Pak. Masih pada makan siang mungkin," sahut Meity, genit. Ternyata yang masuk merupakan dosen muda berwajah ala Korea.

Rosa malu. Ia menyenggol lengan Meity agar bersikap sewajarnya. Meity hanya tersenyum genit. Rosa menutup mukanya akibat malu oleh kelakuan sahabatnya itu.

Dosen tersebut tersenyum, ia berkata, "Ya, sudah. Kita mulai perkuliahan bertiga saja."

Meity meleleh, matanya berbinar menatap dosen muda yang ramah itu. Rosa pura-pura tidak tahu. Ia membuka buku dan fokus menatap tulisan pada buku tersebut. 

Perkuliahan berjalan, para mahasiswa berdatangan satu per satu. Meminta maaf atas keterlambatan mereka. Dosen muda tersebut menolerir kesalahan mereka kali ini. Namun, tidak untuk lain kali. Setiap kali terlambat, mereka diwajibkan membuat sebuah makalah tentang mata kuliahnya dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

Semua siswa terlambat mengeluh dalam hati. Namun, suara desahannya masib terdengar oleh dosen muda tersebut. Ia kembali berkata, "Mengeluh satu kali, tugas satu. Mengeluh dua kali, tugas saya tambahkan dikali dua. Mengeluh setiap kali saya masuk kelas, kalian tidak lulus."

Meity berbisik, "Killer ternyata, Ros."

Rosa mengulum bibirnya menahan tawa. Dosen muda yang tadinya disukai Meity berubah bak monster. Siap menghukum siapa saja dibalik senyum menawannya.

***

Mata kuliah hari itu selesai, Rosa berjalan menuju kantin. Esa memanggil sembari mengejarnya. Ia ngos-ngosan, menunduk menyentuh lutut kakinya.

Rosa berbalik, menatap Esa yang menunduk karena kelelahan. Ia bertanya, "Dari mana, Bang?" 

"Saya dari gerbang kampus lihat kamu lewat langsung manggil, tapi kayaknya gak kedengaran. Saya kejar kamu malah makin menjauh," cecar Esa, masih dengan napas yang terputus-putus.

"Aku tak dengar sumpah, Bang," sahut Rosa sembari memberikan tanda 'v' kepada Esa.

Esa menegakkan tubuhnya, kemudian tertawa renyah. Ia berkata, "Iya, percaya. Maafin saya, ya. Kemarin lagi kerja sambilan, baru libur hari ini."

Rosa cemberut. Ia sedikit merajuk, "Kan, bisa wapri aku, Bang."

"Maaf, saya sedang gak punya kuota," sesal Esa, wajahnya berubah murung.

"Jadi, benaran Abang sudah tak diberi uang saku?"

Esa mengangguk sedih. Ia tidak tahu harus menjawab apa antara malu, tetapi tidak mau berbohong kepada Rosa. Kejujuran akan lebih baik menurutnya.

"Bentar," ucap Rosa. Ia mencari ponsel pada tas ranselnya. 

Rosa mencari nama Susan. Ia yakin teman abangnya itu pasti mau membantu. Perusahaannya mungkin membutuhkan karyawan baru.

Terdengar nada sambung, diikuti oleh suara alto yang keras dari speaker ponsel, "Halo, kenapa lagi kau, Rosa!"

"Alamak, marah pulak Kakak, nih. Sabar dulu, Kak. Aku mau tanya ada tak lowongan di perusahaan kau tuh?" 

"Oh, ada. Kau mau kerja di sini?"

"Taklah. Ini ada ...." Kata-kata Rosa terhenti karena bingung menyebutkan statusnya dengan Esa. Teman atau bukan, ia benar-benar bingung. 

"Kenapa?" tanya Esa, melongo karena Rosa malah bengong sembari menatapnya.

Rosa menggeleng, kemudian kembali berkata pada ponselnya, "Temanku membutuhkan pekerjaan. Bisa tak Kakak tolong beri lowongan pekerjaan kepadanya?"

"Oh, Oke. Datang langsung ke perusahaan sehabis makan siang, ya. Aku sedang tak ada kerjaan nanti siang. Awas kalau telat!"

"Makasih, ya, Kak." Suara klik tanda Susan menutup sambungan ponselnya.

Rosa tersenyum, menatap Esa yang masih deg-deg-an. Ia agak berharap banyak memang. Tidak mengira, gadis Batak itu benar-benar bisa menolongnya.

"Kau diminta datang sehabis makan siang. Ingat, jangan telat!"

Esa menghela napas lega. Ia akan bisa melanjutkan hidup. Sisa tabungannya hanya cukup untuk satu bulan saja dengan mengirit tentunya. 

"Makasih banget. Saya mau traktir sebagai balas budi kamu, tapi ...." Esa menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Bulan depan saja, Bang. Setelah gajian, ya." 

Esa mengangguk. Ia mau mengajak Rosa melihat tempat tinggalnya yang baru sebenarnya. Namun, ia harus segera kembali untuk bersiap-siap ke perusahaan yang dimaksud oleh Rosa.

Rosa menuliskan alamat perusahaan Susan dan memberikannya kepada Esa. Ia tersenyum dan berkata, "Cepatlah, jangan lambat! Kak Susan tak suka orang ngaret!"

"Siap! Nanti kita ketemu lagi, ya," pinta Esa sembari melambaikan tangan, menjauh untuk segera pulang dan bersiap.

Kapan lagi ada kesempatan memperoleh pekerjaan. Sementara semua teman-teman Esa juga masih kebingungan mencari pekerjaan. Beberapa mengajaknya bekerja paruh waktu di suatu mini market. Kini, ia memiliki kesempatan itu.

To be continue

HannaH Ell3

Terima kasih telah membaca cerita ini. Nantikan lanjutannya terus up setiap hari Selasa dan Sabtu. Love u all

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status