Share

True Love

Susan mengira bahwa Anjun hanya mencintai adiknya saja. Hubungan di antara mereka tidak boleh terjadi. Pada akhirnya, ia bertanya, "Kenapa?"

"Aku berdosa kepadanya," sahut Anjun, tidak ada senyum. Mata Anjun menyimpan banyak sendu.

Susan menepuk pundak Anjun dan berkata, "Cerita lah agar bebanmu ringan."

"Lepas kita selesai kuliah, aku bertemu seorang gadis–"

"Gadis?"

"Iya, kenapa kau kaget begitu nyah. Apa kau pikir aku tak suka perempuan?" 

"Bukan, bukan. Ayo, lanjutkan!"

Anjun mulai bercerita. Selepas kuliah di Bandung, ia memang bertemu seorang wanita berdarah Batak, tetapi kelahiran Bandung. Mereka sempat bersama beberapa waktu.

Hanya saja gadis itu memiliki penyakit bawaan sejak lahir. Di kala kondisi kritisnya, Anjun tidak datang karena terlalu sibuk bekerja di kantor pengacara, Bandung-Jakarta. Ada penyesalan setiap kali, ia mengingatnya.

"Kau tahu, seumur hidup aku tak akan bisa melepaskannya," lirih Anjun, tercekat akibat menahan duka.

"Kau belum mencobanya. Hidup kau hanya berkisar untuk merecoki adik kau saja. Mari, kita coba?" ajak Susan, ia memang menyukai sosok Anjun sejak mereka kuliah. 

Mereka tidak satu jurusan, tetapi mengikuti kegiatan kemahasiswaan yang sama, membuat mereka dekat satu sama lain. Anjun menoleh dan mengernyit. Hubungan mereka baik-baik saja sebagai rekan kerja. Ia tidak mau merusaknya dengan perasaan sentimentil.

"Kenapa kau tak menikah?" tanya Anjun, menohok. Ia sama sekali tidak peka.

"Ha-ha-ha! Kau sama sekali tidak sadar?" sahut Susan, mulai jengkel. "Kukasih tahu, ya, ini semua gara-gara–"

Ada suara ketukan di pintu, membuat Susan menghentikan ucapannya. Mereka menoleh pada pintu dua kembar ruang kantor Susan. Kemudian berpandangan.

"Bukalah, mungkin penting," perintah Anjun, kembali menekuni kertas di tangannya.

Susan mendengkus kesal. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Tampak Esa berdiri di depannya dengan berbagai berkas proposal. 

"Kenapa kau yang membawa itu?" tanya Susan, terheran-heran. Ia menggeser tubuhnya agar Esa masuk ke ruangan dan menaruh semua di meja tamu.

Esa masuk dan melangkah menuju meja tamu. Ada sosok dengan perawakan tegap, sorot mata tajam dengan rahang kotak yang tegas. Anjun menatap Esa tajam penuh selidik.

"Dia ... karyawanku, baru seminggu di sini. Dia juga teman Rosa," ucap Susan, membuat Anjun semakin mendelik kepadanya.

"Teman macam apa kalian?" tanya Anjun, masih mendelik.

"Duh, nih orang siapanya Rosa, ya?" keluh Esa dalam hati.

"Dia ini abangnya Rosa. Kenalan dulu, gih," sahut Susan, seperti tahu isi kepala Esa. 

Esa tercengang mendengar ucapan Susan. Ternyata di hadapannya merupakan abang yang sering diceritakan Rosa dan Susan, Esa mendadak gugup. Keluar keringat dari dahinya. Ancaman Susan ternyata benar, Anjun terlihat garang dari yang diceritakan.

Suara baritonnya menggelegar, padahal Anjun hanya bertanya. Esa jelas agak jeri setelah melihatnya. Mau bagaimana lagi, harus ia hadapi. Semoga Anjun akan menjadi luluh.

"Sebenarnya saya ingin mengungkapkan perasaan, Bang. Hanya belum berani saya masih harus mengumpulkan uang untuk diri saya sendiri dulu," akunya Esa, berusaha sejujurnya, walaupun tidak semua dikatakan.

Esa merasa tidak ada yang harus dibanggakan dengan menjadi anak seorang pengusaha. Ia harus menjadi pengusaha dengan tangannya sendiri. 

Anjun mengangguk. Ia berkata, "Bagus itu, kalau begitu tak usah dekat-dekat Rosa lagi."

Susan langsung mengeplak kepala Anjun dengan map yang kebetulan sedang dipegangnya. Anjun langsung berteriak, "Hei, apa kau main pukul saja!"

"Bukan kau yang menentukan Rosa mau dekat dengan siapa, hahh!" seru Susan, suara altonya baik satu oktaf. "Biar mereka sendiri yang menjalaninya. Tak usah kau ikut campur!"

Anjun terpegun dimarahi oleh Susan. Wanita di hadapannya jauh lebih galak daripada Mamak Rosma di kampung halaman. Ia tidak dapat membalas perkataan Susan. Sejauh ini, ia menyadari bahwa terlalu melindungi adiknya itu. Ia tidak ingin Rosa disakiti seperti ia menyakiti gadis malang yang tidak diacuhkannya.

"Baiklah, aku kasih kau kesempatan. Kulihat ia menangis gara-gara kau, siap-siap jeruji besi!" tegas Anjun, akhirnya mengizinkan Esa untuk mendekati Rosa.

Susan tersenyum senang, tanpa sengaja melihat Anjun menatapnya tajam. Ia kebingungan. Jadi, ia menyentak Anjun, "Apa?"

"Tak ada, nanti siang makan bareng, ya," sahut Anjun, menunduk kembali. Ia menekuni kertas yang dipegangnya.

Esa menunduk. Ia berpamitan karena merasa canggung, "Terima kasih, Bang. Saya undur diri dahulu. Permisi, Kak."

Setelah Esa keluar ruangan, Susan memelototi Anjun. Ia berseru, "Apa maksud kau?!" 

"Tak ada nyah. Cuma makan siang saja kenapa kau sewot kali," sahut Anjun enteng, masih menekuni kertas.

"Kau dari tadi yang dibaca cuma kertas itu saja. Tuh, masih banyak," ucap Susan, keki.

Anjun meletakkan kertas di meja. Ia menoleh kepada Susan yang duduk di sebelahnya. Sedikit berdeham, ia berusaha meredam rasa aneh yang tiba-tiba datang.

"Ayo, kita coba," ajak Anjun, tiba-tiba. Ia membuat Susan menjatuhkan map yang dipegangnya.

"Ah, kenapa kau tiba-tiba ngomong kayak gitu? Aku–"

"Kita mulai hubungan, tapi aku akan pindah ke Bandung setelah urusan di Medan selesai. Bagaimana?"

HannaH Ell3

Terimakasih telah membaca cerita ini. Baca juga cerita lainnya Elevator Game

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status