Share

The Stalker

"Lo yakin? Gak mungkin Rosa kayak gitu. Selama ini cuma akal-akalan kita doang, kan?" 

"Yakin banget!"

"Lagian udah lulus juga bukan halangan besar! Tinggal si Jo yang harus kita tangani. Gak ada yang boleh memiliki Rossa!"

***

Jo menyudahi permainannya. Ia melihat sekeliling lapangan telah kosong. Tak menyadari teman-teman setimnya telah meninggalkannya sedari tadi. 

Jo tidak peduli. Ia akan pulang ke indekos dan menunggu Rossa untuk kembali menguntitnya seperti yang pernah dilakukannya beberapa hari lalu. Kamar Jo dan Esa bersebelahan. Rosa salah mengenali jendela waktu itu. Mengira kalau di kamar Esa lah si penguntit berada, Rosa panik saat itu.

Kamar Esa kosong. Pemuda itu harus pindah ke indekos lain karena ayahnya sudah tidak mau mengiriminya uang saku. Padahal ia belum mendapatkan pekerjaan. 

Jo menyeringai melihat pintu kamar yang terbuka. Tanda bahwa penghuninya telah pergi. Hal itu kesempatan baginya untuk menguntit melalui kamar bekas Esa. Jika ketahuan, maka Rosa tidak akan mengira kalau Jo pelakunya.

Siang itu, Rosa pulang lebih awal. Ia ingin beristirahat dan memikirkan kuliah kerja nyata yang tahun ini akan ia ambil. Beberapa kali ia melihat situs pekerjaan pada laptop yang membuka lowongan untuk anak magang.

Sebenarnya Rosa bisa pulang ke Berastagi untuk mengerjakan KKN-nya, tetapi Anjun akan marah besar. Lebih baik Anjun tidak pernah tahu. Rosa akan jadi bos di perkebunan jeruk milik ayahnya tersebut. Mana mungkin kerja sebagai anak magang begitulah nanti pemikiran Anjun.

Rosa keluar menuju balkon memandangi kamar Esa. Sejak makan siang bersama, Esa belum menghubunginya. Rosa tidak mengetahui bahwa Esa telah pindah. Tidak ada kabar berita darinya, membuat Rosa begitu terluka. 

"Apa aku tidak semenyenangkan itu nyah?" keluh Rosa, dalam hati.

Rosa mengamati ada seseorang di balik pintu kamar Esa menuju balkon. Ia memicingkan mata besarnya, mencoba menajamkan penglihatan. Orang yang sama. Rosa melihat penguntit itu, ia segera masuk dan mengambil ponselnya untuk menelepon Esa. Namun, tidak ada jawaban.

Rosa gelisah. Ia menyentuh angka-angka pada androidnya menelepon Susan. Wanita muda itu masih di kantornya, terkejut karena ada panggilan dari anak indekos. Tak lain adalah Rosa.

"Apa pulak anak manja ini meneleponku siang-siang," keluh Susan, menjawab teleponnya.

"Kak, dia lagi! Lagi nguntit aku barusan bisa kau cepat kemari!" teriak Rosa, panik.

Susan menjauhkan ponselnya. Telinganya pekak karena teriakan Rosa. "Tak bisa nyah nanti saja sepulangnya aku kerja!"

"Aduuuh! Janganlah, Kak. Nanti kabur dia seperti kemarin!" Rosa hampir ingin menangis karena ketakutan. 

"Tunggu kau di kamar biar kutelpun dulu Mang Saep, yak!"

Terdengar Susan mematikan panggilan Rosa. Gadis Batak itu meringkuk di ranjang ketakutan. Ia juga tidak berani menelepon Anjun. Bisa-bisa, abangnya itu langsung terbang ke Bandung.

Rosa memutuskan menelepon Meity. Ia ingin ditemani saat ini. Benar-benar tidak ingin sendirian. "Mei, datanglah ke indekos ku sekarang ...."

"Kenapa lo? Ada masalah?" tanya Meity, khawatir.

"Aku takut kali ini. Ada penguntit di sini," isak Rosa, ketakutan.

Meity iba pada Rosa. Ia segera ke indekos sahabatnya itu. Mendapati Rosa yang meringkuk di ranjang dengan rambut acak-acakan. Wajah kusam yang penuh air mata.

Meity menghampiri Rosa dan membangunkan tubuh Rosa agar duduk tegak. "Setakut itu lo sama penguntit? Lo gak sadar apa? Di sekolah ada ratusan cowok penguntit yang ngawasin elo dan lo cuek aja."

Rosa menyeka air matanya. Ia mendelik marah kepada Meity. Bukannya menenangkan hati Rosa malah membuat gadis yang tidak peka itu semakin takut. "Apa kau bilang? Ratusan?"

Rosa mencari ponselnya dan segera menelepon Anjun. Ia harus menyelamatkan diri dari pada penguntit itu. Meity memperhatikan, ia merebut ponsel dari tangan Rosa. Ada nama Anjun tertera pada layarnya. 

Meity segera akan mematikan panggilan. Namun, terlambat. Anjun telah menjawab panggilan tersebut. "Hei, Rosa! Ada apa?"

Meity mendengarkan suara berat tersebut. Dengan lembut berkata, "Tidak ada apa-apa, kok, Bang Anjun. Tadi Rosa salah tekan nomor katanya."

Rosa mendelik melihat tingkah Meity yang mendadak genit. Anjun kebingungan. Lalu ia kembali bertanya, "Siapa pulak kau pakai ponsel Rosa?"

"Hai, Bang Anjun. Kenalkan nama aku Me-i-ty ...." Meity memanjangkan nada suaranya agar terdengar semakin manja.

Anjun yang keras menghardik Meity. "Kau mencuri ponsel Rosa, yak! Ambillah jangan kau pakai buat memeras aku. Kau dengar, hah!"

Meity melempar ponsel ke kasur tepat di depan Rosa. Wajah Meity ketakutan. "Galak banget Abang lo, Ros!"

Rosa segera menjawab telepon. Baru saja menempelkan di dekat telinganya. Anjun berteriak memaki orang yang dikiranya mengambil ponselnya.

"Awas, yak, kau sialan!"

"Abang, ini aku! Maaf, Meity cuma ingin berkenalan dengan kau. Jangan keras padanya! Takut kali dia jadinya!" 

Anjun mendengkus kesal. Ia sama sekali tidak mempedulikan orang lain. Hanya Rosa yang dipedulikannya saat ini. Padahal banyak wanita yang menyukai dan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan cinta Anjun.

"Ada apa? Cepatlah bicara! Jangan membuang waktuku percuma!" 

"Tidak ada apa-apa. Sudah kubilang Meity mau berkenalan dengan kau!" jawab Rosa, ikut kesal mendengar abangnya memarahinya Ia langsung mematikan panggilannya. 

Meity melihat kekecewaan di wajah Rosa. Ada rasa aneh yang menjalari pikirannya. Hubungan persaudaraan antara Rosa dan Anjun benar-benar aneh. 

"Lo yakin kalau dia Abang kandung?" tanya Meity, mengernyitkan dahinya. Ia benar-benar ingin tahu Abang macam apa sebenarnya orang yang bernama Anjun itu.

Rosa bertambah kesal dengan pertanyaan Meity. Ia menyesal telah memanggil Meity ke indekos untuk menemani. Tidak mungkin bisa lepas dari interogasi menyudutkannya kali ini.

"Hubungan kalian bukan seperti kakak dan adik perempuannya atau adik dan kakak lelakinya. Lebih mirip sepasang kekasih yang sedang el-de-er-an," papar Meity, membuat Rosa ternganga nyaris membuat dagunya terjatuh.

"Kenapa gak lo carikan kekasih untuk Abang lo itu?" tanya Meity, melanjutkan.

"Kupikir itu bukan urusanku," sahut Rosa, cemberut.

Meity tersenyum. Ia berkata kepada Rosa dengan percaya diri. "Kalau Abang lo ke Bandung. Kenalin gue ama dia. Gue mau, kok, jadi kakak ipar lo."

Rosa menahan tawa melihat tingkah Meity yang kegenitan. Ia merangkul sahabatnya itu. Lalu berbisik di telinganya, "Boleh, nanti weekend dia mau datang. Ada jadwal kerja bareng Kak Susan setiap tahunnya."

Meity melompat-lompat kegirangan. Ia ingin mengetahui seganteng apa Anjun yang selalu diceritakan Rosa itu. Pengacara sukses dan kaya raya. Melihat penampakan adiknya, Meity membayangkan Anjun setampan aktor Bollywood kesukaannya Shahrukkhan.

Rosa melupakan rasa takutnya. Meity membuatnya jauh lebih nyaman sekarang. Ia tertawa keras saat melihat Meity berputar-putar di atas ranjangnya bagai tokoh protagonis dalam film India.

"Aku yakin, kau bisa jadi kakak ipar yang baik, Mei," gumam Rosa, tersenyum lebar menatap Meity yang bahagia.

To be continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status